Monday, April 28, 2008

Perhitungan Pajak Tangguhan atas Penyusutan Aktiva Tetap

Pada posting sebelumnya, saya sudah memberikan gambaran sekilas tentang pengertian Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK No. 46.

Berikut ini sebuah ilustrasi sederhana penerapan perhitungan Pajak Tangguhan atas perbedaan temporer penyusutan aktiva tetap menurut Akuntansi dan Perpajakan (Fiskal) yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.

Tabel penyusutan menurut akuntansi dan fiskal sebagai berikut :

Aktiva Tetap Beban Penyusutan
menurut Akuntansi
Beban Penyusutan
menurut Fiskal
Bangunan            562.500.000        1.125.000.000
Mesin         3.333.333.333        5.000.000.000
Kendaraan         1.500.000.000        1.875.000.000
Peralatan            500.000.000           625.000.000
Jumlah         5.895.833.333        8.625.000.000

Berdasarkan tabel perhitungan penyusutan dengan metode garis lurus di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi perbedaan temporer antara perlakuan pajak dengan akuntansi. Mengingat bahwa beban penyusutan secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan secara akuntansi, PT XYZ akan melakukan koreksi negatif. Akibatnya, koreksi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengurangan laba fiskal, sehingga beban PPh tahun berjalan menjadi lebih kecil.

Perhitungan koreksi negatif yang dapat memperkecil laba fiskal tersebut adalah sebagai berikut :

Laba akuntansi Rp          9.282.150.000
Koreksi fiskal    
- penyusutan akuntansi (+)          5.895.833.333
- penyusutan fiskal (-)       (8.625.000.000)
Laba Fiskal Rp         6.552.983.333
Pembulatan           6.552.983.000

Perhitungan Pajak Penghasilan

   Keterangan          Akuntansi            Fiskal
Laba        9.282.150.000       6.552.983.333
PPh Terutang    
10 % x 50.000.000               5.000.000              5.000.000
15 % x 50.000.000               7.500.000              7.500.000
30 % x 9.182.150.000        2.754.645.000  
30 % x 6.452.983.000           1.935.894.900
Jumlah PPh       2.767.145.000       1.948.394.900

Taksiran Pajak Penghasilan

Beban Pajak Kini Rp      1.948.394.900
Beban Pajak Tangguhan Rp         818.750.100
   Jumlah Beban Pajak Rp      2.767.145.000

Jurnal akuntansinya sebagai berikut :

Beban Pajak Kini     1.948.394.900  
Beban Pajak Tangguhan        818.750.100  
   Hutang PPh 25/29      1.948.394.900
   Kewajiban Pjk Tangguhan         818.750.100

Demikian ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda temporer penyusutan aktiva tetap menurut akuntansi (komersial) dan pajak (fiskal). Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami PSAK 46 khususnya yang berkaitan dengan Pajak Tangguhan (Hrd).

Sunday, April 27, 2008

Pelatihan dan Keahlian Auditor Independen

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 210 (PSA No. 04) menegaskan perlunya pendidikan dan pengalaman memadai dalam bidang auditing sebagai syarat utama untuk melakukan audit.

Sebagaimana dinyatakan dalam Standar Umum yang pertama bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

Dalam paragraf 3 SPAP SA Seksi 210 dinyatakan antara lain bahwa dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit.

Jadi, untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang auditor yang dapat melaksanakan pekerjaan audit dengan baik, tidak cukup hanya dengan bekal pendidikan formal semata tetapi juga harus ditunjang oleh pengalaman praktek di lapangan dengan jam kerja yang memadai. Berdasarkan pengalaman penulis sejauh ini, banyak ditemukan masalah dan kasus akuntansi dan auditing dalam suatu perusahaan yang tidak pernah didapat dari bangku perkuliahan sehingga untuk menyelesaikan masalah dan kasus tersebut benar-benar diperlukan keahlian dan pengalaman audit di lapangan.

Selanjutnya, dalam paragraf 3 juga ditegaskan bahwa asisten junior, yang baru masuk ke dalam karier auditing harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan review atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman.

Saya pernah punya pengalaman dengan seorang asisten junior yang baru diterima sebagai anggota tim audit. Beliau adalah tamatan salah satu universitas papan atas di Indonesia dan sama sekali belum mempunyai pengalaman kerja baik dari perusahaan ataupun dari KAP. Oleh karena belum berpengalaman, beliau ditempatkan sebagai asisten junior dan dalam pelaksanaan pekerjaan auditnya selalu disupervisi dan diawasi oleh staff senior (atasannya) yang sudah berpengalaman dalam praktek di lapangan. Mungkin karena merasa sudah ‘pintar’ dengan pekerjaan audit dan merasa sudah mendapat bekal yang cukup selama mengikuti bangku perkuliahan, beliau merasa keberatan untuk selalu disupervisi dan hanya ditempatkan sebagai asisten junior. Akhirnya, setelah sekitar 2 bulan bekerja, karena merasa ‘dikesampingkan’ dan kurang dihargai (pengalaman akademisnya) akhirnya beliau mengundurkan diri.

Memang, pendidikan formal (akademis) cukup menunjang dalam pekerjaan audit, namun menurut saya itu saja tidak cukup. Untuk menjadi seorang auditor yang baik dan benar kita harus mempunyai pengalaman praktek di lapangan dan jam kerja yang memadai, karena seperti yang saya sebutkan di atas, dalam pekerjaan di lapangan sering ditemukan permasalahan dan kasus yang tidak dipelajari di bangku perkuliahan sehingga dalam hal ini sangat diperlukan keahlian dan judgment profesional dari seorang auditor. Jika seorang yang baru tamat dari bangku perkuliahan dan sama sekali belum memiliki pengalaman praktek di lapangan yang memadai, kemudian langsung ditempatkan untuk mengaudit sebuah perusahaan tanpa disupervisi sebagaimana mestinya, menurut saya, akan sangat tinggi risiko audit yang akan timbul nantinya.

Paragraf 4 SPAP SA Seksi 210 menjelaskan bahwa pendidikan formal auditor independen dan pengalaman profesionalnya saling melengkapi satu sama lain. Setiap auditor independen yang menjadi penanggung jawab suatu perikatan harus menilai dengan baik kedua persyaratan profesional ini dalam menentukan luasnya supervisi dan review terhadap hasil kerja para asistennya. Perlu disadari bahwa yang dimaksudkan dengan pelatihan seorang profesional mencakup pula kesadarannya untuk secara terus-menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Ia harus mempelajari, memahami, dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.

Paragraf ini menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang auditor yang baik, seorang auditor profesional juga dituntut untuk selalu meng-update dan mengikuti perkembangan bisnis/dunia usaha serta perkembangan ilmu akuntansi dan auditing global secara terus menerus.

Kesimpulannya, untuk menjadi seorang auditor profesional yang baik dan benar harus membekali diri dengan pendidikan formal dan pengalaman praktek di lapangan yang memadai. Selain itu, seorang auditor profesional juga harus selalu mengikuti perkembangan bisnis/dunia usaha serta perkembangan ilmu akuntansi dan auditing Internasional. Perkembangan teknologi dan internet yang begitu pesat sekarang ini, menurut saya, cukup mendukung bagi auditor untuk mendapatkan informasi-informasi terkini berkaitan dengan dunia bisnis, ilmu akuntansi dan auditing global. Jadi, kalau tidak mau ketinggalan, seorang auditor juga harus menjadi “Hi-tech Auditor”. Nggak jamannya lagi kalau masih ada auditor yang Gaptek.

Sekilas Akuntansi Pajak Tangguhan

Walaupun akuntansi Pajak Tangguhan yang diatur dalam PSAK No. 46 sudah berlaku efektif sejak 1 Januari 2001 (bagi perusahaan non-public), namun tidak bisa dipungkiri bahwa sampai dengan saat ini masih ada praktisi akuntansi yang belum familiar dengan PSAK tersebut.

Berikut ini sedikit gambaran terkait penerapan Akuntansi Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK No. 46 mengenai Pajak Penghasilan, yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.

Sebelum PSAK No. 46 diperkenalkan, orientasi yang dipergunakan oleh standar akuntansi dalam Akuntansi Pajak Penghasilan lebih bersifat “income statement liability approach”, sementara pendekatan yang dipergunakan dalam PSAK No. 46 bersifat “balance sheet liability approach”. Tentunya, perbedaan orientasi tersebut menjadi kompleksitas baru bagi para akuntan, karena literatur lama dalam Akuntansi Pajak Penghasilan masih banyak yang menggunakan “income statement liability approach”. Akibatnya, perubahan pendekatan tersebut tentunya menuntut perubahan pola berpikir para akuntan dalam memahami esensi utama dari pengimplementasian PSAK No. 46.

Accounting for Future Tax Effect

Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu.

Dampak PPh di masa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih besar di masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang.

Bila dampak pajak di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya.

Kegiatan yang Dilakukan dalam Menentukan Pajak Tangguhan

Sama halnya dengan proses akuntansi lainnya, Akuntansi Pajak Tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan berikut ini :

Pertama, pengakuan (recognition) yaitu standar yang mengatur bahwa dampak PPh atas perbedaan temporer dan tax loss carry forward (TLCF) harus diakui dalam laporan keuangan. Pengakuan ini menyiratkan bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai tercatat deferred tax asset (DTA) dan akan melunasi nilai tercatat deferred tax liability (DTL) tersebut.

DTA atau DTL yang disebabkan oleh perbedaan temporer akan terpulihkan di masa datang karena jumlah yang akan diakui sebagai biaya atau pendapatan akan sama antara akuntansi dan pajak, hanya berbeda alokasi waktunya saja. Sedangkan DTA yang timbul dari TLCF akan terpulihkan bila perusahaan menggunakan TLCF tersebut pada tahun di mana perusahaan memperoleh laba fiskal. Bila TLCF tersebut tidak terpakai dan menjadi hangus, maka DTA yang timbul harus disesuaikan.

Kedua, pengukuran (measurement) yaitu cara menghitung jumlah yang harus dibukukan dalam buku besar perusahaan. Dalam hal ini pajak tangguhan akan dihitung dengan menggunakan tarif yang berlaku atau efektif akan berlaku di masa yang akan datang.

Dalam praktek, biasanya pajak tangguhan dihitung dengan tarif PPh yang tertinggi yaitu sebesar 30%, meskipun tarif yang sebenarnya berlaku bersifat progresif. Lapisan tarif PPh sebesar 10% dan 15% dianggap tidak terlalu material untuk diperhitungkan. Di samping itu, kedua lapisan tarif PPh tersebut biasanya dipergunakan untuk menghitung pajak kini. Meskipun pajak tangguhan berkaitan dengan dampak pajak di masa datang, namun dalam pengukurannya tidak boleh didiskonto (discounted).

Ketiga, penyajian (presentation) yaitu standar yang menentukan cara penyajian di dalam laporan keuangan, baik dalam neraca ataupun laba rugi. DTA atau DTL harus disajikan secara terpisah dari aktiva atau kewajiban pajak kini dan disajikan dalam unsur non current dalam neraca. Sedangkan beban atau penghasilan pajak tangguhan harus disajikan terpisah dengan beban pajak kini dalam laporan keuangan.

Keempat, pengungkapan (disclosure) yaitu berkaitan dengan standar informasi yang perlu diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Misalnya unsur-unsur utama perbedaan temporer yang menimbulkan pajak tangguhan, unsur-unsur yang dibebankan langsung ke laba ditahan, perubahan tarif pajak dan sebagainya.

Perbedaan Temporer

Sesuai namanya, perbedaan temporer merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya.

Perbedaan temporer bisa bersifat koreksi positif atau koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang menyebabkan penambahan laba fiskal yang akhirnya akan menambah PPh terutang. Sedangkan koreksi negatif merupakan koreksi yang menyebabkan pengurangan laba fiskal sehingga PPh terutang menjadi lebih kecil. Mengingat sifatnya yang temporer, maka koreksi positif saat ini akan mengakibatkan perusahaan membayar pajak besar saat ini, tetapi akan dikompensasi (dipulihkan) dengan penghematan PPh terutang karena koreksi negatif di masa datang. Demikian sebaliknya.

Transaksi akuntansi yang mengakibatkan perbedaan temporer antara perlakuan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur Pajak Tangguhan diantaranya adalah perbedaan metode penyusutan antara akuntansi dengan pajak, perbedaan perlakuan penyertaan saham equity method menurut akuntansi dengan cost method menurut pajak, perbedaan pencadangan pesangon menurut PSAK No. 24 dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan pesangon pada saat realisasinya, perbedaan pencadangan piutang ragu-ragu menurut akuntansi dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan piutang tak tertagih pada saat benar-benar tidak tertagih, dan lainnya.

Sedangkan untuk rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi di masa datang (tax loss carry forward) menurut PSAK No. 46 diakui sebagai Aktiva Pajak Tangguhan (DTA) apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Atau dengan kata lain, bahwa akumulasi rugi fiskal yang terjadi baru boleh diakui sebagai aktiva pajak tangguhan jika besar kemungkinan bisa dikompensasi seluruhnya dengan laba fiskal dalam 5 tahun ke depan, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku (Hrd).

Friday, April 25, 2008

Standar Auditing

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 150 (PSA No. 01) membagi standar auditing menjadi 3 bagian utama yaitu :

a. Standar Umum

1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor

2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor

3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama

b. Standar Pekerjaan Lapangan

1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya

2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan

3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

c. Standar Pelaporan

1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia

2. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya

3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor

4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.

Standar-standar tersebut di atas dalam banyak hal saling berhubungan dan saling bergantung satu dengan lainnya. Keadaan yang berhubungan erat dengan penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar, dapat berlaku juga untuk standar yang lain. “Materialitas” dan “Risiko Audit” melandasi penerapan semua standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan.

Paragraf 4 SPAP SA Seksi 150 menjelaskan bahwa konsep “Materialitas” bersifat bawaaan dalam pekerjaan auditor independen. Dasar yang lebih kuat harus dicari sebagai landasan pendapat auditor independen atas unsur-unsur yang secara relatif lebih penting dan unsur-unsur yang mempunyai kemungkinan besar salah saji material.

Misalnya, dalam perusahaan dengan jumlah debitur yang sedikit, dengan nilai piutang yang besar, secara individual piutang itu adalah lebih penting dan kemungkinan terjadinya salah saji material juga lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain yang mempunyai jumlah nilai piutang yang sama tetapi terdiri dari debitur yang banyak dengan nilai piutang yang relatif kecil.

Dalam perusahaan manufaktur dan perusahaan dagang, persediaan umumnya mempunyai arti penting, baik bagi posisi keuangan maupun hasil usaha perusahaan, sehingga secara relatif persediaan memerlukan perhatian auditor yang lebih besar dibandingkan dengan persediaan dalam perusahaan jasa. Begitu pula, piutang umumnya memerlukan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan premi asuransi dibayar di muka.

Sedangkan paragraf 5 menjelaskan mengenai risiko audit. Pertimbangan atas risiko audit berkaitan erat dengan sifat audit. Transaksi kas umumnya lebih rentan terhadap kecurangan jika dibandingkan dengan transaksi persediaan, sehingga audit atas kas harus dilaksanakan secara lebih konklusif, tanpa harus menyebabkan penggunaan waktu yang lebih lama. Transaksi dengan pihak tidak terkait biasanya tidak diperiksa serinci pemeriksaan terhadap transaksi antarbagian dalam perusahaan atau transaksi dengan pimpinan perusahaan dan karyawan, yang tingkat kepentingan pribadi dalam transaksi yang disebut terakhir ini sulit ditentukan.

Pengendalian intern terhadap lingkup audit mempengaruhi besar atau kecilnya risiko salah saji terhadap prosedur audit yang dilaksanakan oleh auditor. Semakin efektif pengendalian intern, semakin rendah tingkat risiko pengendalian.

Monday, April 21, 2008

Framework of Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), an introduction

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) adalah merupakan hasil pengembangan berkelanjutan standar profesional akuntan publik yang dimulai sejak tahun 1973. Pada tahap awal perkembangannya, standar ini disusun oleh suatu komite dalam organisasi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang diberi nama Komite Norma Pemeriksaan Akuntan. Standar yang dihasilkan oleh komite tersebut diberi nama Norma Pemeriksaan Akuntan. Sebagaimana tercermin dari nama yang diberikan, standar yang dikembangkan pada saat itu lebih berfokus ke jasa audit atas laporan keuangan historis.

Perubahan pesat yang terjadi di lingkungan bisnis di awal dekade tahun sembilan puluhan kemudian menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan mutu jasa audit atas laporan keuangan historis, jasa atestasi, dan jasa akuntansi dan review. Di samping itu, tuntutan kebutuhan untuk menjadikan organisasi profesi akuntan publik lebih mandiri dalam mengelola mutu jasa yang dihasilkan bagi masyarakat juga terus meningkat. Respon profesi akuntan publik terhadap berbagai tuntutan tersebut diwujudkan dalam dua keputusan penting yang dibuat oleh IAI pada pertengahan tahun 1994 : (1) perubahan nama dari Komite Norma Pemeriksaan Akuntan ke Dewan Standar Profesional Akuntan Publik dan (2) perubahan nama standar yang dihasilkan dari Norma Pemeriksaan Akuntan ke Standar Profesional Akuntan Publik.

SPAP merupakan kodifikasi berbagai pernyataan standar teknis dan aturan etika. Pernyataan standar teknis yang dikodifikasi dalam buku SPAP ini terdiri dari :

  1. Pernyataan Standar Auditing
  2. Pernyataan Standar Atestasi
  3. Pernyataan Jasa Akuntansi dan Review
  4. Pernyataan Jasa Konsultansi
  5. Pernyataan Standar Pengendalian Mutu

Sedangkan aturan etika yang dicantumkan dalam SPAP adalah Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang dinyatakan berlaku oleh Kompartemen Akuntan Publik sejak bulan Mei 2000.

Standar Auditing

Standar auditing merupakan panduan audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri dari 10 standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing (PSA). Dengan demikian, PSA merupakan penjabaran lebih lanjut masing-masing standar yang tercantum dalam standar auditing. PSA berisi ketentuan-ketentuan dan panduan utama yang harus diikuti oleh akuntan publik dalam melaksanakan perikatan audit. Termasuk dalam PSA adalah Interpretasi Pernyataan Standar Auditing (IPSA), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh Dewan terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh Dewan dalam PSA.

Standar Atestasi

Standar atestasi memberikan rerangka untuk fungsi atestasi bagi jasa akuntan publik yang mencakup tingkat keyakinan tertinggi yang diberikan dalam jasa audit atas laporan keuangan historis, pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, serta tipe perikatan atestasi lain yang memberikan keyakinan yang lebih rendah (review, pemeriksaan, dan prosedur yang disepakati). Standar atestasi terdiri dari 11 standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Atestasi (PSAT). PSAT merupakan penjabaran lebih lanjut masing-masing standar yang terdapat dalam standar atestasi. Termasuk dalam PSAT adalah Interpretasi Pernyataan Standar Atestasi (IPSAT), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh Dewan terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh Dewan dalam PSAT.

Standar Jasa Akuntansi dan Review

Standar jasa akuntansi dan review memberikan rerangka untuk fungsi nonatestasi bagi jasa akuntan publik yang mencakup jasa akuntansi dan review. Standar jasa akuntansi dan review dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (PSAR). Termasuk di dalam Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review adalah Interpretasi Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (IPSAR), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh Dewan terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh Dewan dalam PSAR.

Standar Jasa Konsultansi

Standar jasa konsultansi memberikan panduan bagi praktisi yang menyediakan jasa konsultansi bagi kliennya melalui kantor akuntan publik. Jasa konsultansi pada hakikatnya berbeda dari jasa atestasi akuntan publik terhadap asersi pihak ketiga. Dalam jasa atestasi, para praktisi menyajikan suatu kesimpulan mengenai keandalan suatu asersi tertulis yang menjadi tanggung jawab pihak lain, yaitu pembuat asersi (asserter). Dalam jasa konsultansi, para praktisi menyajikan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Sifat dan lingkup pekerjaan jasa konsultansi ditentukan oleh perjanjian antara praktisi dengan kliennya. Umumnya, pekerjaan jasa konsultansi dilaksanakan untuk kepentingan klien.

Standar Pengendalian Mutu

Standar pengendalian mutu memberikan panduan bagi kantor akuntan publik di dalam melaksanakan pengendalian kualitas jasa yang dihasilkan oleh kantornya dengan mematuhi berbagai standar yang diterbitkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik dan Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang diterbitkan oleh Kompartemen Akuntan Publik, Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam perikatan jasa profesional, kantor akuntan publik bertanggung jawab untuk mematuhi berbagai standar relevan yang telah diterbitkan oleh Dewan dan Kompartemen Akuntan Publik. Dalam pemenuhan tanggung jawab tersebut, kantor akuntan publik wajib mempertimbangkan integritas stafnya dalam menentukan hubungan profesionalnya; bahwa kantor akuntan publik dan para stafnya akan independen terhadap kliennya sebagaimana diatur oleh Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik dan bahwa staf kantor akuntan publik kompeten, profesional, dan objektif serta akan menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama (due profesional care). Oleh karena itu, kantor akuntan publik harus memiliki sistim pengendalian mutu untuk memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian perikatan profesionalnya dengan berbagai standar dan aturan relevan yang berlaku.

Sumber : Standar Profesional Akuntan Publik

Sunday, April 20, 2008

Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen

Technorati Tags: ,,

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 110 (PSA No. 02) mengatur mengenai tanggung jawab dan fungsi auditor independen berkaitan dengan audit atas laporan keuangan perusahaan.

Dalam paragraf 01 diatur bahwa tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Laporan auditor merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya, atau apabila keadaan mengharuskan, untuk menyatakan tidak memberikan pendapat. Baik dalam hal auditor menyatakan pendapat maupun menyatakan tidak memberikan pendapat, ia harus menyatakan apakah auditnya telah dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.

Selanjutnya, dalam paragraf 02 diatur bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan.

Jadi, menurut saya, makna dari paragaraf ini adalah bahwa auditor dalam pelaksanaan audit harus merancang dan menerapkan prosedur audit yang memadai untuk memperoleh keyakinan bahwa laporan keuangan yang diperiksanya bebas dari salah saji material. Namun, auditor tidak bisa dipersalahkan jika sekiranya dalam pelaksanaan audit terdapat salah saji material ataupun manipulasi laporan keuangan yang tidak terdeteksi oleh auditor, jika auditor bersangkutan telah melaksanakan dan menerapkan prosedur audit sebagaimana mestinya.

Paragraf 03 menjelaskan bahwa laporan keuangan merupakan tanggung jawab manajemen. Tanggung jawab auditor adalah untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Manajemen bertanggung jawab untuk menerapkan kebijakan akuntansi yang sehat dan untuk membangun dan memelihara pengendalian intern yang akan, di antaranya, mencatat, mengolah, meringkas, dan melaporkan transaksi (termasuk peristiwa dan kondisi) yang konsisten dengan asersi manajemen yang tercantum dalam laporan keuangan. Transaksi entitas dan aktiva, utang, dan ekuitas yang terkait adalah berada dalam pengetahuan dan pengendalian langsung manajemen. Pengetahuan auditor tentang masalah dan pengendalian intern tersebut terbatas pada yang diperolehnya melalui audit. Oleh karena itu, penyajian secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia merupakan bagian yang tersirat dan terpadu dalam tanggung jawab manajemen. Auditor independen dapat memberikan saran tentang bentuk dan isi laporan keuangan atau membuat draft laporan keuangan, seluruhnya atau sebagian, berdasarkan informasi dari manajemen dalam pelaksanaan audit. Namun, tanggung jawab auditor atas laporan keuangan auditan terbatas pada pernyataan pendapatnya atas laporan keuangan tersebut.

Dalam praktek sehari-hari, tidak jarang ditemukan kesalahpahaman klien yang menganggap bahwa laporan keuangan adalah merupakan tanggung jawab auditor sepenuhnya karena merupakan produk dari hasil pekerjaan auditor. Dalam proses penerbitan audit report, auditor memang sering membantu klien mempersiapkan draft laporan keuangan, sebagian ataupun seluruhnya, sehingga klien menganggap bahwa laporan keuangan adalah merupakan tanggung jawab auditor. Jika kita perhatikan paragraf 03 di atas, jelas-jelas mengatur mengenai tanggung jawab manajemen atas laporan keuangan, walaupun dalam prakteknya auditor sering membantu mempersiapkan draft laporan keuangan.

Disamping itu, dengan jangka waktu pelaksanaan audit yang biasanya terbatas, adalah tidak memungkinkan bagi auditor untuk dapat menguasai sepenuhnya masalah operasional, administrasi dan akuntansi ataupun masalah pengendalian intern klien sehingga dengan demikian pihak manajemen yang diharuskan untuk menerapkan kebijakan akuntansi yang sehat, membangun serta memelihara pengendalian intern dengan baik serta bertanggung jawab terhadap asersi manajemen yang tercantum dalam laporan keuangan.

Paragraf 04 mengatur bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen. Mereka tidak termasuk orang yang terlatih untuk atau berkeahlian dalam profesi atau jabatan lain. Sebagai contoh, dalam hal pengamatan terhadap penghitungan fisik persediaan, auditor tidak bertindak sebagai seorang ahli penilai, penaksir atau pengenal barang. Begitu pula, meskipun auditor mengetahui hukum komersial secara garis besar, ia tidak dapat bertindak dalam kapasitas sebagai seorang penasihat hukum dan ia semestinya menggantungkan diri pada nasihat dari penasihat hukum dalam semua hal yang berkaitan dengan hukum.

Selanjutnya, dalam paragraf 05 diatur bahwa dalam mengamati standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia, auditor independen harus menggunakan pertimbangannya dalam menentukan prosedur audit yang diperlukan sesuai dengan keadaan, sebagai basis memadai bagi pendapatnya. Pertimbangannya harus merupakan pertimbangan berbasis informasi dari seorang profesional yang ahli.

Paragraf 06 mengatur bahwa auditor independen juga bertanggung jawab terhadap profesinya, tanggung jawab untuk mematuhi standar yang diterima oleh para praktisi rekan seprofesinya. Dalam mengakui pentingnya kepatuhan tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia telah menerapkan aturan yang mendukung standar tersebut dan membuat basis penegakan kepatuhan tersebut, sebagai bagian dari Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia yang mencakup Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik.

Sebagai penutup, saya informasikan kembali sebagaimana diatur dalam PMK No. 17/PMK.01/2008 bahwa sehubungan dengan berdirinya Insitut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) maka untuk selanjutnya SPAP ditetapkan oleh IPAI (tidak lagi ditetapkan oleh IAI). Selain itu, pada tanggal 20 Pebruari 2008 Dewan Standar Profesional Akuntan Publik (DSPAP) – IAPI juga telah mengeluarkan 4 pernyataan standar baru yang mengatur perubahan istilah yang terdapat dalam SPAP, salah satu diantaranya adalah perubahan istilah Ikatan Akuntan Indonesia dirubah menjadi Institut Akuntan Publik Indonesia. Untuk lebih jelasnya silahkan klik posting saya sebelumnya dengan judul “DSPAP mengeluarkan 4 PS baru ....... “. Jadi, untuk setiap istilah Ikatan Akuntan Indonesia dan Kompartemen Akuntan Publik dalam tulisan di atas harus dibaca sebagai Institut Akuntan Publik Indonesia.

Friday, April 18, 2008

Beda Syarat Penyusutan Aktiva Tetap menurut Pajak dan Akuntansi

PSAK No. 16 (Revisi 2007) dalam paragraf 58 menyatakan bahwa Penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen.

Sedangkan pada paragraf 6 mengenai Definisi dinyatakan bahwa Penyusutan adalah alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Umur manfaat (useful life) adalah :

· suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau

· jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas

Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelas bagi kita bahwa menurut PSAK 16, aktiva tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat aset tetap tersebut siap untuk digunakan.

Oh, ya, sedikit informasi tambahan. Mungkin ada yang masih bingung dengan istilah Aset dan Aset Tetap, dimana sebelumnya istilah ini tidak pernah dipakai. Dalam PSAK revisian terakhir per 1 September 2007 terdapat beberapa perubahan diantaranya adalah PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap (merupakan revisian serta pengganti PSAK 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain). Selain itu, dalam penerbitan terakhir ini juga dilakukan penggantian penggunaan kata “aktiva” menjadi “aset” dalam seluruh PSAK.

Jika kita menyimak UU Perpajakan khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3) mengatur bahwa Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.

Berdasarkan pengaturan paragraf 58 PSAK 16 serta Pasal 11 ayat (3) UU PPh No. 17 tersebut, terlihat perbedaan syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap secara akuntansi dan perpajakan dimana :

1. secara akuntansi, aktiva tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat aktiva tersebut siap untuk digunakan

2. secara perpajakan, aktiva tetap mulai disusutkan pada bulan dilakukannya pengeluaran (pada saat diperoleh/dibeli).

Peraturan perpajakan mengijinkan penyusutan aktiva tetap dimulai saat digunakan (bukan saat diperoleh) dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak seperti yang diatur dalam UU PPh No. 17 Pasal 11 ayat (4) berikut ini :

Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan

Terkait dengan perbedaan pengaturan syarat penyusutan aktiva tetap secara akuntansi dan perpajakan seperti yang dipaparkan di atas, ada baiknya kita menyimak kasus berikut ini :

Melalui surat tanggal 19 Desember 2000, PT Gunung Sawit Bina Lestari (PT Gunung Sawit) sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mulai berproduksi secara komersial sejak bulan Juli 1999 menanyakan kepada Dirjen Pajak perihal perlakuan penyusutan terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengembangan lahan dan tanaman kelapa sawit (planting cost) selama masa belum menghasilkan (immature).

Saat itu, perusahaan sedang diperiksa oleh Karikpa Jakarta Khusus Satu menyangkut kewajiban perpajakan tahun pajak 1999. Menurut Tim Pemeriksa, penyusutan atas planting costs harus dilakukan mulai tahun pengeluaran atau dapat juga disusutkan mulai tahun pertama tanaman tersebut menghasilkan dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1985 serta SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.22/1987 dan No. SE-19/PJ.313/1991.

Menurut perusahaan, mekanisme penyusutan planting cost yang diterapkan mulai tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut mulai menghasilkan sudah sesuai, karena planting cost sifatnya belum menjadi harta/aktiva tetap yang dapat langsung dimanfaatkan sehingga tidak perlu mengajukan permohonan persetujuan dari Dirjen Pajak.

Planting costs tersebut terdiri dari biaya-biaya berikut :

· Planting Expenditures

· Land Cost meliputi ganti rugi tanam tumbuh

· Kapitalisasi biaya bunga pinjaman

· Biaya-biaya sehubungan dengan pinjaman bank

· Kapitalisasi atas keuntungan (kerugian) akibat selisih kurs dalam pembukuan.

Planting cost dicatat dalam perkiraan Immature Plantation selama tanaman belum menghasilkan. Pada waktu tanaman sudah mulai menghasilkan, planting costs dipindahkan dari perkiraan Immature Plantation ke perkiraan Mature Plantation dan mulai disusutkan.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perusahaan meminta konfirmasi dari Dirjen Pajak atau penegasan mengenai :

· Penyusutan terhadap planting costs apakah dimulai pada tahun pengeluaran atau pada tahun pertama kelapa sawit tersebut menghasilkan ?

· Apabila disusutkan pada tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut menghasilkan, apakah diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak ?

· Apabila diperlukan persetujuan dari Dirjen Pajak, apakah perusahaan dapat mengajukan permohonan persetujuan secara retroaktif (berlaku surut) untuk tahun-tahun pajak 1995 sampai dengan 1999 ?

Melalui Surat No. S-558/PJ.42/2001 tanggal 24 September 2001, Dirjen Pajak memberikan jawaban dan penegasan sebagai berikut :

Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan No. 10 tahun 1994 (saat itu), penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut. Selanjutnya, pasal 11 ayat (4) mengatur bahwa dengan persetujuan Dirjen Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

Berdasarkan SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.22/1987 tanggal 20 November 1987 yang ditegaskan kemudian dengan SE-19/PJ.313/1991 tanggal 24 Desember 1994, penyusutan pada dasarnya dimulai pada tahun pengeluarannya. Namun, penyusutan dapat dilakukan pada tahun harta tersebut mulai menghasilkan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Dirjen Pajak.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa :

1. Penyusutan terhadap planting cost menurut peraturan perpajakan, sebagaimana halnya penyusutan terhadap harta/aktiva tetap lainnya yang tidak sedang dalam proses pengerjaan, dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran. Dalam hal penyusutan hendak dilakukan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, maka Wajib Pajak wajib mengajukan permohonan dan mendapat persetujuan Dirjen Pajak;

2. Dalam hal dapat dibuktikan bahwa Wajib Pajak sama sekali belum membebankan penyusutan terhadap planting cost sampai dengan saat tanaman keras tersebut menghasilkan, maka atas permohonan Wajib Pajak, persetujuan Dirjen Pajak tersebut dapat berlaku retroaktif (berlaku surut).

Dengan contoh kasus di atas, mudah-mudahan bisa membantu kita untuk lebih memahami perbedaan syarat penyusutan aktiva tetap menurut akuntansi dengan perpajakan (Hrd).

Thursday, April 17, 2008

Pencatatan Akuntansi atas SKP menurut PSAK 46

Dalam praktek sehari-hari, sering ditemukan perusahaan membukukan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterima dari kantor pajak atas hasil pemeriksaan pajak tahun-tahun sebelumnya sebagai koreksi atas saldo laba tahun-tahun lalu. Misalnya, pada bulan Maret 2007, perusahaan menerima SKP hasil pemeriksaan pajak dengan tanggal penerbitan SKP 15 Pebruari 2007 yang merupakan hasil pemeriksaan pajak badan tahun 2005. Karena menurut perusahaan, SKP yang diterima tersebut merupakan hasil pemeriksaan pajak tahun 2005, lalu dibukukan sebagai koreksi saldo laba.

Apakah perlakuan akuntansi seperti itu sudah benar ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengacu ke Standar Akuntansi Keuangan yang berkaitan dengan masalah perpajakan yaitu PSAK No. 46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan. Dalam paragraf 55 PSAK 46 diatur bahwa :

Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain pada Laporan Laba Rugi periode berjalan, kecuali apabila diajukan keberatan dan atau banding. Jumlah tambahan pokok pajak dan denda yang ditetapkan dengan SKP ditangguhkan pembebanannya.

Dari paragraf di atas, jelas bahwa SKP hasil pemeriksaan pajak yang diterima harus dibukukan sesuai dengan periode penerbitan SKP dimaksud. Jadi, untuk contoh di atas, karena tanggal penerbitan SKP 15 Pebruari 2007 maka harus dibukukan sebagai biaya pada tahun 2007, bukan sebagai koreksi saldo laba. Kecuali, kalau perusahaan mengajukan keberatan atau banding, maka tagihan pajak berdasarkan SKP tersebut dibukukan sebagai beban ditangguhkan di Neraca.

Selanjutnya, berhubung pembebanan biaya SKP tersebut secara perpajakan tidak diakui sebagai biaya fiskal, maka dalam rekonsiliasi perpajakan dilakukan koreksi fiskal positif sebagai beda permanen (beda tetap) dan tidak mempengaruhi perhitungan Pajak Tangguhan (Hrd).

Perlakuan PSAK 40 atas Revaluasi Aktiva Tetap Anak Perusahaan serta Implikasi Perpajakannya

PT XYZ mempunyai investasi saham pada PT ABC sebesar 30 % dari total saham beredar. Pada tanggal 12 Maret 2004, PT ABC melakukan penilaian kembali aktiva tetap. Semua aktiva tetap PT ABC memenuhi persyaratan untuk dinilai kembali sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 dan nilai buku aktiva tetap sama dengan nilai buku fiskal. Penilaian kembali dilakukan oleh lembaga penilai yang menetapkan bahwa nilai pasar wajar aktiva tersebut sebesar Rp 900 Juta.

Atas penilaian kembali aktiva tetap tersebut dicatat oleh PT ABC dengan jurnal sebagai berikut :

Aktiva tetap (nilai revaluasi)    900.000.000  
Pajak Penghasilan      50.000.000  
     Aktiva Tetap (nilai buku    
        aktiva lama)      400.000.000
     Kas/PPh Terhutang       50.000.000
     Selisih Penilaian Kembali    
        Aktiva Tetap      500.000.000

Sedangkan dalam pembukuan PT XYZ dijurnal sebagai berikut :

Investasi pada PT ABC    150.000.000  
   Selisih Transaksi Perubahan    
     Ekuitas Perush Asosiasi   150.000.000

(Dari nilai selisih revaluasi aktiva tetap, yang menjadi bagian pemilikan PT XYZ adalah 30 % x Rp 500 Juta = Rp 150 Juta)

Ilustrasi di atas untuk mencatat pengakuan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Perusahaan Asosiasi dalam pembukuan induk perusahaan yang memiliki investasi (penyertaan) saham pada anak perusahaan sebagai akibat adanya revaluasi aktiva tetap anak perusahaan sesuai dengan PSAK No. 40 – Akuntansi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan/Perusahaan Asosiasi.

Lantas, bagaimana perlakuan perpajakan atas pencatatan transaksi di atas ?

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-29/PJ.312/2006 tanggal 19 Januari 2006, Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan seorang Wajib Pajak berkaitan dengan hal tersebut.

PT ABC adalah perusahaan yang bergerak dalam penerbitan surat kabar nasional di Indonesia. Dalam perkembangan usahanya, PT ABC mempunyai penyertaan saham pada 4 anak perusahaan yang bergerak dalam bisnis yang berbeda dengan PT ABC.

Pada tahun pajak 2004, PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap secara fiscal sehingga terdapat kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap pada PT ABC dan anak perusahaannya. Dalam neraca PT ABC, kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap dicatat pada perkiraan “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” dan kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap pada anak perusahaan (berkaitan dengan investasi PT ABC pada anak perusahaan seperti contoh di atas) dicatat dalam pembukuan PT ABC pada perkiraan “Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan”

Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap selanjutnya akan dikapitalisasi sebagai tambahan Modal Disetor.

Sehubungan dengan hal di atas, bagaimana implikasi perlakuan Pajak Penghasilan atas pencatatan tambahan Modal Disetor atau saham bonus dari kapitalisasi Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap tersebut ?

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan, diatur bahwa :

1. Pasal 9 ayat (1), selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan”

2. Pasal 9 ayat (2), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal tersebut dalam Pasal 5 ayat (1), bukan merupakan Objek Pajak.

3. Pasal 9 ayat (3), dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hanya sampai dengan sebesar selisih penilaian kembali secara komersial.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas :

1. Pencatatan “Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan” yang berasal dari “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhi ketentuan dalam PSAK No. 40

2. Dalam hal PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi aktiva) untuk tujuan perpajakan, jika terdapat selisih lebih karena penilaian kembali aktiva maka selisih tersebut merupakan Objek Pajak. Dalam peraturan perpajakan, anak perusahaan merupakan entitas sendiri yang terpisah dari induk perusahaan sehingga penghasilan/keuntungan anak perusahaan dicatat dalam laporan keuangan masing-masing. Dalam hal selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap anak perusahaan yang dilakukan untuk tujuan perpajakan selanjutnya dikapitalisasi sebagai tambahan modal disetor, maka selisih lebih tersebut merupakan saham bonus kepada pemegang saham sebesar persentase penyetoran pada anak perusahaan. Sepanjang pemberian saham bonus atau tambahan modal tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap tersebut tidak melebihi selisih lebih revaluasi secara fiskal, maka pemberian saham bonus tersebut bukan merupakan Objek Pajak atau pembayaran dividen. Dengan demikian, saham bonus atau tambahan modal yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap anak perusahaan secara fiskal bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan ataupun pembayaran dividen bagi pemegang saham.

Dalam hal di kemudian hari, pemegang saham mengalihkan/menjual sahamnya, maka keuntungan (capital gain) atau penghasilan yang diterima oleh pemegang saham atas penjualan atau pengalihan saham bonus tersebut kepada pihak ketiga merupakan Objek Pajak Penghasilan yang harus diakui pemegang saham pada tahun pajak saham bonus tersebut dialihkan atau dijual (Hrd).

Tuesday, April 15, 2008

Sekilas tentang Fidusia dan Jaminan Fidusia

Dalam praktek pekerjaan pemeriksaan di lapangan (audit field work) sering kita temukan istilah Fidusia dan Jaminan Fidusia seperti misalnya ketika melakukan pemeriksaan atas akun pinjaman bank maupun pinjaman dari perusahaan pembiayaan. Mungkin diantara kita ada yang belum begitu memahami istilah ini. Berikut sedikit pembahasan terkait dengan masalah Fidusia dan Jaminan Fidusia yang saya peroleh dari buletin Business News.

Pengaturan sebelum diundangkannya Undang-undang No. 42 tahun 1999

Ketika terjadi krisis dalam bidang hukum jaminan pada pertengahan sampai dengan akhir abad 19, telah terjadi pertentangan berbagai kepentingan. Krisis mana ditandai dengan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan pertanian yang melanda negara Belanda bahkan seluruh negara-negara di Eropa. Seperti telah disebut di atas kemudian lahirlah lembaga jaminan fidusia yang keberadaannya didasarkan pada yurisprudensi.

Sebagai salah satu jajahan negara Belanda, Indonesia pada waktu itu juga merasakan imbasnya. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57). Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman uang, yang diberikan dengan jaminan panenan yang akan diperoleh dari suatu perkebunan. Dengan adanya peraturan ini maka dimungkinkan untuk mengadakan jaminan atas barang-barang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan debitor.

Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia, diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hoogge-rechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Kasusnya adalah sebagai berikut :

Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar tidak melunasi utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Perdata. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena menurut HGH jaminan yang dibuat antara BPM dan Clignett bukanlah gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bierbrouwerij Arrest. Clignett diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM.

Pada waktu itu, karena sudah terbiasa dengan hukum adat, penyerahan secara constitutum possessorium sulit dibayangkan apalagi dimengerti dan dipahami oleh orang Indonesia. Dalam prakteknya, dalam perjanjian jaminan fidusia diberi penjelasan bahwa barang itu diterima pihak penerima fidusia pada tempat barang-barang itu terletak dan pada saat itu juga kreditor menyerahkan barang-barang itu kepada pemberi fidusia yang atas kekuasaan penerima fidusia telah menerimanya dengan baik untuk dan atas nama penerima fldusia sebagai penyimpan.

Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum posses-sorium ini bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau kita teliti dan cermati, hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani penggarap (pemberi gadai). Dengan demikian pemberi gadai tetap menguasai tanah yang digadaikan itu tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap.

Setelah adanya keputusan HGH itu, fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di samping gadai dan hipotek.

Perkembangan selanjutnya

Dalam perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja.

Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai objek fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Namun dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak bergerak. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 tahun 1960) perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena Undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia objeknya adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

BEBERAPA PENGERTIAN POKOK YANG DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG JAMINAN FIDUSIA

Pasal 1 Undang-undang Fidusia memberikan batasan dan pengertian sebagai berikut :

"Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.

Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia ataupun mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontinjen.

Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang. Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang.

Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi”.

Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti Pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 ini adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam fiducia cum creditore contracta di atas.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebelum berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999, selama ini kita mengenal lembaga jaminan fidusia dalam bentuk "fiduciaire eigendomsoverdracht" atau disingkat FEO yang berarti pengalihan hak milik secara kepercayaan. Pranata jaminan FEO ini timbul berkenaan dengan ketentuan dalam pasal 1152 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Kitab Undang-undang Perdata) yang mengatur tentang gadai. Sesuai dengan pasal ini kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut mengakibatkan bahwa pemberi gadai tidak dapat mempergunakan benda yang digadaikan untuk keperluan usahanya.

Sumber : bulletin Business News 6464/12-5-2000

Sunday, April 13, 2008

Prosedur Konfirmasi dalam pengujian substantif

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 330 (PSA No. 07) mengatur mengenai Proses Konfirmasi dalam pelaksanaan audit.

Paragraf 4 mendefinisikan konfirmasi sebagai proses pemerolehan dan penilaian suatu komunikasi langsung dari pihak ketiga sebagai jawaban atas suatu permintaan informasi tentang unsur tertentu yang berdampak terhadap asersi laporan keuangan. SA Seksi 326 mendefinisikan asersi sebagai pernyataan yang dibuat oleh satu pihak yang secara implisit dimaksudkan untuk digunakan oleh pihak lain (pihak ketiga). Untuk laporan keuangan historis, asersi merupakan pernyataan dalam laporan keuangan oleh manajemen sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Konfirmasi dilaksanakan untuk memperoleh bukti dari pihak ketiga mengenai asersi laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen. Pada dasarnya, bukti audit yang berasal dari pihak ketiga dianggap lebih dapat diandalkan dibandingkan dengan bukti yang berasal dari dalam perusahaan yang sedang diaudit. SA Seksi 326 (PSA No.07) tentang Bukti Audit menyatakan bahwa, pada umumnya, dianggap bahwa “Bukti audit yang diperoleh dari sumber independen di luar entitas memberikan keyakinan yang lebih besar atas keandalan untuk tujuan audit independen dibandingkan dengan bukti audit yang disediakan hanya dari dalam entitas tersebut.”

Dalam paragraf 7 SA Seksi 330 dijelaskan bahwa semakin besar gabungan tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian yang ditetapkan, semakin besar keyakinan yang diperlukan auditor dari pengujian substantif yang bersangkutan dengan asersi laporan keuangan. Sebagai konsekuensinya, dengan kenaikan gabungan tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian, auditor mendesain pengujian substantif untuk memperoleh lebih banyak bukti atau bukti yang berbeda mengenai asersi laporan keuangan. Dalam keadaan ini, auditor kemungkinan menggunakan prosedur konfirmasi, bukan pengujian terhadap dokumen dari dalam entitas tersebut, atau menggunakan prosedur konfirmasi bersamaan dengan pengujian terhadap dokumen atau pihak dari dalam entitas itu sendiri.

Jadi, dalam pelaksanaan audit, jika gabungan tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian besar/tinggi, auditor harus mempertimbangkan untuk melaksanakan prosedur tambahan seperti misalnya melakukan pengujian terhadap dokumen internal perusahaan, di samping prosedur konfirmasi.

Semakin rendah gabungan tingkat risiko bawaan dan risiko pengendalian taksiran, semakin berkurang keyakinan yang diperlukan oleh auditor dari pengujian substantif untuk membentuk kesimpulan mengenai asersi laporan keuangan. Misalnya, jika gabungan risiko bawaan dan risiko pengendalian taksiran atas keberadaan piutang karyawan sedemikian rendah, auditor dapat membatasi prosedur substantif dengan menginspeksi catatan piutang karyawan yang disediakan oleh klien, dan tidak melakukan konfirmasi saldo piutang karyawan.

Secara umum, terdapat dua bentuk permintaan konfirmasi yaitu bentuk positif dan bentuk negatif.

Konfirmasi bentuk positif mengharuskan penerima konformasi untuk memberikan jawaban baik setuju maupun tidak setuju. Sedangkan konfirmasi negatif meminta penerima konfirmasi untuk memberikan jawaban hanya jika ia tidak setuju dengan informasi yang disebutkan dalam permintaan konfirmasi.

Dalam paragraf 19, SA Seksi 330 dijelaskan bahwa karena terdapat risiko bahwa penerima bentuk permintaan konfirmasi positif yang berisi informasi yang dikonfirmasi di dalamnya kemungkinan hanya menandatangani dan mengembalikan konfirmasi tersebut tanpa melakukan verifikasi kebenaran informasi tersebut, formulir yang berisi ruangan yang kosong yang harus diisi oleh responden (penerima konfirmasi) dapat digunakan untuk mengurangi risiko tersebut. Namun, konfirmasi yang berisi ruangan kosong tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah jawaban konfirmasi yang diterima oleh auditor karena diperlukan usaha tambahan dari pihak responden dalam memberikan jawaban konfirmasi yang sesuai; konsekuensinya, auditor kemungkinan harus melaksanakan lebih banyak prosedur alternatif.

Menurut saya, prosedur konfirmasi bentuk negatif tidak efektif dan sebaiknya tidak diterapkan dalam praktek karena ada berbagai kemungkinan jika sekiranya balasan konfirmasi tidak diterima. Jadi, kalau balasan konfirmasi bentuk negatif tidak diterima auditor tidak seharusnya langsung menyimpulkan bahwa responden setuju dengan informasi yang disebutkan dalam permintaan konfirmasi. Mungkin saja balasan konfirmasi tidak diperoleh karena alamat penerima konfirmasi tidak lengkap sehingga formulir konfirmasi tidak sampai ke tangan penerima, responden tidak berniat menjawab ataupun berbagai kemungkinan lainnya.

Dalam menentukan efektivitas dan efisiensi penggunaan prosedur konfirmasi, auditor dapat mempertimbangkan informasi dari audit tahun sebelumnya atau audit terhadap entitas yang serupa. Informasi ini meliputi tingkat respon yang diterima, pengetahuan mengenai salah saji yang diidentifikasi dalam audit tahun sebelumnya, dan pengetahuan tentang ketidakakuratan informasi dalam konfirmasi yang diterima kembali. Sebagai contoh, jika auditor mempunyai pengalaman tentang rendahnya tingkat respon yang diperoleh dari permintaan konfirmasi yang didesain secara memadai dalam audit tahun sebelumnya, auditor dapat mempertimbangkan utnuk memperoleh bukti audit dari sumber lain selain dari konfirmasi.

Jadi, agar prosedur konfirmasi efektif dan efisien, auditor harus merancang formulir dan informasi di dalamnya sedemikian rupa. Misalnya, (1) jika gabungan risiko bawaan dan risiko pengendalian terhadap transaksi penjualan akhir tahun yang tidak biasa tinggi, auditor harus mempertimbangkan konfirmasi terhadap syarat-syarat penjualan tersebut, (2) formulir konfirmasi ditujukan kepada pihak yang tepat yang diyakini oleh auditor memiliki pengetahuan mengenai informasi yang dikonfirmasi misalnya kepada manajer keuangan, (3) sebelum pengiriman konfirmasi, auditor harus memperoleh pemahaman memadai tentang substansi transaksi dan informasi lainnya seperti perjanjian klien agar dapat menentukan informasi semestinya yang harus dicantumkan dalam permintaan konfirmasi. Auditor juga harus mempertimbangkan perlunya permintaan konfirmasi tentang syarat-syarat perjanjian atau transaksi yang tidak biasa sebagai tambahan konfirmasi terhadap jumlah rupiah.

Selain itu, satu hal yang menurut saya cukup penting seperti yang diatur dalam paragraf 28, SA Seksi 330 adalah bahwa selama pelaksanaan prosedur konfirmasi, auditor harus mengawasi permintaan konfirmasi dan jawabannya. Pengawasan permintaan konfirmasi berarti diadakannya komunikasi langsung antara penerima yang dituju dan auditor untuk meminimumkan kemungkinan terjadinya hasil konfirmasi yang memihak karena adanya campur tangan dan pengubahan terhadap permintaan dan jawaban konfirmasi.

Saya teringat akan kasus akuntansi yang menimpa CF Foods, sebuah perusahaan distributor permen yang memanipulasi laporan keuangan perusahaan dengan membukukan transaksi penjualan yang fiktif sehingga mengakibatkan saldo piutang di neraca overstated. Ketika auditor melakukan pengiriman konfirmasi atas saldo piutang tersebut, general partner CF Foods kemudian menghubungi pelanggan yang dikonfirmasi oleh auditor serta memberitahukan bahwa formulir konfirmasi yang dikirim auditor terdapat kesalahan dan harus dikembalikan kepada CF Foods untuk diganti. Sang general partner kemudian mengisi sendiri formulir konfirmasi tersebut, memalsukan tanda tangan pelanggannya, dan mengembalikan formulir konfirmasi yang sudah dimanipulasinya tersebut kepada auditor. Tindakan kecurangan ini kemudian terdeteksi, dan dari hasil investigasi kemudian diketahui bahwa 97% dari nilai penjualan yang dibukukan dan offsetting piutang adalah palsu/fiktif.

Prosedur Alternatif

Paragraf 31, SA Seksi 330 mengatur bahwa bila auditor tidak menerima jawaban atas permintaan konfirmasi positif, ia harus menerapkan prosedur alternatif untuk memperoleh bukti yang diperlukan guna mengurangi risiko audit ke tingkat yang cukup rendah.

Sifat prosedur alternatif pada umumnya bervariasi sesuai dengan akun dan asersi yang dituju. Sebagai contoh, dalam pemeriksaan terhadap piutang usaha, prosedur alternatif dapat meliputi pemeriksaan terhadap penerimaan kas setelah tanggal neraca (termasuk membandingkan penerimaan kas dengan pos yang sesungguhnya dibayar), dokumen pengiriman, dokumentasi klien yang lain untuk memberikan bukti asersi keberadaan. Contoh lainnya, dalam pemeriksaan terhadap hutang usaha, prosedur alternatif dapat berupa pemeriksaan pembayaran kas setelah tanggal neraca, korespondensi dengan pihak ketiga, atau catatan lain untuk memberikan bukti mengenai asersi kelengkapan (Hrd).

Saturday, April 12, 2008

Penerapan PSAK 15 dan PSAK 46 atas Penyertaan Saham Perusahaan serta efek perpajakannya

Jika sebuah perusahaan memiliki penyertaan saham dalam perusahaan lain, maka menurut PSAK No. 15 mengenai Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi diatur bahwa :

Penyertaan saham Perusahaan dan Anak Perusahaan dengan persentase kepemilikan paling sedikit 20 % tetapi tidak lebih dari 50 %, baik langsung maupun tidak langsung, dicatat dengan metode Ekuitas sebesar biaya perolehan, ditambah atau dikurangi dengan bagian laba atau rugi bersih serta dikurangi dividen yang diterima setelah tanggal perolehan anak perusahaan sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sedangkan penyertaan saham dengan kepemilikan kurang dari 20 % dicatat dengan metode Biaya Perolehan.

Ilustrasi sederhana penerapan metode Ekuitas sebagai berikut :

PT A memiliki penyertaan saham di PT B sebesar 40 % atau Rp 500 juta. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2007, saldo laba di pembukuan PT B sebesar Rp 750 Juta. Maka PT A membukukan dalam Neracanya saldo Investasi (Penyertaan Saham) pada kelompok Aset sebesar Rp 800 Juta yaitu Biaya Perolehan penyertaan Rp 500 Juta + Bagian Laba Bersih PT B yang menjadi kepemilikan PT A sebesar Rp 300 Juta (Rp 750 Juta x 40%). Selain itu, pada laporan laba rugi PT A juga dicatat Laba Penyertaan Saham sebesar Rp 300 Juta.

Jurnal lengkap dalam pembukuan PT A sebagai berikut :

Investasi (Penyertaan Saham) 800.000.000  
   K a s      500.000.000
   Laba Penyertaan  saham     300.000.000

Karena pencatatan investasi menggunakan metode Ekuitas, sesuai dengan PSAK 46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan (Pajak Tangguhan), maka akan menimbulkan perbedaan temporer (dikoreksi fiskal) dan atas perbedaan tersebut akan dihitung pajak tangguhan.

Adapun perbedaan temporer (beda waktu) timbul karena secara perpajakan tidak mengakui metode Ekuitas dalam mencatat investasi (penyertaan saham). UU Pajak menganut azas realisasi berdasarkan metode Biaya Perolehan. Sehingga dengan demikian, secara pajak tidak akan timbul laba (rugi) penyertaan saham sampai dengan saat realisasinya.

Dalam praktek, ada kalanya pencatatan penyertaan saham dengan menggunakan metode Ekuitas sesuai dengan PSAK 15 dipermasalahkan oleh pihak fiskus. Tidak jarang ditemukan, aparat pajak yang ‘ngotot’ menyatakan bahwa laba penyertaan saham yang timbul adalah merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dilakukan koreksi fiskal.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, mungkin Surat Dirjen Pajak yang diterbitkan pada tanggal 7 Maret 2003 dengan nomor S-168/PJ.312/2003 yang merupakan tanggapan atas pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP), dapat menjadi senjata pamungkas.

Dalam surat tersebut, WP menanyakan permasalah berkaitan dengan penerapan PSAK 15 dan PSAK 46 di atas kepada Dirjen Pajak bahwa apabila PSAK 15 dan PSAK 46 tersebut diterapkan pada laporan keuangan komersial sehingga WP perlu melakukan penyesuaian dan koreksi fiskal atas metode pencatatan tersebut dalam rangka menyajikan laporan keuangan fiskal, apakah pihak fiskus dapat menyetujui dilakukannya koreksi fiskal untuk menyesuaikan metode Ekuitas menjadi metode Biaya Perolehan ?

Atas permasalahan tersebut, Dirjen Pajak memberikan penegasan sebagai berikut :

1. Penghasilan dari investasi adalah dividen atau pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, serta keuntungan atau kerugian modal investasi itu sendiri (capital gain/loss).

2. UU PPh menganut azas realisasi dan pada umumnya realisasi penghasilan dividen terjadi setelah keputusan rapat umum pemegang saham mengenai pembagian laba dan/atau pada saat pembayaran dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan realisasi keuntungan atau kerugian modal investasi terjadi pada saat penjualan atau pembelian kembali (share buy back) atau likuidasi perusahaan investee. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa UU PPh juga mengatur/menetapkan penghasilan tertentu sebagai bukan Objek Pajak meskipun secara komersial diakui.

3. Pembukuan investasi berdasarkan metode Ekuitas (PSAK 15) maupun akuntansi pajak tangguhan (PSAK 46) hanya berlaku untuk pembukuan komersial yang tidak berpengaruh terhadap pengakuan penghasilan dan pengakuan biaya/kerugian untuk tujuan perpajakan.

Jadi, jelas bahwa pencatatan Laba (Rugi) Penyertaan Saham berdasarkan metode Ekuitas secara komersial/akuntansi bukanlah merupakan objek pajak dan perlakuan sebagai unsur koreksi fiskal dalam rekonsiliasi perpajakan juga sudah tepat (Hrd).

Friday, April 11, 2008

ED PSAK 26 (revisi 2008) vs PSAK 26 (1997) tentang Biaya Pinjaman

Pada tanggal 26 Pebruari 2008, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah menyetujui 3 Exposure Draft (ED) Konvensional yaitu ED PSAK 14, ED PSAK 26 dan ED PSAK 58. Ketiga ED PSAK ini disetujui untuk disebarluaskan dan ditanggapi oleh kalangan anggota IAI, Dewan Konsultatif SAK, Dewan Pengurus Nasional IAI, perguruan tinggi dan individu/organisasi/lembaga lain yang berminat.

Adapun ED PSAK 26 (revisi 2008) merupakan revisi atas PSAK 26 (1997) tentang Biaya Pinjaman yang merupakan adopsi seluruh IAS 23 (2007) Borrowing Cost, kecuali untuk beberapa paragraf berikut :

1. IAS 23 paragraf 9 tentang pelaporan keuangan dalam ekonomi hiperinflasi yang kemudian menjadi PSAK 26 paragraf 9 karena belum mengadopsi IAS 29 : Financial Reporting in Hyperinflationary Economies.

2. IAS 23 paragraf 18 tentang hibah dan bantuan pemerintah yang kemudian menjadi PSAK 26 paragraf 18 karena belum mengadopsi IAS 20 : Accounting for Government Grants and Disclosure of Government Assistance.

Secara umum, perbedaan ED PSAK 26 (revisi 2008) dibandingkan dengan PSAK 26 (1997) tentang Biaya Pinjaman adalah sebagai berikut :

1. ED PSAK 26 (revisi 2008) mengadopsi seluruh pengaturan dalam IAS 23 (2007) Borrowing Cost, kecuali untuk beberapa paragraf seperti yang dijelaskan di atas.

2. Prinsip inti ED PSAK 26 (revisi 2008) menyatakan bahwa biaya pinjaman yang memenuhi syarat diakui sebagai bagian biaya perolehan aset kualifikasian, sedangkan biaya pinjaman lainnya diakui sebagai beban. Hal ini tidak ada dalam PSAK 26 (1997). Biaya pinjaman dalam PSAK 26 (1997) diakui sebagai beban kemudian apabila memenuhi persyaratan maka dikapitalisasi ke biaya perolehan aset.

3. ED PSAK 26 (revisi 2008) memberikan contoh beberapa aset kualifikasian dimana tidak ada dalam PSAK 26 (1997)

4. ED PSAK 26 (revisi 2008) lebih memperjelas dan merinci kapan dan syarat-syarat dimulainya kapitalisasi biaya pinjaman dibandingkan PSAK 26 (1997)

5. ED PSAK 26 (revisi 2008) mengatur penghentian sementara jika tidak ada kegiatan pengembangan aset kualifikasian secara aktif, sementara PSAK 26 (1997) mengatur jika ada penangguhan kegiatan untuk periode yang cukup lama.

6. ED PSAK 26 (revisi 2008) menambahkan penjelasan mengenai kegiatan modifikasi minor yang masih memenuhi persyaratan berakhirnya kapitalisasi biaya pinjaman.

Lebih jelasnya, beberapa perubahan penting tersebut diantaranya adalah :

ED PSAK 26 (revisi 2008) paragraf 1, Prinsip Inti menjelaskan bahwa “Biaya Pinjaman yang dapat diatribusikan secara langsung dengan perolehan, konstruksi, atau produksi aset kualifikasian adalah bagian dari biaya perolehan aset tersebut. Biaya pinjaman lainnya diakui sebagai beban”.

Bandingkan dengan PSAK 26 (1997) paragraf 1, Tujuan yang menjelaskan bahwa “Tujuan Pernyataan ini adalah untuk menentukan perlakuan akuntansi atas biaya pinjaman. Secara umum Pernyataan ini mengharuskan pembebanan segera biaya pinjaman pada saat terjadinya. Akan tetapi untuk biaya pinjaman yang secara langsung dapat diatribusikan dengan perolehan, konstruksi, atau produksi dari suatu qualifying aset, Pernyataan ini mengharuskan kapitalisasi biaya pinjaman tersebut”.

Pada bagian Ruang Lingkup, ED PSAK 26 (revisi 2008) menambahkan paragraf 4 sebagai berikut : Pernyataan ini tidak diterapkan untuk biaya pinjaman yang dapat diatribusikan secara langsung dengan perolehan, konstruksi atau produksi dari :

1. Aset kualifikasian yang diukur pada nilai wajar, misalnya aset biolojik; atau

2. Persediaan yang dipabrikasi atau diproduksi dalam jumlah banyak yang berulang (repetitive basis)

Dalam paragraf 6, ED PSAK 26 (revisi 2008) menambahkan satu point (d) yang meliputi biaya pinjaman termasuk beban keuangan sewa pembiayaan yang diakui sesuai dengan PSAK 30 mengenai Sewa.

Dalam paragraf 7 PSAK 26 (1997) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Aset Tertentu (qualifying assets) antara lain adalah persediaan barang tertentu, pabrik dan pembangkit tenaga listrik.

Sedangkan paragraf 7 ED PSAK 26 (revisi 2008) dijelaskan bahwa “Berikut ini, tergantung keadaan, adalah aset kualifikasian :

1. Persediaan

2. Pabrik manufakturing

3. Fasilitas pembangkit listrik

4. Aset tidak berwujud

5. Properti investasi

Aset keuangan dan persediaan yang dipabrikasi atau diproduksi selama periode waktu yang pendek tidak termasuk aset kualifikasian.

Paragraf 17 ED PSAK 26 (revisi 2008) menyatakan bahwa : Entitas harus mulai mengkapitalisasi biaya pinjaman sebagai bagian biaya perolehan aset kualifikasian pada awal tanggal. Awal tanggal kapitalisasi adalah tanggal ketika entitas pertama kali memenuhi semua kondisi berikut :

1. Terjadinya pengeluaran untuk aset;

2. Terjadinya biaya pinjaman; dan

3. Entitas telah melakukan aktivitas yang diperlukan untuk menyiapkan aset untuk digunakan atau dijual sesuai dengan maksudnya.

Sedangkan PSAK 26 (1997) paragraf 17 mengatur bahwa : Kapitalisasi biaya pinjaman sebagai bagian dari biaya perolehan suatu aset dimulai ketika :

1. Pengeluaran untuk aset tersebut telah mulai dilakukan;

2. Biaya pinjaman sedang terjadi;

3. Aktivitas yang dibutuhkan untuk mempersiapkan pembangunan atau memproduksi aset tertentu sedang berlangsung.

Berkaitan dengan pengaturan mengenai Penghentian Sementara Kapitalisasi Biaya Pinjaman, ED PSAK 26 (revisi 2008) paragraf 20 menjelaskan bahwa Entitas harus menghentikan sementara kapitalisasi biaya pinjaman selama perpanjangan periode dimana dilakukan penghentian sementara pengembangan aset kualifikasian secara aktif. Sedangkan PSAK 26 (1997) paragraf 20 mengatur bahwa Kapitalisasi biaya pinjaman harus dihentikan apabila, dalam suatu periode yang cukup lama perusahaan menangguhkan atau menunda aktivitas perolehan, pembangunan ataupun produksi.

ED PSAK 26 (revisi 2008) juga mengatur mengenai masa transisi dalam paragraf 27 dan 28 sebagai berikut :

· ketika penerapan Pernyataan ini mengakibatkan perubahan kebijakan akuntansi, maka entitas harus menerapkan Pernyataan ini untuk biaya pinjaman yang berkaitan dengan aset kualifikasian untuk tanggal awal kapitalisasi pada atau setelah tanggal efektif (paragraf 27);

· namun, entitas dapat menentukan tanggal tertentu sebelum tanggal efektif dan menerapkan Pernyataan ini untuk biaya pinjaman yang terkait dengan aset kualifikasian dimana awal tanggal kapitalisasi pada atau setelah tanggal tertentu tersebut (paragraf 28).

Pernyataan ini berlaku mulai 1 Januari 2009. Penerapan lebih dini diperkenankan. Jika diterapkan lebih dini sebelum tanggal efektif 1 Januari 2009, maka hal tersebut harus diungkapkan (paragraf 29 tentang Tanggal Efektif).

Tanggapan tertulis atas ED ini diharapkan diterima paling lambat pada 7 Mei 2008 dan dikirimkan ke :

Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia; Jl. Sindanglaya No.1, Menteng, Jakarta 10310; Fax No. 62-21 724 5078; E-mail : iai-info@iaiglobal.or.id.

Softcopy ED PSAK 26 (revisi 2008) ini dapat didownload melalui link berikut ini : ED PSAK 26 (revisi 2008)

Beberapa Perubahan Mendasar PMK No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik

Berikut ini beberapa point perubahan mendasar PMK No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik dibandingkan dengan KMK No. 423/KMK.06/2002 dan KMK No. 359/KMK.06/2003

1. Pembatasan Masa Pemberian Jasa KAP dari sebelumnya 5 (lima) tahun buku berturut-turut menjadi 6 (enam) tahun buku berturut-turut

2. Akuntan Publik yang telah selesai dikenakan sanksi pembekuan izin dan akan memberikan jasa kembali, wajib mengajukan permohonan kepada Sekretaris Jenderal u/p Kepala Pusat dengan memenuhi persyaratan diantaranya : (1) menyerahkan bukti mengikuti PPL paling sedikit 30 SKP, (2) berdomisili di wilayah Indonesia, (3) tidak pernah mengundurkan diri dari keanggotaan IAPI. Dalam KMK sebelumnya tidak diatur.

3. Persyaratan ijin usaha KAP ditambah memiliki auditor yang paling sedikit 1 (satu) diantaranya beregister negara untuk akuntan. Dalam KMK sebelumnya tidak diatur.

4. Persyaratan ijin pembukaan cabang KAP ditambah : (1) memiliki NPWP cabang, (2) memiliki auditor tetap yang salah satunya memiliki register negara untuk akuntan. Dalam KMK sebelumnya tidak diatur.

5. Ketentuan lainnya mengenai pembukaan cabang KAP yang sebelumnya tidak diatur adalah : Cabang KAP yang tidak mempunyai Pemimpin Cabang selama 6 (enam) bulan dicabut ijin pembukaan cabangnya. Selain itu, Penggantian Pemimpin Cabang wajib dilaporkan.

6. Beberapa ketentuan berkaitan dengan kerjasaman KAP dengan KAPA/OAA yang sebelumnya tidak diatur antara lain : (1) Perjanjian kerjasama KAP dengan KAPA/OAA harus disahkan oleh notaries, (2) OAA yang diperbolehkan melakukan kerjasama dengan KAP paling sedikit harus memiliki keanggotaan di 20 (dua puluh) negara, (3) Penulisan huruf nama KAPA/OAA yang melakukan kerjasama dengan KAP dilarang melebihi besarnya huruf nama KAP, (4) KAP yang tidak melaporkan bubarnya dan/atau putusnya hubungan dengan KAPA/OAA dalam jangka waktu paling lama 6 bulan, dikenakan sanksi pembekuan ijin.

7. Laporan Auditor Independen (LAI) harus diberi nomor secara urut berdasarkan tanggal penerbitannya. Hal ini terutama untuk tujuan tertib administrasi LAI. Selain itu, juga sebagai control terhadap LAI dan membantu untuk mendeteksi adanya LAI yang dipalsukan. Ketentuan mengenai hal ini sebelumnya tidak diatur.

8. Akuntan Publik harus menjadi anggota IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia), sebelumnya Akuntan Publik harus menjadi anggota IA dan IAI-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Dalam peraturan baru ini juga diatur bahwa Asosiasi Akuntan Publik yang diakui adalah IAPI.

9. Mengenai Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) diatur bahwa USAP diselenggarakan oleh IAPI, sebelumnya USAP diselenggarakan oleh IAI. Berkaitan dengan pengalihan ini, diberikan masa transisi selama 6 bulan bagi IAI untuk tetap dapat melaksanakan USAP sebelum dialihkan sepenuhnya kepada IAPI. Selain itu, juga diatur bahwa Menteri Keuangan dapat melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan USAP (sebelumnya tidak diatur).

10. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) ditetapkan oleh IAPI, sebelumnya SPAP ditetapkan oleh IAI-KAP. Disamping itu, juga diatur bahwa Menteri Keuangan memantau dan mengevaluasi SPAP (sebelumnya tidak diatur).

11. Berkaitan dengan pembekuan ijin KAP/AP terdapat beberapa tambahan pengaturan diantaranya : (1) AP/KAP/Cabang KAP yang memberikan jasa ketika belum mendapatkan persetujuan pengaktifan ijin kembali setelah dikenakan sanksi pembekuan ijin, dikenakan Sanksi Pembekuan Ijin, (2) KAP berbentuk usaha persekutuan dibekukan ijin usahanya ketika seluruh rekan AP-nya dikenakan sanksi pembekuan ijin, (3) Setelah sanksi pembekuan ijin berakhir, AP, KAP, dan Cabang KAP jika masih ingin memberikan jasa wajib mengajukan permohonan pengaktifan ijin kembali, (4) Sanksi pembekuan ijin diberikan paling banyak 2 kali (dalam peraturan sebelumnya sanksi pembekuan ijin diberikan paling banyak 1 kali)

Demikian beberapa perubahan mendasar PMK No. 17/PMK.01/2008 yang menurut saya merupakan perubahan dan penambahan yang cukup signifikan berkaitan dengan praktek jasa profesional akuntan publik di Indonesia.

Berikut saya lampirkan file PMK No. 17/PMK.01/2008 (download di sini : PMK No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik). Jika terdapat keraguan ataupun hal yang kurang jelas silahkan merujuk ke PMK dimaksud (Hrd).

3 PSAK revisian DSAK-IAI berlaku efektif sejak 1 Januari 2008. Sudah siapkah Anda ?

Sekedar mengingatkan kembali bahwa 3 PSAK revisian DSAK-IAI sudah berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2008 yaitu PSAK 13, PSAK 16 dan PSAK 30.

Sejak Desember 2006 sampai dengan pertengahan tahun 2007 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah merevisi dan mengesahkan lima Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Revisi tersebut dilakukan dalam rangka konvergensi dengan International Accounting Standards (IAS) dan International Financial Reporting Standards (IFRS).

Tiga dari revisi PSAK tersebut berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2008 yaitu PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi yang menggantikan PSAK No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi (disahkan 1994), PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang menggantikan PSAK 16 (1994) : Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain dan PSAK 17 (1994) : Akuntansi Penyusutan serta PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa menggantikan PSAK 30 (1994) tentang Sewa Guna Usaha.

Sementara dua standar lainnya yaitu PSAK No. 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan yang menggantikan Akuntansi Investasi Efek Tertentu serta PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2009. Pihak Bank Indonesia sendiri sejak dini sudah mewanti-wanti agar perbankan nasional menerapkan kedua PSAK tersebut untuk pelaporan keuangan sejak 2009 nanti.

Kelima PSAK tersebut dalam revisi terakhirnya sebagian besar sudah mengacu ke IAS/IFRS, walaupun terdapat sedikit perbedaan terkait dengan belum diadopsinya PSAK lain yang terkait dengan kelima PSAK tersebut.

Seperti yang sudah kita ketahui, saat ini standar akuntansi keuangan nasional sedang dalam proses konvergensi secara penuh dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh IASB. Oleh karena itu, arah penyusunan dan pengembangan standar akuntansi keuangan ke depan akan selalu mengacu pada standar akuntansi internasional (IFRS) tersebut.
Dengan adanya penyempurnaan dan pengembangan PSAK secara berkelanjutan dari tahun ke tahun, saat ini terdapat tiga PSAK yang pengaturannya sudah disatukan dengan PSAK terkait yang terbaru sehingga nomor PSAK tersebut tidak berlaku lagi, yaitu :

  1. PSAK No. 9 (Revisi 1994) tentang Penyajian Aktiva Lancar dan Kewajiban Jangka Pendek pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 1 (Revisi 1998) tentang Penyajian Laporan Keuangan;
  2. PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap;
  3. PSAK No. 20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan (1994) pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 19 (Revisi 2000) tentang Aset Tidak Berwujud.

Berikut kutipan dari Deloitte News Letter : The Standards Update Vol.1/24-Sep-2007

IFRS Convergence Planning

IAI is in the plan to convergence the PSAK with IFRS by the year 2012. In accordance with the plan, currently, DSAK is in the process to revise 3 (three) PSAKs as follows :

· PSAK 22 : Accounting for Business Combination, which is revised by reference to IFRS 3 : Business Combination;

· PSAK 58 : Discontinued Operations, which is revised by reference to IFRS 5 : Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations; and

· PSAK 48 : Impairment of Assets, which is revised by reference to IAS 36 : Impairment of Assets

DSAK-IAI is also in process to develop the Standard for SME, and planning to issue the Standard by July 2008.

Footnote : Awal April kemarin, DSAK-IAI telah mempublikasikan beberapa perubahan Exposure Draft PSAK, diantaranya PSAK No. 58 di atas. Untuk lebih jelasnya silahkan klik posting saya berikut ini : DSAK-IAI menyetujui 3 ED PSAK Konvensional dan ....

Thursday, April 10, 2008

ED PSAK 14 (Revisi 2008) vs PSAK 14 (1994) tentang Persediaan

Pada tanggal 26 Pebruari 2008, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) telah menyetujui Exposure Draft (ED) PSAK 14 (revisi 2008) tentang Persediaan untuk disebarluaskan dan ditanggapi oleh kalangan anggota IAI, Dewan Konsultatif SAK, Dewan Pengurus Nasional IAI, perguruan tinggi dan individu/organisasi/lembaga lain yang berminat.

ED PSAK 14 (revisi 2008) tentang Persediaan ini merupakan revisi atas PSAK 14 (1994) dan merupakan adopsi dari International Accounting Standard (IAS) 2 : Inventories

Secara umum, perbedaan antara ED PSAK 14 (revisi 2008) dengan PSAK 14 (1994) diantaranya adalah :

· ED PSAK 14 (revisi 2008) Persediaan telah mengadopsi seluruh pengaturan dalam IAS 2 (2003) Inventories, kecuali untuk paragraf 3 (a), 4 dan 20 IAS 2 yang dihilangkan karena PSAK belum mengadopsi IAS 41 : Agriculture. Selain itu, IAS 2 paragraf 42 juga dihilangkan karena SIC-1 : Consistency Different Cost Formulas for Inventories belum diadopsi.

· ED PSAK 14 (revisi 2008) tidak diterapkan untuk pialang-pedagang komoditi yang mengukur persediaannya pada nilai wajar, sedangkan PSAK 14 (1994) tidak mengatur hal tersebut.

· Dalam PSAK 14 (1994) selisih valuta asing yang terkait pembelian persediaan dapat diakui sebagai biaya perolehan persediaan, tetapi hal tersebut tidak diatur lagi dalam ED PSAK 14 (revisi 2008).

· Biaya perolehan persediaan secara tangguh diatur dalam ED PSAK 14 (revisi 2008) yang dapat menimbulkan beban bunga, sedangkan PSAK 14 (1994) tidak mengatur hal tersebut.

· Rumus biaya yang digunakan dalam ED PSAK 14 (revisi 2008) adalah FIFO dan rata-rata tertimbang, sedangkan PSAK 14 (1994) adalah FIFO, LIFO dan rata-rata tertimbang.

Terdapat perbedaan ruang lingkup antara PSAK 14 (1994) dengan ED PSAK (revisi 2008) dimana dalam Ruang Lingkup PSAK 14 (1994) tidak meliputi penerapan untuk :

1. Pekerjaan dalam proses yang timbul dalam kontrak konstruksi

2. Instrumen keuangan; dan

3. Persediaan yang dimiliki oleh produsen peternakan, produk pertanian dan kehutanan, dan hasil tambang sepanjang persediaan tersebut dinilai berdasarkan nilai realisasi bersih sesuai dengan kelajiman praktik yang berlaku dalam industri tertentu.

Sedangkan dalam ED PSAK 14 (revisi 2008) paragraf 2 Ruang Lingkup, diatur bahwa Pernyataan ini diterapkan untuk semua persediaan kecuali :

1. Pekerjaan dalam proses yang timbul dalam kontrak konstruksi

2. Persediaan yang terkait dengan real estat

3. Instrumen keuangan

4. Aset biolojik terkait dengan aktivitas agrikultur dan produk agrikultur pada saat panen

5. Aset biolojik terkait dengan hasil hutan

6. Hasil tambang umum dan hasil tambang minyak dan gas bumi.

ED PSAK 14 (revisi 2008) juga menambah satu paragraf yaitu paragraf 3 : Pernyataan ini tidak berlaku untuk pengukuran persediaan bagi pialang-pedagang komoditi yang mengukur persediaannya pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, sesuai dengan praktik yang berlaku pada industri. Ketika persediaan tersebut diukur pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, maka perubahan nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya.

Pada bagian Definisi paragraf 5 juga terdapat tambahan definisi mengenai Nilai Wajar, Komoditi dan Nilai Khusus Entitas.

Paragraf 8 PSAK 14 (1994) yang mengatur mengenai pengakuan selisih valuta asing yang terkait pembelian persediaan sebagai biaya perolehan persediaan dalam ED PSAK 14 (revisi 2008) dihilangkan.

Selanjutnya, terdapat tambahan paragraf 17 yang mengatur bahwa “Entitas mungkin membeli persediaan dengan persyaratan penyelesaian tangguhan (deferred settlement terms). Ketika perjanjian secara efektif mengandung elemen pembiayaan, maka elemen tersebut, misalnya perbedaan antara harga beli untuk persyaratan kredit normal dan jumlah yang dibayarkan diakui sebagai beban bunga selama periode pembayaran

Paragraf 23 ED PSAK 14 (revisi 2008) mengatur bahwa “Biaya persediaan, kecuali yang disebutkan dalam paragraf 21, harus dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP) atau rata-rata tertimbang. Entitas harus menggunakan rumus biaya yang sama terhadap semua persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama. Untuk persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda, rumusan biaya yang berbeda diperkenankan”. Sedangkan PSAK 14 (1994) mengakui penggunaan rumus biaya MPKP atau FIFO, rata-rata tertimbang dan MTKP atau LIFO.

Secara perpajakan, UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 dalam Pasal 10 ayat (6) juga mengatur bahwa rumus biaya persediaan yang diakui secara perpajakan hanya FIFO dan rata-rata.

Paragraf 38 ED PSAK 14 (revisi 2008) menyatakan bahwa “Entitas menerapkan Pernyataan ini untuk laporan keuangan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2009. Penerapan lebih dini dianjurkan”.

Tanggapan tertulis atas ED ini diharapkan diterima paling lambat pada 7 Mei 2008 dan dikirimkan ke :

Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia; Jl. Sindanglaya No.1, Menteng, Jakarta 10310; Fax No. 62-21 724 5078; E-mail : iai-info@iaiglobal.or.id.

Softcopy ED PSAK 14 (revisi 2008) ini dapat didownload melalui link berikut ini : ED PSAK 14 (revisi 2008)