Monday, June 30, 2008

Sekali lagi mengenai penyusutan aset tetap (PSAK 16)

Pada tulisan saya sebelumnya (baca : Beda syarat penyusutan aktiva tetap menurut pajak dan akuntansi serta Penangguhan beban penyusutan, apakah diperbolehkan ? ), saya sudah memaparkan perbedaan syarat pengakuan penyusutan menurut akuntansi dengan pajak.

Secara akuntansi, syarat dimulainya penyusutan aset tetap adalah pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen (PSAK 16 (revisi 2007) par. 58).

Sedangkan secara perpajakan, syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap adalah pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3)).

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas berkaitan dengan syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap menurut pajak, silahkan baca kembali tulisan saya sebelumnya di sini : Beda syarat penyusutan aktiva tetap menurut pajak dan akuntansi.

Jika kita simak kembali pengaturan syarat dimulainya penyusutan aset tetap berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 58 di atas sepertinya tidak mengatur dengan jelas mengenai apakah penyusutan aset tetap dilanjutkan atau harus ditangguhkan jika sekiranya aset tetap bersangkutan dihentikan penggunaannya sementara.

Namun, jika kita membaca International Accounting Standard (IAS) No. 16, Property, Plant and Equipment, dalam paragraf 12 diatur bahwa :

An entity is required to begin depreciating an item of property, plant and equipment when it is available for use and to continue depreciating it until it is derecognised, even if during that period the item is idle. The previous version of IAS 16 did not specify when depreciation of an item began and specified that an entity should cease depreciating an item that it had retired from active use and was holding for disposal.

Jadi, jelas bahwa berdasarkan IAS 16, Property, Plant and Equipment , aset tetap tidak dihentikan pembebanan penyusutannya walaupun terjadi penghentian sementara atas penggunaan aset tetap bersangkutan (idle). (Hrd)

Sunday, June 29, 2008

Bad Debt Expense, bagaimana perlakuan pajak tangguhannya ?

Secara umum akuntansi mengenal dua metode pencatatan penghapusan piutang ragu-ragu yaitu metode penghapusan langsung (direct write-off method) serta metode penghapusan tidak langsung (indirect write-off method).

Dengan metode penghapusan langsung, pembebanan piutang tak tertagih baru dilakukan apabila piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi. Sedangkan, metode penghapusan tidak langsung mengharuskan pembentukan cadangan estimasi piutang tak tertagih pada setiap periode pelaporan keuangan.

Sedangkan dari segi perpajakan hanya mengenal metode penghapusan langsung. Penggunaan metode tidak langsung tidak diperkenankan dalam peraturan perpajakan.

Selain itu, perpajakan dalam UU PPh mensyaratkan bahwa suatu piutang baru dapat diakui sebagai piutang tak tertagih dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto jika secara yuridis piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi.

Adapun persyaratan yuridis yang harus dipenuhi adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, sebagai berikut :

1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;

3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan

4. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Jika secara akuntansi perusahaan menerapkan metode penghapusan tidak langsung (melalui pembentukan cadangan piutang tak tertagih), maka dengan sendirinya akan timbul beda waktu antara pencatatan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur pajak tangguhan menurut PSAK 46.

Namun, dalam kondisi tertentu bad debt expense bisa berpotensi menjadi beda tetap. Jika sekiranya wajib pajak tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tersebut di atas maka bad debt expense secara perpajakan dengan sendirinya tidak dapat dibiayakan sehingga berubah menjadi beda tetap.

Berikut ini ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda waktu bad debt expense :

PT A membukukan cadangan estimasi piutang tak tertagih per 31/12/2007 sebesar Rp 40.000.000 dengan jurnal sebagai berikut :

Bad Debt Expense   40.000.000  
    Cadangan Bad Deb Exp   40.000.000

Sedangkan jurnal pajak tangguhannya sebagai berikut :

Aktiva Pajak Tangguhan   12.000.000  
  Penghasilan Pjk Tangguhan   12.000.000

(perhitungan pajak tangguhan : 30 % x Rp 40.000.000)

KESIMPULAN

Pada prinsipnya perbedaan yang disebabkan oleh adanya bad debt expense merupakan beda waktu (temporary difference), namun jika syarat penghapusan piutang tak tertagih yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tidak terpenuhi, maka bad debt expense yang timbul akan menjadi beda tetap (permanent difference) (Hrd).

Thursday, June 26, 2008

Menggunakan Depreciated Replacement Cost Approach sebagai pendekatan alternatif dalam penentuan nilai wajar aset tetap

Seperti yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya bahwa PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap memberikan dua opsi sebagai kebijakan akuntansi dalam pengukuran nilai aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu model biaya (cost model) ataupun model revaluasi (revaluation model) Baca di sini

Jika menggunakan model revaluasi, setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi.

Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi profesional berdasarkan bukti pasar. Nilai wajar pabrik dan peralatan biasanya menggunakan nilai pasar yang ditentukan oleh penilai (PSAK 16 Par. 32).

Jika tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas mungkin perlu mengestimasi nilai wajar menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach) (PSAK 16 Par. 33).

Yang akan saya bahas berikut ini adalah berkaitan dengan penerapan depreciated replacement cost approach dalam penentuan nilai wajar aset tetap.

Dalam buku WILEY – IFRS 2008 Interpretation and Application diberikan contoh penerapan depreciated replacement cost approach yang cukup jelas.

Berikut kutipannya ------------------------------------

IAS 16 suggests that fair value is usually determined by appraisers, using market-based evidence. Market values can also be used for machinery and equipment, but since such items often do not have readily determinable market values, particularly if intended for specialized applications, they may instead be valued at depreciated replacement cost.

Example of depreciated replacement cost (sound value) as a valuation approach :

An asset acquired January 1, 2005 at a cost of € 40,000 was expected to have a useful economic life of 10 years. On January 1, 2008, it is appraised as having a gross replacement cost of € 50,000. The sound value, or depreciated replacement cost, would be 7/10 x € 50,000 or € 35,000. This compares with a book, or carrying value of € 28,000 at the same date. Mechanically, to accomplish a revaluation at January 1, 2008, the asset should be written up by € 10,000 (i.e from € 40,000 to € 50,000 gross cost) and the accumulated depreciation should be proportionally written up by € 3,000 (from € 12,000 to € 15,000). Under IAS 16, the net amount of the revaluation adjustment, € 7,000 would be recognized in other comprehensive income and accumulated in revaluation surplus, an additional equity account.

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan penggunaan depreciated replacement cost approach sebagai pendekatan alternatif penentuan nilai wajar aset tetap. Semoga bisa membantu untuk lebih memahami PSAK 16 (Revisi 2007) terutama yang berkaitan dengan penerapan model revaluasi. (Hrd)

Wednesday, June 25, 2008

Perubahan Estimasi Umur Manfaat Aset, bagaimana pencatatan akuntansinya ?

PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap mendefinisikan umur manfaat (useful life) sebagai :

1. suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau

2. jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas.

Paragraf 54 PSAK 16 (Revisi 2007) menjelaskan bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus direview minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.

(The residual value and the useful life of an asset shall be reviewed at least at each financial year-end and, if expectations differ from previous estimates, the change(s) shall be accounted for as a change in an accounting estimate in accordance with IAS 8 Accounting Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors – IAS 16 Property, Plant and Equipment Par. 51).

Lantas, bagaimana perlakuan pencatatan akuntansi yang diperlukan jika terjadi perubahan estimasi umur manfaat aset ? Apakah laporan keuangan perlu disajikan kembali (restatement) ?

Untuk menjawabnya, simak penjelasan berikut yang saya kutip dari Wiley – IFRS 2008 Interpretation and Application.

Useful life is affected by such things as the entity’s practices regarding repairs and maintenance of its assets, as well as the pace of technological change and the market demand for goods produced and sold by the entity using the assets as productive inputs. If it is determined, when reviewing the depreciation method, that the estimated life is greater or less than previously believed, the change is handled as a change in accounting estimate, not as a correction of an accounting error. Accordingly, no restatement is to be made to previously reported depreciation; rather, the change is accounted for strictly on a prospective basis, being reflected in the period of change and subsequent periods.

To illustrate this concept, consider an asset costing € 100,000 and originally estimated to have a productive life of 10 years. The straight-line method is used, and there was no residual value anticipated. After 2 years, management revises its estimate of useful life to a total of 6 years. Since the net carrying value of the asset is € 80,000 after 2 years (= € 100,00 x 8/10), and the remaining expected life is 4 years (2 of the 6 revised total years having already elapsed), depreciation in years 3 through 6 will be € 20,000 (= € 80,000/4) each.

Dari penjelasan dan contoh ilustrasi tersebut di atas jelas bahwa jika terjadi perubahan estimasi umur manfaat aset tetap, maka berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) dan IAS 16 harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi dan tidak perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan (restatement). Pengaruh atas perubahan tersebut hanya terhadap laporan keuangan periode berjalan dan periode selanjutnya (Hrd).

Thursday, June 19, 2008

Revaluasi aset, beda pengaturan antara akuntansi dan pajak

Dalam tulisan sebelumnya dengan judul “Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) (baca di sini) saya sudah menjelaskan bahwa PSAK 16 (Revisi 2007) memperbolehkan perusahaan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasian.

Sistimatika dan aturan main pencatatan akuntansi aset tetap jika perusahaan memilih model revaluasian juga diatur dengan cukup jelas dalam PSAK 16 (Revisi 2007) tersebut.

Sedangkan dari segi perpajakan, pengaturan mengenai penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan diatur terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2008 (download di sini : PMK No.79/PMK.03/2008), menggantikan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.

Beberapa perbedaan antara pengaturan menurut KMK No. 486/KMK.03/2002 dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 diantaranya adalah :

1. KMK yang lama mengatur bahwa revaluasi dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan (pasal 3 ayat (2)), sedangkan PMK yang baru mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap (pasal 3 ayat (1)).

2. Revaluasi aktiva tetap menurut KMK yang lama dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama (pasal 3 ayat (3)), sedangkan PMK yang baru mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (pasal 3 ayat (2)).

Pengaturan ini sepertinya agak bertentangan dengan perlakuan akuntansi menurut PSAK 16 (Revisi 2007) yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 dimana dalam paragraf 31 diatur bahwa (apabila perusahaan menerapkan model revaluasian) maka revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara signifikan dari nilai wajar pada tanggal neraca. Selanjutnya dalam par. 34 dijelaskan lagi bahwa jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan.

Jadi, apabila setiap tahun terjadi perubahan nilai wajar secara signifikan terhadap jumlah tercatat aset tetap, maka dengan sendirinya revaluasi harus dilakukan secara tahunan. Sedangkan perpajakan mengatur bahwa aktiva tetap baru boleh dinilai kembali setelah jangka waktu 5 tahun sejak revaluasi yang terakhir dilakukan.

Seandainya perusahaan secara akuntansi menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetapnya dan dalam 2 tahun kemudian nilai wajar aset tetap mengalami peningkatan signifikan sehingga perlu dilakukan revaluasi kembali jelas akan menghadapi masalah karena dengan sendirinya revaluasi yang dilakukan sudah menyimpang dari ketentuan perpajakan. Lantas bagaimana dengan Pajak Penghasilan Final 10 % yang dikenakan atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskalnya (Pasal 5 PMK No. 79) ? Apakah tetap harus dibayar sedangkan jika prosedur revaluasi tidak sesuai ketentuan perpajakan sudah tentu tidak akan diterbitkan keputusan ijin revaluasi dari Dirjen Pajak ?

Sepertinya harus pikir-pikir dulu sebelum menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetap perusahaan sesuai PSAK 16 (Revisi 2007). Setidaknya harus sudah diprediksikan terlebih dahulu bahwa aset tetap yang sudah direvaluasi tersebut tidak akan mengalami peningkatan nilai wajar yang signifikan dalam 5 tahun ke depan (Hrd).

Wednesday, June 18, 2008

Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap saat ini sudah hampir sepenuhnya mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Salah satu perubahan signifikan dari PSAK 16 (Revisi 2007) ini adalah mengenai revaluasi aset tetap. Dalam PSAK sebelumnya yaitu PSAK 16 (1994) mengenai Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain pada dasarnya mengharuskan penyajian aktiva tetap berdasarkan nilai perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah, dan dalam hal ini harus ada catatan ataupun penjelasan dalam laporan keuangan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan (PSAK 16 (1994) Par. 29).

Jadi, sebelum berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007), jika perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap yang pada umumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perpajakan, maka pada opini auditor harus ada catatan dan penjelasan tambahan berkaitan dengan hal tersebut.

Dengan mulai berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007) sejak 1 Januari 2008, maka perusahaan diperbolehkan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasi, dan harus diterapkan terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.

Jika menggunakan model biaya, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 (revisi 2007) par. 30). Model ini adalah seperti yang diterapkan sebagian besar perusahaan selama ini.

Sedangkan jika menggunakan model Revaluasi, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca (PSAK 16 (revisi 2007) par. 31).

Dalam paragraph 34 diatur lebih lanjut bahwa frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Paragraf 36 menjelaskan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.

Paragraf 39 dan 40 mengatur mengenai perlakuan pencatatan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi sebagai berikut :

· Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke Ekuitas pada bagian Surplus Revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi sehingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi (par. 39)

· Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut (par. 40).

PSAK 16 (1994) menggunakan istilah “Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” untuk membukukan selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap.

Jika perusahaan mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap maka perubahan tersebut berlaku prospektif. Hal ini diatur dalam paragraph 43 PSAK 16 (revisi 2007).

Ketentuan Transisi PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa :

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya, maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat PSAK ini diterbitkan (par. 83).

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.

Demikian sekilas penjelasan pengaturan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)/IAS 16. Selanjutnya, saya akan menulis tentang perbedaan pengaturan revaluasi aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) dibandingkan dengan ketentuan perpajakan yang diatur terakhir berdasarkan PMK No. 79/PMK.03/2008 tanggal 23 Mei 2008 (Hrd).

Monday, June 9, 2008

Kompensasi Rugi Fiskal, bagaimana perhitungan pajak tangguhannya ?

Pada posting-posting sebelumnya, saya sudah beberapa kali membahas mengenai akuntansi pajak tangguhan. Pengertian istilah dalam akuntansi pajak tangguhan seperti misalnya beda temporer juga sudah saya bahas sehingga tidak perlu lagi saya uraikan panjang lebar dalam tulisan ini.

Adapun pembahasan mengenai pajak tangguhan kali ini berkaitan dengan perlakuan akuntansi pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami penghitungan dan pencatatan akuntansi pajak tangguhan atas kompensasi saldo rugi fiskal.

PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi.

Lantas, apakah jika perusahaan memiliki saldo rugi fiskal serta telah memenuhi persyaratan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi, maka langsung bisa membukukan aset pajak tangguhan dalam laporan keuangannya ? Jika tidak, persyaratan apa lagi yang harus diperhatikan ?

Menurut PSAK 46 par. 27 diatur bahwa berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah penghasilan kena pajak akan tersedia dalam jumlah memadai untuk dikompensasikan :

1. apakah perusahaan mempunyai perbedaan temporer kena pajak dalam jumlah yang memadai, yang memungkinkan sisa kompensasi dapat digunakan sebelum masa berlakunya kadaluarsa;

2. apakah perusahaan mungkin memperoleh laba fiskal agar saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi kerugian dapat digunakan sebelum masa berlakunya daluarsa;

3. apakah saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi timbul dari kasus-kasus tertentu yang hampir tidak mungkin berulang.

Apabila laba fiskal tidak mungkin tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dapat dikompensasi dengan saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, maka aset pajak tangguhan tidak diakui.

Paragraf 28 mengatur mengenai penilaian kembali aset pajak tangguhan. Pada setiap tanggal neraca, perusahaan menilai kembali aset pajak tangguhan yang tidak diakui. Perusahaan mengakui aset pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan akan tersedia untuk pemulihannya.

Berdasarkan Undang‑undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang‑undang No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) Pasal 6 ayat (2) diatur bahwa apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Berikut ini ilustrasi sederhana penerapan penghitungan aset pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Berhubung topik pembahasan kali ini terbatas pada kompensasi saldo rugi fiskal maka untuk memudahkan pemahaman diasumsikan bahwa tidak terdapat unsur beda temporer dalam rekonsiliasi perpajakan.

Dari rekonsiliasi laba (rugi) komersial dengan laba (rugi) menurut fiskal PT A selama 5 tahun berturut-turut diperoleh gambaran sebagai berikut :

2006

2005

2004

2003

Laba (Rugi) Komersial

11.000

10.500

(4.000)

(12.000)

Beda Tetap :

Sumbangan

300

500

100

400

Entertainment

100

300

150

800

Laba (Rugi) Fiskal

11.400

11.300

(3.750)

(10.800)

Kompensasi

(3.250)

(14.550)

(10.800)

0

Laba (Akumulasi Rugi) Fiskal

8.150

(3.250)

(14.550)

(10.800)

Ayat jurnal pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 sebagai berikut :

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

3.240

Pajak Penghasilan Tangguhan

3.240

(mencatat DTA tahun 2003)

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

1.125

Pajak Penghasilan Tangguhan

1.125

(mencatat tambahan DTA 2004)

Pajak Penghasilan Tangguhan

3.390

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

3.390

(reverse DTA - laba fiskal 2005)

Pajak Penghasilan Tangguhan

975

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

975

(reverse DTA – laba fiskal 2006)

Dari ayat-ayat jurnal di atas, dapat diketahui bahwa saldo Aset Pajak Tangguhan di Neraca PT A per 31/12/2006 sudah menjadi nol seiring dengan habisnya kompensasi saldo rugi fiskal pada tahun 2006.

Demikian sedikit gambaran perhitungan Aset Pajak Tangguhan atas Kompensasi Rugi Fiskal, semoga bermanfaat (Hrd).

Sekilas Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU)

Technorati Tags: ,,

Laporan keuangan adalah suatu asersi yang disusun berdasarkan suatu standar atau kriteria yang diterima secara umum dalam praktek bisnis (generally accepted). Suatu pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) diterima secara umum apabila telah melalui suatu mekanisme yang disebut public hearing untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat.

Draft PSAK harus dapat diterima oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan dikeluarkan oleh suatu lembaga atau institusi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat. Di Indonesia, institusi tersebut adalah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

Komponen-komponen masyarakat yang berkepentingan atas prinsip akuntansi tersebut terdiri dari banyak pihak, yakni kalangan akademis, analis pasar modal, pemerintah, pengusaha, karyawan dan lain-lain. Otoritas atau lembaga pemerintah yang paling berkepentingan adalah pihak BAPEPAM, Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan dan Dirjen Pajak.

Apa-apa saja yang dapat dianggap sebagai bagian dari Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU) ? Banyak praktisi dan akademis memandang sempit prinsip akuntansi dengan menganggap bahwa SAK adalah satu-satunya PABU. Perlu diketahui bahwa SAK adalah bagian kecil dari PABU.

SAK yang ada sekarang dikeluarkan oleh IAI melalui suatu organ yang kita kenal dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK). Dewan ini bertugas untuk menyusun draft standar akuntansi keuangan yang akan diberlakukan. Draft tersebut terlebih dahulu didiskusikan dengan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK) untuk kemudian dikeluarkan draft-nya. Bila telah diperoleh masukan, dilakukan sosialisasi (public hearing) untuk memperoleh masukan lebih banyak lagi dari masyarakat luas (pemakai laporan keuangan). Selanjutnya, bila tidak ada masalah lagi, maka IAI akan mengesahkan standar tersebut dan diberlakukan secara efektif.

Berbeda dengan di Indonesia, Amerika Serikat mendirikan badan penyusun standar akuntansi yang berada di luar asosiasi profesi. Badan ini adalah Financial Accounting Standards Board (FASB) yang tidak berada di bawah AICPA melainkan di bawah Financial Accounting Foundation (FAF). Badan ini berwenang penuh dalam menentukan standar akuntansi yang akan ditetapkan.

Sejak dilakukan pengadopsian IAS/IFRS menjadi SAK terjadi perubahan yang signifikan terhadap praktek pelaporan keuangan di Indonesia. Perubahan itu menuntut para praktisi akuntansi untuk selalu mempelajari perkembangan dan perubahan-perubahan standar akuntansi keuangan yang berkembang sangat cepat.

Sampai dengan saat ini, DSAK-IAI sedang dalam proses konvergensi (full adoption) PSAK dengan IFRS dengan rencana-rencana ke depan sebagai berikut :

· Pada akhir 2010 diharapkan seluruh IFRS sudah diadopsi dalam PSAK;

· Tahun 2011 merupakan tahun penyiapan seluruh infrastruktur pendukung untuk implementasi PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS;

· Tahun 2012 merupakan tahun implementasi dimana PSAK yang berbasis IFRS wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik.

Penyajian Laporan Keuangan berdasarkan PSAK No.1 (Revisi 1998)

Laporan keuangan yang lengkap terdiri atas komponen-komponen berikut ini : Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas serta Catatan Atas Laporan Keuangan.

Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan untuk penyajian wajar atas laporan keuangan adalah :

1. Laporan keuangan harus disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha (going concern)

2. Perusahaan harus menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali laporan arus kas

3. Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar periode harus konsisten kecuali (a) terjadi perubahan yang signifikan terhadap sifat operasi perusahaan atau perubahan penyajian akan menghasilkan penyajian yang lebih tepat atas suatu transaksi atau peristiwa, atau (b) perubahan tersebut diperkenankan oleh PSAK

4. Pos-pos yang material disajikan terpisah dalam laporan keuangan, sedangkan yang tidak material digabungkan dengan jumlah yang memiliki sifat atau fungsi sejenis

5. Aset, kewajiban, pos-pos penghasilan dan beban disajikan secara terpisah kecuali saling hapus diperkenankan dalam PSAK

6. Informasi kuantitatif harus diungkapkan secara komparatif dengan periode sebelumnya, kecuali dinyatakan lain oleh PSAK.

Dalam paragraf 6 PSAK No. 1 dijelaskan bahwa manajemen perusahaan bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian laporan keuangan perusahaan.

Di Indonesia terjadi kerancuan dalam praktek penyusunan laporan keuangan dimana laporan keuangan yang diserahkan kepada auditor eksternal biasanya tidak disajikan secara lengkap. Yang diserahkan kepada auditor eksternal adalah neraca dan laporan laba rugi. Laporan arus kas, perubahan ekuitas dan catatan atas laporan keuangan biasanya disusun oleh auditor eksternal, sehingga orang awam memandang penyusunan laporan keuangan adalah tanggung jawab auditor eksternal.

Hal tersebut dapat dilihat dari keseragaman penyajian laporan keuangan yang diaudit oleh kantor akuntan yang sama. Praktek ini merupakan penyimpangan yang telah lama ditoleransi.

Tulisan ini merupakan kutipan dari artikel berjudul “Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Berdasarkan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum” oleh Marisi P. Purba (Anggota Tim DRM-IAI KAP) serta PSAK No. 1 mengenai Penyajian Laporan Keuangan (Hrd).

Sunday, June 8, 2008

Dokumentasi Tahapan Audit dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (Bag. 2 dari 2 tulisan)

DOKUMENTASI KKP AUDIT PLANNING

Dokumentasi KKP Perencanaan Audit (audit planning) meliputi :

· Pemahaman Bisnis Klien; agar perencanaan audit dapat dibuat dengan sebaik-baiknya, auditor harus benar-benar memahami bisnis klien. Dengan demikian, auditor akan dapat mengetahui kejadian-kejadian atau hal-hal yang dapat mempengaruhi laporan keuangan perusahaan dan juga mempengaruhi penugasan audit. Pemahaman bisnis klien mencakup pemahaman mengenai faktor internal perusahaan (seperti sejarah pendirian perusahaan, kepemilikan/permodalan, struktur organisasi dan manajemen, transaksi afiliasi, sifat dan jenis operasional/kegiatan usaha perusahaan, finansial dan kepegawaian, perpajakan dan lainnya) dan faktor eksternal (seperti industri perusahaaan meliputi pelanggan utama, pemasok utama, pesaing utama, kondisi industri pada umumnya, hukum dan peraturan yang berdampak terhadap perusahaan, prospek bisnis dan lainnya). Prosedur pemahaman bisnis klien harus didokumentasikan secara memadai.

· Pemahaman Proses Akuntansi;

· Penilaian Struktur Pengendalian Internal; sebaik apapun struktur pengendalian internal yang disusun manajemen, selalu ada risiko bawaan di dalamnya. Penilaian terhadap struktur pengendalian internal dapat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan overview terhadap proses akuntansi perusahaan. Proses ini akan berguna untuk menentukan tingkat risiko pengendalian untuk mendeteksi potensi salah saji yang material dalam laporan keuangan. Prosedur ini harus didokumentasikan secara memadai.

· Penetapan Risiko Pengendalian;

· Melakukan Analisa Awal; yang umum digunakan adalah data gabungan baik data keuangan maupun non-keuangan (analytical review). Tujuan utama penerapan analisa awal (analytical review) adalah untuk mendeteksi kemungkinan adanya akun-akun laporan keuangan yang kewajarannya diragukan (mengevaluasi kelayakan informasi keuangan) serta sebagai langkah awal untuk menentukan luasnya prosedur audit substantif lanjutan yang harus dilakukan. Selain itu, prosedur analytical review juga diperlukan untuk menentukan perlunya penerapan prosedur audit tambahan atas suatu akun laporan keuangan. Beberapa metode Analytical Review yang sering dilakukan Auditor dalam praktek adalah analisa comparative serta analis rasio keuangan.

· Menentukan Tingkat Materialitas; laporan keuangan mengandung salah saji material apabila salah saji yang terkandung di dalam laporan keuangan, baik individual atau keseluruhan, berdampak cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar. Penentuan tingkat materialitas dapat secara kuantitatif maupun kualitatif. Prosedur penentuan tingkat materialitas harus didokumentasikan secara memadai.

· Membuat Audit Program; design audit program harus fleksibel, dalam arti harus sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi klien dan penugasan audit. Program audit yang tercetak/baku memiliki beberapa kelemahan seperti pola pikir auditor terbatasi, daya analisa cenderung tidak berkembang serta kurangnya kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi.

Setelah tahapan-tahapan di atas terlaksana, selanjutnya adalah tahapan pemeriksaan. Auditor melakukan pemeriksaan berdasarkan perencanaan audit yang telah disusunnya, dalam rangka memperoleh bukti-bukti kompeten yang cukup untuk mendukung pendapat auditor mengenai kewajaran laporan keuangan.

TAHAPAN PEMERIKSAAN

Adapun jenis pengujian yang umumnya dilakukan dalam pekerjaan pemeriksaan adalah :

· prosedur untuk memperoleh pemahaman atas pengendalian intern

· pengujian atas pengendalian intern

· pengujian substantif transaksi

· pengujian detail transaksi

· prosedur analitik

Prosedur-prosedur yang dilaksanakan selama pekerjaan pemeriksaan pada umumnya meliputi :

· pemeriksaan fisik

· konfirmasi

· dokumentasi

· observasi/pengamatan

· tanya jawab dengan klien

· penelaahan kembali

· estimasi dari hasil prosedur analitik

Prosedur-prosedur tersebut di atas harus didokumentasikan secara memadai.

PENYELESAIAN AUDIT

Penerbitan laporan auditor independen merupakan tujuan akhir dari suatu pekerjaan pemeriksaan. Seluruh bukti audit yang telah diperoleh dalam pekerjaan pemeriksaan akan dikumpulkan dan dianalisa sebagai bahan pertimbangan pemberian opini auditor dalam laporan auditor independen.

Prosedur lainnya yang harus dilakukan dalam tahap akhir pekerjaan pemeriksaan adalah pemeriksaan kejadian penting setelah tanggal neraca. Prosedur yang umum digunakan adalah dengan cara membandingkan laporan keuangan yang terbit setelah tanggal neraca, sebelum tanggal laporan auditor. Prosedur ini harus didokumentasikan secara memadai.

Setelah itu, representasi manajemen harus diperoleh dan didokumentasikan sebagai bagian dari kertas kerja pemeriksaan (Hrd).

Dokumentasi Tahapan Audit dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (Bag. 1 dari 2 tulisan)

Pada posting saya sebelumnya dengan judul Kertas Kerja Audit, saya sudah memberikan sedikit gambaran mengenai kertas kerja pemeriksaan. Pada bagian ini, saya akan memaparkan lebih jauh informasi-informasi apa saja yang harus didokumentasikan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) selama tahapan pekerjaan audit.

Mengenai Kertas Kerja Audit diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 339 (PSA No. 15).

Kertas Kerja adalah catatan yang dipersiapkan dan disimpan oleh auditor yang isinya meliputi prosedur audit yang diterapkan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh serta kesimpulan yang dicapai dalam penugasan audit.

Pada bagian Pendahuluan, SPAP SA Seksi 339 dijelaskan bahwa “Auditor harus membuat dan memelihara kertas kerja, yang isi maupun bentuknya harus didesain untuk memenuhi keadaan-keadaan yang dihadapinya dalam perikatan tertentu. Informasi yang tercantum dalam kertas kerja merupakan catatan utama pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh auditor dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya mengenai masalah-masalah yang signifikan”.

Dalam audit umum (general audit), pada umumnya KKP yang dipersiapkan auditor terdiri dari :

· Permanent File

· Current File, berupa KKP WBS (berisi KKP akun Neraca mulai dari Kas sampai dengan Modal) serta KKP WPL (berisi KKP akun Laba Rugi)

· Tax File (kadang-kadang tax file tidak dipisahkan tersendiri oleh auditor, tetapi digabung dengan Current File ataupun Permanent File tergantung manfaat dan sifat dari KKP tersebut)

Sepanjang tahapan pelaksanaan audit, di dalam KKP harus ada dokumentasi yang menunjukkan siklus pekerjaan berupa :

· Perencanaan Pendahuluan

· Perencanaan Audit

· Pemeriksaan Audit

· Penyelesaian dan Pelaporan

Dokumentasi KKP Perencanaan Pendahuluan meliputi :

· Pertimbangan penerimaan klien berupa Survey Pendahuluan dan Evaluasi Penerimaan Klien

· Komunikasi dengan auditor pendahulu

· Surat Perikatan Audit

Pada saat survey pendahuluan untuk klien baru, informasi yang harus diperoleh pada umumnya berupa :

1. Latar belakang, seperti (a) nama dan alamat kantor serta lokasi pabrik (b) alasan penugasan audit (c) bidang usaha dan industri calon klien (d) pemilik dan permodalan perusahaan (e) gambaran sistim akuntansi perusahaan

2. Informasi mengenai kewajiban hukum klien

3. Kompetensi Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam menerima penugasan audit, berupa (a) independensi KAP, (b) staf yang terlibat dalam penugasan, (c) kelayakan audit fee yang diterima.

Sedangkan, untuk prosedur Evaluasi Penerimaan Klien, KAP harus berhati-hati dalam memutuskan penerimaan maupun keberlanjutan penugasan audit dari klien. Auditor harus menindaklanjuti informasi yang diperoleh dalam survey pendahuluan untuk keputusan penerimaan penugasan audit. Selain itu, pertimbangan-pertimbangan lain yang harus diperhatikan adalah berupa (a) pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, (b) hasil audit periode sebelumnya jika calon klien sudah pernah diaudit sebelumnya serta (c) kebutuhan akan tenaga spesialis.

Dalam melakukan komunikasi dengan auditor pendahulu, tidak hanya dilakukan saat pertimbangan penerimaan penugasan audit, tetapi juga setelah ada keputusan penerimaan penugasan audit. Auditor pengganti, setelah menerima perikatan, dapat meminta klien untuk mengijinkannya melakukan review atas KKP auditor pendahulu.

Mengenai Surat Perikatan Audit, diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 320 par. 2 “Auditor dan klien harus setuju atas syarat-syarat perikatan. Syarat-syarat yang telah disetujui bersama perlu dicatat dalam suatu surat perikatan (engagement letter).

Bentuk dan isi surat perikatan audit dapat bervariasi di antara klien, namun surat tersebut umumnya berisi :

· tujuan audit atas laporan keuangan

· tanggung jawab manajemen atas laporan keuangan

· lingkup audit, peraturan relevan yang harus diterapkan oleh auditor

· bentuk laporan

· fakta bahwa karena sifat pengujian dan keterbatasan bawaan lain suatu audit, dan dengan keterbatasan bawaan pengendalian intern, terdapat risiko yang tidak dapat dihindari tentang kemungkinan beberapa salah saji material tidak dapat terdeteksi

· akses yang tidak dibatasi terhadap catatan, dokumentasi, dan informasi lain apapun yang diminta oleh auditor dalam hubungannya dengan audit

· pembatasan atas tanggung jawab auditor

· bentuk komunikasi yang akan dilakukan dengan manajemen

Segera setelah surat perikatan disetujui, auditor harus menyusun perencanaan audit (audit planning). (bersambung)

Thursday, June 5, 2008

Implementasi PSAK No. 13, 16 dan 30 (berlaku efektif sejak 1 Januari 2008)

Sebelumnya saya sudah pernah posting tulisan berkaitan dengan tiga (3) PSAK revisian DSAK-IAI yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2008 yaitu PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi yang menggantikan PSAK No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi (disahkan 1994), PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang menggantikan PSAK 16 (1994) : Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain dan PSAK 17 (1994) : Akuntansi Penyusutan serta PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa menggantikan PSAK 30 (1994) tentang Sewa Guna Usaha. (link : 3 PSAK revisian DSAK IAI berlaku efektif sejak 1 Januari 2008, sudah siapkah Anda ?)

Untuk membantu pemahaman kita akan ke-tiga PSAK tersebut, berikut saya attached News Letter yang dipublikasikan oleh Deloitte Indonesia beberapa waktu yang lalu (yang saya peroleh melalui email yang dikirim seorang teman). News Letter ini membahas perubahan-perubahan atas PSAK 13, PSAK 16 dan PSAK 30 Revisi 2007. (klik link berikut ini untuk download )

Delloitte - The Standards Update (PSAK 13,16 & 30)

Berkaitan dengan penerapan ke-tiga PSAK revisi 2007 tersebut serta kenyataan bahwa perubahan-perubahan pada PSAK 13/2006, PSAK 16/2006 dan PSAK 30/2006 dapat berpengaruh signifikan terhadap penerapan kebijakan akuntansi dan proses audit laporan keuangan perusahaan sehingga menuntu pemahaman maupun kesiapan yang memadai oleh manajemen perusahaan maupun para akuntan publik, IAPI akan menyelenggarakan PPL dengan topik Implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) - Revisi 2007). Untuk informasi lebih lanjut silahkan baca di posting saya sebelumnya. (link : Implementasi PSAK Revisi 2007).Bagi yang ingin lebih memahami implementasi PSAK 13, PSAK 16 dan PSAK 30 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2008 yang lalu, jangan ketinggalan untuk mengikuti PPL ini (Hrd).

Monday, June 2, 2008

Akuntansi Penggabungan Usaha, beda pengaturan antara PSAK 22 vs IFRS 3

Akuntansi Penggabungan Usaha diatur terutama dalam PSAK No. 22 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1995 hingga sekarang. Adapun PSAK 22 ini adalah merupakan hasil adopsi dari International Accounting Standard (IAS) No. 22 tentang “Business Combinations” yang dikeluarkan oleh International Accounting Standards Committee. Kemudian, pada bulan Maret 2004 International Accounting Standards Board (IASB) mengeluarkan IFRS No. 3 sebagai pengganti IAS No. 22 yang berlaku efektif sejak 31 Maret 2004. Selanjutnya, pada bulan Januari 2008, IASB menerbitkan revisi atas IFRS No. 3.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, PSAK No. 22 sampai dengan saat ini masih merupakan adopsian dari IAS No. 22, sehingga dengan sendirinya terdapat perbedaan perlakuan dengan IFRS No. 3.

Adapun beberapa perbedaan dalam ketentuan akuntansi penggabungan usaha yang ditetapkan dalam PSAK No. 22 dan IAS No. 22 dibandingkan dengan IFRS No. 3 diantaranya adalah :

1. IAS No. 22 dan PSAK No. 22 memberikan ijin atas penggunaan metode pembelian dan penyatuan kepemilikan serta menetapkan syarat-syarat penggunaan metode tersebut. Metode penyatuan kepemilikan digunakan apabila sulit sekali mengidentifikasi perusahaan pengakuisisi dan terjadi pembagian risiko serta manfaat secara seimbang antara pemegang saham perusahaan-perusahaan yang menggabungkan diri; sedangkan IFRS No. 3 tidak lagi mengijinkan penggunaan metode penyatuan kepemilikan dan mensyaratkan bahwa semua penggabungan usaha harus dicatat dengan menggunakan metode pembelian. Ketentuan dalam IFRS No. 3 tersebut ditetapkan karena walaupun terdapat kriteria yang ditetapkan oleh IAS No. 22 dalam menggunakan metode pembelian dan penyatuan kepemilikan, manajemen sering mencari celah agar dapat mengunakan salah satu dari dua metode pencatatan tersebut yang menguntungkan bagi mereka.

2. IAS No. 22 dan PSAK No. 22 mengharuskan amortisasi goodwill selama satu periode yang tidak kurang dari 20 tahun; sedangkan IFRS No. 3 tidak lagi memperkenankan amortisasi atas goodwill yang berasal dari transaksi penggabungan usaha. Goodwill dianggap habis dengan sendirinya seiring dengan terjadinya penurunan nilai aktiva yang dilakukan berdasarkan IAS No. 36 tentang “Impairment of Assets”.

3. Berdasarkan PSAK No. 22 paragraf 82, sisa goodwill negatif setelah dilakukan penurunan nilai aktiva non-moneter, harus diakui sebagai pendapatan ditangguhkan dan diakui sebagai pendapatan secara sistimatis tidak lebih dari 20 tahun; sedangkan IFRS No. 3 mengharuskan pengakuan laba atau rugi yang berasal dari sisa goodwill negatif.

(Sumber : Buku “Akuntansi Penggabungan Usaha” karangan Marisi P.Purba)

Berikut ini beberapa perubahan mendasar IFRS No. 3 (Revisi Januari 2008) dengan sebelumnya :

· The scope was broadened to cover business combinations involving only mutual entities and business combinations achieved by contract alone

· The definitions of a business and a business combination were amended and additional guidance was added for identifying when a group of assets constitutes a business

· For each business combination, the acquirer must measure any non-controlling interest in the acquiree either at fair value or as the non-controlling interest’s proportionate share of the acquiree’s net identifiable assets. Previously, only the latter was permitted

· The requirements for how the acquirer makes any classifications, designations or assessments for the identifiable assets acquired and liabilities assumed in a business combination were clarified

· The period during which changes to deferred tax benefits acquired in a business combination can be adjusted against goodwill has been limited to the measurement period (through a consequential amendment to IAS 12 (Income Taxes)

· An acquirer is no longer permitted to recognise contingencies acquired in a business combination that do not meet the definition of a liability

· Costs the acquirer incurs in connection with the business combination must be accounted for separately from the business combination, which usually means that they are recognised as expenses (rather than included in goodwill)

· Consideration transferred by the acquirer, including contingent consideration, must be measured and recognised at fair value at the acquisition date. Subsequent changes in the fair value of contingent consideration classified as liabilities are recognised in accordance with IAS 39, IAS 37 or other IFRSs, as appropriate (rather than by adjusting goodwill). The disclosures required to be made in relation to contingent consideration were enhanced

· Application guidance was added in relation to when the acquirer is obliged to replace the acquiree’s share-based payment awards; measuring indemnification assets; rights sold previously that are reacquired in a business combination; operating leases; and valuation allowances related to financial assets such as receivables and loans

· For business combinations achieved in stages, having the acquisition date as the single measurement date was extended to include the measurement of goodwill. An acquirer must remeasure any equity interest it hold in the acquiree immediately before achieving control at its acquisition-date fair value and recognise the resulting gain or loss, if any, in profit or loss.

(Source : IFRS Bound Volume 2008) (Hrd)