Showing posts with label Fixed Assets. Show all posts
Showing posts with label Fixed Assets. Show all posts

Wednesday, July 7, 2010

Mekanisme penyesuaian akumulasi penyusutan atas aset tetap yang direvaluasi

Berdasarkan PSAK No. 16 (Revisi 2007), perusahaan diperbolehkan untuk memilih menggunakan model biaya (cost model) atau model revaluasi (revaluation model) sebagai kebijakan akuntansinya dalam mencatat nilai aset tetap setelah pengakuan awal.

Ada beberapa ketentuan dalam PSAK 16 (Revisi 2007) yang harus diperhatikan jika sebuah entitas memilih untuk menggunakan model revaluasi, diantaranya adalah jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi (par. 36), pengaturan mengenai perlakuan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi seperti yang diatur dalam paragraf 39 dan 40. Selain itu, dalam paragraf 43 diatur juga bahwa jika entitas mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap, maka perubahan tersebut berlaku prospektif artinya penyesuaian laporan keuangan akibat revaluasi aset hanya dilakukan untuk laporan keuangan periode berjalan dan ke depannya.

Selain itu, PSAK 16 (Revisi 2007) juga mengatur mengenai mekanisme penyesuaian atas pencatatan akumulasi penyusutan aset tetap yang sebelum direvaluasi telah disusutkan oleh perusahaan.

Dalam par. 35 diatur bahwa apabila suatu aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi diperlakukan dengan salah satu cara berikut ini :

  1. disajikan kembali secara proporsional dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberi indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan; atau
  2. dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah eliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering digunakan untuk bangunan.

Untuk contoh penerapan kedua metode tersebut di atas dapat dibaca dari posting saya di sini

Thursday, April 1, 2010

Perubahan Metode Penyusutan Aset Tetap, bagaimana perlakuan akuntansinya ?

Jika sekiranya pada tahun-tahun lalu sebuah perusahaan menggunakan metode penyusutan saldo menurun (diminishing balance method), kemudian pada tahun berjalan manajemen perusahaan memutuskan untuk merubah metode penyusutan menjadi garis lurus (straight line method), apakah diperbolehkan ? Jika boleh, apa saja persyaratan yang harus dipenuhi ?

Menurut PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap pada paragraf 63 dijelaskan bahwa metode penyusutan yang digunakan harus mencerminkan ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset oleh entitas.

Kemudian dalam paragraf 64 diatur bahwa metode penyusutan yang digunakan untuk aset harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan, apabila terjadi perubahan yang signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dari aset tersebut, maka metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan pola tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai PSAK No. 25.

Selanjutnya dalam paragraf 65 dijelaskan antara lain bahwa metode penyusutan aset dipilih berdasarkan ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset dan diterapkan secara konsisten dari periode ke periode kecuali ada perubahan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pemilihan metode penyusutan aset tetap harus diterapkan secara konsisten dari tahun ke tahun. Penggantian metode penyusutan baru diperbolehkan jika sekiranya berdasarkan hasil review telah terjadi perubahan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut. Perubahan metode penyusutan yang terjadi harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi seperti yang diatur di dalam PSAK  No. 25.

Berdasarkan PSAK No. 25 paragraf 26 dijelaskan bahwa suatu perubahan dalam estimasi akuntansi dapat hanya mempengaruhi periode berjalan ataupun mempengaruhi baik periode berjalan maupun periode-periode yang akan datang (penerapan secara prospektif).

Jadi, perubahan suatu metode penyusutan dalam pencatatan akuntansi sebuah perusahaan akan berpengaruh terhadap laporan keuangan tahun berjalan dan tahun-tahun selanjutnya. Sedangkan untuk laporan keuangan tahun sebelumnya tidak perlu disajikan kembali (HRD) ***

Wednesday, February 10, 2010

Penggantian sparepart mesin, dikapitalisasi atau dibiayakan ?

Apakah biaya penggantian sparepart mesin boleh dikapitalisasi ke nilai tercatat mesin untuk kemudian dibebankan secara berkala melalui penyusutan atau harus langsung dibebankan sebagai biaya di laporan laba rugi ?

Par. 7 PSAK 16 (Revisi 2007) mengatur bahwa biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika :

(a) besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan aset tersebut akan mengalir ke entitas; dan

(b) biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.

Dalam Par. 12 dijelaskan bahwa sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, entitas tidak boleh mengakui biaya perawatan sehari-hari aset tetap sebagai bagian dari aset yang bersangkutan. Biaya-biaya ini diakui dalam laporan laba rugi saat terjadinya.

Kemudian, dalam Par. 13 selanjutnya dijelaskan antara lain bahwa sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, entitas mengakui biaya penggantian komponen suatu aset dalam jumlah tercatat aset saat biaya itu terjadi jika pengeluaran tersebut memenuhi kriteria untuk diakui sebagai bagian dari aset. Jumlah tercatat komponen yang diganti tersebut tidak lagi diakui apabila telah memenuhi ketentuan penghentian pengakuan (lihat paragraf 69-74).

Dari penjelasan beberapa paragraf PSAK 16 tersebut, dapat disimpulkan bahwa biaya penggantian sparepart tersebut harus dikapitalisasi ke nilai tercatat mesin jika besar kemungkinan memiliki manfaat ekonomis di masa depan serta biaya perolehan dari sparepart mesin tersebut dapat diketahui dengan jelas. Jika salah satu dari kedua kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka harus dibebankan langsung sebagai biaya di laporan laba rugi.

Selanjutnya, dalam Par. 72 PSAK 16 dijelaskan bahwa jika berdasarkan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, suatu entitas mengakui biaya perolehan dari penggantian sebagian aset tetap dalam jumlah tercatat aset tetap tersebut, maka selanjutnya entitas tersebut juga menghentikan pengakuan jumlah tercatat dari bagian yang digantikan tanpa memperhatikan apakah bagian yang digantikan telah disusutkan secara terpisah. Jika hal ini tidak praktis bagi entitas untuk menentukan jumlah tercatat dari bagian yang digantikan, entitas dapat menggunakan biaya perolehan dari penggantian tersebut sebagai indikasi biaya perolehan dari bagian yang digantikan pada saat diperoleh atau dikonstruksi.

Adapun pengertian dari paragraf ini adalah jika misalnya pada tanggal 10 Maret 2009 PT A mengganti sparepart mesin yang telah rusak dengan nilai perolehan sparepart mesin yang baru sebesar Rp 10 juta dan atas penggantian sparepart tersebut telah memenuhi persyaratan kapitalisasi sesuai Par. 7 PSAK 16. Untuk sparepart mesin yang rusak pada saat dibeli harga perolehannya merupakan satu kesatuan dengan aset mesin sehingga dengan demikian tidak dapat diketahui dengan jelas berapa nilai perolehan sparepart mesin tersebut. Masa manfaat mesin 10 tahun dan telah disusutkan selama 4 tahun dengan metode Garis Lurus.

Sebagaimana halnya pengaturan dalam Par. 72 di atas, pada saat pengganti sparepart yang baru, maka jumlah tercatat (nilai buku) sparepart mesin yang lama harus dikeluarkan dari pembukuan. Berhubung tidak dapat diketahui dengan pasti jumlah tercatat sparepart mesin yang lama, maka PT A dapat menggunakan harga perolehan sparepart mesin yang baru sebagai pengganti harga perolehan sparepart mesin yang lama.

Jadi, pada saat penggantian tersebut, PT A mencatat perolehan sparepart mesin yang baru serta penghapusan sparepart mesin yang lama sebagai berikut :

Aset tetap - mesin      10.000.000  
Rugi Penghapusan aset        6.000.000  
        Aset tetap - mesin         6.000.000 *
        K a s       10.000.000

*) Pengkreditan Aset Tetap – Mesin sebesar Rp 6 juta adalah merupakan jumlah tercatat sparepart mesin lama yang dihitung dengan menggunakan biaya perolehan sparepart mesin yang baru sebagai pengganti biaya perolehannya (Hrd)

Wednesday, December 3, 2008

Pokok-pokok perubahan PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tanggal 29 Mei 2007 menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan.

Pada dasarnya PSAK 16 (Revisi 2007) telah mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Beberapa perubahan mendasar dari PSAK 16 (2007) dibandingkan dengan PSAK 16 (1994) diantaranya adalah :

1. PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap.

2. Penggantian penggunaan istilah “Aktiva” menjadi Aset dalam seluruh PSAK

3. Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Biaya yang dapat diatribusikan secara langsung sebagai komponen biaya perolehan aset tetap termasuk (a) biaya imbalan kerja (seperti yang didefinisikan dalam PSAK No. 24 tentang Imbalan Kerja) yang timbul secara langsung dari pembangunan atau akuisisi aset tetap, serta (b) biaya pengujian aset apakah aset berfungsi dengan baik, setelah dikurangi hasil bersih penjualan produk yang dihasilkan sehubungan dengan pengujian tersebut (PSAK 16 (2007) Par. 17). Kedua point tersebut tidak termasuk dalam PSAK 16 sebelumnya (lihat PSAK 16 (1994) Par. 14)

4. Bukan Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Sebagian kegiatan terjadi sehubungan dengan pembangunan atau pengembangan suatu aset tetap, tetapi tidak dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Kegiatan insidental ini mungkin terjadi sebelum atau selama konstruksi atau aktivitas pengembangan. Contoh, penghasilan yang diperoleh dari penggunaan lahan lokasi bangunan sebagai tempat parkir mobil sampai pembangunan dimulai. Karena kegiatan insidental ini tidak dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen, penghasilan dan beban yang terkait dari kegiatan insidental diakui dalam laporan laba rugi dan diklasifikasikan dalam penghasilan dan beban (Par. 21). PSAK No. 16 (1994) sebelumnya tidak mengatur mengenai hal ini.

5. Pertukaran Aset Tetap – PSAK No. 16 (1994) sebelumnya membedakan perlakuan pencatatan atas pertukaran aktiva tetap yang sejenis/serupa (Par.21) serta pertukaran aktiva tetap yang tidak sejenis/tidak serupa (Par. 20), sedangkan PSAK 16 (revisi 2007) tidak membedakannya.

Par. 24 PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa untuk pertukaran aset tetap, biaya perolehan diukur pada nilai wajar kecuali (a) transaksi pertukaran tidak memiliki substansi komersial; atau (b) nilai wajar dari aset yang diterima dan diserahkan tidak dapat diukur secara andal.

6. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal – PSAK 16 (revisi 2007) Par. 15 maupun PSAK 16 (1994) sebelumnya (Par. 13) mengatur bahwa suatu aset tetap (aktiva tetap) yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset (aktiva) pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan.

PSAK 16 (revisi 2007) dalam Par. 29 mengatur mengenai Pengukuran Setelah Pengakuan Awal Aset Tetap, “Suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) dalam par. 30 atau model revaluasi (revaluation model) dalam par. 31 sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.”

Jadi, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007), entitas mempunyai 2 pilihan pencatatan akuntansi untuk pengukuran aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu (a) model biaya atau (b) model revaluasi.

Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya pada dasarnya tidak memperbolehkan penggunaan model revaluasi dalam pengukuran aktiva tetap.

“Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah. Dalam hal ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan di dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan. Selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap dibukukan dalam akun modal dengan nama “Selisih penilaian kembali aktiva tetap.”

7. Telaah Ulang Nilai Residu, Umur Manfaat dan Metode Penyusutan – PSAK 16 (revisi 2007) Par. 54 mengatur bahwa “nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.”

Kemudian Par. 64 mengatur bahwa “metode penyusutan yang digunakan untuk aset harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan, apabila terjadi perubahan yang signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dari aset tersebut, maka metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan pola tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25

Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya dalam Par. 39 mengatur bahwa “masa manfaat suatu aktiva tetap harus ditelaah ulang secara periodik dan, jika harapan berbeda secara signifikan dengan estimasi sebelumnya, beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.”

Par. 42 PSAK 16 (1994) mengatur bahwa “metode penyusutan yang digunakan untuk aktiva tetap ditelaah ulang secara periodik dan jika terdapat suatu perubahan signifikan dalam pola pemanfaatan ekonomi yang diharapkan dari aktiva tersebut, metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai suatu perubahan kebijakan akuntansi dan dilaporkan sesuai dengan PSAK No. 25, dan beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.”

8. PSAK 16 (Revisi 2007) Par. 45 mengatur bahwa : Jika dalam suatu entitas terdapat aset tetap yang tersedia untuk dijual, maka perlakuan akuntansi untuk aset tersebut adalah sebagai berikut :

a) Diakui pada saat dilakukan penghentian operasi;

b) Diukur sebesar nilai yang lebih rendah dari jumlah tercatatnya dibandingkan dengan nilai wajar setelah dikurangi dengan biaya-biaya penjualan aset tersebut;

c) Disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya akan dipulihkan melalui transaksi penjualan dari penggunaan lebih lanjut; dan

d) Diungkapkan dalam laporan keuangan dalam rangka evaluasi dampak penghentian operasi dan pelepasan aset (aset tidak lancar)

Par. 45 yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi untuk aset tetap yang tersedia untuk dijual ini mengacu ke paragraph 6, 15 dan 30 dari IFRS 5 : Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations).

9. Penyusutan – PSAK 16 (Revisi 2007) par. 46 mengatur bahwa “setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset harus disusutkan secara terpisah.” Sedangkan dalam PSAK 16 (1994) sebelumnya tidak diatur.

10. Aktiva Lain-lain – PSAK 16 (1994) sebelumnya mengatur mengenai Aktiva Lain-lain sedangkan dalam PSAK 16 (revisi 2007) tidak diatur.

11. PSAK 16 (Revisi 2007) ini berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.

Thursday, June 26, 2008

Menggunakan Depreciated Replacement Cost Approach sebagai pendekatan alternatif dalam penentuan nilai wajar aset tetap

Seperti yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya bahwa PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap memberikan dua opsi sebagai kebijakan akuntansi dalam pengukuran nilai aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu model biaya (cost model) ataupun model revaluasi (revaluation model) Baca di sini

Jika menggunakan model revaluasi, setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi.

Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi profesional berdasarkan bukti pasar. Nilai wajar pabrik dan peralatan biasanya menggunakan nilai pasar yang ditentukan oleh penilai (PSAK 16 Par. 32).

Jika tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas mungkin perlu mengestimasi nilai wajar menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach) (PSAK 16 Par. 33).

Yang akan saya bahas berikut ini adalah berkaitan dengan penerapan depreciated replacement cost approach dalam penentuan nilai wajar aset tetap.

Dalam buku WILEY – IFRS 2008 Interpretation and Application diberikan contoh penerapan depreciated replacement cost approach yang cukup jelas.

Berikut kutipannya ------------------------------------

IAS 16 suggests that fair value is usually determined by appraisers, using market-based evidence. Market values can also be used for machinery and equipment, but since such items often do not have readily determinable market values, particularly if intended for specialized applications, they may instead be valued at depreciated replacement cost.

Example of depreciated replacement cost (sound value) as a valuation approach :

An asset acquired January 1, 2005 at a cost of € 40,000 was expected to have a useful economic life of 10 years. On January 1, 2008, it is appraised as having a gross replacement cost of € 50,000. The sound value, or depreciated replacement cost, would be 7/10 x € 50,000 or € 35,000. This compares with a book, or carrying value of € 28,000 at the same date. Mechanically, to accomplish a revaluation at January 1, 2008, the asset should be written up by € 10,000 (i.e from € 40,000 to € 50,000 gross cost) and the accumulated depreciation should be proportionally written up by € 3,000 (from € 12,000 to € 15,000). Under IAS 16, the net amount of the revaluation adjustment, € 7,000 would be recognized in other comprehensive income and accumulated in revaluation surplus, an additional equity account.

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan penggunaan depreciated replacement cost approach sebagai pendekatan alternatif penentuan nilai wajar aset tetap. Semoga bisa membantu untuk lebih memahami PSAK 16 (Revisi 2007) terutama yang berkaitan dengan penerapan model revaluasi. (Hrd)

Wednesday, June 25, 2008

Perubahan Estimasi Umur Manfaat Aset, bagaimana pencatatan akuntansinya ?

PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap mendefinisikan umur manfaat (useful life) sebagai :

1. suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau

2. jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas.

Paragraf 54 PSAK 16 (Revisi 2007) menjelaskan bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus direview minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.

(The residual value and the useful life of an asset shall be reviewed at least at each financial year-end and, if expectations differ from previous estimates, the change(s) shall be accounted for as a change in an accounting estimate in accordance with IAS 8 Accounting Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors – IAS 16 Property, Plant and Equipment Par. 51).

Lantas, bagaimana perlakuan pencatatan akuntansi yang diperlukan jika terjadi perubahan estimasi umur manfaat aset ? Apakah laporan keuangan perlu disajikan kembali (restatement) ?

Untuk menjawabnya, simak penjelasan berikut yang saya kutip dari Wiley – IFRS 2008 Interpretation and Application.

Useful life is affected by such things as the entity’s practices regarding repairs and maintenance of its assets, as well as the pace of technological change and the market demand for goods produced and sold by the entity using the assets as productive inputs. If it is determined, when reviewing the depreciation method, that the estimated life is greater or less than previously believed, the change is handled as a change in accounting estimate, not as a correction of an accounting error. Accordingly, no restatement is to be made to previously reported depreciation; rather, the change is accounted for strictly on a prospective basis, being reflected in the period of change and subsequent periods.

To illustrate this concept, consider an asset costing € 100,000 and originally estimated to have a productive life of 10 years. The straight-line method is used, and there was no residual value anticipated. After 2 years, management revises its estimate of useful life to a total of 6 years. Since the net carrying value of the asset is € 80,000 after 2 years (= € 100,00 x 8/10), and the remaining expected life is 4 years (2 of the 6 revised total years having already elapsed), depreciation in years 3 through 6 will be € 20,000 (= € 80,000/4) each.

Dari penjelasan dan contoh ilustrasi tersebut di atas jelas bahwa jika terjadi perubahan estimasi umur manfaat aset tetap, maka berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) dan IAS 16 harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi dan tidak perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan (restatement). Pengaruh atas perubahan tersebut hanya terhadap laporan keuangan periode berjalan dan periode selanjutnya (Hrd).

Thursday, June 19, 2008

Revaluasi aset, beda pengaturan antara akuntansi dan pajak

Dalam tulisan sebelumnya dengan judul “Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) (baca di sini) saya sudah menjelaskan bahwa PSAK 16 (Revisi 2007) memperbolehkan perusahaan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasian.

Sistimatika dan aturan main pencatatan akuntansi aset tetap jika perusahaan memilih model revaluasian juga diatur dengan cukup jelas dalam PSAK 16 (Revisi 2007) tersebut.

Sedangkan dari segi perpajakan, pengaturan mengenai penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan diatur terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2008 (download di sini : PMK No.79/PMK.03/2008), menggantikan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.

Beberapa perbedaan antara pengaturan menurut KMK No. 486/KMK.03/2002 dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 diantaranya adalah :

1. KMK yang lama mengatur bahwa revaluasi dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan (pasal 3 ayat (2)), sedangkan PMK yang baru mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap (pasal 3 ayat (1)).

2. Revaluasi aktiva tetap menurut KMK yang lama dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama (pasal 3 ayat (3)), sedangkan PMK yang baru mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (pasal 3 ayat (2)).

Pengaturan ini sepertinya agak bertentangan dengan perlakuan akuntansi menurut PSAK 16 (Revisi 2007) yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 dimana dalam paragraf 31 diatur bahwa (apabila perusahaan menerapkan model revaluasian) maka revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara signifikan dari nilai wajar pada tanggal neraca. Selanjutnya dalam par. 34 dijelaskan lagi bahwa jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan.

Jadi, apabila setiap tahun terjadi perubahan nilai wajar secara signifikan terhadap jumlah tercatat aset tetap, maka dengan sendirinya revaluasi harus dilakukan secara tahunan. Sedangkan perpajakan mengatur bahwa aktiva tetap baru boleh dinilai kembali setelah jangka waktu 5 tahun sejak revaluasi yang terakhir dilakukan.

Seandainya perusahaan secara akuntansi menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetapnya dan dalam 2 tahun kemudian nilai wajar aset tetap mengalami peningkatan signifikan sehingga perlu dilakukan revaluasi kembali jelas akan menghadapi masalah karena dengan sendirinya revaluasi yang dilakukan sudah menyimpang dari ketentuan perpajakan. Lantas bagaimana dengan Pajak Penghasilan Final 10 % yang dikenakan atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskalnya (Pasal 5 PMK No. 79) ? Apakah tetap harus dibayar sedangkan jika prosedur revaluasi tidak sesuai ketentuan perpajakan sudah tentu tidak akan diterbitkan keputusan ijin revaluasi dari Dirjen Pajak ?

Sepertinya harus pikir-pikir dulu sebelum menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetap perusahaan sesuai PSAK 16 (Revisi 2007). Setidaknya harus sudah diprediksikan terlebih dahulu bahwa aset tetap yang sudah direvaluasi tersebut tidak akan mengalami peningkatan nilai wajar yang signifikan dalam 5 tahun ke depan (Hrd).

Wednesday, June 18, 2008

Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap saat ini sudah hampir sepenuhnya mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Salah satu perubahan signifikan dari PSAK 16 (Revisi 2007) ini adalah mengenai revaluasi aset tetap. Dalam PSAK sebelumnya yaitu PSAK 16 (1994) mengenai Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain pada dasarnya mengharuskan penyajian aktiva tetap berdasarkan nilai perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah, dan dalam hal ini harus ada catatan ataupun penjelasan dalam laporan keuangan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan (PSAK 16 (1994) Par. 29).

Jadi, sebelum berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007), jika perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap yang pada umumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perpajakan, maka pada opini auditor harus ada catatan dan penjelasan tambahan berkaitan dengan hal tersebut.

Dengan mulai berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007) sejak 1 Januari 2008, maka perusahaan diperbolehkan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasi, dan harus diterapkan terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.

Jika menggunakan model biaya, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 (revisi 2007) par. 30). Model ini adalah seperti yang diterapkan sebagian besar perusahaan selama ini.

Sedangkan jika menggunakan model Revaluasi, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca (PSAK 16 (revisi 2007) par. 31).

Dalam paragraph 34 diatur lebih lanjut bahwa frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Paragraf 36 menjelaskan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.

Paragraf 39 dan 40 mengatur mengenai perlakuan pencatatan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi sebagai berikut :

· Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke Ekuitas pada bagian Surplus Revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi sehingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi (par. 39)

· Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut (par. 40).

PSAK 16 (1994) menggunakan istilah “Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” untuk membukukan selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap.

Jika perusahaan mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap maka perubahan tersebut berlaku prospektif. Hal ini diatur dalam paragraph 43 PSAK 16 (revisi 2007).

Ketentuan Transisi PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa :

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya, maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat PSAK ini diterbitkan (par. 83).

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.

Demikian sekilas penjelasan pengaturan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)/IAS 16. Selanjutnya, saya akan menulis tentang perbedaan pengaturan revaluasi aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) dibandingkan dengan ketentuan perpajakan yang diatur terakhir berdasarkan PMK No. 79/PMK.03/2008 tanggal 23 Mei 2008 (Hrd).

Saturday, May 17, 2008

Penangguhan Beban Penyusutan, apakah diperbolehkan ?

Jika sekiranya terjadinya penurunan produksi ataupun bahkan penghentian produksi mesin pabrik untuk sementara sehingga aktiva mesin pabrik tersebut dengan sendirinya juga tidak dipergunakan, apakah diperbolehkan untuk menangguhkan pembebanan mesin pabrik untuk sementara ? Tentunya hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah terjadi penurunan ataupun penghentian penggunaan mesin pabrik tersebut.

Dari sudut akuntansi, PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap dalam paragraf 58 mengatur bahwa penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal ketika :

1. aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut termasuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan

2. aset tersebut dihentikan pengakuannya seperti yang diatur dalam paragraf 69 (yaitu jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan atau tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya).

Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak dipergunakan atau dihentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namun, apabila metode penyusutan yang digunakan adalah usage method (seperti unit of production method) maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya.

Jadi, kesimpulannya, secara akuntansi pada dasarnya tidak boleh menghentikan ataupun menangguhkan penyusutan sementara walaupun dengan alasan bahwa aktiva tetap seperti mesin pabrik misalnya tidak dipergunakan karena adanya penghentian produksi sementara, kecuali jika metode penyusutan yang dipergunakan adalah usage method yang dengan sendirinya beban penyusutan akan menjadi nol pada saat mesin tidak berproduksi.

Terus, kalau secara perpajakan apakah diperbolehkan ?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengacu ke Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-02/PJ.42/1999 tanggal 26 Januari 1999 perihal Penegasan tentang Penangguhan Penyusutan atas Harta Berwujud.

Melalui SE tersebut, Dirjen Pajak memberikan beberapa penegasan sebagai berikut :

1. Pada prinsipnya semua pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, apabila pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, maka pembebanan atas pengeluaran tersebut sebagai biaya harus dilakukan melalui penyusutan. Dengan demikian, penyusutan adalah merupakan suatu metode pembebanan biaya.

2. Metode penyusutan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya penyusutan yang dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut, atau Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Dalam menghitung besarnya penyusutan atas harta berwujud, Wajib Pajak hanya diperbolehkan menggunakan salah satu dari kedua metode penyusutan tersebut untuk seluruh jenis harta berwujud dan penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.

3. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (3))

4. Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak. Pengertian mulai menghasilkan tersebut dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (4))

5. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud tersebut akan diakhiri dengan penyusutan atau pembebanan sekaligus atas nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan, kecuali apabila sebelum akhir masa manfaat harta berwujud tersebut ditarik dari pemakaian atau dijual, maka penghitungan penyusutan yang terakhir atas harta berwujud tersebut adalah penyusutan untuk tahun terakhir sebelum tahun ditariknya harta berwujud tersebut dari pemakaian.

6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penangguhan penyusutan atas harta berwujud yang telah disusutkan tidak diperkenankan, walaupun dalam tahun pajak tersebut terjadi penurunan atau penghentian produksi. Oleh karena itu, sepanjang harta berwujud tersebut tidak ditarik dari pemakaian atau tidak dijual, maka penyusutan atas harta berwujud tersebut tetap harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan.

Jadi, peraturan perpajakan juga tidak memperbolehkan adanya penangguhan penyusutan atas aktiva tetap yang sebelumnya telah disusutkan, kecuali jika aktiva tetap tersebut ditarik dari pemakaian ataupun dijual.

Catatan - perpajakan hanya mengakui metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (1) dan (2)). Penyusutan secara usage method tidak diperkenankan dalam perpajakan (Hrd).

Thursday, May 1, 2008

Memperkecil Beban Pajak dari Revaluasi Aktiva Tetap

Pada Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003 kolom My Tax Advisor, seorang pembaca menanyakan masalah manfaat revaluasi aktiva tetap, sebagai berikut :

Saya pernah mendengar bahwa revaluasi aktiva tetap mempunyai manfaat bagi perusahaan, khususnya dari sisi perpajakan yang akan mempengaruhi pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Apakah benar demikian ? Bagaimana persyaratannya ?

Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh Tahun 2000), dijelaskan bahwa dalam masa di mana terdapat perkembangan harga yang mencolok (inflasi) atau perubahan kebijakan di bidang moneter (devaluasi mata uang dalam negeri) dapat terjadi kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Hal ini disebabkan karena pengukuran biaya berdasarkan historical cost, sementara pendapatan diukur dengan harga berlaku yaitu current cost.

Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dan faktor penyesuaiannya (indeksasi nilai perolehan aktiva dan biaya penyusutannya), di mana yang masih berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Revaluasi aktiva tetap memang mempunyai manfaat bagi perusahaan, yaitu antara lain :

1. Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat meningkatnya nilai aktiva dan modal;

2. Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai aktiva dapat dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus);

3. Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio keuangan perusahaan, khususnya yang ditunjukkan oleh debt to assets ratio dan debt to equity ratio.

4. Penghematan pajak yang terjadi sebagai akibat bertambah besarnya nilai penyusutan aktiva, yang dapat memberikan penghematan pajak sebesar 30% dari nilai tambah penyusutan. Sementara keuntungan dari revaluasi aktiva hanya dikenakan pajak final sebesar 10%.

Adapun prosedur, persyaratan dan perhitungan pajak atas revaluasi aktiva tetap diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Sumber : Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003

Friday, April 18, 2008

Beda Syarat Penyusutan Aktiva Tetap menurut Pajak dan Akuntansi

PSAK No. 16 (Revisi 2007) dalam paragraf 58 menyatakan bahwa Penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen.

Sedangkan pada paragraf 6 mengenai Definisi dinyatakan bahwa Penyusutan adalah alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Umur manfaat (useful life) adalah :

· suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau

· jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas

Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelas bagi kita bahwa menurut PSAK 16, aktiva tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat aset tetap tersebut siap untuk digunakan.

Oh, ya, sedikit informasi tambahan. Mungkin ada yang masih bingung dengan istilah Aset dan Aset Tetap, dimana sebelumnya istilah ini tidak pernah dipakai. Dalam PSAK revisian terakhir per 1 September 2007 terdapat beberapa perubahan diantaranya adalah PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap (merupakan revisian serta pengganti PSAK 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain). Selain itu, dalam penerbitan terakhir ini juga dilakukan penggantian penggunaan kata “aktiva” menjadi “aset” dalam seluruh PSAK.

Jika kita menyimak UU Perpajakan khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3) mengatur bahwa Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.

Berdasarkan pengaturan paragraf 58 PSAK 16 serta Pasal 11 ayat (3) UU PPh No. 17 tersebut, terlihat perbedaan syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap secara akuntansi dan perpajakan dimana :

1. secara akuntansi, aktiva tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat aktiva tersebut siap untuk digunakan

2. secara perpajakan, aktiva tetap mulai disusutkan pada bulan dilakukannya pengeluaran (pada saat diperoleh/dibeli).

Peraturan perpajakan mengijinkan penyusutan aktiva tetap dimulai saat digunakan (bukan saat diperoleh) dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak seperti yang diatur dalam UU PPh No. 17 Pasal 11 ayat (4) berikut ini :

Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan

Terkait dengan perbedaan pengaturan syarat penyusutan aktiva tetap secara akuntansi dan perpajakan seperti yang dipaparkan di atas, ada baiknya kita menyimak kasus berikut ini :

Melalui surat tanggal 19 Desember 2000, PT Gunung Sawit Bina Lestari (PT Gunung Sawit) sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mulai berproduksi secara komersial sejak bulan Juli 1999 menanyakan kepada Dirjen Pajak perihal perlakuan penyusutan terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengembangan lahan dan tanaman kelapa sawit (planting cost) selama masa belum menghasilkan (immature).

Saat itu, perusahaan sedang diperiksa oleh Karikpa Jakarta Khusus Satu menyangkut kewajiban perpajakan tahun pajak 1999. Menurut Tim Pemeriksa, penyusutan atas planting costs harus dilakukan mulai tahun pengeluaran atau dapat juga disusutkan mulai tahun pertama tanaman tersebut menghasilkan dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1985 serta SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.22/1987 dan No. SE-19/PJ.313/1991.

Menurut perusahaan, mekanisme penyusutan planting cost yang diterapkan mulai tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut mulai menghasilkan sudah sesuai, karena planting cost sifatnya belum menjadi harta/aktiva tetap yang dapat langsung dimanfaatkan sehingga tidak perlu mengajukan permohonan persetujuan dari Dirjen Pajak.

Planting costs tersebut terdiri dari biaya-biaya berikut :

· Planting Expenditures

· Land Cost meliputi ganti rugi tanam tumbuh

· Kapitalisasi biaya bunga pinjaman

· Biaya-biaya sehubungan dengan pinjaman bank

· Kapitalisasi atas keuntungan (kerugian) akibat selisih kurs dalam pembukuan.

Planting cost dicatat dalam perkiraan Immature Plantation selama tanaman belum menghasilkan. Pada waktu tanaman sudah mulai menghasilkan, planting costs dipindahkan dari perkiraan Immature Plantation ke perkiraan Mature Plantation dan mulai disusutkan.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perusahaan meminta konfirmasi dari Dirjen Pajak atau penegasan mengenai :

· Penyusutan terhadap planting costs apakah dimulai pada tahun pengeluaran atau pada tahun pertama kelapa sawit tersebut menghasilkan ?

· Apabila disusutkan pada tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut menghasilkan, apakah diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak ?

· Apabila diperlukan persetujuan dari Dirjen Pajak, apakah perusahaan dapat mengajukan permohonan persetujuan secara retroaktif (berlaku surut) untuk tahun-tahun pajak 1995 sampai dengan 1999 ?

Melalui Surat No. S-558/PJ.42/2001 tanggal 24 September 2001, Dirjen Pajak memberikan jawaban dan penegasan sebagai berikut :

Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan No. 10 tahun 1994 (saat itu), penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut. Selanjutnya, pasal 11 ayat (4) mengatur bahwa dengan persetujuan Dirjen Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

Berdasarkan SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.22/1987 tanggal 20 November 1987 yang ditegaskan kemudian dengan SE-19/PJ.313/1991 tanggal 24 Desember 1994, penyusutan pada dasarnya dimulai pada tahun pengeluarannya. Namun, penyusutan dapat dilakukan pada tahun harta tersebut mulai menghasilkan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Dirjen Pajak.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa :

1. Penyusutan terhadap planting cost menurut peraturan perpajakan, sebagaimana halnya penyusutan terhadap harta/aktiva tetap lainnya yang tidak sedang dalam proses pengerjaan, dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran. Dalam hal penyusutan hendak dilakukan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, maka Wajib Pajak wajib mengajukan permohonan dan mendapat persetujuan Dirjen Pajak;

2. Dalam hal dapat dibuktikan bahwa Wajib Pajak sama sekali belum membebankan penyusutan terhadap planting cost sampai dengan saat tanaman keras tersebut menghasilkan, maka atas permohonan Wajib Pajak, persetujuan Dirjen Pajak tersebut dapat berlaku retroaktif (berlaku surut).

Dengan contoh kasus di atas, mudah-mudahan bisa membantu kita untuk lebih memahami perbedaan syarat penyusutan aktiva tetap menurut akuntansi dengan perpajakan (Hrd).