Tuesday, February 16, 2010

Akses materi IFRS secara gratis

Ada kabar gembira bagi praktisi maupun akademis akuntansi yang tertarik dan ingin mempelajari lebih jauh standar akuntansi internasional (IFRS) yang rencananya sudah akan diadopsi secara penuh oleh negara kita pada tahun 2012 nanti.

Sekarang IASC Foundation telah menyediakan kemudahan akses secara gratis ke softcopy IFRS dalam bahasa Inggris seperti yang telah dipublikasikan oleh IASB dan diterbitkan dalam bentuk Bound Volume edisi 1 Januari 2009.

Untuk dapat melakukan akses dan mengunduh seluruh materi dari IFRS tersebut, syarat yang diperlukan cukup sederhana yaitu hanya dengan mendaftar di website IASB.org di sini.

Setelah melakukan proses pendaftaran dan disetujui, selanjutnya kita akan dapat mengakses secara penuh ke seluruh materi dari IFRS dan IFRS untuk UKM (IFRS for SMEs). Selain itu, kita juga bisa mendaftar untuk mendapatkan email alerts, berpartisipasi dalam memberikan komentar ataupun mendaftar sebagai pengamat (observer).

Kemudahan seperti ini tentu sangat membantu kita dalam mempelajari IFRS dengan lebih baik.

Kapan ya kita bisa mengakses materi PSAK semudah ini ?

Thursday, February 11, 2010

PSAK Terbaru 2010 (edisi satuan)

Berikut adalah daftar sembilan belas produk DSAK IAI terbitan IAI Terbaru tahun 2010 (edisi satuan) yang telah tersedia untuk dipesan yaitu: 10 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), 5 Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK), dan 4 Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) yang telah disahkan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI pada tanggal 23 Desember 2009 lalu.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) : 

  1. PSAK 1 (revisi 2009): Penyajian Laporan Keuangan
  2. PSAK 2 (revisi 2009): Laporan Arus Kas
  3. PSAK 4 (revisi 2009): Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri
  4. PSAK 5 (revisi 2009): Segmen Operasi
  5. PSAK 12 (revisi 2009): Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama
  6. PSAK 15 (revisi 2009): Investasi Pada Entitas Asosiasi
  7. PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan
  8. PSAK 48 (revisi 2009): Penurunan Nilai Aset
  9. PSAK 57 (revisi 2009): Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi
  10. PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan

Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) :

  1. ISAK 7 (revisi 2009): Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus
  2. ISAK 9: Perubahan atas Liabilitas Purna Operasi, Liabilitas Restorasi, dan Liabilitas Serupa
  3. ISAK 10: Program Loyalitas Pelanggan
  4. ISAK 11: Distribusi Aset Nonkas Kepada Pemilik
  5. ISAK 12: Pengendalian Bersama Entitas: Kontribusi Nonmoneter oleh Venturer

Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) :

  1. PPSAK 2: Pencabutan PSAK 41: Akuntansi Waran dan PSAK 43: Akuntansi Anjak Piutang
  2. PPSAK 3: Pencabutan PSAK 54: Akuntansi Restrukturisasi Utang Piutang bermasalah
  3. PPSAK 4: Pencabutan PSAK 31 (revisi 2000): Akuntansi Perbankan, PSAK 42: Akuntansi Perusahaan Efek, dan PSAK 49: Akuntansi Reksa Dana
  4. PPSAK 5: Pencabutan ISAK 06: Interpretasi atas Paragraf 12 dan 16 PSAK No. 55 (1999) tentang Instrumen Derivatif Melekat pada Kontrak dalam Mata Uang Asing

Untuk pembelian dapat menghubungi IAI Pusat, Grha Akuntan, Jl. Sindanglaya No. 1, Menteng: Telp. 021 31904232 ext. 145/136.

Form pemesanan dapat didownload dari  website IAI

Wednesday, February 10, 2010

Penggantian sparepart mesin, dikapitalisasi atau dibiayakan ?

Apakah biaya penggantian sparepart mesin boleh dikapitalisasi ke nilai tercatat mesin untuk kemudian dibebankan secara berkala melalui penyusutan atau harus langsung dibebankan sebagai biaya di laporan laba rugi ?

Par. 7 PSAK 16 (Revisi 2007) mengatur bahwa biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika :

(a) besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan aset tersebut akan mengalir ke entitas; dan

(b) biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.

Dalam Par. 12 dijelaskan bahwa sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, entitas tidak boleh mengakui biaya perawatan sehari-hari aset tetap sebagai bagian dari aset yang bersangkutan. Biaya-biaya ini diakui dalam laporan laba rugi saat terjadinya.

Kemudian, dalam Par. 13 selanjutnya dijelaskan antara lain bahwa sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, entitas mengakui biaya penggantian komponen suatu aset dalam jumlah tercatat aset saat biaya itu terjadi jika pengeluaran tersebut memenuhi kriteria untuk diakui sebagai bagian dari aset. Jumlah tercatat komponen yang diganti tersebut tidak lagi diakui apabila telah memenuhi ketentuan penghentian pengakuan (lihat paragraf 69-74).

Dari penjelasan beberapa paragraf PSAK 16 tersebut, dapat disimpulkan bahwa biaya penggantian sparepart tersebut harus dikapitalisasi ke nilai tercatat mesin jika besar kemungkinan memiliki manfaat ekonomis di masa depan serta biaya perolehan dari sparepart mesin tersebut dapat diketahui dengan jelas. Jika salah satu dari kedua kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka harus dibebankan langsung sebagai biaya di laporan laba rugi.

Selanjutnya, dalam Par. 72 PSAK 16 dijelaskan bahwa jika berdasarkan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, suatu entitas mengakui biaya perolehan dari penggantian sebagian aset tetap dalam jumlah tercatat aset tetap tersebut, maka selanjutnya entitas tersebut juga menghentikan pengakuan jumlah tercatat dari bagian yang digantikan tanpa memperhatikan apakah bagian yang digantikan telah disusutkan secara terpisah. Jika hal ini tidak praktis bagi entitas untuk menentukan jumlah tercatat dari bagian yang digantikan, entitas dapat menggunakan biaya perolehan dari penggantian tersebut sebagai indikasi biaya perolehan dari bagian yang digantikan pada saat diperoleh atau dikonstruksi.

Adapun pengertian dari paragraf ini adalah jika misalnya pada tanggal 10 Maret 2009 PT A mengganti sparepart mesin yang telah rusak dengan nilai perolehan sparepart mesin yang baru sebesar Rp 10 juta dan atas penggantian sparepart tersebut telah memenuhi persyaratan kapitalisasi sesuai Par. 7 PSAK 16. Untuk sparepart mesin yang rusak pada saat dibeli harga perolehannya merupakan satu kesatuan dengan aset mesin sehingga dengan demikian tidak dapat diketahui dengan jelas berapa nilai perolehan sparepart mesin tersebut. Masa manfaat mesin 10 tahun dan telah disusutkan selama 4 tahun dengan metode Garis Lurus.

Sebagaimana halnya pengaturan dalam Par. 72 di atas, pada saat pengganti sparepart yang baru, maka jumlah tercatat (nilai buku) sparepart mesin yang lama harus dikeluarkan dari pembukuan. Berhubung tidak dapat diketahui dengan pasti jumlah tercatat sparepart mesin yang lama, maka PT A dapat menggunakan harga perolehan sparepart mesin yang baru sebagai pengganti harga perolehan sparepart mesin yang lama.

Jadi, pada saat penggantian tersebut, PT A mencatat perolehan sparepart mesin yang baru serta penghapusan sparepart mesin yang lama sebagai berikut :

Aset tetap - mesin      10.000.000  
Rugi Penghapusan aset        6.000.000  
        Aset tetap - mesin         6.000.000 *
        K a s       10.000.000

*) Pengkreditan Aset Tetap – Mesin sebesar Rp 6 juta adalah merupakan jumlah tercatat sparepart mesin lama yang dihitung dengan menggunakan biaya perolehan sparepart mesin yang baru sebagai pengganti biaya perolehannya (Hrd)

Wednesday, February 3, 2010

Penerapan tarif tunggal 28% dalam perhitungan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009

Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang baru yaitu UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mulai berlaku sejak 1 Januari 2009. Dengan demikian, untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 yang akan berakhir pada tanggal 30 April 2010 nantinya sudah harus mengacu ke UU No. 36 tahun 2008.

Salah satu perubahan penting dari UU Pajak Penghasilan ini adalah perubahan tarif pajak untuk WP Badan, dimana berdasarkan UU PPh yang berlaku sebelumnya (UU No. 17 tahun 2000), untuk tahun pajak 2008 dan sebelumnya tarif pajak yang berlaku untuk WP Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sesuai Pasal 17 ayat (1b) adalah sebagai berikut :

1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d Rp 50 juta dikenakan tarif 10%

2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 50 juta s.d Rp 100 juta dikenakan tarif 15%

3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 juta dikenakan tarif 30%

Kemudian, berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat (1b) diatur bahwa untuk penghasilan kena pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap dikenakan tarif sebesar 28%.

Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat 2a).

Sedangkan untuk WP Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif lebih rendah 5% (Pasal 17 ayat 2b).

Ketentuan tarif PPh untuk WP Badan Dalam Negeri selain diatur dalam Pasal 17 ayat (1b), juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 31E ayat (1) : Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Implementasi dari ketentuan Pasal 31E ayat (1) ini diatur lebih lanjut dalam bagian penjelasan.

Contoh 1 :

Peredaran Bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4,5 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta. Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif PPh yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4,8 miliar.

Perhitungan PPh yang terutang : (50% x 28%) x Rp 500 juta = Rp 70 Juta.

Contoh 2 :

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 Rp 30 Miliar dengan Penghasilan Kena Pajak Rp 3 Miliar.

Oleh karena jumlah peredaran bruto sudah melebihi Rp 4,8 Miliar, maka dalam menghitung PPh terutang harus dipisahkan antara bagian yang mendapat fasilitas dan bagian yang tidak mendapat fasilitas, dengan cara sebagai berikut :

(1) Jumlah Penghasilan Kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas : (Rp 4,8 miliar : Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480 juta.

(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas : Rp 3 miliar – Rp 480 juta = Rp 2.520.000.000

Setelah itu, dihitung jumlah PPh yang terutang :

(1) (50% x 28%) x Rp 480.000.000  =       67.200.000
(2) 28% x Rp 2.520.000.000           =     705.600.000 +
       ____________
  Jumlah PPh Terutang             =     772.800.000

Sedangkan, jika peredaran bruto sudah melebihi Rp 50 Miliar maka tidak mendapat fasilitas sehingga seluruh Penghasilan Kena Pajak dikenakan tarif 28%.

Sumber : Undang Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008