Friday, May 30, 2008

SPAP, kapan full adoption ke ISA ?

Technorati Tags: ,,

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku di Indonesia selama ini mengacu pada standar auditing dari Amerika. SPAP ini membagi standar auditing menjadi tiga bagian utama yaitu Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan dan Standar Pelaporan.

Berikut saya paparkan sedikit gambaran perkembangan SPAP serta issue yang paling hot saat ini yaitu full adoption dengan International Standard on Auditing (ISA).

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang merupakan pedoman bagi pekerjaan auditor di Indonesia merupakan hasil pengembangan berkelanjutan yang telah dimulai sejak tahun 1973. Pada tahap awal perkembangannya, standar ini disusun oleh suatu komite dalam organisasi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang diberi nama Komite Norma Pemeriksaan Akuntan. Standar yang dihasilkan oleh komite tersebut diberi nama Norma Pemeriksaan Akuntan. Sebagaimana tercermin dari nama yang diberikan, standar yang dikembangkan pada saat itu lebih berfokus ke jasa audit atas laporan keuangan historis.

Perubahan pesat yang terjadi di lingkungan bisnis di awal dekade tahun sembilan puluhan kemudian menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan mutu jasa audit atas laporan keuangan historis, jasa atestasi, serta jasa akuntansi dan review. Disamping itu, tuntutan kebutuhan untuk menjadikan organisasi profesi akuntan publik lebih mandiri dalam mengelola mutu jasa yang dihasilkan bagi masyarakat juga terus meningkat. Respon profesi akuntan publik terhadap berbagai tuntutan tersebut diwujudkan dalam dua keputusan penting yang dibuat oleh IAI pada pertengahan tahun 1994, yaitu :

1. perubahan nama dari Komite Norma Pemeriksaan Akuntan ke Dewan Standar Profesional Akuntan Publik, dan

2. perubahan nama standar yang dihasilkan dari Norma Pemeriksaan Akuntan ke Standar Profesional Akuntan Publik

Penerbitan SPAP per 1 Agustus 1994 seiring dengan perubahan nama standar dari Norma Pemeriksaan Akuntan ke Standar Profesional Akuntan Publik sumber acuan utamanya adalah dari American Institute of Certified Public Accountant Professional Standards (AICPA Professional Standards).

Untuk merespon kebutuhan profesi akuntan publik seiring pertumbuhan ekonomi dan bisnis di Indonesia serta perubahan-perubahan radikal yang terjadi di lingkungan bisnis, dalam kurun waktu 1994-1997 Dewan SPAP telah menerbitkan berbagai standar. Selanjutnya, dalam kurun waktu 1997-2000 Dewan SPAP juga menerbitkan berbagai interpretasi standar untuk merespon kebutuhan profesi akuntan publik dalam menghadapi krisis ekonomi dan bisnis yang saat itu dialami oleh Indonesia.

Dari pengalaman masa lalu dan antisipasi tren perubahan pasca krisis ekonomi Indonesia serta memperhatikan perubahan pesat yang terjadi di AICPA Professional Standards sebagai sumber acuan SPAP, Dewan SPAP selama tahun 1999 melakukan perombakan besar atas SPAP per 1 Agustus 1994 dan menerbitkannya dalam buku yang diberi judul Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Januari 2001.

SPAP per 1 Januari 2001 tersebut adalah merupakan kodifikasi SPAP terakhir yang masih berlaku sampai dengan saat ini, dengan sedikit penambahan berupa interpretasi-interpretasi yang diterbitkan dari tahun 2001 sampai dengan 2008. Penambahan terakhir dilakukan pada bulan Pebruari 2008 dengan penerbitan Pernyataan Beragam (Omnibus Statement)

SPAP per 1 Januari 2001 memang terkesan sudah kurang up-to-date jika dibanding dengan AICPA Standards. Hal ini karena AICPA Standards yang diacu dalam SPAP 2001 adalah AICPA Standards tahun 1998, sedangkan yang berlaku di negara asalnya saat ini adalah AICPA Standards yang selalu dimutakhirkan setiap tahun. Ditengarai terdapat perbedaan yang signifikan antara AICPA Standards 2007 dengan 1998, sehingga kalau sekarang akuntan publik kita masih menggunakan SPAP 2001 yang sebagian besar hasil adopsi dari AICPA Standards 1998, maka sepertinya akuntan publik Indonesia belum memutahirkan standar profesinya pada perkembangan terkini dari standar yang diacunya.

Pada tahun 2004, melalui Konvensi Nasional Akuntan Indonesia telah diputuskan bahwa Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akan melakukan adopsi sepenuhnya (full adoption) International Auditing and Assurance Standards (ISA) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants (IFAC).

Dengan dilakukannya adopsi ISA, maka ISA akan menggantikan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang sekarang berlaku yang sebagian besar isinya diadopsi dari AICPA Professional Standards tahun 1998.

Langkah full adoption tersebut ditempuh untuk memenuhi tuntutan pesatnya perkembangan dunia usaha dan bisnis yang berimbas pada bidang akuntansi dan auditing. Selain itu, IAI yang telah menjadi full members dari International Federation of Accountant (IFAC), mempunyai kewajiban untuk mematuhi dan memenuhi butir-butir statement of membership obligation (SMO) yang salah satu diantaranya adalah bahwa semua anggota IFAC diwajibkan untuk tunduk kepada semua standar dan pernyataan lain yang dikeluarkan oleh International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB).

International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) adalah merupakan badan yang dibentuk oleh International Federation of Accountants (IFAC) sebagai badan pembuat standar auditing dan assurance yang salah satunya adalah International Standard on Auditing (ISA).

Untuk memenuhi SMO yang ditetapkan IFAC, Dewan SPAP saat itu telah merencanakan akan melakukan adopsi ISA mulai tahun 2006. Untuk mewujudkan rencana tersebut, Dewan SPAP telah membuat dua program kerja, yaitu proses internal dan eksternal.

Proses internal merupakan proses pengerjaan di dewan SPAP sendiri, diantaranya adalah pekerjaan penerjemahan naskah ISA yang masih dalam format bahasa Inggris. Selain itu, proses internal lainnya adalah berupa pemetaan/mapping, pengidentifikasian perbedaan antara SPAP dengan ISA, dan akuntabilitas dari ISA.

Sedangkan yang termasuk program kerja eksternal adalah meliputi studi dan diskusi, yang difokuskan pada studi dan diskusi mengenai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara SPAP dengan ISA. Dalam melakukan studi dan diskusi ini nantinya akan melibatkan pihak akademis, pemerhati akuntansi dan auditing, regulator serta para akuntan untuk memberikan masukan atas pemetaan yang sebelumnya sudah dibuat oleh Dewan SPAP. Selanjutnya, Dewan SPAP akan mengadakan studi banding dengan melihat penerapan ISA oleh negara-negara lain.

Dalam tulisannya pada Media Akuntansi Indonesia Edisi 6/Tahun II/Maret 2008 dengan judul “Adopsi Standar Auditing dan Assurance Internasional, Sudah Sampai Dimana ?”, Syarief Basir menjelaskan bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh, dari jumlah seksi yang ada pada ISA sebanyak 40 seksi, telah diterjemahkan oleh DSPAP sebanyak 33 seksi atau 83 % dari seluruh seksi ISA. Kemudian, yang masih harus dilakukan DSPAP adalah melakukan proses editing terjemahan dan dilanjutkan dengan mempelajari kesesuaian aturan-aturan dalam standar tersebut dengan kondisi Indonesia. Apabila ternyata beberapa isi dari ISA tersebut tidak sesuai maka proses modifikasi perlu dilakukan.

Apabila langkah-langkah yang dilakukan oleh DSPAP-IAI KAP, yang sejak Mei 2007 berubah menjadi DSPAP-IAPI sudah sejauh itu, tentu menjadi harapan kita bahwa ISA akan segera menjadi exposure draft (ED) dan akhirnya berlaku efektif bagi akuntan publik Indonesia serta menjadi standar yang lebih diakui dan diterima bukan hanya oleh stakeholder domestik tapi juga stakeholder internasional.

Namun, sepertinya akuntan publik Indonesia masih harus bersabar, karena IAASB-IFAC dalam project-nya yang dinamakan clarity project telah mengeluarkan keputusan untuk melakukan perubahan-perubahan besar pada ISA yang mencakup hampir 60% dari isi standar, dengan jadwal penyelesaian secepatnya 15 Desember 2008 (lihat lampiran IAASB Project Timetable as of March 2008).

Keputusan clarity project oleh IAASB tersebut tentu saja menghambat laju proses adopsi ISA di Indonesia. Kalau sebelumnya DSPAP sudah menyelesaikan 83% penterjemahan ISA, mendiskusikannya dan saat itu sedang mengkaji penerapan ISA, maka dengan adanya clarity project ini, DSPAP harus kembali dari awal proses penterjemahan atas ISA yang sudah diperbaharui IAASB, kemudian melakukan editing, dan tahap-tahap seterusnya.

Jadi, jika ISA yang sedang dalam proses full adoption oleh SPAP sendiri sering di-redraft dan direvisi, kapan pekerjaan DSPAP dalam rangka mengadopsi ISA bisa selesai ?

Tulisan ini merupakan hasil kompilasi dari berbagai sumber, diantaranya SPAP, Media Akuntansi Edisi 49 September 2005 dan Edisi 6 Maret 2008.

Thursday, May 29, 2008

Membukukan Transaksi Leasing, Akuntansi (PSAK 30) versus Pajak

Dasar Pencatatan :

(1) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 30 (Revisi 2007) tentang Sewa,

(2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991

Perlakuan Akuntansi

PSAK No. 30 (Revisi 2007) tentang Sewa dalam paragraf 8 mengatur bahwa suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika sewa tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset.

Paragraf 10 menjelaskan bahwa klasifikasi sewa sebagai sewa pembiayaan atau sewa operasi didasarkan pada substansi transaksi dan bukan pada bentuk kontraknya. Contoh dari situasi yang secara individual atau gabungan dalam kondisi normal mengarah pada sewa yang diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan adalah :

1. sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa;

2. lessee mempunyai opsi untuk membeli aset pada harga yang cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai dapat dilaksanakan, sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi memang akan dilaksanakan;

3. masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset meskipun hak milik tidak dialihkan;

4. pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan; dan

5. aset sewaan bersifat khusus dan dimana hanya lessee yang dapat menggunakannya tanpa perlu modifikasi secara material.

Lebih lanjut, paragraf 16 menjelaskan bahwa untuk sewa pembiayaan pada awal masa sewa, lessee mengakui sewa pembiayaan sebagai aset dan kewajiban dalam neraca sebesar nilai wajar aset sewaan atau sebesar nilai kini dari pembayaran sewa minimum, jika nilai kini lebih rendah dari nilai wajar. Penilaian ditentukan pada awal kontrak.

Sedangkan dalam paragraf 29 diatur mengenai pencatatan sewa operasi, bahwa pembayaran sewa dalam sewa operasi diakui sebagai beban dengan dasar garis lurus (straight-line basis) selama masa sewa kecuali terdapat dasar sistimatis lain yang dapat lebih mencerminkan pola waktu dari manfaat aset yang dinikmati pengguna.

Untuk jenis transaksi leasing berupa transaksi jual dan sewa-balik (sale and lease back) dapat terjadi bahwa nilai aset tercatat aset yang dialihkan kepada leasing company berbeda dengan nilai pembelian/pembiayaan oleh leasing company tersebut.

Paragraf 56 PSAK No. 30 mengatur bahwa jika suatu transaksi jual dan sewa-balik merupakan sewa pembiayaan, selisih lebih hasil penjualan dari nilai tercatat tidak dapat diakui segera sebagai pendapatan oleh penjual-lessee, tetapi ditangguhkan dan diamortisasi selama masa sewa.

Perlakuan Perpajakan

Secara perpajakan, pencatatan transaksi leasing diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991. KepMenKeu ini hanya mengatur mengenai pencatatan transaksi leasing secara sale and lease back dengan hak opsi sehingga untuk jenis leasing lainnya misalnya Pembiayaan Konsumen harus mengacu kepada PSAK No. 30.

Dalam praktek sehari-hari, sering ditemukan kesalahpahaman dari accounting perusahaan sehingga dalam perpajakan memperlakukan transaksi Pembiayaan Konsumen layaknya Sale and Lease Back dengan Hak Opsi.

Menurut KepMenKeu No. 1169 tersebut, kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha (SGU) dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :

1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama ditambaha dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;

2. Masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan;

3. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Ketentuan perpajakan memperlakukan SGU dengan Hak Opsi secara berbeda dari akuntansi. Adapun perbedaannya sebagai berikut :

Secara akuntansi, pencatatan dilakukan secara Capital Lease, dimana :

1. aktiva leasing langsung dibukukan sebagai aktiva tetap leasing dan disusutkan sesuai dengan masa manfaatnya;

2. lessee membebankan biaya penyusutan aktiva SGU dan beban bunga SGU

Secara perpajakan, dilakukan secara Operating Lease, dimana :

1. aktiva tetap leasing baru diakui setelah lessee melaksanakan hak opsinya, dengan biaya perolehan sebagai dasar penyusutan sebesar nilai opsi tersebut

2. lessee membebankan angsuran pokok dan bunga SGU sebagai biaya leasing

Sedangkan untuk transaksi pembiayaan konsumen, pencatatan secara akuntansi maupun perpajakan sama, yaitu dilakukan secara Capital Lease.

Contoh illustrasi (Sale and Lease Back dengan Hak Opsi) :

PT A memperoleh fasilitas pembiayaan berupa Sale and Lease Back dengan Hak Opsi atas 1 unit Mesin Press dengan rincian transaksi sebagai berikut :

Harga beli dari supplier = Rp 1.144.800.000; Pembayaran Uang Muka (D/P) kepada Supplier = Rp 300.000.000; Sisa Hutang kepada Supplier = Rp 844.800.000.

Pembiayaan oleh Leasing Company = Rp 844.800.000; Masa Angsuran = 20/11/2004 s/d 20/10/2007 (36 bulan); Angsuran Pokok = Rp 844.800.000; Bunga Angsuran = Rp 201.312.000

Jurnal Akuntansi (PSAK No. 30) :

  Aktiva Tetap - Mesin      1.144.800.000  
      K a s          300.000.000
      Hutang Supplier          844.800.000

(membukukan transaksi pembelian aktiva tetap dari supplier)

  Hutang Supplier           844.800.000  
      Hutang Leasing         844.800.000

(membukukan transaksi pengalihan aktiva tetap ke leasing company)

  Hutang Leasing             26.144.498  
  Biaya Bunga Leasing             12.412.502  
     K a s           38.557.000

(membukukan pembayaran angsuran bulanan SGU)

Jurnal Perpajakan (KepMenKeu No. 1169)

  Aktiva Tetap - Mesin        1.144.800.000  
     K a s         300.000.000
     Hutang Supplier         844.800.000

(membukukan transaksi pembelian aktiva tetap dari supplier)

  Hutang Supplier           844.800.000  
  Jaminan Leasing           300.000.000  
      Aktiva Tetap Mesin       1.144.800.000

(membukukan transaksi pengalihan aktiva tetap ke leasing company)

  Biaya Leasing              38.557.000  
      K a s            38.557.000

(membukukan pembayaran angsuran bulanan SGU)

Secara perpajakan, jika pada akhir masa leasing, lessee menggunakan hak opsinya maka dalam pembukuan lessee membukukan aktiva tetap sebagai dasar penyusutan sebesar Rp 300.000.000 yaitu sebesar nilai jaminan leasing. Selama masa SGU, jaminan leasing dibukukan sebagai Aktiva Lain-lain.

Sedangkan, jika transaksinya berupa Pembiayaan Konsumen, maka pencatatan akuntansi dan perpajakan harus sesuai PSAK No. 30 (jurnal pertama) (Hrd).

Setiap orang wajib punya NPWP ?

Kewajiban untuk memiliki NPWP sebenarnya sudah diberlakukan semenjak UU Pajak No. 6 tahun 1983. Walaupun kemudian, dalam pelaksanaannya tidak semua Wajib Pajak (WP) diharuskan memiliki NPWP. Bagi WP orang pribadi yang penghasilannya tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan atau WP orang pribadi yang sumber penghasilannya hanya dari satu pemberi kerja dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Pengecualian dari kewajiban melaporkan SPT berarti juga pengecualian kewajiban untuk memiliki NPWP.

Kemudian, sejak berlakunya UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, setiap WP orang pribadi diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat domisili orang pribadi tersebut (KPP Domisili). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 UU No. 16 tahun 2000 sebagai berikut :

Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Meskipun setiap Wajib Pajak wajib memiliki NPWP, tetapi dalam petunjuk pelaksanaannya masih diberikan keringanan bagi WP yang penghasilannya tidak melebihi PTPK. Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-161/PJ./2001.

Sejak tahun 2001, tidak ada lagi pengecualian bagi WP orang pribadi yang penghasilannya hanya dari satu pemberi kerja. Disamping itu, mulai tahun pajak 2001 pihak Ditjen Pajak juga mulai gencar melakukan law enforcement melalui berbagai cara untuk memberikan NPWP kepada WP orang pribadi. Bahkan, melalui KEP-338/PJ./2001, Ditjen Pajak meminta kepada perusahaan sebagai pemberi kerja untuk mendaftarkan karyawannya untuk mendapatkan NPWP.

Berbagai cara ditempuh pihak Ditjen Pajak pada saat itu untuk mengumpulkan data dan informasi apakah penghasilan WP orang pribadi sudah melebihi PTKP sebagai dasar untuk untuk menetapkan NPWP secara jabatan. Misalnya berdasarkan data pelanggan telepon seluler pasca bayar, data pemilik tempat tinggal di kawasan real estate, data pelanggan listrik untuk perumahan dengan daya 6.600 watt atau lebih, data pemilik kartu kredit dan sebagainya.

Pada tahun 2007, berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2007, para pemberi kerja dan atau bendaharawan pemerintah diminta untuk mendaftarkan karyawannya secara massal untuk diberikan NPWP. Untuk itu, Ditjen Pajak memberikan program aplikasi e-NPWP kepada pemberi kerja yang akan digunakan untuk membuat daftar nominatif seluruh karyawan yang dikelompokkan berdasarkan penghasilannya, yaitu yang di atas PTKP dan yang di bawah PTKP, yang sudah ber-NPWP maupun yang belum ber-NPWP.

Terakhir, berdasarkan UU No. 28 tahun 2007, dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4) diatur bahwa :

Ayat 1 – Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Ayat 4 – Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).

Selanjutnya, dalam Pasal 37A ayat (2) diatur bahwa :

Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini*) diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

*) UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008

Berdasarkan pasal ini berarti WP orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dapat memperoleh pengampunan berupa penghapusan sanksi administratif atas pajak yang kurang dibayar bila menyampaikan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak sebelum diperolehnya NPWP. Sementara yang memperoleh NPWP secara jabatan tidak bisa mendapatkannya (Hrd).

Sumber : Indonesian Tax Review Volume VI/Edisi 44/2007

Wednesday, May 28, 2008

Sekilas Audit Persediaan

Technorati Tags: ,,,

Persediaan adalah merupakan bagian dari aset perusahaan yang pada umumnya nilainya cukup material dan rawan oleh tindakan pencurian ataupun penyalahgunaan. Oleh karena itu, biasanya akun persediaan menjadi salah satu perhatian utama auditor dalam pemeriksaan atas laporan keuangan perusahaan.

Adapun tujuan utama pemeriksaan persediaan adalah untuk menentukan bahwa :

· Persediaan secara fisik benar-benar ada

· Prosedur pisah batas (cut-off) persediaan telah dilakukan dengan memuaskan

· Persediaan telah dinilai sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum (PSAK) yang diterapkan secara konsisten

· Persediaan yang bergerak lambat (slow moving), usang, rusak, dapat diidentifikasika dengan tepat dan dicadangkan dalam jumlah yang memadai

· Penghitungan matematis dalam daftar persediaan telah dibuat dengan cermat

· Persediaan yang dijaminkan telah diidentifikasikan dan diungkapkan dengan jelas dalam catatan atas laporan keuangan

Walaupun tujuan-tujuan audit yang disebutkan di atas diarahkan terutama atas eksistensi dan valuasi persediaan dalam neraca, tetapi auditor harus selalu ingat bahwa audit terhadap akun persediaan yang dilakukannya harus berhubungan dengan harga pokok penjualan dan akun-akun terkait lainnya dalam laporan laba rugi.

Beberapa tahapan prosedur audit yang harus dilakukan auditor dalam melakukan pemeriksaan atas akun persediaan diantaranya adalah :

1. Pemahaman Bisnis Klien – kecukupan pemahaman atas bisnis perusahaan merupakan dasar terhadap audit persediaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh auditor melalui Kuesioner Pemahaman Bisnis dan Jenis Usaha Klien akan memberikan auditor pemahaman mengenai aspek-aspek unik dari bisnis dan jenis usaha, seperti faktor musiman dan siklus, sifat dari keuangan, metode dan kebijaksanaan penjualan, kondisi persaingan usaha, bahan baku dan sumbernya, tenaga kerja dan fasilitas pabrik yang berkaitan dengan kebijaksanaan operasi perusahaan serta karakteristik sistim informasi termasuk metode costing. Pemahaman ini memungkinkan auditor untuk mencapai kesimpulan mengenai aspek-aspek laporan keuangan sehubungan dengan persediaan.

2. Penilaian Pengendalian Intern – tujuan pengendalian intern atas persediaan adalah untuk meyakinkan bahwa (a) adanya pengendalian yang memadai terhadap mutasi persediaan, (b) semua transaksi persediaan telah dicatat dan diklasifikasikan dengan tepat, (c) penghitungan fisik persediaan telah dijalankan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, (d) harga perolehan persediaan telah ditentukan dengan tepat, (e) penyesuaian atas persediaan yang bergerak lambat (slow moving), usang dan rusak telah dilakukan dengan tepat.

3. Pengujian Substantif – tujuan utama pengujian substantif terhadap persediaan adalah untuk memberikan bukti nyata dari keberadaan dan penilaian persediaan. Pengujian ini meliputi observasi dan pengujian penghitungan fisik (stock taking), pengujian ringkasan dan pengujian harga.

Observasi dan Pengujian Fisik Persediaan

Observasi penghitungan fisik merupakan prosedur pemeriksaan umum. Keikutsertaan auditor pemeriksa dalam penghitungan fisik dan observasinya akan memberikan kepuasan dalam menilai metode penghitungan fisik yang dilakukan dan ketaatan perusahaan atas penyajian kuantitas serta kondisi fisik persediaan.

Apabila auditor tidak dapat melakukan observasi atsa penghitungan fisik persediaan karena adanya pembatasan pemeriksaan, maka auditor dapat memberikan pendapat dengan kualifikasi atau tidak memberikan pendapat sama sekali atas laporan keuangan perusahaan yang diperiksanya.

Ada beberapa metode penghitungan fisik persediaan, antara lain :

1. penghitungan fisik secara menyeluruh yang dilaksanakan setahun sekali pada tanggal neraca atau pada tanggal tertentu yang dihadiri auditor.

2. penghitungan yang kontinue yang dilakukan atas seluruh persediaan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun

3. penghitungan ulang atas semua seksi yang terbesar dengan menghitung sekurang-kurangnya sekali dalam setahun untuk seksi-seksi lainnya.

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 331 mengenai “Sediaan” mengatur mengenai penghitungan fisik persediaan yang dilakukan oleh auditor.

Dalam paragraf 3 diatur bahwa jika kuantitas sediaan hanya ditentukan melalui penghitungan fisik, dan semua penghitungan dilakukan pada tanggal neraca atau pada suatu tanggal dalam periode yang tepat, baik sebelum maupun sesudah tanggal neraca, maka perlu bagi auditor untuk hadir pada saat penghitungan fisik sediaan dan, melalui pengamatan, pengujian dan permintaan keterangan memadai, untuk meyakinkan dirinya tentang efektivitas metode penghitungan fisik sediaan dan mengukur keandalan yang dapat diletakkan atas representasi klien tentang kuantitas dan kondisi fisik sediaan.

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan auditor dalam penghitungan fisik persediaan, diantaranya adalah :

1. selama penghitungan fisik persediaan, auditor harus memastikan bahwa pengendalian atas prosedur pemasukan dan pengeluaran barang atau pergerakan intern barang selama penghitungan berlangsung telah diikuti sebagaimana mestinya, untuk menilai kecermatan pisah batas (cut-off) yang telah dilakukan. Jika memungkinkan, sebaiknya proses produksi dihentikan sementara selama berlangsungnya penghitungan fisik persediaan ataupun penghitungan fisik dilakukan pada saat tidak adanya kegiatan penerimaan maupun pengeluaran barang di gudang.

2. auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya barang konsinyasi (titipan) yang bukan menjadi milik perusahaan, barang jaminan dan lainnya

3. kemungkinan adanya persediaan yang tidak berada dalam pengawasan perusahaan, misalnya barang yang berada di lokasi gudang umum, barang yang dipegang oleh penjual, barang konsinyasi dan lainnya. Untuk jenis persediaan ini, prosedur audit yang harus dilakukan adalah dengan melakukan konfirmasi langsung secara tertulis ataupun dengan penghitungan fisik.

4. auditor harus memastikan bahwa persediaan dalam perjalanan benar-benar belum diterima sampai pada saat penghitungan fisik persediaan berlangsung.

Jika penghitungan fisik persediaan dilakukan setelah tanggal neraca, auditor harus melakukan tarik mundur (draw back) hasil penghitungan fisik persediaan ke saldo tanggal neraca. Prosedur ini terutama diperlukan untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa pencatatan saldo persediaan pada tanggal neraca telah sesuai dengan fisik persediaan yang ada di gudang.

Pengujian atas Penentuan Harga Pokok Persediaan

Harga pokok persediaan umumnya ditentukan dengan metode rata-rata, FIFO ataupun LIFO.

Dalam meakukan pemeriksaan atas akun persediaan, auditor harus melakukan pengujian untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa metode yang digunakan dalam menilai persediaan telah sesuai dengan kebijakan akuntansi perusahaan.

Kuesioner Pengendalian Intern Persediaan

Kuesioner berkaitan dengan pengendalian intern persediaan di gudang yang biasanya ditanyakan oleh auditor selama berlangsungnya pemeriksaan diantaranya adalah :

· apakah persediaan dipisahkan secara memadai antara bahan baku, barang dalam proses, bahan pembantu maupun barang jadi

· apakah terdapat pengamanan yang cukup terhadap pencurian, kerusakan, kebakaran, banjir maupun risiko lainnya

· apakah persediaan berada di bawah pengawasan penjaga gudang

· apakah gudang tempat penyimpanan barang hanya dapat dimasuki oleh petugas gudang

· apakah barang dalam gudang hanya boleh dikeluarkan berdasarkan bukti permintaan dan bukti pengeluaran barang yang telah disetujui oleh pejabat berwenang

· apakah ada prosedur/pengawasan barang masuk atau keluar gudang, seperti penjaga pintu, pengecekan ulang antara barang di truk dengan dokumen bersangkutan dan lainnya

· jika perusahaan menggunakan sistim persediaan perpetual, apakah pencatatan di kartu persediaan dibuat terpisah untuk masing-masing kelompok persediaan

· apakah orang yang melaksanan pencatatan pada kartu persediaan bukan orang yang berfungsi sebagai penjaga gudang

· apakah secara periodik, jumah barang yang ada di kartu persediaan dicocokkan dengan buku besar

· apakah saldo persediaan dihitung secara fisik sekurang-kurangnya setahun sekali dan dicocokkan dengan kartu persediaan

Demikian sekilas gambaran audit atas persediaan. Semoga bermanfaat. (Hrd)

Saturday, May 17, 2008

Penangguhan Beban Penyusutan, apakah diperbolehkan ?

Jika sekiranya terjadinya penurunan produksi ataupun bahkan penghentian produksi mesin pabrik untuk sementara sehingga aktiva mesin pabrik tersebut dengan sendirinya juga tidak dipergunakan, apakah diperbolehkan untuk menangguhkan pembebanan mesin pabrik untuk sementara ? Tentunya hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah terjadi penurunan ataupun penghentian penggunaan mesin pabrik tersebut.

Dari sudut akuntansi, PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap dalam paragraf 58 mengatur bahwa penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal ketika :

1. aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut termasuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan

2. aset tersebut dihentikan pengakuannya seperti yang diatur dalam paragraf 69 (yaitu jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan atau tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya).

Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak dipergunakan atau dihentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namun, apabila metode penyusutan yang digunakan adalah usage method (seperti unit of production method) maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya.

Jadi, kesimpulannya, secara akuntansi pada dasarnya tidak boleh menghentikan ataupun menangguhkan penyusutan sementara walaupun dengan alasan bahwa aktiva tetap seperti mesin pabrik misalnya tidak dipergunakan karena adanya penghentian produksi sementara, kecuali jika metode penyusutan yang dipergunakan adalah usage method yang dengan sendirinya beban penyusutan akan menjadi nol pada saat mesin tidak berproduksi.

Terus, kalau secara perpajakan apakah diperbolehkan ?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengacu ke Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-02/PJ.42/1999 tanggal 26 Januari 1999 perihal Penegasan tentang Penangguhan Penyusutan atas Harta Berwujud.

Melalui SE tersebut, Dirjen Pajak memberikan beberapa penegasan sebagai berikut :

1. Pada prinsipnya semua pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, apabila pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, maka pembebanan atas pengeluaran tersebut sebagai biaya harus dilakukan melalui penyusutan. Dengan demikian, penyusutan adalah merupakan suatu metode pembebanan biaya.

2. Metode penyusutan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya penyusutan yang dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut, atau Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Dalam menghitung besarnya penyusutan atas harta berwujud, Wajib Pajak hanya diperbolehkan menggunakan salah satu dari kedua metode penyusutan tersebut untuk seluruh jenis harta berwujud dan penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.

3. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (3))

4. Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak. Pengertian mulai menghasilkan tersebut dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (4))

5. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud tersebut akan diakhiri dengan penyusutan atau pembebanan sekaligus atas nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan, kecuali apabila sebelum akhir masa manfaat harta berwujud tersebut ditarik dari pemakaian atau dijual, maka penghitungan penyusutan yang terakhir atas harta berwujud tersebut adalah penyusutan untuk tahun terakhir sebelum tahun ditariknya harta berwujud tersebut dari pemakaian.

6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penangguhan penyusutan atas harta berwujud yang telah disusutkan tidak diperkenankan, walaupun dalam tahun pajak tersebut terjadi penurunan atau penghentian produksi. Oleh karena itu, sepanjang harta berwujud tersebut tidak ditarik dari pemakaian atau tidak dijual, maka penyusutan atas harta berwujud tersebut tetap harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan.

Jadi, peraturan perpajakan juga tidak memperbolehkan adanya penangguhan penyusutan atas aktiva tetap yang sebelumnya telah disusutkan, kecuali jika aktiva tetap tersebut ditarik dari pemakaian ataupun dijual.

Catatan - perpajakan hanya mengakui metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (1) dan (2)). Penyusutan secara usage method tidak diperkenankan dalam perpajakan (Hrd).

Standar Auditing Internasional (ISA) vs Standar Auditing Indonesia (SPAP)

Technorati Tags: ,

International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) adalah merupakan badan yang dibentuk oleh International Federation of Accountants (IFAC) sebagai badan pembuat standar auditing dan assurance.

Standar yang diterbitkan oleh IAASB terbagi dalam tiga kategori. Pertama, standar audit dan review informasi keuangan historis. Standar ini terdiri dari dua standar yaitu : International Standard on Auditings (ISAs), dan International Standard on Review Engagement (ISREs). Selanjutnya, untuk membantu penerapan standar auditing, IAASB mengeluarkan International Auditing Practice Statement (IAPSs). IAPS ini merupakan pedoman interpretasi dan bantuan praktis di dalam menerapkan standar auditing. Dan untuk penerapan standar review, IAASB juga telah mengeluarkan pedoman interpretasi dan batuan praktisnya. Pedoman ini diberi nama International Review Engagement Practice Statement (IREPSs).

Kategori kedua, standar untuk penugasan assurance selain audit atau review laporan keuangan historis. Untuk kategori kedua ini, IAASB mengeluarkan International Standard Assurance Engagements (ISAEs). Dan untuk penerapan lebih praktisnya, IAASB telah menerbitkan International Assurance Engagement Practice Statements (IAEPS). IAEPS ini merupakan pedoman interpretasi dan bantuan praktis didalam menerapkan standar assurance.

Kategori terakhir adalah standar untuk jasa lainnya. Untuk kategori ketiga ini, IAASB menerbitkan International Standard on Related Services (ISRSs). Standar ini harus diterapkan pada penugasan kompilasi, pengolahan informasi, dan jasa penugasan lain. Untuk penerapannya, IAASB juga telah mengeluarkan pedoman interpretasi dan bantuan praktis yang diberi nama International Related Service Practice Statements (IRSPSs).

Selain mengeluarkan standar untuk pekerjaan auditor, IAASB juga mengeluarkan standar untuk memberikan mutu pelayanan yang baik. Standar ini dinamakan International Standard on Qualitiy Controls (ISQCSs).

Di Indonesia, sebelum terbentuknya Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), standar auditing ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Setelah terbentuknya IAPI yang secara resmi diterima sebagai anggota asosiasi yang pertama oleh IAI pada tanggal 4 Juni 2007 serta diakui oleh pemerintah RI sebagai organisasi profesi akuntan publik yang berwenang melaksanakan ujian sertifikasi akuntan publik, penyusunan dan penerbitan standar profesional dan etika akuntan publik, serta menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan publik di Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 pada tanggal 5 Pebruari 2008, selanjutnya standar auditing berupa Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) disusun dan diterbitkan oleh IAPI.

SPAP merupakan kodifikasi berbagai pernyataan standar teknis dan aturan etika. Pernyataan standar teknis yang dikodifikasi dalam SPAP terdiri dari :

1. Pernyataan Standar Auditing

2. Pernyataan Standar Atestasi

3. Pernyataan Jasa Akuntansi dan Review

4. Pernyataan Jasa Konsultasi

5. Pernyataan Standar Pengendalian Mutu

Sedangkan aturan etika yang dicantumkan dalam SPAP adalah Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang dinyatakan berlaku oleh Kompartemen Akuntan Publik sejak bulan Mei 2000.

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku di Indonesia selama ini mengacu pada standar auditing dari Amerika. SPAP ini membagi standar auditing menjadi tiga bagian utama yaitu Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan dan Standar Pelaporan.

Sedangkan International Standar on Auditing (ISA) tidak membagi standar auditing dengan kategori seperti halnya SPAP. Pada ISA, tidak ada Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan dan Standar Pelaporan. Penyajian standar-standar yang ada di ISA sudah mencerminkan proses pengerjaan auditing.

Pendekatan pekerjaan audit di ISA dibagi dalam enam tahap. Tahap pertama dimulai dengan persetujuan penugasan (agreement of engagement). Kemudian, tahap kedua melakukan pengumpulan informasi, pemahaman bisnis dan sistim akuntansi klien, serta penentuan unit yang akan diaudit. Tahap ketiga adalah pengembangan strategi audit. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan access inherent list.

Tahap selanjutnya adalah execute the audit, yaitu mulai melaksanakan audit. Pada saat melaksanakan audit maka akan dilakukan test of control, substantive and analytical procedure dan other substantive procedure. Tahap kelima, mulai membentuk opini. Dan tahap terakhir adalah membuat laporan audit.

Dari keenam tahapan pekerjaan audit yang diatur dalam ISA tersebut sepertinya tidak jauh berbeda dengan pengaturan dalam SPAP yang menjadi pedoman audit bagi KAP di Indonesia. Demikian sedikit gambaran International Standar on Auditing (ISA) yang merupakan standar audit internasional dibandingkan dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang merupakan standar audit yang berlaku di Indonesia.

Sumber : Media Akuntansi Edisi 49/Tahun XII/September 2005 dan SPAP

Thursday, May 15, 2008

Pencatatan Akuntansi atas Pendapatan Dividen dan Implikasi Perpajakannya

Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT) No. 40 tahun 2007 dalam pasal 71 ayat (2) menjelaskan bahwa seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS.

(Yang dimaksud dengan “seluruh laba bersih” adalah seluruh jumlah laba bersih dari tahun buku yang bersangkutan setelah dikurangi akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya – Penjelasan ayat (2))

Kemudian, dalam ayat (3) diatur bahwa dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila perseroan mempunyai saldo laba yang positif.

(Dalam hal laba bersih Perseroan dalam tahun buku berjalan belum seluruhnya menutup akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya, Perseroan tidak dapat membagikan dividen karena Perseroan masih mempunyai saldo laba bersih negatif – Penjelasan ayat (3))

PSAK No. 21 mengenai Akuntansi Ekuitas paragraf 22 menjelaskan bahwa kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen, dan dengan demikian pada saat tersebut saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen termaksud. Kewajiban yang timbul lazimnya disajikan dalam kelompok kewajiban lancar. Bila dividen dibagikan dalam bentuk aset bukan kas, maka saldo laba akan didebit sebesar nilai wajar aset yang diserahkan. Dasar pencatatan untuk pembagian dividen dalam bentuk aset bukan kas dan saham harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

Berkaitan dengan pendapatan dividen, jika PT A menerima pendapatan dividen atas penyertaan saham di PT B, apakah dalam pembukuan PT A dicatat sebagai pendapatan ? Jawabannya adalah tergantung berapa persen pemilikan saham PT A di PT B.

Seperti diatur dalam PSAK No. 15 mengenai Akuntansi untuk Investasi Dalam Perusahaan Asosiasi bahwa penyertaan saham dengan persentase kepemilikan paling sedikit 20 % tetapi tidak lebih dari 50 % dicatat dengan metode Ekuitas sebesar biaya perolehan, ditambah atau dikurangi dengan bagian laba atau rugi bersih serta dikurangi dividen yang diterima setelah tanggal perolehan anak perusahaan sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sedangkan penyertaan saham dengan kepemilikan kurang dari 20 % dicatat berdasarkan biaya perolehan.

Jadi, jika penyertaan saham PT A di PT B sebesar 20 % atau lebih (tetapi tidak lebih dari 50 %) maka PT A menerapkan metode Ekuitas, sehingga pendapatan dividen dari PT B tidak dibukukan sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi melainkan dibukukan mengurangi jumlah tercatat penyertaan saham.

Sebaliknya, jika penyertaan saham PT A di PT B kurang dari 20 %, maka PT A menerapkan metode Biaya Perolehan dalam pembukuannya sehingga atas pendapatan dividen dari PT B dibukukan sebagai pendapatan dividen dalam laporan laba rugi PT A.

Lantas, atas pendapatan dividen yang diterima oleh PT A apakah harus dipotong pajak ?

Untuk menjawabnya, mari kita simak ulasan berikut ini :

Atas penghasilan dividen yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15 %. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20 % atau berdasarkan tarif menurut ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty).

Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) mengatur bahwa dividen yang diterima oleh badan usaha (intercorporate dividen) bukan merupakan objek pajak apabila memenuhi persyaratan berikut :

· Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

· Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

Saat terutangnya PPh Pasal 23/Pasal 26 atas dividen diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 138 tahun 2000 Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur bahwa :

1. Pemotongan PPh oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU PPh terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu;

2. Saat terutangnya penghasilan tersebut lajimnya adalah saat jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti gaji dan dividen), saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalty, imbalan jasa teknik/jasa manajemen lainnya), atau saat tertentu lainnya.

Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-12/PJ.43/1993 tanggal 12 Juli 1993 tentang PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembayaran dividen atau bagian keuntungan dari perseroan dalam negeri, antara lain ditegaskan bahwa saat terutangnya/pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembayaran dividen atau bagian keuntungan dari perseroan dalam negeri adalah sebagai berikut :

1. Bagi perusahaan yang tidak go public, saat terutangnya PPh Pasal 23 atau Pasal 26 adalah pada saat disediakan untuk dibayarkan. Adapun yang dimaksud dengan saat disediakan untuk dibayarkan adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan/ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.

Demikian pula, apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka PPh Pasal 23/Pasal 26 terutang pada saat diumumkan/ditentukan dalam Rapat Direksi/Pemegang Saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.

2. Bagi perseroan yang go public, penentuan saat terutangnya PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembagian dividen berdasarkan tanggal RUPS akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya, mengingat sampai dengan suatu jangka waktu tertentu setelah tanggal RUPS saham yang diperjual belikan di bursa masih mengandung hak memperoleh dividen, sehingga pemegang saham yang berhak atas dividen tersebut masih berubah-ubah.

Pada saat RUPS Tahunan (untuk dividen final) atau Rapat Direksi (untuk dividen interim) pemegang saham yang berhak menerima dividen tersebut belum dapat dipastikan, sehingga pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 terhadap pemegang saham belum dapat dilakukan. Bagi perusahaan yang go public, pemegang saham yang berhak menerima dividen adalah mereka yang terdaftar sebagai pemegang saham pada tanggal tertentu yaitu tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak menerima dividen.

Dengan demikian, kewajiban perusahaan untuk memotong PPh Pasal 23/Pasal 26 baru timbul pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain, pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 atas dividen yang “dibayarkan atau terutang” sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 26 baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Demikian sekilas pembahasan pencatatan akuntansi atas pendapatan dividen dan implikasi perpajakannya. Semoga bermanfaat (Hrd).

Tuesday, May 13, 2008

Kertas Kerja Audit

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 339 (PSA No. 15) mengatur mengenai Kertas Kerja Audit.

Kertas Kerja adalah catatan yang dipersiapkan dan disimpan oleh auditor yang isinya meliputi prosedur audit yang diterapkan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh serta kesimpulan yang dicapai dalam penugasan audit.

Dalam setiap penugasan audit dibutuhkan penyusunan kertas kerja yang paling sesuai dengan kondisi penugasan yang sedang dihadapi.

Pada bagian Pendahuluan, SPAP SA Seksi 339 dijelaskan bahwa “Auditor harus membuat dan memelihara kertas kerja, yang isi maupun bentuknya harus didesain untuk memenuhi keadaan-keadaan yang dihadapinya dalam perikatan tertentu. Informasi yang tercantum dalam kertas kerja merupakan catatan utama pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh auditor dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya mengenai masalah-masalah yang signifikan”.

Kertas Kerja terutama berfungsi untuk :

1. Sebagai pendukung utama bagi laporan auditor, termasuk representasi tentang pengamatan atas standar pekerjaan lapangan. Selain itu, kertas kerja juga merupakan bukti pendukung utama yang memungkinkan auditor membela diri apabila hasil kerjanya dipermasalahkan dikemudian hari.

2. Membantu auditor dalam pelaksanaan dan supervisi audit.

Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, kertas kerja harus direncanakan dan dipergunakan untuk meningkatkan pelaksanaan penugasan audit seefisien dan seekonomis mungkin. Kertas kerja harus berisi catatan mengenai prosedur audit yang memadai dan lengkap yang dilakukan dalam pemeriksaan laporan keuangan serta kesimpulan yang dicapai.

Kuantitas, bentuk, dan isi kertas kerja untuk penugasan khusus akan berlainan tergantung pada keadaan masing-masing penugasan tersebut. Faktor-faktor berikut ini dapat mempengaruhi pertimbangan auditor mengenai kuantitas, bentuk dan isi kertas kerja :

1. Sifat dasar penugasan

2. Sifat dasar laporan auditor

3. Sifat dasar laporan keuangan, lampiran atau informasi lain yang dilaporkan oleh auditor

4. Sistim pembukuan yang ada pada perusahaan klien

5. Cukup tidaknya pengendalian intern terhadap pencatatan akuntansi

6. Tingkat supervisi dan penelaahan yang diperlukan

Paragraf 5 SPAP SA Seksi 339 menjelaskan mengenai Isi Kertas Kerja.

Kuantitas, tipe, dan isi kertas kerja bervariasi dengan keadaan yang dihadapi oleh auditor, namun harus cukup memperlihatkan bahwa catatan akuntansi cocok dengan laporan keuangan atau informasi lain yang dilaporkan serta standar pekerjaan lapangan yang dapat diterapkan telah diamati. Kertas kerja biasanya harus berisi dokumentasi yang memperlihatkan :

1. Pekerjaan telah direncanakan dan disupervisi dengan baik

2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern telah diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang telah dilakukan

3. Bukti audit yang telah diperoleh, prosedur audit yang telah ditetapkan, dan pengujian yang telah dilaksanakan, memberikan bukti kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.

Jadi, pada dasarnya proses perancangan kertas kerja audit yang memadai sangatlah tergantung kepada keahlian serta pengalaman audit field work seorang auditor. Selain itu, menurut saya, daya nalar dan daya imajinatif juga sangat mendukung dalam merancang kertas kerja audit sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan untuk mendeteksi kecurangan-kecurangan maupun kekeliruan penyajian laporan keuangan sebuah perusahaan yang sedang diaudit. Lebih lanjut, menurut saya, merancang kertas kerja audit adalah sebuah seni. Diperlukan seorang seniman audit yang baik untuk dapat menciptakan karya seni berupa kertas kerja audit yang baik pula.

Pada umumnya, kertas kerja audit dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu :

1. Permanent File; berisi informasi penting yang berkesinambungan bagi suatu penugasan pemeriksaan dan dimaksudkan untuk menyimpan data historis atau data berkesinambungan sebagai sumber informasi yang penting untuk pelaksanaan audit dari tahun ke tahun. Contoh : Akta Pendirian Perusahaan, Informasi Bisnis dan Jenis Usaha Klien (UCBIQ), Perjanjian Pinjaman dan Kontrak Jangka Panjang dan lainnya.

2. Current File; berisi kertas-kertas kerja yang dapat digunakan selama pemeriksaan tahun berjalan. Misalnya : Draft Laporan Auditor, Laporan Keuangan Perusahaan (Inhouse/Home Statement), Laporan Audit Final, Management Letter, Surat Representasi Klien, Review Points, Kertas Kerja Perencanaan Audit, Kertas Kerja Pengujian Substantif seperti Working Balance Sheet, Working Profit and Loss, Ayat Jurnal Koreksian Auditor, Audit Program dan kertas kerja lainnya yang berkaitan dengan audit tahun berjalan.

3. Tax File; berisi informasi yang berkaitan dengan kewajiban klien dibidang perpajakan tahun berjalan, tahun-tahun sebelumnya dan tahun yang akan datang. Berkas ini juga berfungsi sebagai dasar pengisian SPT Tahun berjalan.

Paragraf 6, 7 dan 8 SPAP SA Seksi 339 mengatur mengenai kepemilikan dan penyimpanan kertas kerja.

Kertas kerja adalah milik auditor. Namun hak dan kepemilikan atas kertas kerja masih tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang berkaitan dengan hubungan yang bersifat rahasia dengan klien.

Seringkali kertas kerja tertentu auditor dapat berfungsi sebagai sumber acuan bagi kliennya, namun kertas kerja harus tidak dipandang sebagai bagian dari, atau sebagai pengganti terhadap, catatan akuntansi klien.

Auditor harus menerapkan prosedur memadai untuk menjaga keamanan kertas kerja dan harus menyimpannya dalam periode yang dapat memenuhi kebutuhan praktiknya dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku mengenai penyimpanan dokumen.

Pasal 44 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik mewajibkan Akuntan Publik dan/atau KAP untuk memelihara Laporan Auditor Independen, Kertas Kerja serta dokumen pendukung lainnya yang berkaitan dengan pemberian jasa selama 10 (sepuluh) tahun.

“The skill of an accountant can always be ascertained by an inspection of his working papers.”
— Robert H. Montgomery, Montgomery’s Auditing, 1912

Saturday, May 10, 2008

MenKeu Terbitkan Petunjuk Teknis Sunset Policy Perpajakan

Technorati Tags: ,,

Beberapa waktu yang lalu saya pernah memposting tulisan berkaitan dengan kebijakan sunset policy dengan judul “Sunset Policy (Pengampunan Pajak?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007”.

Adapun peraturan perpajakan yang mengatur mengenai sunset policy selain Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 adalah Peraturan Menteri Keuangan (PerMenKeu) No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 37A tersebut.

Selanjutnya, pada tanggal 29 April 2008, Menteri Keuangan telah menerbitkan PerMenKeu No. 66/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan dan Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Penerapan Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 dan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008.

Dengan berlakunya PerMenKeu No. 66/PMK.03/2008 tersebut, maka PerMenKeu sebelumnya yaitu PerMenKeu No. 18/PMK.03/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 11).

Untuk sekedar menyegarkan ingatan kembali, bahwa pemerintah melalui Menteri Keuangan memberikan fasilitas sunset policy atau semacam pengampunan pajak baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan sebagai berikut :

1. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar

2. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan :

· Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebelum Tahun Pajak 2007; atau

· Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan sebelum Tahun Pajak 2007,

yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Pengaturan lebih lanjut dapat dibaca dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.03/2008 terlampir.

PerMenKeu No.66/PMK03/2008

Friday, May 9, 2008

Bagaimana jika salah mengelompokkan aktiva tetap ?

Dalam praktek sehari-hari, cukup sering pertanyaan yang berkaitan dengan perlakuan perpajakan atas penyusutan aktiva tetap dilontarkan. Salah satunya adalah bagaimana jika terjadi kekeliruan pengelompokkan aktiva tetap misalnya aktiva tetap yang secara fiskal seharusnya dikelompokkan sebagai kelompok I tetapi dalam pembukuan dimasukkan sebagai kelompok II. Jika dilakukan penyesuaian pada tahun berjalan, bagaimana mekanismenya ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kasus berikut ini yang merupakan tanggapan Dirjen Pajak atas pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP) yang bergerak dalam bidang industri teh dalam kemasan.

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-286/PJ.42/2003 tanggal 23 Mei 2003 dipaparkan sebagai berikut :

  1. PT ABC merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri teh dalam kemasan dimana salah satu aktiva tetapnya berupa botol beling, krat dan galon plastik;
  2. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 tentang jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan, botol beling, krat dan galon plastik adalah merupakan barang-barang yang mudah pecah dan rusak serta mempunyai masa manfaat baik secara teknis maupun ekonomis tidak lebih dari 4 (empat) tahun;
  3. PT ABC selama ini telah melakukan kekeliruan dalam mengelompokkan aktiva tetap botol beling, krat dan galon plastic tersebut menggunakan metode Saldo Menurun dengan tarif Kelompok II sebesar 25 % dari nilai buku, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan di atas mupun pengelompokkan yang lazim digunakan pada industry lainnya yang sejenis;
  4. PT ABC bermaksud untuk mengelompokkan kembali aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik tersebut ke dalam Kelompok I sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 tanggal 8 April 2002 mulai tahun buku 2002 dengan menggunakan metode saldo menurun dengan tarif kelompok I sebesar 50 % dari nilai buku akhir tahun 2001 sebagai dasar penyusutan untuk tahun buku 2002;

Bagaimana perhitungan dasar penyusutan sehubungan dengan penggolongan kembali aktiva tetap tersebut ?

Berdasarkan Pasal 11 ayat (6) UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, antara lain diatur bahwa untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud untuk jenis harta Bukan Bangunan, Kelompok I (masa manfaat 4 tahun) tarif penyusutan jika menggunakan metode Garis Lurus 25 %, jika menggunakan metode Saldo Menurun 50 %. Sedangkan untuk Kelompok II (masa manfaat 8 tahun) tarif penyusutan jika menggunakan metode Garis Lurus 12,5 % dan metode Saldo Menurun 25 %.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 diatur bahwa untuk jenis usaha industry makanan dan minuman jenis harta antara lain pallet dan sejenisnya termasuk dalam Kelompok I.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa :

a. Aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik dalam industri makanan dan minuman termasuk dalam Kelompok I dengan jenis harta pallet dan sejenisnya;

b. Apabila PT ABC mulai tahun pajak 2002 akan mengelompokkan kembali aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik yang sebelumnya disusutkan berdasarkan kelompok II ke dalam kelompok I, maka dasar penyusutan yang digunakan adalah nilai sisa buku fiskal pada 1 Januari 2002;

c. Aktiva tetap yang pada tanggal 1 Januari 2002 telah disusutkan selama 4 (empat) tahun atau lebih, nilai sisa bukunya disusutkan sekaligus pada tahun 2002. Sedangkan bagi aktiva tetap yang telah disusutkan kurang dari 4 (empat) tahun per 1 Januari 2002, maka nilai sisa bukunya dijadikan dasar penyusutan kelompok I dengan tarif sebesar 50 % untuk masa manfaat 4 (empat) tahun ke depan.

Demikian isi Surat Dirjen Pajak No. S-286/PJ.42/2003 tanggal 23 Mei 2003 tersebut (Hrd).

Thursday, May 8, 2008

Pinjaman Subordinasi tanpa bunga

Sebuah group perusahaan perkebunan dalam kegiatan operasionalnya, anak perusahaan memperoleh pinjaman dari perusahaan induk (holding company). Pinjaman tersebut terjadi terutama karena adanya kebutuhan mendesak dari perusahaan yang meminjam sambil menunggu proses kredit dari bank. Adakalanya pinjaman tersebut tidak dikenakan bunga dengan pertimbangan bahwa perusahaan anak sedang dalam kesulitan keuangan. Dalam pemeriksaan pajak oleh petugas pajak, hal tersebut menjadi perdebatan antara diperbolehkannya pinjaman tersebut tanpa bunga atau apakah pinjaman tersebut mengandung bunga yang terselubung (deem interest).

Sehubungan dengan adanya KEP-28/PM/1999 tanggal 31 Desember 1999 tentang Pokok-pokok Ketentuan Perjanjian Pinjaman Sub Ordinasi Perusahaan tersebut, kemudian perusahaan tersebut meminta penegasan dari Dirjen Pajak sebagai berikut :

1. Apakah pinjaman Sub Ordinasi seperti yang dimaksud pada keputusan tersebut boleh tanpa bunga, dan jika boleh bagaimana konsekuensi perpajakannya ?

2. Jika pinjaman Sub Ordinasi tersebut dikenakan bunga dan oleh karena satu dan lain hal beban bunga ditangguhkan pembayarannya sampai dengan suatu tanggal tertentu kapan terhutang PPh Pasal 23 ?

3. Jika pinjaman Sub Ordinasi beserta bunganya dikonversi menjadi modal saham, bagaimana konsekuensi perpajakannya ?

Berikut adalah tanggapan Dirjen Pajak berdasarkan Surat Dirjen Pajak No. S-89/PJ.311/2000 tanggal 29 Pebruari 2000 :

Dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992 perihal Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham ditegaskan bahwa pinjaman perusahaan tanpa bunga dari pemegang sahamnya dapat dianggap wajar apabila memenuhi syarat kumulatif sebagai berikut :

1. Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.

2. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya

3. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi

4. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

Apabila salah satu dari ke-empat unsur di atas tidak terpenuhi, maka atas pinjaman tersebut dilakukan koreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :

1. Pinjaman Sub Ordinasi seperti yang dimaksud dalam permasalahan di atas dapat diterima sebagai pinjaman tanpa bunga sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tersebut di atas.

2. Apabila pembayaran bunga pinjaman Sub Ordinasi ditangguhkan, maka Pajak Penghasilan Pasal 23 atas bunga tersebut terhutang pada saat dibayarkan atau terutang (mana yang lebih dahulu). Dalam hal pembukuan perusahaan menganut metode akrual maka penangguhan pembayaran bunga tidak mempengaruhi saat pengakuan biayanya.

3. Jika pinjaman Sub Ordinasi beserta bunganya dikonversikan dalam bentuk saham, maka atas bunga pinjaman Sub Ordinasi terutang Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah brutonya.

Audit Points

Selama pelaksanaan penugasan audit, Auditor selalu mencatat bermacam-macam audit notes dan penelaahan atau butir-butir pemeriksaan (audit points) untuk beberapa tujuan guna membantu Auditor dalam melaksanakan pekerjaannya.

Pencatatan tersebut biasanya dalam bentuk :

1. To Do Points

2. Butir-butir Catatan atas Laporan Keuangan (Notes to Financial Statement Points)

3. Management Letter Points

4. Catatan untuk Partner (Points for Partner)

Audit points ini biasanya ditulis pada buku catatan ataupun dengan menggunakan bantuan perangkat komputer. Jika butir-butir tersebut dapat dinilai dengan jelas dan tertulis dengan cukup terperinci, maka catatan tersebut dapat menjadi alat bantu yang berguna untuk mengingatkan penyelesaian masalah-masalah tertentu atau untuk pelaksanaan prosedur audit tertentu.

To Do Points

To Do Points berfungsi sebagai sarana untuk mengingatkan Auditor terhadap prosedur-prosedur yang karena satu atau lain alasan, belum dapat dilaksanakan lebih awal, atau pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak auditor tapi belum terjawab. Biasanya setiap Auditor menyimpan lembar “To Do Point” nya sendiri.

Format To Do Points secara umum mencakup informasi Nama Klien, Lembar Judul (To Do Points), Tanggal Audit, Referensi Kertas Kerja, Penjelasan To Do Points serta Remarks.

Untuk suatu butir To Do Points yang sudah diselesaikan, point tersebut harus dicoret. Dengan demikian, point-point yang masih belum diselesaikan dan perlu penyelesaian dapat diidentifikasi dengan mudah.

Semua masalah penting yang timbul dan penyelesaiannya harus ditunjukkan dalam kertas kerja yang berhubungan. Hal ini merupakan bagian dari temuan Auditor dan berfungsi sebagai masukan pada proses evaluasi bukti-bukti, oleh karena itu harus ditunjukkan dalam kertas kerja yang sesuai. Lembaran “To Do Points” bukan bagian dari kertas kerja. Lembaran-lembaran tersebut harus dimusnahkan setelah semua point telah diselesaikan dan telah dicatat dengan benar dalam kertas kerja audit.

Notes to Financial Statement Points

Selama berlangsungnya audit, Auditor harus waspada terhadap masalah-masalah yang membutuhkan pengungkapan (disclosure) dalam Laporan Keuangan. Ketika Auditor menemukan hal-hal yang membutuhkan pengungkapan, dia harus mencatatnya pada lembaran Notes to Financial Statement Points sehingga dapat berfungsi untuk mengingatkan atau sebagai future reference ketika dia membantu klien membuat draft Catatan atas Laporan Keuangan.

Format Notes to Financial Statement Points pada umumnya harus memberikan informasi mengenai Nama Klien, Lembar Judul (Notes to FS Points), Tanggal Audit, Referensi Kertas Kerja (WP Reference), Rincian hal-hal atau data yang membutuhkan pengungkapan serta Tindakan yang diambil.

Management Letter Points

Management Letter (ML) Points berisi hal-hal yang menjadi temuan Auditor selama pelaksanaan audit dan memerlukan perhatian serta langkah perbaikan oleh manajemen perusahaan misalnya adanya kelemahan pengendalian internal ataupun masalah lainnya. Hal-hal yang akan ditulis pada ML harus disusun selama berlangsungnya audit untuk memudahkan penyusunan ML tersebut dan untuk meningkatkan kwalitasnya.

ML Points harus disimpan pada point sheet yang menerangkan ML Point, bagaimana ML dicatat, rekomendasi untuk langkah perbaikan, komentar manajemen perusahaan serta tindakan yang diambil.

Lembaran ML Points yang harus ditandatangan dan diberi tanggal oleh Auditor yang menyusun, dapat dikumpulkan dalam satu map selama berlangsungnya audit dan kemudian segera difile setelah Ringkasan Kelemahan Pengendalian (Summary of Control Weaknesses).

Catatan untuk Partner (Points for Partner)

Selama proses pemeriksaan, auditor harus mencatat pengecualian-pengecualian yang membutuhkan perhatian atau pertimbangan mendesak dari Partner yang bertanggung jawab (Engagement Partner). Pengecualian ini merupakan pengecualian serius yang dapat menimbulkan efek material terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan atau pengecualian yang dapat mengisyaratkan adanya kecurangan atau penyelewengan yang sangat dibutuhkan tindakan segera dari Engagement Partner (Hrd).

Thursday, May 1, 2008

Sunset Policy (Pengampunan Pajak ?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007

Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 menyisipkan 1 (satu) pasal yang tidak diatur dalam UU Perpajakan sebelumnya yakni Pasal 37A. Pasal ini mengatur mengenai kebijakan Sunset Policy (semacam pengampunan pajak) baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Lebih lanjut, isi dari Pasal 37A tersebut adalah sebagai berikut :

1. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini dberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya serta Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007.

Pasal 1

1. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

2. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilunasi sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Pasal 2

1. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.

2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2009.

3. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

4. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali :

· Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut menyatakan lebih bayar; atau

· terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan tersebut tidak benar.

Pasal 3

Terhadap Wajib Pajak yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) atau Pasal 2 ayat (1), tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Secara umum, kebijakan Sunset Policy tersebut adalah berupa penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar (kurang bayar), diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.

Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007, masa kadaluarsa kewajiban perpajakan diubah menjadi 5 tahun dari sebelumnya 10 tahun berdasarkan UU yang lama, apakah berarti SPT Tahunan yang perlu dilakukan pembetulan hanya sebatas 5 tahun ke belakang (tahun 2003 s.d tahun 2007) ?

Jika kita perhatikan lebih jauh, dalam Pasal II angka 1 UU No. 28 tahun 2007 tersebut diatur bahwa “Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000”.

Berarti, menurut saya, mengikuti Pasal II tersebut di atas, seharusnya SPT Tahunan yang perlu dibetulkan adalah untuk 10 tahun ke belakang (tahun 1998 s.d tahun 2007) sesuai dengan masa kadaluarsa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000.

Yang menarik, dalam Pasal II ditambahkan satu paragraf lagi (angka 2) yang menyatakan bahwa “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.” Berarti untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, jika tidak dilakukan penetapan pajak sampai dengan 2013, maka dengan sendirinya kewajiban perpajakan menjadi daluwarsa.

Sedikit informasi tambahan, pada tanggal 24 Maret 2008 kemarin, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak telah mengeluarkan pengumuman (public release) yang menghimbau para wajib pajak untuk memanfaatkan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan tersebut di atas (Hrd).

Sunset Policy (Pengampunan Pajak ?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007

Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 menyisipkan 1 (satu) pasal yang tidak diatur dalam UU Perpajakan sebelumnya yakni Pasal 37A. Pasal ini mengatur mengenai kebijakan Sunset Policy (semacam pengampunan pajak) baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Lebih lanjut, isi dari Pasal 37A tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini dberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya serta Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007.

Pasal 1

  1. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
  2. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilunasi sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Pasal 2

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.
  2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2009.
  3. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
  4. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali :
  • Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut menyatakan lebih bayar; atau
  • terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan tersebut tidak benar.

Pasal 3

Terhadap Wajib Pajak yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) atau Pasal 2 ayat (1), tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Secara umum, kebijakan Sunset Policy tersebut adalah berupa penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar (kurang bayar), diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.

Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007, masa kadaluarsa kewajiban perpajakan diubah menjadi 5 tahun dari sebelumnya 10 tahun berdasarkan UU yang lama, apakah berarti SPT Tahunan yang perlu dilakukan pembetulan hanya sebatas 5 tahun ke belakang (tahun 2003 s.d tahun 2007) ?

Jika kita perhatikan lebih jauh, dalam Pasal II angka 1 UU No. 28 tahun 2007 tersebut diatur bahwa "Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000".

Berarti, menurut saya, mengikuti Pasal II tersebut di atas, seharusnya SPT Tahunan yang perlu dibetulkan adalah untuk 10 tahun ke belakang (tahun 1998 s.d tahun 2007) sesuai dengan masa kadaluarsa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000.

Yang menarik, dalam Pasal II ditambahkan satu paragraf lagi (angka 2) yang menyatakan bahwa "Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013." Berarti untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, jika tidak dilakukan penetapan pajak sampai dengan 2013, maka dengan sendirinya kewajiban perpajakan menjadi daluwarsa.

Sedikit informasi tambahan, pada tanggal 24 Maret 2008 kemarin, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak telah mengeluarkan pengumuman (public release) yang menghimbau para wajib pajak untuk memanfaatkan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan tersebut di atas.

Memperkecil Beban Pajak dari Revaluasi Aktiva Tetap

Pada Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003 kolom My Tax Advisor, seorang pembaca menanyakan masalah manfaat revaluasi aktiva tetap, sebagai berikut :

Saya pernah mendengar bahwa revaluasi aktiva tetap mempunyai manfaat bagi perusahaan, khususnya dari sisi perpajakan yang akan mempengaruhi pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Apakah benar demikian ? Bagaimana persyaratannya ?

Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh Tahun 2000), dijelaskan bahwa dalam masa di mana terdapat perkembangan harga yang mencolok (inflasi) atau perubahan kebijakan di bidang moneter (devaluasi mata uang dalam negeri) dapat terjadi kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Hal ini disebabkan karena pengukuran biaya berdasarkan historical cost, sementara pendapatan diukur dengan harga berlaku yaitu current cost.

Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dan faktor penyesuaiannya (indeksasi nilai perolehan aktiva dan biaya penyusutannya), di mana yang masih berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Revaluasi aktiva tetap memang mempunyai manfaat bagi perusahaan, yaitu antara lain :

1. Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat meningkatnya nilai aktiva dan modal;

2. Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai aktiva dapat dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus);

3. Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio keuangan perusahaan, khususnya yang ditunjukkan oleh debt to assets ratio dan debt to equity ratio.

4. Penghematan pajak yang terjadi sebagai akibat bertambah besarnya nilai penyusutan aktiva, yang dapat memberikan penghematan pajak sebesar 30% dari nilai tambah penyusutan. Sementara keuntungan dari revaluasi aktiva hanya dikenakan pajak final sebesar 10%.

Adapun prosedur, persyaratan dan perhitungan pajak atas revaluasi aktiva tetap diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Sumber : Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003