Wednesday, August 22, 2012

Penentuan MATA UANG FUNGSIONAL dalam PENGUKURAN TRANSAKSI MATA UANG ASING

Sebelumnya, sampai dengan tanggal 31 Desember 2011, Standar Akuntansi Keuangan yang mengatur mengenai pengukuran transaksi dalam mata uang asing serta mata uang pelaporan adalah :

  1. PSAK 10 (1994) : Transaksi Dalam Mata Uang Asing
  2. PSAK 11 (1994) : Penjabaran Laporan Keuangan Dalam Mata Uang Asing
  3. PSAK 52 (1998) : Mata Uang Pelaporan
  4. ISAK 4 (1997) : Interpretasi atas paragraf 20 PSAK 10 tentang alternatif perlakuan yang diizinkan atas selisih kurs

Kemudian, terhitung sejak tanggal 1 Januari 2012, seluruh PSAK tersebut di atas dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan PSAK 10 (Revisi 2010) tentang Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing. PSAK 10 (Revisi 2010) ini telah mengadopsi seluruh pengaturan dalam IAS 21, The Effect of Changes in Foreign Exchange Rate per 1 Januari 2009, kecuali beberapa pengaturan yang tidak diadopsi ataupun dimodifikasi agar sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Salah satu perbedaan yang cukup signifikan antara PSAK 10 (Revisi 2010) dengan PSAK/ISAK yang berlaku sebelumnya adalah berkaitan dengan masalah penggunaan MATA UANG FUNGSIONAL.

Berdasarkan PSAK lama yaitu PSAK 52 (1998), mata uang pelaporan yang digunakan oleh perusahaan di Indonesia adalah mata uang Rupiah. Perusahaan dapat menggunakan mata uang selain rupiah sebagai mata uang pelaporan hanya apabila mata uang tersebut memenuhi kriteria mata uang fungsional. Mata uang pencatatan harus sama dengan mata uang pelaporan.

Dari pengaturan tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut PSAK lama, pada umumnya perusahaan di Indonesia harus mencatat transaksi akuntansi dan menyajikan laporan keuangan dengan menggunakan mata uang Rupiah. Penggunaan mata uang lain hanya diperbolehkan jika memenuhi persyaratan sebagai mata uang fungsional.

Sedangkan berdasarkan PSAK 10 (Revisi 2010), perusahaan harus menentukan mata uang fungsional sebagai mata uang pengukuran (pencatatan transaksi) serta mata uang pelaporan yaitu mata uang di mana laporan keuangan akan disusun. Mata uang pelaporan (penyajian) yang dipergunakan bisa berupa mata uang fungsional ataupun mata uang lain selain mata uang fungsional.

Jadi, berdasarkan PSAK 10 (Revisi 2010), perusahaan tidak bisa menggunakan mata uang Rupiah sebagai mata uang pengukuran (pencatatan transaksi) jika mata uang Rupiah tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagai mata uang fungsional. Sedangkan untuk penyajian laporan keuangan bisa tetap menggunakan mata uang Rupiah walaupun bukan merupakan mata uang fungsional.

PSAK 10 (Revisi 2010) mendefinisikan mata uang fungsional sebagai mata uang pada lingkungan ekonomi utama di mana entitas beroperasi yaitu lingkungan entitas yang utamanya menghasilkan dan mengeluarkan kas.

Untuk menentukan apakah suatu mata uang yang akan dipergunakan dalam pencatatan transaksi memenuhi persyaratan sebagai mata uang fungsional atau tidak, maka harus diperhatikan persyaratan yang diatur dalam paragraf 09 – 11 PSAK 10 (Revisi 2010).

Paragraf 09 mengatur bahwa entitas harus memperhatikan faktor-faktor berikut dalam menentukan mata uang fungsionalnya :

(a) mata uang :

  • yang paling mempengaruhi harga jual barang dan jasa (mata uang ini seringkali menjadi mata uang yang harga jual barang dan jasa didenominasikan dan diselesaikan); dan
  • dari negara yang kekuatan persaingan dan peraturannya sebagian besar menentukan harga jual barang dan jasa entitas

(b) mata uang yang paling mempengaruhi biaya tenaga kerja, bahan baku, dan biaya lain dari pengadaan barang atau jasa (mata uang ini seringkali menjadi mata uang yang biaya tersebut didenominasikan dan diselesaikan)

Paragraf 10 mengatur bahwa faktor-faktor berikut juga dapat memberikan bukti mengenai mata uang fungsional :

  1. mata uang yang mana dana dari aktivitas pendanaan dihasilkan (antara lain penerbitan instrument utang dan instrument ekuitas)
  2. mata uang yang mana penerimaan dari aktivitas operasi pada umumnya ditahan

Paragraf 11 menjelaskan bahwa faktor-faktor berikut harus dipertimbangkan dalam menentukan mata uang fungsional dari kegiatan usaha luar negeri, serta apakah mata uang fungsionalnya sama dengan mata uang entitas pelapor :

  1. apakah aktivitas kegiatan usaha luar negeri dilaksanakan sebagai perpanjangan dari entitas pelapor, bukan dilaksanakan dengan tingkat otonomi signifikan
  2. apakah transaksi dengan entitas pelapor memiliki proporsi yang tinggi atau rendah dari kegiatan usaha luar negeri
  3. apakah arus kas dari kegiatan usaha luar negeri secara langsung mempengaruhi arus kas entitas pelapor dan siap tersedia untuk dikirimkan ke entitas pelapor
  4. apakah arus kas dari aktivitas kegiatan usaha luar negeri cukup untuk membayar kewajiban utang yang ada ataupun yang diperkirakan dapat terjadi tanpa adanya dana yang disediakan oleh entitas pelapor

Apabila indikator-indikator yang telah disebutkan sebelumnya bercampur dan mata uang fungsional tidak jelas, maka manajemen menggunakan pertimbangannya untuk menentukan mata uang fungsional yang paling tepat menggambarkan pengaruh ekonomi dari transaksi, kejadian, dan kondisi yang mendasari. Sebagai bagian dari pendekatan yang dipergunakan manajemen, indikator yang ditentukan dalam paragraf 09 harus diprioritaskan sebagai indikator utama sebelum mempertimbangkan indikator di paragraf 10 dan 11 (HRD).