Sunday, August 31, 2008

Bunga pembiayaan leasing atas perolehan aset tetap, boleh nggak di kapitalisasi ?

Sebelumnya saya sudah pernah memposting tulisan mengenai Biaya Pinjaman (Borrowing Cost) (baca lebih lanjut di sini : Masalah Kapitalisasi Biaya Pinjaman (Borrowing Cost)) yang diatur berdasarkan PSAK No. 26 mengenai Biaya Pinjaman. Selanjutnya, pada tanggal 26 Pebruari 2008, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah menyetujui beberapa Exposure Draft (ED) PSAK yang salah satunya adalah PSAK No. 26.

PSAK No. 26 revisi 2008 ini berdasarkan ED-nya, telah mengadopsi keseluruhan IAS 23 (revised March 2007) Borrowing Cost, kecuali untuk beberapa paragraf (lihat tulisan saya sebelumnya di sini : ED PSAK 26 (revisi 2008) vs PSAK 26 (1997) serta ED PSAK No. 26 (revisi 2008) yang dapat didownload di sini : ED PSAK 26 (revisi 2008)).

Kali ini saya ingin membahas lagi mengenai masalah biaya pinjaman (borrowing cost) berhubung beberapa waktu yang lalu, salah satu klien menanyakan “kalau biaya pinjaman yang timbul dari pembelian aktiva tetap melalui pembiayaan sewa guna usaha (leasing) apakah boleh dikapitalisasi ke nilai perolehan aktiva tetap bersangkutan ? Kalau tidak bisa, kenapa ? Sedangkan untuk biaya pinjaman seperti bunga pinjaman yang timbul dari fasilitas pinjaman bank dalam bentuk Kredit Investasi untuk pembiayaan pembangunan pabrik kelapa sawit misalnya boleh dikapitalisasi ke nilai perolehan pabrik kelapa sawit tersebut. Bukankah sama-sama timbul dari fasilitas pinjaman ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat mengacu ke beberapa paragraf dalam PSAK 26 yang menurut saya cukup jelas mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas kapitalisasi biaya pinjaman.

Paragraf 10 menjelaskan bahwa biaya pinjaman yang secara langsung dapat diatribusikan dengan perolehan, konstruksi atau produksi suatu Aset Tertentu harus dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya perolehan Aset Tertentu tersebut.

Sedangkan definisi Aset Tertentu diatur antara lain dalam paragraf 5 yang menjelaskan bahwa aset tertentu yang memenuhi syarat (qualifying assets) selanjutnya disebut Aset Tertentu adalah suatu aset yang membutuhkan waktu yang cukup lama agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya.

Kemudian, paragraf 7 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Aset Tertentu antara lain adalah persediaan barang tertentu, pabrik, dan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan aset yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap untuk digunakan atau dijual bukan merupakan Aset Tertentu.

Selanjutnya dalam paragraf 8 diatur bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang tertentu adalah persediaan yang untuk memproduksi sampai siap untuk dijual membutuhkan waktu yang cukup lama sesuai dengan bidang usahanya. Yang dimaksud dengan waktu yang cukup lama adalah 12 bulan atau lebih. Persediaan yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap dijual bukan merupakan Aset Tertentu.

Dari penjelasan beberapa paragraf PSAK 26 di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya pinjaman yang boleh dikapitalisasi adalah biaya pinjaman yang timbul dari perolehan, konstruksi atau produksi suatu Aset Tertentu (aset yang membutuhkan waktu yang cukup lama (12 bulan atau lebih) agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya). Aset yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap untuk digunakan atau dijual bukan merupakan Aset Tertentu sehingga atas biaya pinjaman yang timbul dari aset tersebut tidak boleh dikapitalisasi.

Jadi, untuk aset tetap yang diperoleh melalui fasilitas leasing bukan berarti bunga pinjaman yang timbul tidak boleh dikapitalisasi. Sepanjang aset bersangkutan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam PSAK 26 yaitu Aset Tertentu yang membutuhkan waktu yang cukup lama (12 bulan atau lebih) agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya (bukan merupakan aset yang pada saat perolehannya sudah siap untuk dipergunakan atau dijual), maka kapitalisasi biaya pinjaman yang timbul tetap harus dilakukan (Hrd) ***

Tuesday, August 26, 2008

Koreksi atau Penyajian Kembali Laporan Keuangan, bagaimana pengaturannya menurut PSAK ? (bagian 2)

Perubahan Kebijakan Akuntansi (Changes in Accounting Policies)

Paragraf 38 PSAK No. 25 menyatakan bahwa suatu perubahan kebijakan akuntansi harus dilakukan hanya jika penerapan suatu kebijakan akuntansi yang berbeda diwajibkan oleh peraturan perundangan atau standar akuntansi keuangan yang berlaku, atau jika diperkirakan bahwa perubahan tersebut akan menghasilkan penyajian kejadian atau transaksi yang lebih sesuai dalam laporan keuangan suatu perusahaan.

Suatu perubahan kebijakan akuntansi dapat diterapkan secara retrospektif ataupun secara prospektif, sesuai dengan yang diatur dalam Pernyataan ini.

Paragraf 42 PSAK No. 25 mengatur bahwa suatu perubahan kebijakan akuntansi yang dilakukan sehubungan dengan penerapan suatu standar akuntansi keuangan yang diberlakukan harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan transisi yang ditentukan dalam PSAK tersebut.

Jika tidak ada ketentuan transisi dan untuk semua perubahan kebijakan akuntansi yang lain, perubahan kebijakan akuntansi tersebut harus diterapkan sesuai dengan perlakuan akuntansi dalam paragraf 45, 48 dan 49 dari Pernyataan ini.

Paragraf 45 mengatur bahwa suatu perubahan kebijakan akuntansi harus diterapkan secara retrospektif dengan melaporkan jumlah setiap penyesuaian yang terjadi yang berhubungan dengan periode sebelumnya sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode (retained earnings), kecuali jika jumlah tersebut tidak dapat ditentukan secara wajar.

Informasi komparatif harus dinyatakan kembali, kecuali jika untuk melaksanakannya dianggap tidak praktis.

Paragraf 48 menyatakan perubahan kebijakan akuntansi harus diterapkan secara prospektif jika jumlah penyesuaian terhadap saldo laba awal periode (retained earnings) yang dijelaskan dalam paragraph 45 tidak dapat ditentukan secara wajar.

Sedangkan paragraf 49 mengatur bahwa jika suatu perubahan kebijakan akuntansi mempunyai pengaruh material terhadap periode sekarang atau sebelumnya, atau mungkin juga mempunyai pengaruh material terhadap periode berikutnya, perusahaan harus mengungkapkan hal-hal berikut : (a) alasan dilakukannya perubahan; (b) jumlah penyesuaian untuk periode berjalan dan periode sebelumnya; (c) jumlah penyesuaian yang berhubungan dengan masa sebelum periode yang tercakup dalam informasi komparatif; dan (d) kenyataan bahwa informasi komparatif telah dinyatakan kembali atau kenyataan bahwa untuk menyatakan kembali informasi komparatif dianggap tidak praktis.

Apabila sulit untuk memisahkan antara perubahan kebijakan akuntansi dan perubahan estimasi akuntansi, perubahan tersebut diperlakukan sebagai suatu perubahan estimasi akuntansi, dengan pengungkapan yang layak.

IAS 8 mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas perubahan kebijakan akuntansi sebagai berikut :

A change in an accounting policy means that a reporting entity has exchanged one accounting principle for another.

According to IAS 8, the term accounting policy includes the accounting principles, bases, conventions, rules and practices used. For example, a change in inventory costing from weighted-average to first-in, first-out would be a change in accounting policy, as would a change in accounting for borrowing costs from capitalization to immediate expensing.

A change in an accounting policy other than one made pursuant to the promulgation of a new standard or interpretation must, under revised IAS 8, be accounted for retrospectively.

With retrospective application, the results of operations for all prior periods presented must be restated, as if the newly adopted policy had always been used. If periods before the earliest period being presented were also affected, then the opening balance of retained earnings for the earliest period being presented must be restated to reflect the net impact on all earlier periods.

Pengaturan lebih lanjut menurut IAS 8, silahkan baca di sini : IAS 8 Accounting Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors; juga di sini : How IFRS deals with changes in accounting policies

Koreksi atau Penyajian Kembali Laporan Keuangan, bagaimana pengaturannya menurut PSAK ? (bagian 1)

Dalam penyajian laporan keuangan sebuah perusahaan, tidak jarang ditemukan hal-hal yang menyebabkan laporan keuangan harus direvisi ataupun disajikan kembali, baik itu disebabkan karena adanya kekeliruan perhitungan matematis, kekeliruan penerapan kebijakan akuntansi, kecurangan, kelalaian, adanya penerapan kebijakan akuntansi yang baru ataupun karena adanya perubahan estimasi akuntansi.

Lantas, sekiranya koreksi atau perubahan laporan keuangan harus dilakukan misalnya disebabkan karena adanya kekeliruan perhitungan matematis, bagaimana penerapannya ? Apakah hanya laporan keuangan periode berjalan yang dikoreksi atau termasuk laporan keuangan periode sebelumnya ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengacu pada PSAK No. 25 Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.

PSAK No. 25 mengelompokkan faktor utama yang mempengaruhi revisi atau penyajian kembali laporan keuangan ke dalam 3 kelompok, yaitu (1) Perubahan Estimasi Akuntansi (changes in accounting estimates), (2) Kesalahan Mendasar (fundamental errors), dan (3) Perubahan Kebijakan Akuntansi (changes in accounting policies).

Perubahan Estimasi Akuntansi (Accounting Estimates)

Penyajian laporan keuangan sering memerlukan adanya estimasi, seperti misalnya estimasi atas penyisihan piutang tak tertagih, keusangan persediaan, estimasi masa manfaat dari aset tetap yang dapat disusutkan, estimasi cadangan imbalan pasca kerja dan lain sebagainya.

Paragraf 26 PSAK No. 25 mengatur bahwa suatu perubahan dalam estimasi akuntansi dapat hanya mempengaruhi periode berjalan ataupun mempengaruhi periode berjalan maupun periode-periode yang akan datang.

Sebagai contoh, perubahan dalam estimasi masa manfaat aset yang dapat disusutkan akan mempengaruhi beban penyusutan pada periode berjalan dan pada setiap periode selama masa manfaat yang tersisa dari aset tersebut.

Dengan kata lain, perubahan estimasi akuntansi berdasarkan PSAK No. 25 harus diterapkan secara prospektif, artinya bahwa perubahan yang terjadi diterapkan pada kejadian atau transaksi yang terjadi setelah tanggal perubahan. Tidak ada penyesuaian yang berhubungan dengan periode sebelumnya yang dilakukan baik pada saldo laba awal periode (retained earnings) atau dalam pelaporan laba atau rugi bersih untuk periode sekarang, karena saldo yang ada tidak dihitung kembali.

International Accounting Standard (IAS) No. 8 Accounting Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors requires that changes in estimates be handled currently and prospectively. It states that, “The effect of the change in accounting estimate should be accounted for in (a) the period of change if the change affects that period only or (b) the period of change and future periods if the change affects both.”

Kesalahan Mendasar (Fundamental Errors)

Paragraf 30 – 36 PSAK No. 25 mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas kesalahan mendasar.

Kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan pada satu atau lebih periode sebelumnya mungkin baru ditemukan pada periode berjalan. Kesalahan mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta, kecurangan atau kelalaian. Koreksi atas kesalahan tersebut biasanya dimasukkan dalam perhitungan laba atau rugi bersih untuk periode berjalan.

Dalam mengoreksi suatu kesalahan yang mendasar, jumlah koreksi yang berhubungan dengan periode sebelumnya harus dilaporkan dengan menyesuaikan saldo laba awal periode. Informasi komparatif harus dinyatakan kembali, kecuali jika untuk melaksanakannya dianggap tidak praktis.

Dengan kata lain, suatu koreksi atas kesalahan mendasar dalam pelaporan keuangan harus diterapkan secara retrospektif, artinya bahwa laporan keuangan yang menyajikan informasi komparatif untuk periode sebelumnya, disajikan seolah-olah kesalahan mendasar telah dikoreksi dalam periode di mana kesalahan tersebut dibuat.

Jumlah koreksi yang berhubungan dengan setiap periode dimasukkan dalam perhitungan laba atau rugi bersih periode yang bersangkutan. Sedangkan jumlah koreksi yang berhubungan dengan periode-periode sebelum periode yang tercakup dalam informasi komparatif, disesuaikan pada saldo laba awal periode dalam periode yang paling awal.

Revised IAS 8 stipulates that the amount of the correction of an error is to be accounted for retrospectively. Subject to practicability, an error is to be corrected by either : (1) restating the comparative amounts for the prior period(s) in which the error occurred, or (2) when the error occurred before the earliest prior period presented, restating the opening balance of retained earnings for that period so that the financial statements are presented as of the error had never occurred.

Monday, August 18, 2008

Apa saja yang harus diperhatikan auditor sebelum menerima suatu perikatan audit ?

Tulisan berikut ini memaparkan hal-hal yang harus menjadi perhatian auditor sebelum menerima suatu perikatan audit agar tidak timbul kesalahan interpretasi akan pekerjaan audit baik dari pihak auditor, klien maupun pihak lain yang berkepentingan, seperti yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 310 (PSA No. 05) mengenai Penunjukan Auditor Independen.

Penunjukan auditor independen secara dini akan memberikan banyak manfaat bagi auditor maupun klien, diantaranya adalah lebih banyak waktu bagi auditor untuk merencanakan pekerjaannya sedemikian rupa sehingga pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan cepat dan efisien serta dapat menentukan seberapa jauh pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan sebelum tanggal neraca.

Walaupun penunjukan dini lebih baik, auditor independen dapat menerima perikatan pada saat mendekati atau setelah tanggal neraca. Dalam hal ini, sebelum menerima perikatan, auditor harus yakin apakah kondisi seperti itu memungkinkan ia melaksanakan audit secara memadai dan memberikan pendapatan wajar tanpa pengecualian.

Jika kondisi tersebut tidak memungkinkan auditor untuk melakukan audit secara memadai dan untuk memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian, ia harus membahas dengan klien tentang kemungkinan ia memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau tidak memberikan pendapat.

Dalam paragraf 05 diatur bahwa auditor harus membangun pemahaman dengan klien tentang jasa yang akan dilaksanakan untuk setiap perikatan. Pemahaman tersebut mengurangi risiko terjadinya salah interpretasi kebutuhan atau harapan pihak lain, baik di pihak auditor maupun klien.

Adapun pemahaman yang harus dibangun auditor harus mencakup tujuan perikatan, tanggung jawab manajemen, tanggung jawab auditor dan batasan perikatan.

Auditor harus mendokumentasikan pemahaman tersebut dalam kertas kerjanya, lebih baik dalam bentuk komunikasi tertulis dengan klien.

Jika auditor yakin bahwa pemahaman dengan klien belum terbentuk, ia harus menolak untuk menerima atau menolak untuk melaksanakan perikatan.

Paragraf 06 mengatur mengenai hal-hal yang secara umum harus tercakup dalam proses pemahaman dengan klien tentang audit atas laporan keuangan :

1. Tujuan audit adalah untuk menyatakan suatu pendapat atas laporan keuangan

2. Manajemen bertanggung jawab untuk membangun dan mempertahankan pengendalian intern yang efektif terhadap pelaporan keuangan

3. Manajemen bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan menjamin bahwa entitas mematuhi peraturan perundangan yang berlaku terhadap aktivitasnya

4. Manajemen bertanggung jawab untuk membuat semua catatan keuangan dan informasi yang berkaitan tersedia bagi auditor

5. Pada akhir perikatan, manajemen akan menyediakan suatu surat bagi auditor (surat representasi kien) yang menegaskan representasi tertentu yang dibuat selama audit berlangsung.

6. Auditor bertanggung jawab untuk melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia (sekarang Institut Akuntan Publik Indonesia).

7. Suatu audit mencakup pemerolehan pemahaman atas pengendalian intern yang cukup untuk merencanakan audit dan untuk menentukan sifat, saat, dan luasnya prosedur audit yang harus dilaksanakan.

Dalam praktek, hal-hal tersebut biasanya tercakup dalam surat perikatan (engagement letter) yang diberikan oleh auditor kepada klien.

Selain hal-hal tersebut diatas, pemahaman pekerjaan audit dengan klien juga mencakup hal-hal lain seperti berikut ini :

1. Pengaturan mengenai pelaksanaan perikatan (contohnya waktu, bantuan klien berkaitan dengan pembuatan jadwal pelaksanaan pekerjaan audit, dan penyediaan dokumen)

2. Pengaturan tentang keikutsertaan spesialis atau auditor intern, jika diperlukan

3. Pengaturan tentang keikutsertaan auditor pendahulu

4. Pengaturan tentang fee dan penagihan

5. Adanya pembatasan atau pengaturan lain tentang kewajiban auditor atau klien, seperti ganti rugi kepada auditor untuk kewajiban yang timbul dari representasi salah yang dilakukan dengan sepengetahuan manajemen kepada auditor

6. Kondisi yang memungkinkan pihak lain diperbolehkan untuk melakukan akses ke kertas kerja auditor

7. Jasa tambahan yang disediakan oleh auditor berkaitan dengan pemenuhan persyaratan badan pengatur

8. Pengaturan tentang jasa lain yang harus disediakan oleh auditor dalam hubungannya dengan perikatan.

(Sumber tulisan : SPAP SA Seksi 310 (PSA No. 05) tentang Penunjukan Auditor Independen)

Wednesday, August 13, 2008

Akhirnya, PPh Jasa Konstruksi kembali bersifat FINAL

Sebelumnya saya sudah pernah memposting tulisan berkaitan dengan rencana pemerintah untuk kembali memberlakukan PPh Final atas Jasa Konstruksi, dimana terakhir berdasarkan PP No. 140/2000, pemerintah menerapkan tarif umum (dikenakan PPh Pasal 23 ataupun PPh Pasal 25) untuk penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawasan dan perencanaan serta konsultan, kecuali yang omsetnya Rp 1 miliar ke bawah. (baca di sini :  PPh Jasa Konstruksi akan kembali bersifat FINAL).

Sekitar akhir tahun 2007 kemarin, Dirjen Pajak telah mengambil ancang-ancang untuk memberlakukan tarif Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi dan rencananya akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008.

Rencana ini kemudian menimbulkan reaksi pro dan kontra dari kalangan pengusaha jasa konstruksi.

Akhirnya, pada tanggal 20 Juli 2008 dengan menerbitkan PP No. 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, pemerintah benar-benar merealisasikan rencana pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi tersebut.

Dalam bagian penjelasan dipaparkan bahwa keputusan pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi ini ditujukan agar kondisi usaha Jasa Konstruksi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi. Dimana untuk itu, perlu diberikan perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi yaitu dengan dikenakan pajak yang bersifat final.

Perlakuan tersendiri tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan PPh sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi Wajib pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Pasal 2 PP No. 51 tahun 2008 mengatur bahwa atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final.

Pasal 3 mengatur mengenai tarif PPh yang dikenakan masing-masing :

· 2 % untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil, 4 % bagi Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha kecil serta 3 % bagi Penyedia Jasa lainnya;

· 4 % untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha serta 6 % bagi Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Pasal 5 mengatur bahwa PPh Final tersebut dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak atau disetor sendiri oleh Penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan pemotong pajak.

PP No. 51 tahun 2008 ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur bahwa untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh dilakukan berdasarkan PP No. 140 tahun 2000 dan untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh dilakukan berdasarkan PP No. 51 tahun 2008 ini.

Selain itu, dalam Pasal 10 ayat (2) juga diatur bahwa kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan tahun pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan tahun pajak 2008.

Berikut saya lampirkan softcopy PP No. 51 tahun 2008 serta PP No. 140 tahun 2000. Silahkan klik di sini untuk download : PP No. 51 tahun 2008 serta  PP No. 140 tahun 2000

Tuesday, August 12, 2008

Membukukan penyertaan saham, antara PSAK 4 dan PSAK 15

Berikut ini sedikit pedoman bagi yang masih bingung memilih metode pencatatan akuntansi yang harus diterapkan atas transaksi penyertaan saham perusahaan.

Misalnya PT A memiliki penyertaan dalam bentuk saham di PT B sebesar 45 %. Apakah PT A harus membukukan penyertaan saham tersebut dengan menggunakan metode biaya (cost method) atau metode ekuitas (equity method) ataukah metode konsolidasi ?

Pertama, kita harus melihat terlebih dahulu PT B itu sebagai perusahaan asosiasi (associates) atau anak perusahaan (subsidiary).

Jika merupakan perusahaan asosiasi, maka kita harus menerapkan PSAK No. 15, Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi.

Berdasarkan paragraf 4 PSAK No. 15 diatur bahwa “Jika investor memiliki, baik langsung maupun tidak langsung melalui anak perusahaan, 20 % atau lebih dari hak suara pada perusahaan investee, maka dipandang mempunyai pengaruh signifikan. Sebaliknya, jika investor memiliki, baik langsung maupun tidak langsung melalui anak perusahaan, kurang dari 20 % hak suara, maka dianggap tidak memiliki pengaruh signifikan. Kepemilikan substansial atau mayoritas oleh investor lain tidak perlu menghalangi investor memiliki pengaruh signifikan. Apabila investor mempunyai pengaruh yang signifikan, maka investasi pada investee dicatat dengan menggunakan metode ekuitas. Sebaliknya, apabila investor tidak mempunyai pengaruh yang signifikan, maka investasi dicatat dengan menggunakan metode biaya.”

Jadi, jika penyertaan saham perusahaan pada perusahaan asosiasi kurang dari 20 %, maka penyertaan saham perusahaan dibukukan dengan metode biaya, sedangkan jika perusahaan memiliki penyertaan saham 20 % atau lebih (tetapi tidak lebih dari 50 %), maka perusahaan menggunakan metode ekuitas dalam mencatat penyertaan sahamnya.

Namun, kriteria ini hanya berlaku untuk investee yang merupakan perusahaan asosiasi. Jika investee adalah anak perusahaan (subsidiary) maka untuk membukukan penyertaan saham kita harus mengacu ke PSAK No. 4, Laporan Keuangan Konsolidasi.

Paragraf 5 PSAK No. 4 menjelaskan bahwa apabila induk perusahaan memiliki, baik langsung ataupun tidak langsung (melalui anak perusahaan), lebih dari 50 % hak suara pada suatu perusahaan, maka perusahaan harus menyusun laporan keuangan konsolidasi.

Walaupun suatu perusahaan, misalnya PT A memiliki hak suara 50 % atau kurang pada perusahaan lain, misalnya PT B, dalam penyusunan laporan konsolidasi, laporan keuangan PT B tetap harus diikut sertakan jika dapat dibuktikan adanya pengendalian

Pengendalian dianggap ada apabila dapat dibuktikan adanya salah satu kondisi berikut :

(a) mempunyai hak suara lebih dari 50 % berdasarkan perjanjian dengan investor lain;

(b) mempunyai hak untuk mengatur dan menentukan kebijakan finansial dan operasional perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian;

(c) mampu menunjuk atau memberhentikan mayoritas pengurus perusahaan;

(d) mampu menguasai suara mayoritas dalam rapat pengurus.

Jika, pemilikan saham lebih dari 50 % dengan sendirinya perusahaan dianggap memiliki pengendalian.

Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana membedakan suatu perusahaan sebagai perusahaan asosiasi dimana pencatatan penyertaan saham mengacu ke PSAK 15 atau anak perusahaan yang harus mengacu ke PSAK 4 ?

PSAK No. 15 mendefinisikan perusahaan asosiasi sebagai suatu perusahaan yang investornya mempunyai pengaruh yang signifikan (memiliki wewenang untuk berpartisipasi dalam keputusan yang menyangkut kebijakan keuangan serta operasi investee, tetapi bukan merupakan pengendalian terhadap kebijakan tersebut) dan bukan merupakan anak perusahaan maupun joint venture dari investornya.

Sedangkan anak perusahaan (subsidiary) didefinisikan sebagai perusahaan yang dikendalikan oleh perusahaan lain (yang disebut induk perusahaan).

PSAK No. 4 mendefinisikan pengendalian sebagai kemampuan untuk mengatur kebijakan finansial dan operasional dari suatu perusahaan untuk mendapatkan manfaat dari kegiatan perusahaan tersebut.

Jadi, kesimpulannya, jika PT A memiliki penyertaan saham di PT B sebesar 45 % dan PT B merupakan perusahaan asosiasi maka PT A membukukan penyertaan saham di PT B dengan menggunakan metode ekuitas (PSAK No. 15), sedangkan jika PT B merupakan anak perusahaan dimana PT A memiliki pengendalian atas PT B maka harus disusun laporan keuangan konsolidasi.

Apabila PT A memiliki penyertaan saham di PT B lebih dari 50 % dengan sendirinya PT B merupakan anak perusahaan dari PT A (karena jika penyertaan saham lebih dari 50 % dianggap suatu perusahaan memiliki pengendalian atas perusahaan lain) sehingga laporan keuangan konsolidasi harus disusun (Hrd).

INGAT! Batas waktu penyesuaian anggaran dasar perseroan dengan UU PT Baru sudah hampir habis

Sekedar mengingatkan kembali (mungkin sudah agak telat ya), bahwa dengan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sejak tanggal 16 Agustus 2007 yang menggantikan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, maka perusahaan yang berbadan hukum di Indonesia diharuskan untuk melakukan penyesuaian dengan UU No. 40 Tahun 2007 tersebut paling lambat pada tanggal 16 Agustus 2008 seperti yang diatur dalam Pasal 157 ayat 3 UU No. 40 Tahun 2007 (klik di sini untuk download : UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)                                     

Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan ini (Pasal 157 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007).

Selanjutnya dalam Pasal 157 ayat (4) diatur lebih lanjut bahwa “Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan negeri atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.”

Demikian sekilas info dari saya. Salam (Hrd)***

Sunday, August 3, 2008

Peristiwa Setelah Tanggal Neraca, efeknya terhadap penyajian laporan keuangan

Laporan auditor independen umumnya diterbitkan dalam hubungannya dengan laporan keuangan historis yang dimaksudkan untuk menyajikan posisi keuangan pada tanggal tertentu dan hasil usaha, perubahan ekuitas, serta arus kas untuk periode yang berakhir pada tanggal tersebut.

Namun, ada peristiwa atau transaksi yang kadang-kadang terjadi sesudah tanggal tersebut tetapi sebelum diterbitkannya laporan keuangan dan laporan audit, yang mempunyai akibat material terhadap laporan keuangan, sehingga memerlukan penyesuaian atau pengungkapan dalam laporan-laporan tersebut.

Misalnya, auditor mengaudit laporan keuangan per 31 Desember 2007 dan menerbitkan laporan auditor independen (opini auditor) pada tanggal 22 Maret 2008. Selama pelaksanaan audit, auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya peristiwa atau transaksi yang terjadi setelah tanggal 31 Desember 2007 sampai tanggal 22 Maret 2008 yang memerlukan penyesuaian atau pengungkapan dalam laporan keuangan auditan per 31 Desember 2007 tersebut.

Peristiwa atau transaksi tersebut di atas merupakan “Peristiwa Kemudian atau Peristiwa Setelah Tanggal Neraca (Subsequent Events)” yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 560 (PSA No. 46) tentang Peristiwa Kemudian serta Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 8 (Revisi 2003) tentang Peristiwa Setelah Tanggal Neraca.

Ada dua jenis peristiwa setelah tanggal neraca seperti yang diatur dalam PSAK dan SPAP, yaitu :

(1) peristiwa setelah tanggal neraca yang memerlukan penyesuaian

Contoh peristiwa setelah tanggal neraca yang memerlukan penyesuaian atas laporan keuangan adalah :

  1. Kerugian akibat piutang tak tertagih yang disebabkan oleh adanya pelanggan yang mengalami kesulitan keuangan dan menuju kebangkrutan setelah tanggal neraca
  2. Keputusan pengadilan setelah tanggal neraca atau penyelesaian tuntutan hukum yang jumlahnya berbeda dengan jumlah hutang yang sudah dicatat jika peristiwa yang menyebabkan timbulnya tuntutan tersebut telah terjadi atau ada sebelum tanggal neraca
  3. Penemuan kecurangan atau kesalahan yang menunjukkan bahwa laporan keuangan tidak benar

(2) peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian

Untuk peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian atas penyajian laporan keuangan, auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya peristiwa tertentu yang mungkin memerlukan pengungkapan agar laporan keuangan tidak menyesatkan pembacanya.

Apabila peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian adalah penting, dalam arti jika tidak diungkapkan akan mempengaruhi pengambilan keputusan pengguna laporan keuangan, maka perusahaan harus mengungkapkan informasi berikut untuk setiap peristiwa tersebut :

  1. Jenis peristiwa yang terjadi;
  2. Estimasi atas dampak keuangan, atau pernyataan bahwa estimasi semacam itu tidak dapat dibuat.

Contoh peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian tetapi diperlukan adanya pengungkapan dalam laporan keuangan adalah :

  1. Penjualan obligasi atau penerbitan saham baru
  2. Terjadinya tuntutan hukum yang signifikan yang semata-mata disebabkan oleh peristiwa yang terjadi sesudah tanggal neraca
  3. Pembelian dan pelepasan aset dalam jumlah yang signifikan, atau pengambilalihan aset oleh pemerintah
  4. Perubahan abnormal atas harga aset atau nilai tukar mata uang asing setelah tanggal neraca
  5. Perubahan tarif pajak atau peraturan perpajakan yang diberlakukan atau diumumkan setelah tanggal neraca dan memiliki pengaruh yang signifikan pada aset dan kewajiban pajak kini dan tangguhan
  6. Kerugian aktiva tetap atau persediaan yang diakibatkan oleh kebakaran

Pengidentifikasian peristiwa-peristiwa yang memerlukan penyesuaian laporan keuangan atau tidak ataupun yang memerlukan pengungkapan dalam laporan keuangan auditan membutuhkan penerapan kebijakan dan pengetahuan tentang fakta-fakta dan kondisi yang ada.

Misalnya, kerugian sebagai akibat piutang tidak tertagih yang disebabkan oleh adanya pelanggan yang mengalami kesulitan keuangan dan menuju kebangkrutan sesudah tanggal neraca merupakan indikasi keadaan yang ada pada tanggal neraca, sehingga membutuhkan penyesuaian terhadap laporan keuangan sebelum diterbitkan. Namun, apabila kerugian yang sama terjadi sebagai akibat adanya pelanggan yang mengalami kebangkrutan karena kebakaran atau banjir sesudah tanggal neraca, bukan merupakan indikasi kondisi yang ada pada tanggal neraca, sehingga tidak diperlukan adanya penyesuaian atas laporan keuangan (Hrd).

Hubungan Standar Auditing dengan Standar Pengendalian Mutu KAP

Beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah memposting tulisan berkaitan dengan Standar Pengendalian Mutu KAP (lihat Mengenal Sistem Pengendalian Mutu KAP ).

Antara Standar Pengendalian Mutu KAP dan Standar Auditing yang harus dipatuhi auditor independen dan Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam pelaksanaan audit terdapat saling keterkaitan seperti yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 161 (PSA NO. 01) mengenai Hubungan Standar Auditing dengan Standar Pengendalian Mutu.

Dalam paragraf 1 SPAP SA Seksi 161 dijelaskan bahwa dalam penugasan audit, auditor independen bertanggung jawab untuk mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Seksi 202 Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik mengharuskan anggota Ikatan Akuntan Indonesia yang berpraktik sebagai auditor independen mematuhi standar auditing jika berkaitan dengan audit atas laporan keuangan.

Kantor akuntan publik juga harus mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia dalam pelaksanaan audit. Oleh karena itu, kantor akuntan publik harus membuat kebijakan dan prosedur pengendalian mutu untuk memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian penugasan audit dengan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia.

Sifat dan luasnya kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang ditetapkan oleh kantor akuntan publik tergantung pada faktor-faktor tertentu, seperti ukuran kantor akuntan publik, tingkat otonomi yang diberikan kepada karyawan dan kantor-kantor cabangnya, sifat praktik, organisasi kantornya, serta pertimbangan biaya manfaat (lihat Mengenal Sistem Pengendalian Mutu KAP).

Standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia berkaitan dengan pelaksanaan penugasan audit secara individual; standar pengendalian mutu berkaitan dengan pelaksanaan praktik audit kantor akuntan publik secara keseluruhan.

Oleh karena itu, standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia dan standar pengendalian mutu berhubungan satu sama lain, dan kebijakan serta prosedur pengendalian mutu yang diterapkan oleh kantor akuntan publik berpengaruh terhadap pelaksanaan penugasan audit secara individual dan pelaksanaan praktik audit kantor akuntan publik secara keseluruhan (Hrd).

Friday, August 1, 2008

Masa Transisi PSAK 16 (Revisi 2007), bagaimana penerapannya ?

Sebelumnya saya sudah pernah posting beberapa tulisan berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang mulai berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.

Buat yang belum mengetahui, PSAK No. 16 (Revisi 2007) ini menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan.

Dengan demikian, sejak tanggal 1 Januari 2008, PSAK No. 16 (1994) serta PSAK No. 17 (1994) tersebut tidak berlaku lagi dan digantikan dengan PSAK No. 16 (Revisi 2007).

Berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tersebut, kali ini saya ingin sedikit membahas mengenai ketentuan transisi yang diatur dalam paragraf 83 dan paragraf 84.

Dalam paragraf 83 PSAK No. 16 (Revisi 2007) diatur bahwa “Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat Pernyataan ini diterbitkan.”

Artinya jika sebelumnya (tahun 2007 dan sebelumnya) perusahaan pernah melakukan revaluasi aktiva tetap dan untuk tahun buku 2008, perusahaan memilih menggunakan model biaya dalam pencatatan aset tetapnya, maka nilai aset tetap yang dipergunakan sebagai biaya perolehan mulai tahun 2008 tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya.

Kemudian, dalam paragraf 84 diatur bahwa “Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali Pernyataan ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.”

Paragraf ini menjelaskan bahwa jika misalnya pada Neraca PT A per 31/12/2007 terdapat saldo Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap yang merupakan pencatatan selisih hasil penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dengan jumlah tercatat (nilai buku) aktiva tetap atas hasil revaluasi aktiva pada tahun 2007 ataupun tahun-tahun sebelumnya, maka saldo tersebut per 1 Januari 2008 harus direklas ke Saldo Laba.

Contoh penyajian dalam Neraca PT A per 30 Juni 2008 dan per 31 Desember 2007 sebagai berikut :

EKUITAS    30/6/08   31/12/07
Modal Saham       2.000       2.000
Selisih penilaian aset tetap             0       1.200
Saldo Laba      55.000      32.500

Sedangkan penyajian Laporan Perubahan Ekuitas per 30 Juni 2008 dan 31 Desember 2007 sebagai akibat dari reklasifikasi Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap sebesar Rp 1.200 sebagai berikut :

    Modal   SPAT    R/E   Jumlah
Saldo per 1/1/2008     2.000    1.200   32.500     35.700
Laba Bersih           0          0   21.300     21.300
Penyesuaian atas
  penerapan PSAK
  16 (revisi 2007)
          0   (1.200)     1.200             0
Saldo per 30/6/2008     2.000          0   55.000     57.000

Modal = Modal Saham; SPAT = Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap; R/E = Saldo Laba

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan masa transisi penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007). Semoga bermanfaat (Hrd)