Tuesday, July 31, 2018

Sekilas PSAK 69 tentang AGRIKULTUR

PSAK 69 tentang Agrikultur berlaku untuk laporan keuangan tahunan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2018 dengan penerapan dini dianjurkan. PSAK ini diterapkan untuk pencatatan aktivitas agrikultur terkait :

  • aset biologis, kecuali tanaman produktif (bearer plants);
  • produk agrikultur pada titik panen; serta
  • transaksi yang berkaitan dengan hibah pemerintah.

Untuk dapat menerapkan dengan baik ketentuan dalam PSAK 69, praktisi akuntansi harus dapat memahami istilah-istilah yang dipergunakan dalam PSAK 69 tersebut.

Berikut ini dijabarkan definisi dari beberapa istilah yang dipergunakan dalam PSAK 69 :

  • AKTIVITAS AGRIKULTUR adalah manajemen transformasi biologis dan panen aset biologis oleh entitas untuk dijual atau untuk dikonversi menjadi produk agrikultur atau menjadi aset biologis tambahan
  • ASET BIOLOGIS adalah hewan atau tanaman hidup
  • PRODUK AGRIKULTUR adalah produk yang dipanen dari aset biologis milik entitas

Aktivitas Agrikultur yang didefinisikan dalam PSAK 69  mencakup berbagai aktivitas secara luas seperti aktivitas peternakan, kehutanan, tanaman semusim atau tahunan, budidaya kebun dan perkebunan, budidaya bunga serta budidaya perikanan (termasuk peternakan ikan).

Apakah semua jenis aktivitas seperti dijelaskan di atas dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas agrikultur yang diatur dalam PSAK 69 ?

Jelas tidak. Untuk dapat memenuhi kriteria aktivitas agrikultur sesuai dengan pengaturan dalam PSAK 69, maka harus diperhatikan definisi dari aktivitas agrikultur seperti yang dijelaskan dalam paragraf 5 PSAK 69.  Dari definisi di paragraf 5 tersebut, salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah adanya “manajemen transformasi biologis”. Secara umum, istilah manajemen dapat kita artikan sebagai pengelolaan. Sedangkan istilah transformasi biologis dijelaskan lebih lanjut dalam paragraf 5, dimana transformasi biologis terdiri dari proses pertumbuhan, degenerasi (penurunan kuantitas atau kualitas hewan atau tanaman), produksi dan prokreasi (penciptaan hewan atau tanaman hidup tambahan, misalnya anak sapi yang lahir dari induk sapi yang diternak) yang mengakibatkan perubahan kualitatif atau kuantitatif aset biologis.  Sebagai contoh lebih lanjut, nelayan yang aktivitasnya menangkap ikan di laut apakah dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas agrikultur yang diatur dalam PSAK 69 ? Jawabannya adalah tidak. Kenapa ? Karena walaupun ikan termasuk aset biologis, namun karena aktivitas dari nelayan tersebut tidak ada unsur “manajemen” nya seperti dijelaskan di atas, maka aktivitas tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas agrikultur yang tercakup dalam pengaturan PSAK 69.

Beberapa contoh Aset Biologis serta Produk Agrikultur disajikan dalam tabel di paragraf 4 PSAK 69, diantaranya adalah :

  • Domba sebagai Aset Biologis yang menghasilkan hasil panen berupa Wol sebagai Produk Agrikultur
  • Pohon Dalam Hutan Kayu sebagai Aset Biologis, menghasilkan hasil panen berupa Pohon Tebangan sebagai Produk Agrikultur
  • Sapi Perah sebagai Aset Biologis, menghasilkan hasil panen berupa Susu sebagai Produk Agrikultur
  • Tanaman Teh sebagai Aset Biologis, menghasilkan hasil panen berupa Daun Teh sebagai Produk Agrikultur
  • Pohon Kelapa Sawit sebagai Aset Biologis, menghasilkan hasil panen berupa Tandan Buah Segar sebagai Produk Agrikultur
  • Pohon Karet sebagai Aset Biologis, menghasilkan hasil panen berupa Getah Karet sebagai Produk Agrikultur

Beberapa tanaman, sebagai contoh Tanaman Teh, Pohon Kelapa Sawit serta Pohon Karet biasanya memenuhi definisi sebagai Tanaman Produktif (Bearer Plants) dan termasuk dalam ruang lingkup Amandemen PSAK 16 : Aset Tetap tentang Agrikultur : Tanaman Produktif sehingga untuk pencatatan akuntansinya tidak mengacu ke PSAK 69 ini. Namun, produk yang tumbuh pada tanaman produktif sebagai contoh daun teh, tandan buah segar kelapa sawit serta getah karet termasuk dalam ruang lingkup PSAK 69 tentang Agrikultur (HRD).

Wednesday, July 18, 2018

Peredaran Bruto tidak lebih dari Rp 4,8 Miliar, kini Pajaknya 0,5%

Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2013 (PP 46/2013) (baca di sini), atas penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dikenakan Pajak Penghasilan Final dengan tarif sebesar 1% (satu persen).

Pada tanggal 8 Juni 2018 Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2018 (PP 23/2018) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, menggantikan PP 46/2013.

Pasal 2 PP 23/2018 ini mengatur bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat FINAL dalam jangka waktu tertentu dengan tarif sebesar 0,5% (nol koma lima persen), turun dari tarif yang ditetapkan berdasarkan PP 46/2013 sebelumnya sebesar 1%.

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah :

  1. Wajib Pajak orang pribadi; dan
  2. Wajib Pajak badan

yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam satu Tahun Pajak.

Adapun penghasilan dari usaha yang dikecualikan dari penerapan tarif Pajak FINAL sebesar 0,5% ini adalah sebagai berikut (Pasal 2 ayat 3) :

  1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (contohnya pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris dan lainnya);
  2. penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
  3. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  4. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak

Jika sebelumnya, berdasarkan PP 46/2013, pengenaan Pajak Penghasilan Final sebesar 1% bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam satu Tahun Pajak adalah bersifat mutlak/keharusan, maka berdasarkan PP 23/2018 ini, Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar tersebut diberi kebebasan untuk memilih apakah dikenakan Pajak Penghasilan Final sebesar 0,5% atau memilih untuk dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau Pasal 17 ayat (2a) dan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak badan.

Pengaturan lainnya yang berbeda dengan PP 46/2013 adalah adanya ketentuan mengenai pembatasan jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan Final tersebut. Pasal 5 PP 23/2018 menjelaskan bahwa jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu paling lama :

  1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
  3. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Penentuan jangka waktu di atas adalah terhitung sejak :

  1. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau
  2. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

PP 23/2018 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018 menggantikan PP 46/2013 (HRD).