Saturday, December 26, 2009

Launching 19 Produk DSAK IAI pada peringatan Ultah IAI ke-52

Pada tanggal 23 Desember 2009, IAI genap berusia ke-52 tahun. Puncak peringatan hari ulang tahun IAI ini ditandai dengan “Penyerahan 19 Produk Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI” yang baru ditetapkan kepada Dewan Pengurus Nasional (DPN IAI).

Sembilan belas PSAK yang diumumkan kepada publik pada hari peringatan HUT IAI ini juga merupakan tonggak satu tahun pelaksanaan program konvergensi standar akuntansi Indonesia dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) pada tahun 2012 yang telah di-launching saat HUT IAI tahun 2008 lalu.

Sembilan belas produk DSAK, diantaranya adalah 10 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), 5 Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK), dan 4 Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK).

PSAK yang telah disahkan DSAK IAI adalah:

  1. PSAK 1 (revisi 2009): Penyajian Laporan Keuangan
  2. PSAK 2 (revisi 2009): Laporan Arus Kas
  3. PSAK 4 (revisi 2009): Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri
  4. PSAK 5 (revisi 2009): Segmen Operasi
  5. PSAK 12 (revisi 2009): Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama
  6. PSAK 15 (revisi 2009): Investasi Pada Entitas Asosiasi
  7. PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan
  8. PSAK 48 (revisi 2009): Penurunan Nilai Aset
  9. PSAK 57 (revisi 2009): Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi
  10. PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan
ISAK yang telah disahkan DSAK IAI:
  1. ISAK 7 (revisi 2009): Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus
  2. ISAK 9: Perubahan atas Liabilitas Purna Operasi, Liabilitas Restorasi, dan Liabilitas Serupa
  3. ISAK 10: Program Loyalitas Pelanggan
  4. ISAK 11: Distribusi Aset Nonkas Kepada Pemilik
  5. ISAK 12: Pengendalian Bersama Entitas: Kontribusi Nonmoneter oleh Venturer

PPSAK yang telah disahkan DSAK IAI:

  1. PPSAK 2: Pencabutan PSAK 41: Akuntansi Waran dan PSAK 43: Akuntansi Anjak Piutang
  2. PPSAK 3: Pencabutan PSAK 54: Akuntansi Restrukturisasi Utang Piutang bermasalah
  3. PPSAK 4: Pencabutan PSAK 31 (revisi 2000): Akuntansi Perbankan, PSAK 42: Akuntansi Perusahaan Efek, dan PSAK 49: Akuntansi Reksa Dana
  4. PPSAK 5: Pencabutan ISAK 06: Interpretasi atas Paragraf 12 dan 16 PSAK No. 55 (1999) tentang Instrumen Derivatif Melekat pada Kontrak dalam Mata Uang Asing

Pengesahan 19 produk DSAK IAI merupakan komitmen Indonesia sebagai salah satu negara G-20, kesepakatan Indonesia dalam G-20 yaitu konvergensi standar akuntansi keuangan di Indonesia dengan International Financial Reporting Standards ( IFRS) tahun 2012. Read more

Thursday, November 26, 2009

Dalam rangka konvergensi dengan IFRS, DSAK-IAI kembali melakukan public hearing

Dalam rangka menyelesaikan konvergensi IFRS 2012, DSAK-IAI (Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia) kembali melaksanakan public hearing 8 produk DSAK kemarin, 24 November 2009 di Jakarta. Delapan produk tersebut termasuk 4 buah PSAK yang mengacu ke standar akuntansi internasional IFRS/IAS (International Financial Reporting Standards/International Accounting Standard), 2 Interpretasi SAK (ISAK) dan 2 pernyataan pencabutan beberapa PSAK dan ISAK yang berpotensi overlapping dengan penerapan PSAK 50/55 tahun 2010. Rangkaian public hearing ini hanya berjarak kurang lebih sebulan dari public hearing akbar sebelumnya pada tanggal 13 Oktober lalu dimana DSAK-IAI memaparkan 12 produk DSAK yang dikeluarkan bersamaan.

Public hearing tersebut dihadiri 250 orang perwakilan dari BUMN, emiten, kantor akuntan publik dan akademisi. Salah satu peserta dari BUMN menyambut baik PSAK 10 Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing yang menyatakan bahwa mata uang pelaporan sedapat mungkin sama dengan mata uang fungsional. Di dalam PSAK 10 tidak disebutkan bahwa mata uang fungsional harus rupiah. BUMN tersebut di dalam kegiatan bisnis sehari-harinya lebih banyak menggunakan US Dolar daripada rupiah. Namun penggunaan mata uang fungsional selain rupiah terbentur dengan peraturan perpajakan yang mengatakan bahwa sebuah perusahaan harus mendapatkan ijin dari Departemen Keuangan apabila ingin memakan mata uang fungsional selain rupiah. BUMN tersebut sudah dua kali meminta ijin ke Departemen Keuangan namun tidak diluluskan.

Terkait dengan harmonisasi peraturan perpajakan dengan standar Akuntansi, Rosita Uli Sinaga sebagai ketua DSAK mengatakan bahwa hal tersebut memang sudah menjadi agenda kerja DSAK untuk melakukan pertemuan dengan otoritas pepajakan.

PSAK 4 mengenai laporan keuangan konsolidasian dan laporan keuangan tersendiri banyak mendapatkan tanggapan dari para peserta. PSAK 4 yang mengacu ke IAS 27 tidak mengadopsi keseluruhan persyaratan IAS 27. Di dalam IAS 27 perusahaan induk boleh tidak membuat laporan konsolidasi dan hanya membuat laporan keuangan tersendiri dengan beberapa persyaratan tertentu. Namun pilihan ini tidak diadopsi oleh DSAK, sehingga dalam PSAK 4 perusahaan induk boleh membuat laporan keuangan tersendiri namun laporan itu menjadi informasi tambahan di dalam laporan keuangan konsolidasi dan bukan laporan keuangan yang berdiri sendiri. Posisi yang diambil oleh DSAK ini mendapatkan pertanyaan apakah ini bukan berarti penyimpangan dari IFRS. Pendapat ini ditanggapi oleh Rosita bahwa keputusan ini tidak membuat Indonesia menyimpang dari IFRS karena Indonesia tidak bertentangan dengan IFRS namun hanya mengurangi pilihan yang diijinkan oleh IFRS. Dengan kata lain Indonesia malah menetapkan persyaratan yang lebih ketat dibandingkan dengan IFRS.

Rosita yang mempresentasikan PSAK 4 menjelaskan bahwa PSAK ini mensyaratkan perusahaan induk melakukan konsolidasi apabila perusahaan memiliki kontrol terhadap perusahaan anak dan bukan semata-mata dari persentase kepemilikan saham atas perusahaan anak. Sehingga dapat saja terjadi suatu perusahaan yang dimiliki beberapa perusahaan tidak dikonsolidasi oleh siapapun karena tidak ada satupun investor yang memiliki kontrol namun beberapa investor hanya memiliki pengaruh signifikan. Suatu perusahaan induk dapat pula tidak mengonsolidasi perusahaan anaknya walaupun memiliki kepemilikan lebih dari 50% bila terbukti perusahaan induk tersebut tidak memiliki kontrol terhadap perusahaan anak.

Salah satu anggota DSAK lain, Jumadi yang mempresentasi PSAK 48 Penurunan Nilai Aset juga menerangkan tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh perusahaan terkait dengan alokasi goodwill ke unit penghasil kas dan bagaimana cara melakukan penurunan nilainya. Menurut Jumadi PSAK 48 ini sangat berkaitan dengan PSAK 22 Kombinasi Bisnis yang juga direncanakan exposure draft revisinya akan keluar pada akhir tahun atau awal tahun ini.

Ahmadi Hadibroto, ketua Dewan Pengurus Nasional IAI menyampaikan bahwa konvergensi IFRS ini harus didukung oleh semua pihak mengingat akan banyak sekali PSAK baru yang akan dikeluarkan oleh DSAK-IAI sampai pertengahan tahun 2010. Ahmadi juga menambahkan bahwa IAI sudah membentuk Tim Implementasi IFRS yang akan membantu mensosialisasikan Exposure Draft yang sudah dikeluarkan DSAK serta untuk mengatasi permasalahan/isu yang terjadi di publik sehubungan dengan rencana implementasi IFRS 2012.

Public hearing ditutup dengan penegasan ketua DSAK, Rosita Uli Sinaga bahwa DSAK akan mensahkan exposure draft yang sudah dikeluarkan menjadi PSAK sebelum akhir tahun 2010 untuk berlaku efektif tahun 2011.

Untuk itu komentar dari publik ditunggu secepatnya agar DSAK dapat mempelajari masukan dan kesiapan publik dalam menerapkan standar-standar baru tersebut. Rosita juga menambahkan bahwa DSAK-IAI kemungkinan besar akan melaksanakan satu public hearing lagi pada pertengahan bulan Desember nanti.

Materi public hearing tersebut dapat didownload di sini

Source : Website IAI

Tuesday, November 17, 2009

Pembentukan Tim Implementasi IFRS IAI

(www.iaiglobal.or.id – 16 November 2009) : Sebagai anggota dari International Federation of Accountants (IFAC), IAI telah memberikan komitmen untuk melakukan konvergensi standar akuntansi Indonesia dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) pada tahun 2012. Untuk mempercepat proses konvergensi IFRS inilah, IAI membentuk tim khusus untuk mendukung Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI. Tim Implementasi IFRS IAI yang baru dibentuk ini berjumlah dua belas orang yang diketuai oleh Dudi M. Kurniawan.

Susunan lengkap anggota tim implementasi IFRS IAI adalah:

  1. Dudi M. Kurniawan (PwC)-Ketua Tim
  2. Basar Alhuenius (Deloitte)
  3. Chaerul Djakman (UI)
  4. Dwi Martani (UI)
  5. Eddy Indradi (PwC)
  6. Godang Parulian (KAP Heliantono & Rekan)
  7. Herwan Ng (Rio Tinto)
  8. Hendang Tanusdjaja (KAP Trisno, Hendang, Adams & Partner)
  9. Lianny Leo (KAP Drs. Mulyamin Sensi Suryanto)
  10. Ratna Wijaya (KPMG)
  11. Tjoa Tjek Nie (Ernst & Young)
  12. Michelle Bernardi (KAP Drs. Bernardi & Co)

Tim ini akan bertugas untuk meningkatkan pemahaman publik mengenai IFRS serta PSAK lainnya dalam rangka persiapan implementasi program konvergensi IFRS IAI melalui kegiatan sosialisasi, diskusi, diseminasi, pendidikan dan pelatihan, serta kegiatan lainnya. Tim juga akan melakukan penelitian dan pengkajian untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan dalam rangka implementasi program konvergensi IFRS IAI.

Banyaknya isu, konsultasi, dan permasalahan dalam rangka persiapan dan implementasi program konvergensi IFRS IAI juga menjadi salah satu alasan dibentuknya tim ini, sehingga Tim dapat memberikan masukan kepada Dewan Pengurus Nasional (DPN), Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK) dan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI dalam rangka menyikapi tanggapan dan permasalahan yang ditemui publik tersebut.

Dengan terbentuknya tim ini, diharapkan program konvergensi IFRS yang telah dicanangkan IAI dapat berjalan dan selesai tepat pada waktunya.

Sumber : www.iaiglobal.or.id

Monday, November 9, 2009

DSAK IAI kembali menerbitkan delapan ED produk DSAK berupa PSAK, PPSAK dan ISAK

Informasi yang saya peroleh melalui milis Forkap beberapa saat yang lalu, bahwa sejak 3 Nopember 2009, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI) kembali mengesahkan 8 Exposure Draft (ED) produk DSAK.

Sebelumnya DSAK IAI telah mengesahkan dan melaksanakan public hearing atas 12 ED produk DSAK pada tanggal 13 Oktober 2009 lalu.

Banyaknya ED yang disahkan ini merupakan pelaksanaan program konvergensi IFRS 2012 yang sedang dilaksanakan IAI.

Delapan ED yang baru disahkan oleh DSAK IAI adalah sebagai berikut:

  1. ED PSAK 10 (revisi 2009): Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing
  2. ED ISAK 13: Lindung Nilai Investasi Neto dalam Kegiatan Usaha Luar Negeri
  3. ED PPSAK No. 4: Pencabutan PSAK 31 (2000): Akuntansi Perbankan, PSAK 42: Akuntansi Perusahaan Efek, dan PSAK 49: Akuntansi Reksa Dana
  4. ED PPSAK No. 5: Pencabutan ISAK 06: Interpretasi atas Paragraf 12 dan 16
    PSAK NO. 55 (1999) Tentang Instrumen Derivatif Melekat Pada Kontrak Dalam Mata Uang Asing
  5. ED PSAK 48 (revisi 2009): Penurunan Nilai Aset.
  6. ED PSAK 4: Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri
  7. ED PSAK 2: Laporan Arus Kas
  8. ED ISAK 7: Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus

File ED tersebut dapat didownload di website IAI pada menu Prinsip Akuntansi atau silakan klik link berikut http://www.iaigloba l.or.id/prinsip_ akuntansi/ exposure. php

Penyebaran ED ini merupakan bagian dari due process procedure penyusunan PSAK yang berujuan untuk mendapatkan masukan dari publik sebelum menjadi PSAK. Saran dan masukkan dari publik terkait dengan penerbitan eksposure draft diharapkan dapat disampaikan kepada DSAK IAI sesuai batas waktu yang tercantum dalam ED, yaitu bervariasi pada bulan Desember 2009 serta Januari 2010.

Selanjutnya DSAK IAI akan melaksanakan Public Hearing untuk menyampaikan materi ED kepada seluruh stakeholders IAI serta mendapatkan masukan dari berbagai pihak.
Public Hearing Eksposure Draft PSAK, ISAK dan PPSAK akan diadakan pada hari Selasa, 24 Nopember 2009, Pukul 14.00-17.00. bertempat di Financial Hall, Graha Niaga, Jakarta.

Bagi publik yang berminat menghadiri public hearing dapat mengisi file undangan yang bisa didownload pada file dibawah ini, dan menyampaikan konfirmasinya kepada IAI.

Friday, November 6, 2009

ED Standar Pengendalian Mutu No. 1 dan Panduan Pengendalian Mutu bagi KAP

Pada tanggal 4 Nopember 2009 kemarin, IAPI telah mengumumkan penerbitan Exposure Draft (ED) Standar Pengendalian Mutu No. 1 dan ED Panduan Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik.

Dewan Standar Profesi – Institut Akuntan Publik Indonesia (DSP-IAPI) telah menyelesaikan penyusunan exposure draft Standar Pengendalian Mutu No. 1 tentang Pengendalian Mutu bagi Kantor Akuntan Publik yang Melaksanakan Perikatan Assurance (Audit, Review, dan Perikatan Assurance Lainnya) dan Perikatan selain Assurance (terlampir).

Selain daripada itu, untuk memberikan kemudahan bagi akuntan publik dalam menerapkan SPM No. 1, Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai – Departemen Keuangan (PPAJP-Depkeu) bekerjasama dengan IAPI telah menyelesaikan penyusunan Exposure Draft Panduan Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik (terlampir).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami mempublikasikan exposure draft SPM No. 1 dan Panduan Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik tersebut melalui :

1.  Mailing List; dan

2.  Website IAPI : www.iapi.or.id

Demikian antara lain bunyi pengumuman di situs resmi IAPI.

Softocopy ED tersebut serta Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca di situs IAPI melalui link berikut ini.

Wednesday, September 30, 2009

DSAK mengeluarkan ED 6 PSAK, 4 ISAK, dan 2 PPSAK

Dipublikasikan di website IAI pada tanggal 15 September 2009 kemarin.

DSAK IAI telah mengesahkan 6 Eksposure Draft PSAK:

1. PSAK 5 (revisi 2009): Segmen Operasi

2. PSAK 15 (revisi 2009): Investasi pada Entitas Asosiasi

3. PSAK 12 (revisi 2009): Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama

4. PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan

5. PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan

6. PSAK 57 (revisi 2009): Kewajiban Diestimasi, Kewajiban Kontinjensi dan Aset Kontinjensi

Sedangkan 4 (empat) Eksposure Draft ISAK yang disahkan sebagai berikut:

1. ISAK 09: Perubahan atas Kewajiban Aktivitas Purna Operasi, Restorasi dan Kewajiban Serupa

2. ISAK 10: Program Loyalitas Pelanggan

3. ISAK 11: Distribusi Aset Nonkas Kepada Pemilik

4. ISAK 12: Pengendalian Bersama Entitas: Kontribusi Nonmoneter oleh Venturer

Selain itu, juga disahkan 2 (dua) Eksposure Draft PPSAK:

1. PPSAK 3: Pencabutan PSAK 41 : Akuntansi Waran dan PSAK 43: Akuntansi Anjak Piutang

2. PPSAK 4: Pencabutan PSAK 54: Akuntansi Restrukturisasi Utang-Piutang Bermasalah

Disahkannya 6 ED PSAK, 4 ED ISAK, dan 2 ED PPSAK merupakan program konvergensi IFRS yang sedang dilaksanakan DSAK saat ini.

Untuk mendownload file-file Eksposure Draft PSAK, ISAK, dan PPSAK silakan klik link berikut : http://www.iaiglobal.or.id/prinsip_akuntansi/exposure.php

Undangan Public Hearing akan dilaksanakan pada hari Selasa, 13 Oktober 2009 mulai pukul 09.00 – 15.00 WIB bertempat di Financial Hall, Lt. 2, Graha Niaga.

Tanggapana tertulis atas draft ini paling lambat diterima tanggal 30 Nopember 2009.

Sumber : Website IAI.

Wednesday, July 22, 2009

Penerbitan PPSAK No. 1 tentang Pencabutan PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37

Pada tanggal 31 Maret 2009 kemarin (baca posting saya sebelumnya : Rencana Penarikan PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37), DSAK-IAI telah mengumumkan rencana penarikan atas PSAK 32 : Akuntansi Kehutanan, PSAK 35 : Akuntansi Pendapatan Jasa Telekomunikasi, dan PSAK 37 : Akuntansi Penyelenggaraan Jalan Tol.

Selanjutnya, pada tanggal 16 Juni 2009, DSAK-IAI telah menerbitkan Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) No. 1 tentang Pencabutan PSAK 32 : Akuntansi Kehutanan, PSAK 35 : Akuntansi Pendapatan Jasa Telekomunikasi dan PSAK 37 : Akuntansi Penyelenggaraan Jalan Tol.

Adapun dasar pertimbangan pencabutan PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37 seperti yang dijelaskan dalam paragraf 05 PPSAK No. 1 tersebut adalah :

(1) Dampak dari konvergensi ke standar akuntansi internasional (International Reporting Standard atau IFRS) yang mengakibatkan perlunya pencabutan PSAK untuk suatu industri tertentu yang sudah ada pengaturannya dalam PSAK lain yang mengacu ke IFRS.

(2) Adanya inkonsistensi antara pengaturan dalam PSAK 32, 35 dan 37 dengan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dan PSAK lain.

(3) Adanya tumpang tindih pengaturan dalam PSAK 32, 35 dan 37 dengan PSAK lain untuk suatu transaksi dan peristiwa lainnya.

(4) Adanya perubahan konsep atau peraturan yang menjadi dasar penyusunan PSAK untuk suatu industri tertentu sehingga pengaturan dalam PSAK tersebut tidak sesuai dengan konsep atau peraturan yang ada sekarang.

Dalam Paragraf 06 PPSAK No. 1 tersebut diatur bahwa PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37 dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal efektif Pernyataan ini.

Pernyataan ini berlaku untuk semua entitas yang menerapkan PSAK 32, PSAK 35 atau PSAK 37 (par. 07).

Pengaturan untuk transaksi dan peristiwa lainnya yang ada dalam PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37 mengacu ke PSAK lain yang relevan (par. 08).

Lebih lanjut dalam Paragraf 09 diatur bahwa Pernyataan ini diterapkan secara prospektif untuk transaksi dan peristiwa lainnya yang terjadi setelah tanggal efektif.

Untuk meningkatkan daya banding, maka entitas dianjurkan untuk menyajikan kembali laporan keuangan sajian untuk periode yang berakhir sebelum tanggal efektif. Dampak penerapan Pernyataan untuk periode sebelum periode sajian diakui dalam saldo laba awal periode sajian paling awal (par. 10).

Pencabutan PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37 berlaku efektif untuk periode pelaporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2010. Penerapan dini diperkenankan (Par. 11).

Adapun PPSAK No. 1 tersebut dapat didownload di situs IAI di sini >>

Thursday, July 16, 2009

Standar Akuntansi Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP)

Berikut ini isi dari berita di situs IAI dengan judul “Peluncuran Standar Akuntansi Syariah dan Standar Akuntansi ETAP (Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik)” yang dipublikasikan pada tanggal 15 Juli 2009.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akan meluncurkan standar akuntansi syariáh dalam tiga bahasa serta standar akuntansi ETAP (SAK ETAP) di dalam acara Seminar Nasional Akuntansi “Tiga pilar Standar Akuntansi Indonesia” yang dilaksanakan oleh Universitas Brawijaya dan Ikatan Akuntan Indonesia di kota Malang pada tanggal 17-18 Juli 2009.

Hadir di dalam seminar tersebut ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI, Ahmadi Hadibroto, Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), M. Jusuf Wibisana dan anggota-anggota DSAK lainnya.

Bertindak sebagai keynote speaker Deputi Gubernur Bank Indonesia, Muliaman Hadad yang menyampaikan materi mengenai Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) dan Pengembangan SAK Syariah di Indonesia, serta Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan, Dr. A. Fuad Rahmany yang juga akan memberikan keynote speech untuk membahas strategi menempatkan Indonesia dalam pusaran pasar uang dan pasar modal global melalui konvergensi IFRS.

Seminar ini akan ditutup dengan pembahasan berbagai pemikiran strategis IAI tentang standar akuntansi Indonesia masa depan sebagai persembahan IAI dalam pembangunan ekonomi berbasis transparansi dan akuntabilitas.

“Standar Akuntansi untuk Entitas tanpa akuntabilitas publik akan membantu perusahaan kecil menengah dalam menyediakan pelaporan keuangan yang tetap relevan dan andal dengan tanpa terjebak dalam kerumitan standar berbasis IFRS yang akan kita adopsi di dalam Standar Akuntansi PSAK kita. Proses harmonisasi IFRS dan PSAK kita harapkan akan selesai pada tahun 2012 “ demikian ungkap ketua DSAK, M. Jusuf Wibisana. “SAK ETAP ini akan khusus digunakan untuk perusahaan tanpa akuntanbilitas publik yang signifikan. Perusahaan yang terdaftar di dalam bursa efek dan yang memiliki akuntabilitas publik signifikan tetap harus menggunakan PSAK kita yang umum. SAK ETAP ini akan mulai diberlakukan pada tahun 2011 namun penerapan lebih awal di 2010 diperbolehkan” Ujar ketua DPN IAI, Ahmadi Hadibroto.

Standar akuntansi syariáh akan diluncurkan dalam tiga bahasa yakni bahasa Indonesia, Inggris dan bahasa Arab. Standar ini diharapkan dapat mendukung industri keuangan syariáh yang semakin berkembang di Indonesia. Dengan diluncurkannya dua standar tersebut, maka standar akuntansi di Indonesia menjadi lengkap dengan tiga pilar standar akuntansi yakni SAK (Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku umum), SAK ETAP dan SAK Syariáh.

Khusus untuk rencana penerbitan Standar Akuntansi untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP) ini menurut saya mengikuti penerbitan IFRS for Small and Medium-sized Entities oleh IASB pada tanggal 9 July 2009 kemarin (baca di sini)

Friday, May 8, 2009

ED PSAK No. 1 (revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan

Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI pada tanggal 21 April 2009 kemarin telah menyetujui Exposure Draft (ED) PSAK 1 (revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan untuk disebarluaskan dan ditanggapi oleh kalangan anggota IAI, Dewan Konsultatif SAK, Dewan Pengurus Nasional IAI, perguruan tinggi dan individu/organisasi/lembaga lain yang berminat.

ED PSAK 1 (Revisi 2009) : Penyajian Laporan Keuangan ini yang merupakan adopsi dari IAS 1 : Presentation of Financial Statements merevisi PSAK 1 (1998) : Penyajian Laporan Keuangan.

Secara umum perbedaan ED PSAK 1 (Revisi 2009) dengan PSAK 1 (Revisi 1998) diantaranya adalah sebagai berikut :

1. ED PSAK 1 (Revisi 2009) mengadopsi IAS 1 Presentation of Financial Statements (2009) sedangkan PSAK 1 (Revisi 1998) mengadopsi IAS 1 Disclosure of Accounting Policies (1997).

2. Penggantian istilah “Kewajiban” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “Liabilitas” pada ED PSAK 1 (Revisi 2009).

3. Pada ED PSAK 1 (revisi 2009) terdapat definisi istilah yang digunakan, yaitu laporan keuangan untuk tujuan umum, tidak praktis, standar akuntansi keuangan, material, catatan atas laporan keuangan, penghasilan komprehensif lain, pemilik, laba atau rugi sedangkan pada PSAK 1 (1998) tidak terdapat definisi istilah yang digunakan.

4. Menurut ED PSAK 1 (revisi 2009), informasi yang disajikan dalam laporan keuangan meliputi : Aset, Liabilitas, Ekuitas, Pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, Kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik serta Arus kas sedangkan menurut PSAK 1 (1998), informasi yang disajikan dalam laporan keuangan meliputi : Aset, Kewajiban, Ekuitas, Pendapatan dan beban serta Arus Kas.

5. Mengenai tanggung jawab atas laporan keuangan, ED PSAK 1 (revisi 2009) tidak mengatur mengenai pihak yang bertanggung jawab atas laporan keuangan, sedangkan PSAK 1 (1998) mengatur bahwa manajemen bertanggung jawab atas laporan keuangan.

6. ED PSAK 1 (revisi 2009) mengatur mengenai komponen laporan keuangan yang lengkap yaitu : (a) Laporan posisi keuangan (neraca), (b) Laporan laba rugi komprehensif, (c) Laporan perubahan ekuitas, (d) Laporan arus kas, (e) Catatan atas laporan keuangan, (f) Laporan posisi keuangan awal periode komparatif sajian akibat penerapan retrospektif, penyajian kembali, atau reklasifikasi pos-pos laporan keuangan, sedangkan PSAK 1 (1998) mengatur mengenai komponen laporan keuangan yang lengkap meliputi : (a) Neraca, (b) Laporan laba rugi, (c) Laporan perubahan ekuitas, (d) Laporan arus kas serta (e) Catatan atas laporan keuangan.

7. Mengenai Kepatuhan terhadap SAK, ED PSAK 1 (revisi 2009) mengatur bahwa entitas membuat pernyataan kepatuhan atas SAK dalam laporan keuangan, sedangkan PSAK 1 (1998) tidak mengatur mengenai laporan keuangan yang harus memuat pernyataan kepatuhan entitas atas SAK.

8. ED PSAK 1 (revisi 2009) mengatur bahwa penyimpangan dari suatu PSAK diijinkan jika kepatuhan atas PSAK tersebut bertentangan dengan tujuan laporan keuangan dalam KDPPLK, sedangkan PSAK 1 (1998) tidak mengatur mengenai penyimpangan dari suatu PSAK.

9. ED PSAK 1 (revisi 2009) tidak mengatur mengenai bagaiman memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi ketika tidak diatur dalam suatu PSAK. Hal tersebut akan diatur dalam PSAK 25, jika PSAK 25 sudah mengadopsi IAS 8 terkini. Sedangkan PSAK 1 (1998) mencantumkan pengaturan bagaimana memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi ketika tidak diatur dalam suatu PSAK.

10. ED PSAK 1 (revisi 2009) tidak mengatur kapan entitas sebaiknya mengeluarkan laporan keuangan, sedangkan PSAK 1 (1998) mengatur bahwa entitas sebaiknya mengeluarkan laporan keuangan paling lama 4 bulan setelah tanggal neraca.

11. ED PSAK 1 (revisi 2009) tidak lagi memperkenankan penggunaan istilah “Pos Luar Biasa”, sedangkan PSAK 1 (1998) masih memperkenankan penggunaan istilah tersebut.

Perbedaan ED PSAK 1 (revisi 2009) dengan PSAK 1 (revisi 1998) selengkapnya dapat dibaca pada ED PSAK 1 (revisi 2009) yang telah diterbitkan IAI dan dapat di-download melalui website resmi IAI di sini >>

Tanggapan tertulis atas ED PSAK 1 (revisi 2009) ini paling lambat diterima pada tanggal 30 September 2009. Tanggapan dapat dikirimkan ke : Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia, Jl. Sindanglaya No. 1, Menteng, Jakarta 10310, Fax : 62-21 724-5078, Email : iai-info@iaiglobal.or.id.

Saturday, May 2, 2009

Penghapusan Sanksi Administrasi bagi WP Orang Pribadi yang terlambat lapor SPT Tahunan

Harian Bisnis Indonesia terbitan tanggal 1 Mei 2009 kemarin memberitakan bahwa :

Ketentuan mengenai penghapusan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh Wajib Pajak (WP) orang pribadi (OP), sudah bisa dilaksanakan. Dirjen Pajak Darmin Nasution dalam surat 27 April 2009 No. S-128/PJ/2009, telah memberikan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk melaksanakan ketentuan itu. "Terhadap WP orang pribadi baru yang terlambat menyampaikan SPT yaitu menyampaikan SPT PPh OP tahun pajak 2008 dalam jangka waktu 1 April 2009 sampai dengan 31 Desember 2009, sanksi administrasi berupa denda dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan secara jabatan," kata Darmin dalam surat itu yang diterima Bisnis, kemarin.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU KUP (UU No. 28 tahun 2007) diatur bahwa :

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN, Rp 100.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp 1.000.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Badan serta sebesar Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi.

Melalui Surat No. S-128/PJ/2009 tanggal 27 April 2009 tersebut, Dirjen Pajak menyampaikan latar belakang kebijakan penghapusan sanksi administrasi tersebut bahwa dalam rangka pelaksanaan hak dan pemenuhan  kewajiban perpajakan, masih banyak Wajib Pajak, khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) baru yaitu WP OP yang memperoleh NPWP sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009, belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Disamping itu, sebagian WP juga belum menerima bukti pemotongan PPh 21 (Formulir 1721 A1 atau Formulir 1721 A2) dari pemberi kerja. Hal ini menyebabkan masih banyak WP OP tersebut belum menyampaikan SPT Tahunan PPh WP OP sesuai dengan batas waktu yang ditentukan (31 Maret 2009).

Dalam Surat No. S-128/PJ/2009 tersebut, Dirjen Pajak menegaskan (dalam angka 2) bahwa terhadap WP OP baru yang terlambat menyampaikan SPT yaitu menyampaikan SPT Tahunan PPh OP tahun pajak 2008 dalam jangka waktu tanggal 1 April 2009 sampai dengan 31 Desember 2009, berdasarkan kuasa Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP, sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU KUP dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan secara jabatan.

Selanjutnya, dalam angka 3 disampaikan bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan STP atas keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh OP sebagaimana dimaksud pada angka 2 agar mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak atasannya untuk dapat menghapuskan sanksi tersebut secara jabatan.

Bahan referensi lainnya : baca di sini >>

Wednesday, April 15, 2009

Kapan Jatuh Tempo Pembayaran PPh 29 Tahun Pajak 2008 ?

Kapan batas akhir pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29 untuk tahun pajak 2008 ? Mungkin ini yang menjadi pertanyaan kita berkaitan dengan akan berakhirnya jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Wajib Pajak Badan pada 30 April 2009 nanti.

Kalau tahun-tahun sebelumnya, kita semua sudah tahu bahwa batas akhir pembayaran PPh pasal 29 Kurang Bayar adalah pada tanggal 25 Maret sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) yang menyatakan bahwa :

Apabila pajak yang terutang untuk suatu Tahun Pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke-tiga setelah Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) disampaikan.

Lihat juga ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 (UU KUP) yang menyatakan bahwa :

Apabila pada waktu pengisian SPT PPh ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum SPT Tahunan PPh itu disampaikan.  Misalnya, SPT Tahunan PPh harus disampaikan tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau setoran akhir harus sudah dilunasi paling lambat tanggal 25 Maret, sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.

Sedangkan berdasarkan UU Pajak yang berlaku untuk tahun pajak 2008, yaitu UU No. 28 Tahun 2007 (UU KUP), dalam Pasal 9 ayat (2) diatur bahwa :

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Artinya adalah bahwa untuk tahun pajak 2008, jika sekiranya ada kekurangan pembayaran PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh (baik untuk WP Orang Pribadi maupun untuk WP Badan), harus sudah dilunasi sebelum SPT Tahunan disampaikan, paling lama sesuai dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut.

Misalnya, untuk WP Orang Pribadi, sesuai dengan ketentuan dalam UU Pajak batas akhir penyampaian SPT Tahunan adalah 31 Maret, jika sekiranya SPT Tahunan disampaikan pada tanggal 31 Maret maka pelunasan hutang PPh 29 dapat dilakukan juga pada tanggal 31 Maret, dengan ketentuan harus sudah lunas sebelum SPT Tahunan disampaikan. Demikian juga halnya untuk WP Badan, jika sekiranya SPT Tahunan disampaikan pada tanggal 30 April, maka pembayaran hutang PPh 29 kurang bayar dapat dilakukan pada tanggal 30 April juga.

Referensi :

  1. Surat Dirjen Pajak : S-141/PJ.02/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 tentang Permohonan Penegasan Mengenai SPT PPh Badan Tahun 2008
  2. Surat Edaran Dirjen Pajak : SE-35/PJ/2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang Penegasan Mengenai Batas Waktu Penyampaian dan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak yang Terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008;

Wednesday, April 1, 2009

Rencana penarikan PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37

Selain pengumuman penerbitan PSAK 26 (Revisi 2008) Biaya Pinjaman yang menggantikan PSAK 26 (1997) Biaya Pinjaman, DSAK-IAI pada tanggal 31 Maret 2009 kemarin juga mengumumkan "Rencana penarikan atas PSAK 32 : Akuntansi Kehutanan, PSAK 35 : Akuntansi Pendapatan Jasa Telekomunikasi, dan PSAK 37 : Akuntansi Penyelenggaraan Jalan Tol".

Adapun alasan DSAK-IAI berkaitan dengan rencana penarikan beberapa PSAK tersebut adalah :

1)  Program konvergensi ke IFRS yang akan diterapkan secara penuh pada tahun 2012;

2)  Pengaturan akuntansi dalam PSAK 32, PSAK 35, dan PSAK 37 telah diatur dalam PSAK-PSAK lain;

3)  PSAK akan mengatur perlakuan akuntansi atas transaksi bukan didasarkan pada jenis industri dan bersifat principle-based.

Ketentuan Transisi

Penarikan PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37 diterapkan secara prospektif. Penerapan retrospektif diperkenankan.

Tanggal Efektif

Penarikan PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37 berlaku untuk laporan keuangan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2010. Penerapan lebih dini diperkenankan.

Public Hearing

Public Hearing atas rencana penarikan PSAK 32, PSAK 35 dan PSAK 37 akan dilakukan pada :

Hari/tanggal : Selasa/28 April 2009, Pukul : 14.00 s.d 17.00 WIB bertempat di Auditorium Binakarna Lt. 1, Hotel Bumi Karsa Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 71-73 Jakarta Selatan.

Adapun formulir pendaftaran public hearing tersebut dapat diunduh di website IAI di sini >>

DSAK IAI telah menerbitkan PSAK 26 (Revisi 2008) Biaya Pinjaman

Pada tanggal 31 Maret 2009 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) - Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengumumkan penerbitan PSAK 26 (Revisi 2008) Biaya Pinjaman menggantikan PSAK 26 (1997).

Adapun PSAK 26 (Revisi 2008) ini telah mengadopsi seluruh IAS 23 (2007) Borrowing Costs, kecuali untuk beberapa paragraf tertentu.

Berikut ini kutipan dari website IAI tersebut (klik di sini untuk membaca langsung dari website resmi IAI)

PSAK 26 (Revisi 2008) Biaya Pinjaman ini disahkan pada tanggal 16 September 2008. PSAK ini menggantikan PSAK 26 (1997) Biaya Pinjaman yang telah dikeluarkan DSAK IAI sejak 14 Januari 1997.

Pernyataan ini mengatur akuntansi untuk biaya pinjaman yang dapat diatribusikan secara langsung dengan perolehan, konstruksi, atau pembuatan aset kualifikasian dikapitalisasi sebagai bagian biaya perolehan aset tersebut. Untuk biaya pinjaman lain diakui sebagai beban.

Tanggal efektif berlakunya PSAK 26 (Revisi 2008) Biaya Pinjaman dimulai 1 Januari 2010. Namun, jika diterapkan lebih dini sebelum tanggal efektif 1 Januari 2010, maka fakta tersebut harus diungkapkan.

PSAK 26 (Revisi 2008) Biaya Pinjaman mengadopsi seluruh IAS 23 (2007) Borrowing Costs, kecuali untuk beberapa paragraf berikut :

1) IAS 23 paragraf 4 yang menjadi PSAK 26 paragraf 4, dimana menghilangkan paragraf 4(a) pada IAS 23 tentang pengecualian penerapan PSAK 26 untuk aset kualifikasian yang diukur pada nilai wajar, seperti aset biolojik, karena IAS 41 : Agriculture belum diadopsi ke PSAK lain yang ada.

2) IAS 23 paragraf 9 yang menjadi PSAK 26 paragraf 9, dimana menghilangkan kalimat terakhir pada paragraf 9 IAS 23 tentang pelaporan keuangan dalam ekonomi berinflasi tinggi, karena IAS 29 : Financial Reporting in Hyperinflationary Economies belum diadopsi ke PSAK lain yang ada.

3) IAS 23 paragraf 18 yang menjadi PSAK 26 paragraf 18, dimana menghilangkan kalimat tentang perlakuan akuntansi untuk penerimaan hibah pemerintah, karena IAS 20 : Accounting for Government Grants and Disclosure of Government Assistance belum diadopsi ke PSAK lain yang ada.

4) IAS 23 paragraf 27 dan 28 tentang ketentuan transisi dihilangkan, karena PSAK 26 (Revisi 2008) yang menggantikan PSAK 26 (1997) tidak mengakibatkan perubahan kebijakan akuntansi untuk kapitalisasi biaya pinjaman.

Hal ini berbeda dengan IAS 23 (1993) yang memberikan alternatif untuk mengkapitalisasi atau membebankan biaya pinjaman yang dapat diatribusikan secara langsung dengan perolehan, konstruksi, atau pembuatan aset kualifikasian (qualifying assets). Sementara PSAK 26 (1997) mengatur untuk mengkapitalisasi biaya pinjaman tersebut, dan hal ini sesuai dengan pengaturan dalam PSAK 26 (Revisi 2008).

Demikian isi pengumuman DSAK IAI pada tanggal 31 Maret 2009 tersebut.

Thursday, March 12, 2009

Krisis Finansial Global, bagaimana dampaknya terhadap opini auditor ?

Dewan Standar Profesi Institut Akuntan Publik Indonesia (DSP IAPI) telah menerbitkan Interpretasi Pernyataan Standar Auditing (IPSA) No. 30.02 "Pertimbangan Auditor atas Kemampuan Entitas dalam Mempertahankan Kelangsungan Hidupnya : Interpretasi atas Pernyataan Standar Auditing No. 30."

Menurut saya, IPSA No. 30.02 ini diterbitkan sebagai guideline bagi auditor berkaitan dengan krisis finansial global yang terjadi saat ini yang mengancam perekonomian dunia serta berdampak cukup signifikan terhadap kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Sebelumnya, mungkin kita masih ingat dengan krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 yang berdampak terhadap memburuknya kondisi ekonomi Indonesia dan wilayah regional Asia Pasifik pada umumnya, sehingga sebagai pedoman bagi auditor dalam pemberian opini, saat itu Komite Standar Profesional Akuntan Publik - Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan IPSA No. 30.01 "Laporan Auditor Independen tentang Dampak Memburuknya Kondisi Ekonomi Indonesia terhadap Kelangsungan Hidup Entitas."

Adapun penerbitan IPSA No. 30.02 ini adalah sebagai pengganti dari IPSA No. 30.01 yang dianggap sudah tidak relevan lagi untuk dapat diterapkan pada kondisi perekonomian dan dunia usaha saat ini.

Ada beberapa isu yang dibahas dalam IPSA No. 30.02 tersebut, yaitu :

  1. Isu 1 mengenai Relevansi dan keterterapan IPSA No. 30.01
  2. Isu 2 mengenai Pertimbangan auditor atas laporan keuangan
  3. Isu 3 mengenai Dokumentasi audit
  4. Isu 4 mengenai Laporan auditor yang tidak menyatakan pendapat
  5. Isu 5 mengenai Contoh laporan auditor yang terkait dengan ketidakpastian atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selama jangka waktu pantas

IPSA No. 30.02 ini berlaku efektif untuk laporan auditor yang diterbitkan sejak tanggal 1 April 2009. Penerapan lebih awal sebelum tanggal efektif pemberlakuan IPSA 30.02 diperbolehkan.

Seiring dengan dikeluarkannya IPSA 30.02, IPSA 30.01 dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali pada masa transisi pemberlakuan secara efektif IPSA 30.02.

IPSA No. 30.02 ini dapat didownload di website IAPI di sini >>

Friday, March 6, 2009

Penghasilan maksimal Rp 5 Juta per bulan, dapat tunjangan PPh dari Pemerintah

Dasar Peraturan Perpajakan :

(1) Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja pada Kategori Usaha Tertentu

(2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-22/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja pada Pemberi Kerja yang Berusaha pada Kategori Usaha Tertentu

Dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja, pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2009.

PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu dengan jumlah penghasilan bruto di atas PTKP dan tidak lebih dari Rp 5 Juta dalam satu bulan.

Pengaturan lebih lanjut dalam PerMenKeu No. 43 thn 2009 tersebut sebagai berikut :

Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas PTKP dan tidak lebih dari Rp 5 Juta dalam satu bulan (Pasal 2).

Pasal 3 mengatur bahwa kategori usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :

a. Kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan;

b. Kategori usaha perikanan, dan

c. Kategori usaha industry pengolahan

yang rinciannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebesar PPh 21 yang terutang atas penghasilan pekerja (Pasal 4).

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (3 Maret 2009) sampai dengan tanggal 31 Desember 2009 (Pasal 6).

Sedangkan berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-22/PJ/2009 tanggal 4 Maret 2009 sebagai peraturan pelaksanaan atas PMK No. 43 thn 2009 mengatur antara lain :

PASAL 2

(1) PPh 21 DTP wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja

(2) Dalam hal pelaksanaan kewajiban pemotongan PPh 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan pemberi kerja : (a) memberikan tunjangan PPh 21 kepada pekerja; atau (b) menanggung PPh 21 yang terutang atas penghasilan pekerja, maka PPh 21 yang ditunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan kepada pekerja yang mendapat PPh 21 DTP.

PASAL 3

(1) Pemberi kerja wajib menyampaikan realisasi pembayaran PPh 21 DTP kepada Kepala KPP dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Dirjen Pajak ini.

(2) Atas PPh 21 DTP wajib dibuatkan Surat Setoran Pajak yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 43/PMK.03/2009” oleh pemberi kerja.

(3) Formulir dan SSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilampirkan dalam SPT Masa PPh 21 pada Masa Pajak yang sama.

PASAL 4

(1) Pemberi Kerja wajib memberikan bukti pemotongan PPh 21 DTP sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

(2) PPh 21 DTP dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang atas seluruh penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tahun pajak 2009.

PASAL 6

PPh 21 DTP berlaku untuk PPh 21 yang terutang untuk Masa Pajak Pebruari 2009 s/d Masa Pajak November 2009 dan dilaporkan paling lama tanggal 20 Desember 2009.

PASAL 7

Peraturan Dirjen Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (4 Maret 2009) sampai dengan tanggal 31 Desember 2009.

Kedua peraturan pajak tersebut dapat didownload di situs Direktorat Jenderal Pajak >> (ukuran file-nya lumayan besar lho) (Hrd) ***

Tuesday, February 17, 2009

Program Konvergensi IFRS tahun 2009

Pada tanggal 15 Pebruari 2009 kemarin, Ikatan Akuntan Indonesia melalui situs resminya di :  www. iaiglobal.or.id telah menginformasikan program konvergensi IFRS tahun 2009.

Dalam rangka mencapai program konvergensi IFRS secara penuh pada tahun 2012, maka Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) mengagendakan untuk mengadopsi 18 IFRS/IAS di tahun 2009, yaitu:

  1. IFRS 2 Share-based payment
  2. IFRS 3 Business combination
  3. IFRS 4 Insurance contracts
  4. IFRS 5 Non-current assets held for sale and discontinued operations
  5. IFRS 6 Exploration for and evaluation of mineral resources
  6. IFRS 7 Financial instruments: disclosures
  7. IFRS 8 Segment reporting
  8. IAS 1 Presentation of financial statements
  9. IAS 8 Accounting policies, changes in accounting estimates
  10. IAS 12 Income taxes
  11. IAS 21 The effects of changes in foreign exchange rates
  12. IAS 26 Accounting and reporting by retirement benefit plans
  13. IAS 27 Consolidated and separate financial statements
  14. IAS 28 Investments in associates
  15. IAS 31 Interests in joint ventures
  16. IAS 36 Impairment of assets
  17. IAS 37 Provisions, contingent liabilities and contingent assets
  18. IAS 38 Intangible assets

Untuk merealisasikan program tersebut, DSAK telah membentuk empat tim kerja yang bertugas menyusun draft awal standar. Tim ini akan melibatkan partisipasi berbagai kalangan termasuk akademisi, praktisi dan regulator. Pencapaian dan pembahasan PSAK  tiap tim kerja akan senantiasa dikoordinasikan kepada seluruh anggota DSAK secara rutin dan komprehensif. Pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan IFRS/IAS yang akan diadopsi juga akan dilibatkan.

Untuk itu, sedang disusun program kerja teknis pelaksanaan forum/group discussion untuk mensosialisasikan materi IFRS yang akan diadopsi serta untuk mendapatkan masukan dari stakeholders terkait.

Sumber : Ikatan Akuntan Indonesia >>

Saturday, January 17, 2009

Perubahan tarif pajak berdasarkan UU No. 36 tahun 2008, perhitungan pajak tangguhan harus disesuaikan ?

Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP Orang Pribadi) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.

Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.

UU No. 36 tahun 2008 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Lantas, apakah perubahan tarif tersebut akan mempengaruhi perhitungan pajak tangguhan (deferred tax) ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kembali pengaturan dalam PSAK terkait yaitu PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.

PSAK 46 Akuntansi Pajak Penghasilan (Reformat 2007) dalam paragraf 29 mengatur bahwa kewajiban (aset) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya diakui sebesar jumlah pajak terutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

Selanjutnya, dalam paragraf 30 dijelaskan bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang telah berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

Kemudian, dalam paragaraf 31 dijelaskan juga bahwa aset dan kewajiban pajak, baik yang bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Apabila tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka dapat dianggap bahwa tarif (dan peraturan) tersebut telah secara substantif berlaku [walaupun berlakunya tarif (dan peraturan) tersebut secara efektif mungkin saja masih beberapa bulan sesudah pengumumannya]. Dalam hal tersebut aset dan kewajiban pajak harus dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah dinyatakan berlaku.

Paragraf 32 menjelaskan bahwa apabila tarif pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba fiskal yang berbeda, maka aset dan kewajiban pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-rata yang akan dikenakan terhadap laba fiskal (rugi pajak) pada saat perbedaan temporer membalik (reverse).

Sedangkan paragraf selanjutnya yaitu par. 33 mengatur bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aset atau penyelesaian kewajiban yang diharapkan perusahaan pada tanggal neraca.

Dari uraian di atas, jelas bahwa atas perubahan tarif pajak untuk WP Badan dari sebelumnya dikenakan tarif progresif menjadi tarif tunggal yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, maka atas penyajian Pajak Tangguhan tahun 2008 harus dilakukan penyesuaian sesuai dengan pengaturan dalam PSAK No. 46 (Hrd). ***

Monday, January 5, 2009

Penundaan Berlakunya PSAK 50 dan PSAK 55

Dalam rangka konvergensi dengan International Accounting Standards (IAS) dan International Financial Reporting Standards (IFRS), sejak Desember 2006 sampai dengan pertengahan tahun 2007 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah merevisi dan mengesahkan lima Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).

Tiga dari revisi PSAK tersebut berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2008 yaitu PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi, PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap serta PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa.

Sedangkan dua PSAK lainnya, yaitu masing-masing PSAK No. 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan yang menggantikan Akuntansi Investasi Efek Tertentu serta PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2009.

Adapun PSAK No. 50 (revisi 2006) sebagian besar sudah sesuai dengan International Accounting Standards (IAS) No. 32 : Financial Instrument : Presentation (Revised 2005) sedangkan PSAK No. 55 (revisi 2006) sebagian besar sudah sesuai dengan IAS No. 39 : Financial Instrument : Recognition and Measurement (Revised 2005).

Bank Indonesia mewajibkan bank menyajikan laporan keuangan dengan mengacu pada PSAK No. 50 (revisi 2006) serta PSAK No. 55 (revisi 2006) tersebut mulai tahun 2009 seperti yang ditulis dalam harian Bisnis Indonesia terbitan 18 Januari 2008 kemarin.

Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI I Gde Made Sadguna menjelaskan pada harian Bisnis Indonesia bahwa sebagian besar standar akuntansi untuk laporan keuangan bank disesuaikan dengan standar internasional.

“PSAK 50 dan 55 sudah sesuai dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) dan berlaku 1 Januari 2009. Pada 2010 akan dilakukan adopsi penuh tanpa diskresi,” katanya, seperti yang ditulis dalam harian Bisnis Indonesia terbitan 18 Januari 2008 tersebut.

Adapun beberapa pengaturan dalam PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 revisi 2006 tersebut secara mendasar merubah metode pengakuan dan pencatatan yang diterapkan selama ini dan dampaknya akan merubah sistim pencatatan bank khususnya, sehingga secara tidak langsung akan memerlukan penyesuaian pada sistim internal bank.

Diharapkan dengan penerapan PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 revisi 2006 tersebut secara tepat dan konsisten, laporan keuangan bank dapat disajikan secara wajar dan memberikan informasi yang lebih bermanfaat bagi pembaca laporan keuangan.

Namun, berkaitan dengan krisis finansial global yang melanda dunia dan turut berdampak pada perekonomian di Indonesia , menyebabkan ketatnya likuiditas perbankan sehingga beberapa waktu yang lalu pihak perbankan telah mengajukan penundaan penerapan PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 tersebut kepada pemerintah (Bank Indonesia), dengan tujuan agar perbankan bisa lebih bergerak dan likuiditas sedikit longgar.

Berkaitan dengan hal itu, pada tanggal 30 Desember 2008 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah mengeluarkan surat pengumuman dengan No. 1705/DSAK/IAI/XII/2008 yang berisikan bahwa DSAK IAI mengubah tanggal efektif pemberlakuan PSAK 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan, sebagaimana diatur dalam paragraf 95 PSAK 50 (Revisi 2006), dan PSAK 55 (Revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran, sebagaimana diatur dalam paragraf 107 PSAK 55 (Revisi 2006), yang semula berlaku efektif untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2009 diubah menjadi untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2010.