Showing posts with label Perpajakan. Show all posts
Showing posts with label Perpajakan. Show all posts

Saturday, April 4, 2020

Dengan PERPPU NO.1 TAHUN 2020, Tarif Pajak Korporasi Turun 3%

Sebagaimana yang kita ketahui, pandemi COVID-19 bukan hanya berdampak pada masalah kesehatan masyarakat saja, tetapi juga menjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Sebagai respons atas hal tersebut, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu No. 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Beberapa pertimbangan pemerintah sebagai dasar penerbitan Perppu No.1/2020 seperti yang dijelaskan dalam Perppu tersebut di antaranya adalah bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak terhadap memburuknya sistem keuangan (baca penjelasan selengkapnya pertimbangan-pertimbangan Pemerintah tersebut dalam Perppu No.1/2020 yang dapat diunduh di sini).

Berdasarkan berbagai pertimbangan seperti yang dijelaskan dalam Perppu No.1/2020, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan APBN.

Adapun salah satu kebijakan relaksasi yang diambil Pemerintah adalah melalui instrumen perpajakan seperti yang diatur dalam Bagian Ketiga - Kebijakan di Bidang Perpajakan dalam Perppu No.1/2020. Pasal 4 ayat (1) lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi :

  1. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
  2. perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);
  3. perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
  4. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Pasal 5 menetapkan bahwa penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi :
  1. sebesar 22% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
  2. sebesar 20% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022
Sejalan dengan penurunan tarif Pajak Penghasilan di atas, Ditjen Pajak (DJP) dalam siaran pers tanggal 3 April 2020 (link di sini) menegaskan bahwa sebagai akibat dari penurunan tarif Pajak Penghasilan sesuai Perppu No.1/2020 maka penghitungan dan setoran angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2020 dapat menggunakan tarif sebesar 22% mulai masa pajak SPT Tahunan 2019 disampaikan dan masa pajak setelahnya.

Bagi wajib pajak yang belum menyampaikan SPT Tahunan 2019 sampai dengan akhir Maret 2020 penghitungan dan setoran angsuran PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut :
  • Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Maret 2020 (yang disetorkan paling lambat pada 15 April 2020) adalah sama dengan angsuran pada masa pajak sebelumnya
  • Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak April 2020 (yang disetorkan paling lambat pada 15 Mei 2020) dihitung berdasarkan laba fiskal yang dilaporkan pada SPT Tahunan 2019, namun sudah menggunakan tarif baru yaitu 22 persen.
Demikian informasi terkait penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagai bagian dari kebijakan relaksasi di bidang perpajakan (HRD) ***

Saturday, July 30, 2016

Perubahan Mata Uang, bagaimana pengaturan menurut PERPAJAKAN ?

Pada dasarnya perpajakan di Indonesia mengharuskan penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan mata uang Rupiah. Adapun penyelenggaraan pembukuan dalam mata uang selain Rupiah hanya diperbolehkan dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat, setelah mendapatkan izin tertulis dari Menteri Keuangan.

Peraturan pajak yang mengatur mengenai penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan mata uang asing adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.196/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Dalam Pasal 6 PMK No.196 tersebut diatur antara lain :

Bagi Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagai berikut:

PADA AWAL TAHUN BUKU :

Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari Neraca akhir tahun buku sebelumnya (dalam satuan mata uang Rupiah) yang dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs :

  1. untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;
  2. untuk akumulasi penyusutan dan/atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada bagian 1) menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;
  3. untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas;
  4. apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;
  5. untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, yakni kurs tengah Bank Indonesia, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;
  6. untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi;
  7. dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari satuan mata uang Rupiah ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada bagian 1), bagian 2), bagian 3), bagian 4) dan bagian 5) maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

DALAM TAHUN BERJALAN :

  • untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan;
  • untuk transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang menggunakan satuan mata uang selain Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi, yaitu sebagai berikut : (1) apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs yang diketahui dari transaksi tersebut; (2) apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas.

Selanjutnya, dalam Pasal 11 PMK No.196 tersebut diatur bahwa sisa kerugian fiskal dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya yang dapat dikompensasikan ke Tahun Pajak dimulainya pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada akhir tahun buku pada saat kerugian fiskal tersebut terjadi.

Wajib pajak yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat, harus menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dalam jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun pajak sejak diterbitkan izin atau penyampaian pemberitahuan.

CATATAN : baca juga tulisan sebelumnya : Perubahan Mata Uang Fungsional, bagaimana Standar Akuntansi Mengaturnya ? untuk membandingkan dengan pengaturan menurut Standar Akuntansi di Indonesia (PSAK).

Saturday, July 9, 2016

TAX AMNESTY 2016, Ungkap, Tebus, Lega

Pada tanggal 28 Juni 2016 kemarin, DPR secara resmi mengesahkan Undang-Undang Tax Amnesty atau UU Pengampunan Pajak, dan selanjutnya pada tanggal 1 Juli 2016, Presiden RI Joko Widodo secara resmi mencanangkan program Pengampunan Pajak yang berlaku secara nasional dan terbuka bagi seluruh masyarakat wajib pajak. Melalui program Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) yang berlaku hingga 31 Maret 2017, pemerintah memberikan kesempatan bagi semua wajib pajak untuk mendapatkan penghapusan atas pokok pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan melalui pembayaran sejumlah uang tebusan dengan tarif tertentu.

Tax Amnesty ini berlaku untuk semua kewajiban perpajakan yang belum dibayar oleh wajib pajak sampai dengan tahun pajak terakhir (yaitu tahun pajak yang berakhir antara 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2015) melalui deklarasi aset dengan menggunakan Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak/SPHPP). Ruang lingkup Tax Amnesty ini meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan Barang Mewah.

Adapun Tax Amnesty diperhitungkan atas nilai aset bersih (aset dikurangi utang) yang dideklarasikan di dalam SPHPP, meliputi aset bersih yang ditempatkan baik di dalam maupun di luar Indonesia.

Besaran TARIF UANG TEBUSAN yang ditetapkan dalam UU Tax Amnesty adalah sebagai berikut :

(1) untuk Deklarasi Aset Luar Negeri yang tidak disertai dengan Repatriasi ke Indonesia, untuk periode penyampaian SPHPP antara bulan Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 4%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 6% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 10%.

(2) untuk Deklarasi Aset Luar Negeri yang disertai dengan Repatriasi ke Indonesia dan diinvestasikan di Indonesia minimal dalam 3 tahun, untuk periode penyampaian SPHPP antara Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 2%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 3% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 5%.

(3) untuk Deklarasi Aset Dalam Negeri dan tetap berada di Indonesia minimal dalam 3 tahun, untuk periode penyampaian SPHPP antara Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 2%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 3% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 5%.

Untuk wajib pajak UMKM yaitu wajib pajak dengan peredaran usaha sampai dengan Rp 4,8 Milyar per 31 Desember 2015 dikenakan TARIF UANG TEBUSAN sebagai berikut :

  1. Deklarasi Aset sampai dengan Rp 10 milyar dikenakan tarif 0,5%
  2. Deklarasi Aset di atas Rp 10 milyar dikenakan tarif 2%

Tarif uang tebusan untuk UMKM di atas dikenakan seragam untuk periode penyampaian SPHPP terhitung sejak Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017.

Berkaitan dengan perhitungan dasar pengenaan Uang Tebusan, nilai UTANG yang dapat diperhitungkan dibatasi sebagai berikut :

  1. Maksimal 75% dari nilai aset tambahan untuk wajib pajak korporasi
  2. Maksimal 50% dari nilai aset tambahan untuk wajib pajak individual

Program Tax Amnesty ini akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2017 (HRD).

Thursday, July 30, 2015

Perubahan PTKP mulai 1 JANUARI 2015

MC900303024Pada tanggal 27 Juli 2015 kemarin, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah mengeluarkan SIARAN PERS megenai perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2015.

Berdasarkan Siaran Pers tersebut diinformasikan antara lain bahwa mulai 1 Januari 2015, Wajib Pajak Orang Pribadi akan mendapatkan kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar 48% atau setara dengan Rp 11.700.000 menjadi Rp 36.000.000 setahun dari sebelumnya sebesar Rp 24.300.000.

Peningkatan PTKP tersebut diperoleh setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.122/PMK.010/2015 tanggal 29 Juni 2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Penerbitan PMK tersebut dilatarbelakangi oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi serta perkembangan harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat. Lebih lanjut, kenaikan PTKP tersebut ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan sebagai insentif agar pertumbuhan ekonomi nasional dapat didorong melalui peningkatan konsumsi masyarakat.

Seperti yang dijelaskan dalam Siaran Pers tersebut, meskipun diundangkan pada tanggal 29 Juni 2015, PMK tersebut berlaku surut yaitu mulai berlaku sejak TAHUN PAJAK 2015 sehingga akan menimbulkan beberapa konsekuensi atas penghitungan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 tahun 2015 sebagai berikut :

  1. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d Desember 2015 dihitung dengan menggunakan PTKP baru;
  2. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d Juni 2015 yang telah dihitung, disetor dan dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan pembetulan dengan menggunakan PTKP baru.

Dalam hal terdapat kelebihan setor akibat pembetulan penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d Juni 2015, dan agar manfaat kenaikan PTKP tersebut dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas maka pemberi kerja mengkompensasikan kelebihan setor tersebut terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d Desember 2015.

Dokumen Siaran Pers Dirjen Pajak Kementerian Keuangan serta PMK No.122/PMK.010/2015 terkait dapat didownload melalui link berikut ini :

  1. Siaran Pers Dirjen Pajak tanggal 27 Juli 2015
  2. PMK No.122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak

Friday, July 17, 2015

Pengumuman Dirjen Pajak tentang Faktur Pajak Berbentuk ELEKTRONIK

Page-0012Pada tanggal 16 Maret 2015 kemarin, Dirjen Pajak telah menerbitkan PENGUMUMAN Nomor PENG-1/PJ.02.2015 tentang Faktur Pajak Berbentuk Elektronik (e-FAKTUR) yang kemudian telah direvisi dengan PENGUMUMAN Nomor PENG-2/PJ.02/2015 tanggal 30 April 2015.

Dalam PENGUMUMAN tersebut diinformasikan antara lain bahwa sehubungan dengan pemberlakuan Faktur Pajak berbentuk elektronik (e-Faktur), Direktorat Jenderal Pajak perlu mengumumkan hal-hal sebagai berikut :

  1. Telah diterbitkan ketentuan yang mengatur mengenai Faktur Pajak berbentuk elektronik (e-Faktur) yaitu :
    • Peraturan Menteri Keuangan No.151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak;
    • Peraturan Dirjen Pajak No.PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;
    • Peraturan Dirjen Pajak No.PER-17/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Dirjen Pajak No.PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak;
    • Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;
    • Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-224/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;
    • Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-33/PJ/2015 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;
    • Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-62/PJ/2015 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;
    • Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-94/PJ/2015 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;
    • Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-96/PJ/2015 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik; dan
    • Pengumuman Dirjen Pajak No.PENG-01/PJ.02/2014 tentang Faktur Pajak Berbentuk Elektronik (e-Faktur).
  2. Bahwa pemberlakuan e-Faktur dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan bagi Pengusaha Kena Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan khususnya pembuatan Faktur Pajak
  3. Direktur Jenderal Pajak telah menetapkan Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik (e-Faktur) sebagaimana terlampir
  4. Kepada seluruh pihak yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud di atas dengan ini diberitahukan bahwa Faktur Pajak yang akan diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut berbentuk elektroni (e-Faktur).
  5. Hal-hal yang perlu diketahui terkait dengan e-Faktur dapat diinformasikan sebagai berikut :
    • e-Faktur berbentuk elektronik, sehingga tidak diwajibkan untuk dicetak dalam bentuk kertas, namun demikian dalam hal diperlukan cetakan kertas baik oleh penjual dan/atau pihak pembeli, e-Faktur dipersilahkan untuk dicetak sesuai dengan kebutuhan
    • e-Faktur ditandatangani secara elektronik sehingga tidak disyaratkan lagi untuk ditandatangani secara basah oleh pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak
    • e-Faktur menggunakan mata uang Rupiah
  6. Dalam hal e-Faktur dicetak dalam bentuk file pdf dan/atau kertas, maka contoh tampilannya adalah sebagaimana terlampir (Lampiran VII). Apabila e-Faktur dicetak di atas kertas yang disediakan secara khusus oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya kertas yang telah dicetak logo perusahaan, alamat, atau informasi lainnya, maka e-Faktur yang dicetak di atas kertas tersebut tetap berfungsi sebagai Faktur Pajak
  7. Diminta bantuan kepada seluruh Kepala Kantor Wilayah DJP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan, dan Kepala KP2KP, untuk menyebarluaskan pengumuman ini melalui media yang tersedia di Tempat Pelayanan Terpadu dan/atau tempat/media lain yang tersedia dan memungkinkan.

Dokumen PENGUMUMAN di atas beserta Lampiran-lampirannya secara lengkap dapat didownload melalui link berikut ini :

  1. PENGUMUMAN No.PENG-1/PJ.02/2015 tanggal 16 Maret 2015
  2. PENGUMUMAN No.PENG-2/PJ.02/2015 tanggal 30 April 2015

Lebih lanjut, pada tanggal 16 Juni 2015 Dirjen Pajak telah menerbitkan PENGUMUMAN lainnya yaitu PENGUMUMAN Nomor PENG-6/PJ.02/2015 tentang Penegasan Atas e-Faktur. Dokumen PENG-6 tersebut dapat didownload DI SINI (HRD).

Monday, December 30, 2013

Perubahan Batasan PENGUSAHA Kecil PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Pada tanggal 20 Desember 2013 kemarin, Menteri Keuangan RI telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.197/PMK.03/2013 mengenai Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Sebelumnya, berdasarkan PMK No.68/PMK.03/2010, batasan PENGUSAHA KECIL PPN adalah sebesar Rp 600 juta. Melalui PMK No.197/PMK.03/2013 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2014 ini, batasan PENGUSAHA KECIL PPN tersebut telah ditingkatkan menjadi sebesar Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 1 PMK tersebut dijelaskan bahwa PENGUSAHA KECIL merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) TAHUN BUKU melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto TIDAK LEBIH dari Rp 4.800.000.000. Jumlah peredaran bruto ini merupakan jumlah keseluruhan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.

Pasal 4 PMK No.197 tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila SAMPAI DENGAN SUATU BULAN DALAM TAHUN BUKU jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 Miliar. Kewajiban untuk melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling lama AKHIR BULAN BERIKUTNYA setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 Miliar.

Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam 1 tahun buku tidak melebihi Rp 4,8 Miliar, maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan PENCABUTAN pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (HRD).

Tuesday, March 1, 2011

Pengembalian (Restitusi) Kelebihan PPN atau PPnBM

UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang mulai berlaku terhitung sejak 1 April 2010, dalam Pasal 9 ayat (4) mengatur antara lain bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Kemudian, dalam ayat (4a) diatur bahwa atas kelebihan Pajak Masukan (PM) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Dalam hal ini berarti setiap kelebihan PM pada suatu masa pajak dikompensaikan ke masa pajak berikutnya terlebih dahulu, baru pada masa pajak akhir tahun buku, jika terdapat kelebihan PM dapat diajukan permohonan untuk pengembalian (restitusi). Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah masa pajak saat wajib pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).

Untuk PKP tertentu, kelebihan PM dapat diajukan permohonan restitusi pada setiap masa pajak (tidak terbatas hanya pada akhir tahun buku) seperti yang diatur dalam ayat (4b). Adapun yang termasuk PKP tertentu tersebut adalah :

1. PKP yang melakukan ekspor barang kena pajak berwujud;

2. PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak kepada Pemungut PPN;

3. PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang PPN-nya tidak dipungut;

4. PKP yang melakukan ekspor barang kena pajak tidak berwujud;

5. PKP yang melakukan ekspor jasa kena pajak; dan/atau

6. PKP dalam tahap belum berproduksi

Tata cara pengembalian (restitusi) kelebihan PPN dan PPnBM tersebut sebelumnya diatur berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-48/PJ/2008 tanggal 16 Desember 2008 yang masih mengacu ke UU PPN dan PPnBM No. 18 tahun 2000. Kemudian, seiring dengan mulai berlakunya UU PPN dan PPnBM No. 42 tahun 2009 pada tanggal 1 April 2010, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 72/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010. Selanjutnya, pada tanggal 3 November 2010 berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-49/PJ/2010 pemerintah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi PER-48/PJ/2008 yang berlaku surut terhitung sejak tanggal 1 April 2010 (Hrd).

Friday, July 9, 2010

Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008

Dasar Peraturan Perpajakan :

  • Pasal 31E Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (download di sini) dan (di sini)
  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-66/PJ/2010 (download di sini) tanggal 24 Mei 2010 tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008

Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) UU Pajak Penghasilan, diatur bahwa Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar menadapat fasilitas berupa pengurangan tariff sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dalam SE Dirjen Pajak No. SE-66/PJ/2010 ditegaskan hal-hal sebagai berikut :

a. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT Tahunan PPh WP Badan. Dengan demikian, WP tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

b. Batasan peredaran bruto sampai dengan RP 50 Miliar adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh WP Badan Dalam Negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh.

c. Peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :

  1. Penghasilan yang dikenai PPh bersifat final;
  2. Penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final; dan
  3. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

d. Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak melebihi Rp 50 Miliar, tarif PPh yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi WP Badan Dalam Negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh.

Contoh penghitungan fasilitas pengurangan tariff sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dapat dilihat pada lampiran SE-66/PJ/2010 (Hrd).

Rasio Total Benchmarking, A Tax Audit Tool ?

Dasar Peraturan Perpajakan :

  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-96/PJ/2009 (download di sini) 05 Oktober 2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya;
  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-11/PJ/2010 (download di sini) tanggal 01 Februari 2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap II
  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-68/PJ/2010 (download di sini) tanggal 27 Mei 2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap III

Dalam rangka meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak telah menyusun rasio total benchmarking. Rasio total benchmarking tersebut dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak.

Adapun Rasio Total Benchmarking tersebut hanya merupakan suatu alat bantu (supporting tools) yang dapat digunakan oleh aparat pajak dalam membina wajib pajak dan menilai kepatuhan perpajakannya serta tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Ada 14 jenis rasio yang berkaitan dengan tingkat laba dan input-input perusahaan yang dilakukan benchmarking yaitu :

(1) Gross Profit Margin (2) Operating Profit Margin (3) Pretax Profit Margin (4) Corporate Tax to Turn Over Ratio (5) Net Profit Margin (6) Dividend Payout Ratio (7) Rasio PPN Masukan terhadap Penjualan (8) Rasio Biaya Gaji terhadap Penjualan (9) Rasio Biaya Bunga terhadap Penjualan (10) Rasio Biaya Sewa terhadap Penjualan (11) Rasio Biaya Penyusutan terhadap Penjualan (12) Rasio “input antara” lainnya terhadap Penjualan (13) Rasio Penghasilan Luar Usaha terhadap Penjualan, dan (14) Rasio Biaya Luar Usaha terhadap Penjualan.

Pengaturan lebih lanjut mengenai Rasio Total Benchmarking dapat dibaca pada masing-masing SE Dirjen Pajak tersebut di atas (Hrd).

Wednesday, February 3, 2010

Penerapan tarif tunggal 28% dalam perhitungan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009

Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang baru yaitu UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mulai berlaku sejak 1 Januari 2009. Dengan demikian, untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 yang akan berakhir pada tanggal 30 April 2010 nantinya sudah harus mengacu ke UU No. 36 tahun 2008.

Salah satu perubahan penting dari UU Pajak Penghasilan ini adalah perubahan tarif pajak untuk WP Badan, dimana berdasarkan UU PPh yang berlaku sebelumnya (UU No. 17 tahun 2000), untuk tahun pajak 2008 dan sebelumnya tarif pajak yang berlaku untuk WP Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sesuai Pasal 17 ayat (1b) adalah sebagai berikut :

1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d Rp 50 juta dikenakan tarif 10%

2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 50 juta s.d Rp 100 juta dikenakan tarif 15%

3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 juta dikenakan tarif 30%

Kemudian, berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat (1b) diatur bahwa untuk penghasilan kena pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap dikenakan tarif sebesar 28%.

Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat 2a).

Sedangkan untuk WP Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif lebih rendah 5% (Pasal 17 ayat 2b).

Ketentuan tarif PPh untuk WP Badan Dalam Negeri selain diatur dalam Pasal 17 ayat (1b), juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 31E ayat (1) : Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Implementasi dari ketentuan Pasal 31E ayat (1) ini diatur lebih lanjut dalam bagian penjelasan.

Contoh 1 :

Peredaran Bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4,5 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta. Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif PPh yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4,8 miliar.

Perhitungan PPh yang terutang : (50% x 28%) x Rp 500 juta = Rp 70 Juta.

Contoh 2 :

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 Rp 30 Miliar dengan Penghasilan Kena Pajak Rp 3 Miliar.

Oleh karena jumlah peredaran bruto sudah melebihi Rp 4,8 Miliar, maka dalam menghitung PPh terutang harus dipisahkan antara bagian yang mendapat fasilitas dan bagian yang tidak mendapat fasilitas, dengan cara sebagai berikut :

(1) Jumlah Penghasilan Kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas : (Rp 4,8 miliar : Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480 juta.

(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas : Rp 3 miliar – Rp 480 juta = Rp 2.520.000.000

Setelah itu, dihitung jumlah PPh yang terutang :

(1) (50% x 28%) x Rp 480.000.000  =       67.200.000
(2) 28% x Rp 2.520.000.000           =     705.600.000 +
       ____________
  Jumlah PPh Terutang             =     772.800.000

Sedangkan, jika peredaran bruto sudah melebihi Rp 50 Miliar maka tidak mendapat fasilitas sehingga seluruh Penghasilan Kena Pajak dikenakan tarif 28%.

Sumber : Undang Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008

Saturday, May 2, 2009

Penghapusan Sanksi Administrasi bagi WP Orang Pribadi yang terlambat lapor SPT Tahunan

Harian Bisnis Indonesia terbitan tanggal 1 Mei 2009 kemarin memberitakan bahwa :

Ketentuan mengenai penghapusan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh Wajib Pajak (WP) orang pribadi (OP), sudah bisa dilaksanakan. Dirjen Pajak Darmin Nasution dalam surat 27 April 2009 No. S-128/PJ/2009, telah memberikan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk melaksanakan ketentuan itu. "Terhadap WP orang pribadi baru yang terlambat menyampaikan SPT yaitu menyampaikan SPT PPh OP tahun pajak 2008 dalam jangka waktu 1 April 2009 sampai dengan 31 Desember 2009, sanksi administrasi berupa denda dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan secara jabatan," kata Darmin dalam surat itu yang diterima Bisnis, kemarin.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU KUP (UU No. 28 tahun 2007) diatur bahwa :

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN, Rp 100.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp 1.000.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Badan serta sebesar Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi.

Melalui Surat No. S-128/PJ/2009 tanggal 27 April 2009 tersebut, Dirjen Pajak menyampaikan latar belakang kebijakan penghapusan sanksi administrasi tersebut bahwa dalam rangka pelaksanaan hak dan pemenuhan  kewajiban perpajakan, masih banyak Wajib Pajak, khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) baru yaitu WP OP yang memperoleh NPWP sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009, belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Disamping itu, sebagian WP juga belum menerima bukti pemotongan PPh 21 (Formulir 1721 A1 atau Formulir 1721 A2) dari pemberi kerja. Hal ini menyebabkan masih banyak WP OP tersebut belum menyampaikan SPT Tahunan PPh WP OP sesuai dengan batas waktu yang ditentukan (31 Maret 2009).

Dalam Surat No. S-128/PJ/2009 tersebut, Dirjen Pajak menegaskan (dalam angka 2) bahwa terhadap WP OP baru yang terlambat menyampaikan SPT yaitu menyampaikan SPT Tahunan PPh OP tahun pajak 2008 dalam jangka waktu tanggal 1 April 2009 sampai dengan 31 Desember 2009, berdasarkan kuasa Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP, sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU KUP dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan secara jabatan.

Selanjutnya, dalam angka 3 disampaikan bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan STP atas keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh OP sebagaimana dimaksud pada angka 2 agar mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak atasannya untuk dapat menghapuskan sanksi tersebut secara jabatan.

Bahan referensi lainnya : baca di sini >>

Wednesday, April 15, 2009

Kapan Jatuh Tempo Pembayaran PPh 29 Tahun Pajak 2008 ?

Kapan batas akhir pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29 untuk tahun pajak 2008 ? Mungkin ini yang menjadi pertanyaan kita berkaitan dengan akan berakhirnya jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Wajib Pajak Badan pada 30 April 2009 nanti.

Kalau tahun-tahun sebelumnya, kita semua sudah tahu bahwa batas akhir pembayaran PPh pasal 29 Kurang Bayar adalah pada tanggal 25 Maret sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) yang menyatakan bahwa :

Apabila pajak yang terutang untuk suatu Tahun Pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke-tiga setelah Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) disampaikan.

Lihat juga ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 (UU KUP) yang menyatakan bahwa :

Apabila pada waktu pengisian SPT PPh ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum SPT Tahunan PPh itu disampaikan.  Misalnya, SPT Tahunan PPh harus disampaikan tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau setoran akhir harus sudah dilunasi paling lambat tanggal 25 Maret, sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.

Sedangkan berdasarkan UU Pajak yang berlaku untuk tahun pajak 2008, yaitu UU No. 28 Tahun 2007 (UU KUP), dalam Pasal 9 ayat (2) diatur bahwa :

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Artinya adalah bahwa untuk tahun pajak 2008, jika sekiranya ada kekurangan pembayaran PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh (baik untuk WP Orang Pribadi maupun untuk WP Badan), harus sudah dilunasi sebelum SPT Tahunan disampaikan, paling lama sesuai dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut.

Misalnya, untuk WP Orang Pribadi, sesuai dengan ketentuan dalam UU Pajak batas akhir penyampaian SPT Tahunan adalah 31 Maret, jika sekiranya SPT Tahunan disampaikan pada tanggal 31 Maret maka pelunasan hutang PPh 29 dapat dilakukan juga pada tanggal 31 Maret, dengan ketentuan harus sudah lunas sebelum SPT Tahunan disampaikan. Demikian juga halnya untuk WP Badan, jika sekiranya SPT Tahunan disampaikan pada tanggal 30 April, maka pembayaran hutang PPh 29 kurang bayar dapat dilakukan pada tanggal 30 April juga.

Referensi :

  1. Surat Dirjen Pajak : S-141/PJ.02/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 tentang Permohonan Penegasan Mengenai SPT PPh Badan Tahun 2008
  2. Surat Edaran Dirjen Pajak : SE-35/PJ/2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang Penegasan Mengenai Batas Waktu Penyampaian dan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak yang Terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008;

Friday, March 6, 2009

Penghasilan maksimal Rp 5 Juta per bulan, dapat tunjangan PPh dari Pemerintah

Dasar Peraturan Perpajakan :

(1) Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja pada Kategori Usaha Tertentu

(2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-22/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja pada Pemberi Kerja yang Berusaha pada Kategori Usaha Tertentu

Dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja, pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2009.

PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu dengan jumlah penghasilan bruto di atas PTKP dan tidak lebih dari Rp 5 Juta dalam satu bulan.

Pengaturan lebih lanjut dalam PerMenKeu No. 43 thn 2009 tersebut sebagai berikut :

Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas PTKP dan tidak lebih dari Rp 5 Juta dalam satu bulan (Pasal 2).

Pasal 3 mengatur bahwa kategori usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :

a. Kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan;

b. Kategori usaha perikanan, dan

c. Kategori usaha industry pengolahan

yang rinciannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebesar PPh 21 yang terutang atas penghasilan pekerja (Pasal 4).

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (3 Maret 2009) sampai dengan tanggal 31 Desember 2009 (Pasal 6).

Sedangkan berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-22/PJ/2009 tanggal 4 Maret 2009 sebagai peraturan pelaksanaan atas PMK No. 43 thn 2009 mengatur antara lain :

PASAL 2

(1) PPh 21 DTP wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja

(2) Dalam hal pelaksanaan kewajiban pemotongan PPh 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan pemberi kerja : (a) memberikan tunjangan PPh 21 kepada pekerja; atau (b) menanggung PPh 21 yang terutang atas penghasilan pekerja, maka PPh 21 yang ditunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan kepada pekerja yang mendapat PPh 21 DTP.

PASAL 3

(1) Pemberi kerja wajib menyampaikan realisasi pembayaran PPh 21 DTP kepada Kepala KPP dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Dirjen Pajak ini.

(2) Atas PPh 21 DTP wajib dibuatkan Surat Setoran Pajak yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 43/PMK.03/2009” oleh pemberi kerja.

(3) Formulir dan SSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilampirkan dalam SPT Masa PPh 21 pada Masa Pajak yang sama.

PASAL 4

(1) Pemberi Kerja wajib memberikan bukti pemotongan PPh 21 DTP sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

(2) PPh 21 DTP dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang atas seluruh penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tahun pajak 2009.

PASAL 6

PPh 21 DTP berlaku untuk PPh 21 yang terutang untuk Masa Pajak Pebruari 2009 s/d Masa Pajak November 2009 dan dilaporkan paling lama tanggal 20 Desember 2009.

PASAL 7

Peraturan Dirjen Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (4 Maret 2009) sampai dengan tanggal 31 Desember 2009.

Kedua peraturan pajak tersebut dapat didownload di situs Direktorat Jenderal Pajak >> (ukuran file-nya lumayan besar lho) (Hrd) ***

Saturday, January 17, 2009

Perubahan tarif pajak berdasarkan UU No. 36 tahun 2008, perhitungan pajak tangguhan harus disesuaikan ?

Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP Orang Pribadi) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.

Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.

UU No. 36 tahun 2008 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Lantas, apakah perubahan tarif tersebut akan mempengaruhi perhitungan pajak tangguhan (deferred tax) ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kembali pengaturan dalam PSAK terkait yaitu PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.

PSAK 46 Akuntansi Pajak Penghasilan (Reformat 2007) dalam paragraf 29 mengatur bahwa kewajiban (aset) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya diakui sebesar jumlah pajak terutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

Selanjutnya, dalam paragraf 30 dijelaskan bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang telah berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

Kemudian, dalam paragaraf 31 dijelaskan juga bahwa aset dan kewajiban pajak, baik yang bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Apabila tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka dapat dianggap bahwa tarif (dan peraturan) tersebut telah secara substantif berlaku [walaupun berlakunya tarif (dan peraturan) tersebut secara efektif mungkin saja masih beberapa bulan sesudah pengumumannya]. Dalam hal tersebut aset dan kewajiban pajak harus dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah dinyatakan berlaku.

Paragraf 32 menjelaskan bahwa apabila tarif pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba fiskal yang berbeda, maka aset dan kewajiban pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-rata yang akan dikenakan terhadap laba fiskal (rugi pajak) pada saat perbedaan temporer membalik (reverse).

Sedangkan paragraf selanjutnya yaitu par. 33 mengatur bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aset atau penyelesaian kewajiban yang diharapkan perusahaan pada tanggal neraca.

Dari uraian di atas, jelas bahwa atas perubahan tarif pajak untuk WP Badan dari sebelumnya dikenakan tarif progresif menjadi tarif tunggal yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, maka atas penyajian Pajak Tangguhan tahun 2008 harus dilakukan penyesuaian sesuai dengan pengaturan dalam PSAK No. 46 (Hrd). ***

Wednesday, December 31, 2008

Sunset Policy bagi WP lama di perpanjang sampai akhir Pebruari 2009 ?

Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak dalam Siaran Pers tanggal 30 Desember 2008 menyampaikan perpanjangan batas waktu pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) UU KUP berkaitan dengan Sunset Policy.

Adapun isi dari siaran pers tersebut sebagai berikut "Untuk lebih memperkuat basis perpajakan nasional dalam mengantisipasi dampak krisis keuangan global serta antusiasme masyarakat yang luar biasa dalam memanfaatkan Pasal 37A ayat (1) UU KUP (sunset policy) namun tidak dapat memenuhi batas waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang, maka pemerintah memperpanjang pelaksanaan sunset policy, baik penyampaian pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) Pajak Penghasilan maupun pembayaran pajak yang kurang dibayar yang tadinya sampai dengan 31 Desember 2008 menjadi sampai dengan 28 Pebruari 2009. Produk hukum sebagai landasan perpanjangan sunset policy ini sedang dalam proses."

Beberapa media dalam terbitan semalam (tanggal 30 Desember 2008) dan hari ini (tanggal 31 Desember 2008) juga menuliskan bahwa program sunset policy yang diluncurkan pemerintah khususnya bagi Wajib Pajak Lama yang semula berakhir batas waktunya hari ini tanggal 31 Desember 2008 telah diputuskan untuk diperpanjang sampai dengan akhir Pebruari 2009.

Kompas.com dalam terbitan hari ini menuliskan bahwa pemerintah memperpanjang batas waktu sunset policy atau program penghapusan sanksi bunga pajak dari 31 Desember 2008 menjadi 28 Februari 2009. Ini dilakukan karena perbankan kewalahan menerima permohonan pembayaran pajak kurang bayar dan banyak wajib pajak yang mengeluh karena sempitnya waktu untuk menyelesaikan semua urusan perpajakan mereka dalam rangka sunset policy.

"Kami dimarahi banyak orang, masak mau membayar ke negara kok dibuat susah. Selain itu, banyak formulir pembayaran pajak yang menumpuk di perbankan belum diproses hingga saat ini. Atas dasar itu, saya telah berbicara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, batas waktu sunset policy kami perpanjang hingga 28 Februari 2009." ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (30/12) seperti yang ditulis dalam Kompas.com

Lebih lanjut, Kompas.com juga menuliskan pernyataan dari Dirjen Pajak Darmin Nasution yang mengatakan bahwa perpanjangan batas waktu sunset policy itu dimungkinkan karena pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang akan mengubah UU KUP. Perpu itu sedang dalam proses penyusunan dan diharapkan bisa segera berlaku sebelum 1 Januari 2009.

Media Indonesia.com dalam terbitan Selasa, 30 Desember 2008 dengan judul "Program Sunset Policy Diperpanjang" menuliskan antara lain bahwa menurut Dirjen Pajak Departement Keuangan, Darmin Nasution, kemarin, kebijakan yang dilakukan pemerintah ini adalah untuk mengantisipasi penumpukan yang terjadi di gerai-gerai pajak termasuk bank-bank. Selain itu, hal ini juga merupakan apresiasi kepada antusiasme wajib pajak dalam memanfaatkan sunset policy ini.

Bagi yang ingin mengetahui lebih jauh, berikut ini saya berikan link ke beberapa berita terkait dari beberapa media online. Silahkan dibaca sendiri :

  1. Hore .. Sunset Policy diperpanjang hingga Februari 2009 (kompas.com)
  2. Program 'Sunset Policy' Diperpanjang (mediaindonesia.com)
  3. Batas waktu "Sunset Policy" diperpanjang (kompas.com)
  4. Permintaan membludak, Sunset Policy diperpanjang Februari 2009 (detik Finance.com)

Berikut ini kutipan dari SE-34/PJ/2008 tanggal 31 Juli 2008 sehubungan dengan pelaksanaan Sunset Policy berdasarkan Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 :

Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2008 (Wajib Pajak Lama) yang memanfaatkan fasilitas Sunset Policy diberikan penegasan lebih lanjut sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak Lama yang menyampaikan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2006 dan/atau Tahun-tahun Pajak sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008 yang menyatakan kurang bayar, diberikan fasilitas Sunset Policy;
  2. Wajib Pajak Lama yang membetulkan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2006 dan/atau Tahun-tahun Pajak sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 30 Juni 2008 yang menyatakan kurang bayar, diberikan fasilitas Sunset Policy;
  3. Wajib Pajak Lama yang membetulkan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2006 dan/atau Tahun-tahun Pajak sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 31 Desember 2008 yang menyatakan kurang bayar, diberikan fasilitas Sunset Policy atas pembetulan yang pertama kali. Namun, apabila pembetulan SPT Tahunan PPh dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh (SPT Lama) yang telah disampaikan dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 31 Desember 2008, pembetulan SPT Tahunan PPh tersebut tidak memperoleh fasilitas Sunset Policy.

Program Sunset Policy memberikan kesempatan kepada WP Badan ataupun WP Orang Pribadi untuk memperoleh fasiltas berupa penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajak atau bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Dalam pelaksanaan Sunset Policy, WP diberikan kepercayaan untuk mengungkapkan seluruh penghasilan termasuk harta dan kewajiban dalam SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi. Data dan/atau informasi yang telah diungkapkan dalam SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi yang telah disampaikan atau dibetulkan oleh Wajib Pajak sehubungan dengan pelaksanaan Sunset Policy tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan (Hrd) ***

Tuesday, September 16, 2008

PMK No. 79 tahun 2008 (versus PSAK 16 revisi 2007), apakah memang perlu direvisi ? (bagian 2 dari 2 tulisan)

Perbedaan lainnya yang menjadi permasalahan adalah pengaturan menurut Pasal 9 ayat (1) PMK 79/2008 yang menyatakan bahwa selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal …….. “ (lihat point 7). Sedangkan PSAK 16/2007 mengatur pencatatan selisih revaluasi aset terutama dalam par. 39 dan par. 40.

Dalam par. 39 PSAK 16/2007 diatur bahwa jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun, kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi.

Selanjutnya, par. 40 mengatur bahwa jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut.

Dari pengaturan kedua paragraf PSAK 16/2007 tersebut, jelas akan terjadi perbedaan pengakuan saldo selisih revaluasi aktiva tetap dengan pengaturan menurut PMK 79/2008.

Selain itu, perlu diperhatikan juga pengaturan masa transisi penerapan PSAK 16/2007 dalam par. 84 yang menggariskan bahwa perusahaan yang sebelumnya pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK 16/2007 ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. (lihat tulisan saya sebelumnya : Masa transisi PSAK 16/2007, bagaimana penerapannya ?). Sedangkan PMK 79/2008 tidak mengatur mengenai hal ini.

PMK 79/2008 perlu (atau harus) direvisi ?

Ketidak-sinkronan antara pengaturan menurut PMK 79/2008 dengan PSAK 16/2007 seperti yang saya paparkan sebelumnya merupakan permasalahan yang banyak diprotes habis-habisan oleh para praktisi akuntansi di Indonesia.

Bapak Tarkosunaryo, partner KAP Syarief Basir & Rekan (a member of Russell Bedford International) dalam milis FORKAP beberapa waktu yang lalu mengusulkan agar PMK 79/2008 tersebut direvisi, terutama untuk pasal 9 yang menurut beliau sebaiknya dihapus atau direvisi karena kontradiktif dengan PSAK.

Dalam tulisannya yang dimuat majalah Akuntan Indonesia terbitan IAI Wilayah Jakarta dengan judul “Revaluasi Aset Tetap : Suatu Tinjauan dari Aspek Akuntansi dan Aspek Peraturan Perpajakan”, beliau memaparkan antara lain bahwa revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008 merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.”

Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa “Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.”

Ika Fransisca, dosen luar biasa pada Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandala Surabaya serta Wan Juli, tax manager pada Purwantono, Sarwoko, Sandjaja Consult dalam tulisannya berjudul “PMK No. 79/2008, Tidak Sejalan dengan PSAK ?” yang dimuat dalam Indonesian Tax Review Volume I/Edisi 09/2008 memaparkan antara lain bahwa ketidaksejalanan antara PSAK 16/2007 dengan PMK 79/2008 hampir pasti berujung pada banyaknya kesulitan, terutama yang terkait dengan penerapan dampak pajak tangguhan seperti yang diatur dalam PSAK 46 Akuntansi Pajak Tangguhan.

Dalam rezim yang lama, yaitu PSAK 16 sebelum revisi dan KMK No. 486/KMK.03/2002, hampir pasti kedua ketentuan itu sejalan sehingga koreksi atas aktiva tetap dan penyusutannya (perbedaan penyusutan fiskal dan komersial) umumnya hanya menimbulkan beda waktu saja, dan tentu saja, aktiva dan kewajiban pajak tangguhan. Namun berdasarkan rezim baru ini, PSAK revisi dan PMK No. 79/PMK.03/2008, hampir bisa dipastikan bahwa atas koreksi di aktiva tetap dan penyusutan, sebagai akibat adanya revaluasi itu, akan mengakibatkan beda waktu sekaligus beda tetap. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan komersial melakukan revaluasi, sekalipun fiskal tidak, ataupun sebaliknya (fiskal melakukan revaluasi tetapi komersial tidak).

Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa revaluasi juga mengakibatkan adanya risiko lain yaitu timbulnya salah interpretasi dari pihak fiskus setelah melihat neraca Wajib Pajak. Kesalahan interpretasi ini muncul akibat adanya selisih revaluasi yang tidak didukung dengan pembayaran PPh Final, karena mungkin WP tersebut tidak mengajukan permohonan revaluasi ke DJP.

Jadi, sebagai penutup, menurut saya, sudah saatnya pihak IAI dan Dirjen Pajak duduk bersama membahas kembali masalah ini. Kalau tidak, buntutnya para praktisi akuntansi di Indonesia bakalan pusing tujuh keliling terutama dalam menghitung dan membukukan efek pajak tangguhan atas revaluasi aset tersebut. Cape deh. (Hrd) ***

Catatan kaki : berdasarkan polling yang saya lakukan, 100 % persen responden (walaupun hanya 9 partisipan sampai dengan saat ini) menyatakan bahwa PMK 79/2008 perlu direvisi

PMK No. 79 tahun 2008 (versus PSAK 16 revisi 2007), apakah memang perlu direvisi ? (bagian 1 dari 2 tulisan)

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 79/PMK.03/2008 yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2008 mengatur mengenai penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan. PMK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.

Sesuai dengan judul tulisan di atas, kali ini saya tidak akan membahas mengenai pengaturan perpajakan atas PMK No. 79 tahun 2008 ini. Akan tetapi, yang akan saya bahas adalah mengenai pengaturan revaluasi aktiva tetap (aset tetap menurut istilah PSAK revisian) secara perpajakan (PMK No. 79 tahun 2008) dibandingkan dengan pengaturan menurut akuntansi (PSAK 16 revisi 2007).

Beberapa ketentuan pokok menurut PMK No. 79 tahun 2008 yang akan saya perbandingkan nantinya adalah :

1. Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak (pasal 2 ayat 1);

2. Penilaian kembali aktiva tetap Perusahaan dilakukan terhadap : (a) Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau (b) seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak (Pasal 3 ayat 1);

3. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (Pasal 3 ayat 2);

4. Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali, (b) masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut, (c) perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 1);

5. Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan, (b) sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan, (c) perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut (Pasal 7 ayat 2);

6. Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 3);

7. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal ……………… “ (Pasal 9 ayat 1);

Secara Akuntansi, mengenai revaluasi aktiva tetap (aset tetap) diatur terutama dalam PSAK 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Sebelumnya, saya sudah pernah memposting beberapa tulisan berkaitan dengan revaluasi aset berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007). Baca di sini : Sekilas revaluasi aset berdasarkan PSAK 16/2007, dan juga di sini : Revaluasi aset, beda pengaturan antara akuntansi dan pajak.

Beberapa perbedaan pengaturan revaluasi aset menurut perpajakan (PMK 79/2008) dibandingkan dengan akuntansi (PSAK 16/2007) saya paparkan berikut ini.

Secara perpajakan, untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap, perusahaan harus memperoleh ijin dari Dirjen Pajak terlebih dahulu (lihat point ke-1 beberapa ketentuan pokok PMK 79/2008 di atas). Secara akuntansi, berdasarkan PSAK 16/2007 tidak diperlukan adanya persetujuan dari Dirjen Pajak untuk membukukan aset tetap model revaluasian.

Berdasarkan PSAK 16/2007 par. 36 diatur bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Dalam hal ini, PSAK memperbolehkan perusahaan untuk melakukan revaluasi aset menurut kelompok aset tertentu (tidak harus terhadap keseluruhan aset tetap). Perusahaan juga diperbolehkan untuk melakukan revaluasi secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda (rolling basis) seperti yang dijelaskan dalam par. 38. Sedangkan perpajakan dalam PMK 79/2008 (lihat point 2) mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud.

Selanjutnya, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 34 diatur bahwa perusahaan dapat melakukan revaluasi aset dengan frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Sedangkan secara perpajakan menurut PMK 79/2008 (lihat point 3) diatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini.

Wednesday, September 3, 2008

Akhirnya UU Pajak Penghasilan tahun 2008 disahkan juga

Informasi ini saya peroleh dari situs www.detikfinance.com, dalam tulisannya dengan judul 'Tarif-tarif Baru Pajak Penghasilan' terbitan tanggal 2 September 2008 kemarin.

Berikut ini kutipan lengkap yang saya posting dari media tersebut.

Undang-undang pajak penghasilan yang baru kini sudah disahkan oleh DPR. Beberapa tarif pajak dipotong sehingga diperkirakan potential lost pajaknya mencapai Rp 40 triliun. Wajib pajak yang tak ber-NPWP akan dikenakan pajak yang lebih tinggi.

Berikut pokok-pokok pikiran dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) yang baru disahkan oleh DPR, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (2/9/2008).

1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh)
Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).

a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010.
Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.

d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.

e. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.

f. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

2. Bagi WP yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

4. Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP.a. Bagi WP penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal.b. Bagi WP menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.c. Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari tarif normal.

5.Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.

a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial.
b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

6. Pengecualian dari objek PPh

a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.

7. Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak.

Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.(dnl/ddn)

Sumber : detikFinance.com

Wednesday, August 13, 2008

Akhirnya, PPh Jasa Konstruksi kembali bersifat FINAL

Sebelumnya saya sudah pernah memposting tulisan berkaitan dengan rencana pemerintah untuk kembali memberlakukan PPh Final atas Jasa Konstruksi, dimana terakhir berdasarkan PP No. 140/2000, pemerintah menerapkan tarif umum (dikenakan PPh Pasal 23 ataupun PPh Pasal 25) untuk penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawasan dan perencanaan serta konsultan, kecuali yang omsetnya Rp 1 miliar ke bawah. (baca di sini :  PPh Jasa Konstruksi akan kembali bersifat FINAL).

Sekitar akhir tahun 2007 kemarin, Dirjen Pajak telah mengambil ancang-ancang untuk memberlakukan tarif Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi dan rencananya akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008.

Rencana ini kemudian menimbulkan reaksi pro dan kontra dari kalangan pengusaha jasa konstruksi.

Akhirnya, pada tanggal 20 Juli 2008 dengan menerbitkan PP No. 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, pemerintah benar-benar merealisasikan rencana pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi tersebut.

Dalam bagian penjelasan dipaparkan bahwa keputusan pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi ini ditujukan agar kondisi usaha Jasa Konstruksi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi. Dimana untuk itu, perlu diberikan perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi yaitu dengan dikenakan pajak yang bersifat final.

Perlakuan tersendiri tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan PPh sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi Wajib pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Pasal 2 PP No. 51 tahun 2008 mengatur bahwa atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final.

Pasal 3 mengatur mengenai tarif PPh yang dikenakan masing-masing :

· 2 % untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil, 4 % bagi Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha kecil serta 3 % bagi Penyedia Jasa lainnya;

· 4 % untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha serta 6 % bagi Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Pasal 5 mengatur bahwa PPh Final tersebut dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak atau disetor sendiri oleh Penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan pemotong pajak.

PP No. 51 tahun 2008 ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur bahwa untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh dilakukan berdasarkan PP No. 140 tahun 2000 dan untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh dilakukan berdasarkan PP No. 51 tahun 2008 ini.

Selain itu, dalam Pasal 10 ayat (2) juga diatur bahwa kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan tahun pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan tahun pajak 2008.

Berikut saya lampirkan softcopy PP No. 51 tahun 2008 serta PP No. 140 tahun 2000. Silahkan klik di sini untuk download : PP No. 51 tahun 2008 serta  PP No. 140 tahun 2000

Saturday, July 12, 2008

Perlakuan perpajakan atas konversi Hutang menjadi Modal (Debt to Equity SWAP)

Melalui Surat No. S-141/PJ.42/2004 tanggal 14 Mei 2004, Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan Wajib Pajak PT ABC berkaitan dengan Perlakuan Perpajakan atas Konversi Utang Menjadi Modal.

PT ABC yang bergerak di bidang industry mutiara merencanakan untuk menerbitkan saham baru sejumlah USD 12,530 juta ke pemegang saham asing, PT XYZ, dengan cara mengkonversi pinjaman jangka panjang pemegang saham (utang) menjadi penyertaan modal dari pemegang saham yang sama (debt to equity swap), dalam jumlah yang sama. Tingkat konversi modal rupiah akan digunakan sama dengan kurs mata uang USD terhadap rupiah pada waktu modal awal dibayar, yaitu Rp 135,50/USD. Perbedaan antara kurs pada saat penyetoran modal awal dengan kurs pada saat ini (Rp 8.465/USD per 31 Desember 2003) dicatat sebagai tambahan agio saham. Setelah konversi tersebut, pinjaman pemegang saham sebagai penyetoran saham tidak akan dibebankan biaya bunga.

PT ABC berpendapat bahwa proses konversi tersebut tidak menimbulkan pendapatan kena pajak, karena konversi utang menjadi modal dalam jumlah yang sama dengan nilai buku dari utang tersebut dianggap sebagai transaksi Laporan Neraca dan bukan merupakan penghapusan utang.

Perbedaan kurs yang dicatat sebagai tambahan agio saham tidak dikenakan PPh karena merupakan transaksi Neraca.

Karena kewajiban membayar bunga pinjaman kepada pemegang saham selesai, maka kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 kepada pemegang saham tidak ada lagi.

Atas hal-hal tersebut di atas, Dirjen Pajak memberikan penegasan sebagai berikut :

Berdasarkan UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan huruf k diatur bahwa “Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk antara lain bunga dan keuntungan karena pembebasan utang”.

Pasal 10 ayat (2) mengatur bahwa “Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar”.

Sedangkan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan ayat (5) diatur bahwa “Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk bunga, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20 % dan bersifat final, dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.

Selanjutnya, berdasarkan penjelasan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus yang Dibentuk Pemerintah, antara lain diatur bahwa dalam hal perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur (debt to equity swap), besarnya jumlah penyertaan modal tersebut untuk kepentingan perpajakan harus sama dengan nilai buku utang debitur. Apabila nilai saham ditetapkan berdasarkan nilai buku atau harga pasar, atas agio atau disagio saham yang diperoleh debitur bukan merupakan penghasilan ataupun kerugian bagi debitur.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat diberikan penegasan sebagai berikut ;

Dalam transaksi konversi utang menjadi modal (debt to equity swap), sepanjang dilakukan dengan nilai yang sama antara pelunasan utang dan penyertaan modal, yakni sebesar nilai buku utang terakhir, maka tidak terdapat konsekuensi perpajakan seketika. Dalam hal utang (sebesar nilai buku terakhir) dilunasi melalui perubahan bentuk menjadi penyertaan modal yang jumlahnya lebih kecil, maka selisihnya merupakan keuntungan karena pembebasan utang bagi debitur dan penghapusan piutang bagi kreditur berdasarkan suatu perjanjian. Sebaliknya, apabila jumlah penyertaan modal lebih besar dari nilai buku terakhir utang yang dilunasi, maka selisihnya merupakan penghasilan bunga bagi kreditur dan biaya bunga bagi debitur.

Agio dan disagio saham yang timbul karena transaksi penyertaan modal yang menggunakan harga pasar, bukan merupakan penghasilan ataupun kerugian bagi debitur.

Atas penghasilan bunga yang diterima oleh kreditur sebagai wajib pajak luar negeri, wajib dipotong pajak sebesar 20% yang bersifat final, dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan, sepanjang bunga atas pinjaman tersebut telah dibebankan sebagai biaya bunga oleh debitur dan telah diakui sebagai penghasilan oleh pihak kreditur (Hrd).