Showing posts with label Aktiva Tetap. Show all posts
Showing posts with label Aktiva Tetap. Show all posts

Thursday, April 28, 2022

Apa Saja Elemen Biaya Perolehan Aset Tetap

PSAK 16 tentang Aset Tetap mengatur bahwa pada saat pengakuan awal, aset tetap yang memenuhi kwalifikasi pengakuan sebagai aset diukur pada BIAYA PEROLEHAN,

Definisi Aset Tetap menurut PSAK 16 adalah aset berwujud yang :
  1. dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
  2. diperkirakan untuk digunakan selama lebih dari satu periode
Sedangkan Biaya Perolehan didefinisikan sebagai jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar dari imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh suatu aset pada saat perolehan atau konstruksi atau, jika dapat diterapkan, jumlah yang diatribusikan pada aset ketika pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu dalam PSAK lain, contohnya PSAK 53 : Pembayaran Berbasis Saham

Paragraf 07 PSAK 16 mengatur bahwa biaya perolehan aset tetap diakui sebagai aset jika dan hanya jika :
  1. kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut; dan
  2. biaya perolehannya dapat diukur secara andal
Adapun elemen biaya perolehan aset tetap meliputi : 
  1. harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak dapat dikreditkan setelah dikurangi diskon dan potongan lain
  2. setiap biaya yang dapat diatribuskan secara langsung untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang diperlukan supaya aset siap digunakan sesuai dengan intensi manajemen
  3. estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset tetap, kewajiban tersebut timbul ketika aset tetap diperoleh atau sebagai konsekuensi penggunaan aset tetap selama periode tertentu untuk tujuan selain untuk memproduksi persediaan selama periode tersebut
Paragraf 17 PSAK 16 memberikan contoh biaya yang dapat diatribusikan secara langsung ke dalam biaya perolehan aset tetap yaitu :
  • (a) biaya imbalan kerja (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 24: Imbalan Kerja) yang timbul secara langsung dari konstruksi atau perolehan aset tetap;
  • (b) biaya penyiapan lahan untuk pabrik;
  • (c) biaya penanganan dan penyerahan awal;
  • (d) biaya instalasi dan perakitan;
  • (e) biaya pengujian apakah aset berfungsi dengan baik (yaitu menilai apakah kinerja teknis dan kinerja fisik aset sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif); dan
  • (f) fee profesional
Contoh biaya yang bukan merupakan biaya perolehan aset tetap adalah :
  • (a) biaya pembukaan fasilitas baru;
  • (b) biaya pengenalan produk atau jasa baru (termasuk biaya iklan dan aktivitas promosi);
  • (c) biaya penyelenggaraan bisnis di lokasi baru atau kelas pelanggan baru (termasuk biaya pelatihan staf); dan
  • (d) biaya administrasi dan biaya overhead umum lain
Pengakuan biaya dalam jumlah tercatat aset tetap dihentikan ketika aset tetap tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diperlukan supaya aset siap digunakan sesuai dengan intensi manajamen (HRD) ***

Friday, December 13, 2013

Perlakuan Biaya Pengurusan LEGAL Hak atas TANAH

Sebelumnya, pencatatan transaksi akuntansi yang berkaitan dengan perolehan aset tetap TANAH diatur dalam PSAK No.47 mengenai Akuntansi Tanah. Berdasarkan PSAK No.47 tersebut, selain pengaturan pencatatan akuntansi atas perolehan TANAH, juga diatur mengenai pencatatan akuntansi atas biaya-biaya yang dikeluarkan yang berkaitan dengan PENGURUSAN LEGAL HAK ATAS TANAH.

Adapun biaya-biaya yang termasuk ke dalam Pengurusan Legal Hak atas Tanah antara lain meliputi :

  1. biaya legal audit seperti pemeriksaan keaslian sertifikat tanah, rencana tata kota
  2. biaya pengukuran-pematokan-pemetaan ulang
  3. biaya notaris, biaya jual beli dan PPAT
  4. pajak terkait pada jual-beli tanah
  5. biaya resmi yang harus dibayar ke Kas Negara, untuk perolehan hak, perpanjangan atau pembaruan hak baik status maupun peruntukan.

Biaya-biaya tersebut di atas, baik yang dikeluarkan untuk perolehan hak atas tanah BARU MAUPUN PERPANJANGAN hak atas tanah, sesuai dengan ketentuan dalam PSAK No.47 harus dibukukan sebagai BEBAN TANGGUHAN. Penyajian Beban Tangguhan Hak atas Tanah tersebut di Laporan Posisi Keuangan (Neraca) harus dipisahkan dari Beban Tangguhan yang lain.

Semua Beban Tangguhan terkait dengan hak atas tanah diamortisasi sepanjang umur hukum hak atau umur ekonomis aset tanah, yang mana yang lebih pendek (PSAK No.47 Paragraf 26).

Kemudian, seiring dengan berlakunya PSAK No.16 (Revisi 2011) tentang Aset Tetap sejak 1 Januari 2012, maka PSAK No.47 tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Selanjutnya, pencatatan akuntansi berkaitan dengan biaya Pengurusan Legal Hak atas Tanah diatur melalui ISAK No.25 mengenai Hak atas Tanah yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2012.

Paragraf 10 ISAK No.25 mengatur bahwa biaya Pengurusan Legal Hak atas Tanah ketika tanah diperoleh PERTAMA KALI diakui sebagai bagian dari biaya perolehan aset tetap TANAH sesuai dengan PSAK No.16 mengenai Aset Tetap paragraf 16.

Sedangkan biaya pengurusan PERPANJANGAN atau PEMBARUAN Legal Hak atas Tanah diakui sebagai ASET TAKBERWUJUD dan diamortisasi sepanjang umur hukum hak atau umur ekonomi tanah, mana yang lebih pendek sesuai dengan PSAK 19 tentang Aset Takberwujud paragraf 94.

Jadi, sesuai dengan pengaturan di ISAK No.25, sejak 1 Januari 2012 biaya pengurusan legal hak atas tanah yang boleh diamortisasi terbatas hanya atas biaya pengurusan perpanjangan atau pembaruan legal hak atas tanah, sedangkan untuk biaya legal yang timbul ketika tanah diperoleh pertama kali harus dibukukan sebagai bagian dari biaya perolehan aset tetap Tanah dan tidak boleh diamortisasi atau disusutkan (HRD).

Friday, December 3, 2010

Jika Perusahaan Bermaksud Menjual Aset Tetap, Bagaimana Perlakuan Akuntansinya ?

Apabila sebuah perusahaan mempunyai rencana untuk menjual aset tetap, bagaimana perlakuan akuntansinya ? Apakah tetap dibukukan sebagai bagian dari Aset Tetap sesuai dengan pengaturan dalam PSAK 16 (Revisi 2007) dan disusutkan sampai dengan saat dijual ?

PSAK No. 58 (revisi 2009) tentang Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan yang telah disahkan oleh DSAK IAI pada tanggal 15 Desember 2009 dan mulai berlaku untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011 mengatur mengenai hal tersebut.

PSAK No. 58 (revisi 2009) ini merevisi dan menggantikan PSAK 58 (2003) tentang Operasi dalam Penghentian. Adapun tujuan PSAK ini adalah mengatur akuntansi untuk aset yang dimiliki untuk dijual serta penyajian dan pengungkapan operasi yang dihentikan.

Secara khusus, PSAK ini mensyaratkan :

  1. aset yang memenuhi kriteria sebagai dimiliki untuk dijual harus diukur pada nilai yang lebih rendah antara jumlah tercatat dan nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual. Penyusutan atas aset tetap tersebut harus dihentikan.
  2. aset yang memenuhi kriteria sebagai dimiliki untuk dijual disajikan secara terpisah dalam laporan posisi keuangan dan hasil dari operasi yang dihentikan disajikan secara terpisah dalam laporan laba rugi komprehensif.

Seperti yang dijelaskan dalam paragraf 8 PSAK 58 (revisi 2009), entitas mengklasifikasikan suatu aset tidak lancar (atau kelompok lepasan/disposal groups) sebagai dimiliki untuk dijual jika jumlah tercatatnya akan dipulihkan terutama melalui transaksi penjualan daripada melalui pemakaian berlanjut.

Selanjutnya, paragraf 9 mengatur bahwa dalam hal ini, aset (atau kelompok lepasan) harus berada dalam keadaan dapat dijual dengan syarat-syarat yang biasa dan umum diperlukan dalam penjualan aset (atau kelompok lepasan) tersebut dan penjualannya harus sangat mungkin terjadi (highly probable).

Agar penjualan aset tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ‘sangat mungkin terjadi’, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, seperti yang diatur dalam paragraf 10 :

  1. manajemen di tingkat yang sesuai harus berkomitmen terhadap rencana penjualan aset (atau kelompok lepasan) tersebut dan harus telah memulai suatu program aktif untuk mencari pembeli serta menyelesaikan rencana tersebut;
  2. aset (atau kelompok lepasan) tersebut harus dipasarkan secara aktif pada harga yang pantas sesuai dengan nilai wajar kininya (current fair value);
  3. penjualan tersebut harus memenuhi ketentuan pengakuan sebagai penjualan dalam waktu satu tahun dari tanggal klasifikasi, kecuali diijinkan di paragraf 12, serta tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan rencana tersebut mengindikasikan bahwa tidak mungkin terjadi perubahan signifikan atau pembatalan atas rencana tersebut.

Kemungkinan persetujuan pemegang saham (jika disyaratkan dalam jurisdiksi) dipertimbangkan sebagai bagian dari penilaian apakah penjualan tersebut dikategorikan sebagai ‘sangat mungkin terjadi.’

Paragraf 12 menjelaskan bahwa peristiwa atau keadaan mungkin dapat memperpanjang periode penyelesaian penjualan menjadi lebih dari satu tahun sehingga persyaratan butir (3) di atas menjadi tidak terpenuhi. Perpanjangan periode yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu penjualan tidak menghalangi pengklasifikasian aset (atau kelompok lepasan) sebagai dimiliki untuk dijual jika penundaan tersebut disebabkan oleh peristiwa atau keadaan di luar kendali entitas dan terdapat cukup bukti bahwa entitas tetap berkomitmen dengan rencana penjualan aset (atau kelompok lepasan).

Berkaitan dengan hubungan antara induk dan anak perusahaan, paragraf 11 mengatur bahwa entitas yang berkomitmen terhadap rencana penjualan yang mengakibatkan kehilangan pengendalian atas entitas anak harus mengklasifikasikan seluruh aset dan liabilitas entitas anak tersebut sebagai dimiliki untuk dijual ketika kriteria yang diatur di paragraf 8-10 terpenuhi, meskipun setelah penjualan tersebut entitas masih memiliki kepentingan nonpengendali entitas anak terdahulu.

Jika perusahaan telah mengklasifikasikan suatu aset (atau kelompok lepasan) sebagai dimiliki untuk dijual, tetapi kriteria di paragraf 9-12 tidak lagi terpenuhi, maka entitas harus menghentikan pengklasifikasian aset (atau kelompok lepasan) tersebut sebagai dimiliki untuk dijual (paragraf 31) (Hrd).

Wednesday, July 7, 2010

Mekanisme penyesuaian akumulasi penyusutan atas aset tetap yang direvaluasi

Berdasarkan PSAK No. 16 (Revisi 2007), perusahaan diperbolehkan untuk memilih menggunakan model biaya (cost model) atau model revaluasi (revaluation model) sebagai kebijakan akuntansinya dalam mencatat nilai aset tetap setelah pengakuan awal.

Ada beberapa ketentuan dalam PSAK 16 (Revisi 2007) yang harus diperhatikan jika sebuah entitas memilih untuk menggunakan model revaluasi, diantaranya adalah jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi (par. 36), pengaturan mengenai perlakuan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi seperti yang diatur dalam paragraf 39 dan 40. Selain itu, dalam paragraf 43 diatur juga bahwa jika entitas mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap, maka perubahan tersebut berlaku prospektif artinya penyesuaian laporan keuangan akibat revaluasi aset hanya dilakukan untuk laporan keuangan periode berjalan dan ke depannya.

Selain itu, PSAK 16 (Revisi 2007) juga mengatur mengenai mekanisme penyesuaian atas pencatatan akumulasi penyusutan aset tetap yang sebelum direvaluasi telah disusutkan oleh perusahaan.

Dalam par. 35 diatur bahwa apabila suatu aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi diperlakukan dengan salah satu cara berikut ini :

  1. disajikan kembali secara proporsional dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberi indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan; atau
  2. dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah eliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering digunakan untuk bangunan.

Untuk contoh penerapan kedua metode tersebut di atas dapat dibaca dari posting saya di sini

Thursday, April 1, 2010

Perubahan Metode Penyusutan Aset Tetap, bagaimana perlakuan akuntansinya ?

Jika sekiranya pada tahun-tahun lalu sebuah perusahaan menggunakan metode penyusutan saldo menurun (diminishing balance method), kemudian pada tahun berjalan manajemen perusahaan memutuskan untuk merubah metode penyusutan menjadi garis lurus (straight line method), apakah diperbolehkan ? Jika boleh, apa saja persyaratan yang harus dipenuhi ?

Menurut PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap pada paragraf 63 dijelaskan bahwa metode penyusutan yang digunakan harus mencerminkan ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset oleh entitas.

Kemudian dalam paragraf 64 diatur bahwa metode penyusutan yang digunakan untuk aset harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan, apabila terjadi perubahan yang signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dari aset tersebut, maka metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan pola tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai PSAK No. 25.

Selanjutnya dalam paragraf 65 dijelaskan antara lain bahwa metode penyusutan aset dipilih berdasarkan ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset dan diterapkan secara konsisten dari periode ke periode kecuali ada perubahan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pemilihan metode penyusutan aset tetap harus diterapkan secara konsisten dari tahun ke tahun. Penggantian metode penyusutan baru diperbolehkan jika sekiranya berdasarkan hasil review telah terjadi perubahan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut. Perubahan metode penyusutan yang terjadi harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi seperti yang diatur di dalam PSAK  No. 25.

Berdasarkan PSAK No. 25 paragraf 26 dijelaskan bahwa suatu perubahan dalam estimasi akuntansi dapat hanya mempengaruhi periode berjalan ataupun mempengaruhi baik periode berjalan maupun periode-periode yang akan datang (penerapan secara prospektif).

Jadi, perubahan suatu metode penyusutan dalam pencatatan akuntansi sebuah perusahaan akan berpengaruh terhadap laporan keuangan tahun berjalan dan tahun-tahun selanjutnya. Sedangkan untuk laporan keuangan tahun sebelumnya tidak perlu disajikan kembali (HRD) ***

Wednesday, February 10, 2010

Penggantian sparepart mesin, dikapitalisasi atau dibiayakan ?

Apakah biaya penggantian sparepart mesin boleh dikapitalisasi ke nilai tercatat mesin untuk kemudian dibebankan secara berkala melalui penyusutan atau harus langsung dibebankan sebagai biaya di laporan laba rugi ?

Par. 7 PSAK 16 (Revisi 2007) mengatur bahwa biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika :

(a) besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan aset tersebut akan mengalir ke entitas; dan

(b) biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.

Dalam Par. 12 dijelaskan bahwa sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, entitas tidak boleh mengakui biaya perawatan sehari-hari aset tetap sebagai bagian dari aset yang bersangkutan. Biaya-biaya ini diakui dalam laporan laba rugi saat terjadinya.

Kemudian, dalam Par. 13 selanjutnya dijelaskan antara lain bahwa sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, entitas mengakui biaya penggantian komponen suatu aset dalam jumlah tercatat aset saat biaya itu terjadi jika pengeluaran tersebut memenuhi kriteria untuk diakui sebagai bagian dari aset. Jumlah tercatat komponen yang diganti tersebut tidak lagi diakui apabila telah memenuhi ketentuan penghentian pengakuan (lihat paragraf 69-74).

Dari penjelasan beberapa paragraf PSAK 16 tersebut, dapat disimpulkan bahwa biaya penggantian sparepart tersebut harus dikapitalisasi ke nilai tercatat mesin jika besar kemungkinan memiliki manfaat ekonomis di masa depan serta biaya perolehan dari sparepart mesin tersebut dapat diketahui dengan jelas. Jika salah satu dari kedua kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka harus dibebankan langsung sebagai biaya di laporan laba rugi.

Selanjutnya, dalam Par. 72 PSAK 16 dijelaskan bahwa jika berdasarkan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, suatu entitas mengakui biaya perolehan dari penggantian sebagian aset tetap dalam jumlah tercatat aset tetap tersebut, maka selanjutnya entitas tersebut juga menghentikan pengakuan jumlah tercatat dari bagian yang digantikan tanpa memperhatikan apakah bagian yang digantikan telah disusutkan secara terpisah. Jika hal ini tidak praktis bagi entitas untuk menentukan jumlah tercatat dari bagian yang digantikan, entitas dapat menggunakan biaya perolehan dari penggantian tersebut sebagai indikasi biaya perolehan dari bagian yang digantikan pada saat diperoleh atau dikonstruksi.

Adapun pengertian dari paragraf ini adalah jika misalnya pada tanggal 10 Maret 2009 PT A mengganti sparepart mesin yang telah rusak dengan nilai perolehan sparepart mesin yang baru sebesar Rp 10 juta dan atas penggantian sparepart tersebut telah memenuhi persyaratan kapitalisasi sesuai Par. 7 PSAK 16. Untuk sparepart mesin yang rusak pada saat dibeli harga perolehannya merupakan satu kesatuan dengan aset mesin sehingga dengan demikian tidak dapat diketahui dengan jelas berapa nilai perolehan sparepart mesin tersebut. Masa manfaat mesin 10 tahun dan telah disusutkan selama 4 tahun dengan metode Garis Lurus.

Sebagaimana halnya pengaturan dalam Par. 72 di atas, pada saat pengganti sparepart yang baru, maka jumlah tercatat (nilai buku) sparepart mesin yang lama harus dikeluarkan dari pembukuan. Berhubung tidak dapat diketahui dengan pasti jumlah tercatat sparepart mesin yang lama, maka PT A dapat menggunakan harga perolehan sparepart mesin yang baru sebagai pengganti harga perolehan sparepart mesin yang lama.

Jadi, pada saat penggantian tersebut, PT A mencatat perolehan sparepart mesin yang baru serta penghapusan sparepart mesin yang lama sebagai berikut :

Aset tetap - mesin      10.000.000  
Rugi Penghapusan aset        6.000.000  
        Aset tetap - mesin         6.000.000 *
        K a s       10.000.000

*) Pengkreditan Aset Tetap – Mesin sebesar Rp 6 juta adalah merupakan jumlah tercatat sparepart mesin lama yang dihitung dengan menggunakan biaya perolehan sparepart mesin yang baru sebagai pengganti biaya perolehannya (Hrd)

Wednesday, December 3, 2008

Pokok-pokok perubahan PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tanggal 29 Mei 2007 menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan.

Pada dasarnya PSAK 16 (Revisi 2007) telah mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Beberapa perubahan mendasar dari PSAK 16 (2007) dibandingkan dengan PSAK 16 (1994) diantaranya adalah :

1. PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap.

2. Penggantian penggunaan istilah “Aktiva” menjadi Aset dalam seluruh PSAK

3. Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Biaya yang dapat diatribusikan secara langsung sebagai komponen biaya perolehan aset tetap termasuk (a) biaya imbalan kerja (seperti yang didefinisikan dalam PSAK No. 24 tentang Imbalan Kerja) yang timbul secara langsung dari pembangunan atau akuisisi aset tetap, serta (b) biaya pengujian aset apakah aset berfungsi dengan baik, setelah dikurangi hasil bersih penjualan produk yang dihasilkan sehubungan dengan pengujian tersebut (PSAK 16 (2007) Par. 17). Kedua point tersebut tidak termasuk dalam PSAK 16 sebelumnya (lihat PSAK 16 (1994) Par. 14)

4. Bukan Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Sebagian kegiatan terjadi sehubungan dengan pembangunan atau pengembangan suatu aset tetap, tetapi tidak dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Kegiatan insidental ini mungkin terjadi sebelum atau selama konstruksi atau aktivitas pengembangan. Contoh, penghasilan yang diperoleh dari penggunaan lahan lokasi bangunan sebagai tempat parkir mobil sampai pembangunan dimulai. Karena kegiatan insidental ini tidak dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen, penghasilan dan beban yang terkait dari kegiatan insidental diakui dalam laporan laba rugi dan diklasifikasikan dalam penghasilan dan beban (Par. 21). PSAK No. 16 (1994) sebelumnya tidak mengatur mengenai hal ini.

5. Pertukaran Aset Tetap – PSAK No. 16 (1994) sebelumnya membedakan perlakuan pencatatan atas pertukaran aktiva tetap yang sejenis/serupa (Par.21) serta pertukaran aktiva tetap yang tidak sejenis/tidak serupa (Par. 20), sedangkan PSAK 16 (revisi 2007) tidak membedakannya.

Par. 24 PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa untuk pertukaran aset tetap, biaya perolehan diukur pada nilai wajar kecuali (a) transaksi pertukaran tidak memiliki substansi komersial; atau (b) nilai wajar dari aset yang diterima dan diserahkan tidak dapat diukur secara andal.

6. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal – PSAK 16 (revisi 2007) Par. 15 maupun PSAK 16 (1994) sebelumnya (Par. 13) mengatur bahwa suatu aset tetap (aktiva tetap) yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset (aktiva) pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan.

PSAK 16 (revisi 2007) dalam Par. 29 mengatur mengenai Pengukuran Setelah Pengakuan Awal Aset Tetap, “Suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) dalam par. 30 atau model revaluasi (revaluation model) dalam par. 31 sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.”

Jadi, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007), entitas mempunyai 2 pilihan pencatatan akuntansi untuk pengukuran aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu (a) model biaya atau (b) model revaluasi.

Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya pada dasarnya tidak memperbolehkan penggunaan model revaluasi dalam pengukuran aktiva tetap.

“Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah. Dalam hal ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan di dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan. Selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap dibukukan dalam akun modal dengan nama “Selisih penilaian kembali aktiva tetap.”

7. Telaah Ulang Nilai Residu, Umur Manfaat dan Metode Penyusutan – PSAK 16 (revisi 2007) Par. 54 mengatur bahwa “nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.”

Kemudian Par. 64 mengatur bahwa “metode penyusutan yang digunakan untuk aset harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan, apabila terjadi perubahan yang signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dari aset tersebut, maka metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan pola tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25

Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya dalam Par. 39 mengatur bahwa “masa manfaat suatu aktiva tetap harus ditelaah ulang secara periodik dan, jika harapan berbeda secara signifikan dengan estimasi sebelumnya, beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.”

Par. 42 PSAK 16 (1994) mengatur bahwa “metode penyusutan yang digunakan untuk aktiva tetap ditelaah ulang secara periodik dan jika terdapat suatu perubahan signifikan dalam pola pemanfaatan ekonomi yang diharapkan dari aktiva tersebut, metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai suatu perubahan kebijakan akuntansi dan dilaporkan sesuai dengan PSAK No. 25, dan beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.”

8. PSAK 16 (Revisi 2007) Par. 45 mengatur bahwa : Jika dalam suatu entitas terdapat aset tetap yang tersedia untuk dijual, maka perlakuan akuntansi untuk aset tersebut adalah sebagai berikut :

a) Diakui pada saat dilakukan penghentian operasi;

b) Diukur sebesar nilai yang lebih rendah dari jumlah tercatatnya dibandingkan dengan nilai wajar setelah dikurangi dengan biaya-biaya penjualan aset tersebut;

c) Disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya akan dipulihkan melalui transaksi penjualan dari penggunaan lebih lanjut; dan

d) Diungkapkan dalam laporan keuangan dalam rangka evaluasi dampak penghentian operasi dan pelepasan aset (aset tidak lancar)

Par. 45 yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi untuk aset tetap yang tersedia untuk dijual ini mengacu ke paragraph 6, 15 dan 30 dari IFRS 5 : Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations).

9. Penyusutan – PSAK 16 (Revisi 2007) par. 46 mengatur bahwa “setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset harus disusutkan secara terpisah.” Sedangkan dalam PSAK 16 (1994) sebelumnya tidak diatur.

10. Aktiva Lain-lain – PSAK 16 (1994) sebelumnya mengatur mengenai Aktiva Lain-lain sedangkan dalam PSAK 16 (revisi 2007) tidak diatur.

11. PSAK 16 (Revisi 2007) ini berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.

Tuesday, September 16, 2008

PMK No. 79 tahun 2008 (versus PSAK 16 revisi 2007), apakah memang perlu direvisi ? (bagian 2 dari 2 tulisan)

Perbedaan lainnya yang menjadi permasalahan adalah pengaturan menurut Pasal 9 ayat (1) PMK 79/2008 yang menyatakan bahwa selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal …….. “ (lihat point 7). Sedangkan PSAK 16/2007 mengatur pencatatan selisih revaluasi aset terutama dalam par. 39 dan par. 40.

Dalam par. 39 PSAK 16/2007 diatur bahwa jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun, kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi.

Selanjutnya, par. 40 mengatur bahwa jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut.

Dari pengaturan kedua paragraf PSAK 16/2007 tersebut, jelas akan terjadi perbedaan pengakuan saldo selisih revaluasi aktiva tetap dengan pengaturan menurut PMK 79/2008.

Selain itu, perlu diperhatikan juga pengaturan masa transisi penerapan PSAK 16/2007 dalam par. 84 yang menggariskan bahwa perusahaan yang sebelumnya pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK 16/2007 ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. (lihat tulisan saya sebelumnya : Masa transisi PSAK 16/2007, bagaimana penerapannya ?). Sedangkan PMK 79/2008 tidak mengatur mengenai hal ini.

PMK 79/2008 perlu (atau harus) direvisi ?

Ketidak-sinkronan antara pengaturan menurut PMK 79/2008 dengan PSAK 16/2007 seperti yang saya paparkan sebelumnya merupakan permasalahan yang banyak diprotes habis-habisan oleh para praktisi akuntansi di Indonesia.

Bapak Tarkosunaryo, partner KAP Syarief Basir & Rekan (a member of Russell Bedford International) dalam milis FORKAP beberapa waktu yang lalu mengusulkan agar PMK 79/2008 tersebut direvisi, terutama untuk pasal 9 yang menurut beliau sebaiknya dihapus atau direvisi karena kontradiktif dengan PSAK.

Dalam tulisannya yang dimuat majalah Akuntan Indonesia terbitan IAI Wilayah Jakarta dengan judul “Revaluasi Aset Tetap : Suatu Tinjauan dari Aspek Akuntansi dan Aspek Peraturan Perpajakan”, beliau memaparkan antara lain bahwa revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008 merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.”

Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa “Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.”

Ika Fransisca, dosen luar biasa pada Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandala Surabaya serta Wan Juli, tax manager pada Purwantono, Sarwoko, Sandjaja Consult dalam tulisannya berjudul “PMK No. 79/2008, Tidak Sejalan dengan PSAK ?” yang dimuat dalam Indonesian Tax Review Volume I/Edisi 09/2008 memaparkan antara lain bahwa ketidaksejalanan antara PSAK 16/2007 dengan PMK 79/2008 hampir pasti berujung pada banyaknya kesulitan, terutama yang terkait dengan penerapan dampak pajak tangguhan seperti yang diatur dalam PSAK 46 Akuntansi Pajak Tangguhan.

Dalam rezim yang lama, yaitu PSAK 16 sebelum revisi dan KMK No. 486/KMK.03/2002, hampir pasti kedua ketentuan itu sejalan sehingga koreksi atas aktiva tetap dan penyusutannya (perbedaan penyusutan fiskal dan komersial) umumnya hanya menimbulkan beda waktu saja, dan tentu saja, aktiva dan kewajiban pajak tangguhan. Namun berdasarkan rezim baru ini, PSAK revisi dan PMK No. 79/PMK.03/2008, hampir bisa dipastikan bahwa atas koreksi di aktiva tetap dan penyusutan, sebagai akibat adanya revaluasi itu, akan mengakibatkan beda waktu sekaligus beda tetap. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan komersial melakukan revaluasi, sekalipun fiskal tidak, ataupun sebaliknya (fiskal melakukan revaluasi tetapi komersial tidak).

Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa revaluasi juga mengakibatkan adanya risiko lain yaitu timbulnya salah interpretasi dari pihak fiskus setelah melihat neraca Wajib Pajak. Kesalahan interpretasi ini muncul akibat adanya selisih revaluasi yang tidak didukung dengan pembayaran PPh Final, karena mungkin WP tersebut tidak mengajukan permohonan revaluasi ke DJP.

Jadi, sebagai penutup, menurut saya, sudah saatnya pihak IAI dan Dirjen Pajak duduk bersama membahas kembali masalah ini. Kalau tidak, buntutnya para praktisi akuntansi di Indonesia bakalan pusing tujuh keliling terutama dalam menghitung dan membukukan efek pajak tangguhan atas revaluasi aset tersebut. Cape deh. (Hrd) ***

Catatan kaki : berdasarkan polling yang saya lakukan, 100 % persen responden (walaupun hanya 9 partisipan sampai dengan saat ini) menyatakan bahwa PMK 79/2008 perlu direvisi

PMK No. 79 tahun 2008 (versus PSAK 16 revisi 2007), apakah memang perlu direvisi ? (bagian 1 dari 2 tulisan)

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 79/PMK.03/2008 yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2008 mengatur mengenai penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan. PMK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.

Sesuai dengan judul tulisan di atas, kali ini saya tidak akan membahas mengenai pengaturan perpajakan atas PMK No. 79 tahun 2008 ini. Akan tetapi, yang akan saya bahas adalah mengenai pengaturan revaluasi aktiva tetap (aset tetap menurut istilah PSAK revisian) secara perpajakan (PMK No. 79 tahun 2008) dibandingkan dengan pengaturan menurut akuntansi (PSAK 16 revisi 2007).

Beberapa ketentuan pokok menurut PMK No. 79 tahun 2008 yang akan saya perbandingkan nantinya adalah :

1. Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak (pasal 2 ayat 1);

2. Penilaian kembali aktiva tetap Perusahaan dilakukan terhadap : (a) Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau (b) seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak (Pasal 3 ayat 1);

3. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (Pasal 3 ayat 2);

4. Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali, (b) masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut, (c) perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 1);

5. Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan, (b) sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan, (c) perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut (Pasal 7 ayat 2);

6. Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 3);

7. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal ……………… “ (Pasal 9 ayat 1);

Secara Akuntansi, mengenai revaluasi aktiva tetap (aset tetap) diatur terutama dalam PSAK 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Sebelumnya, saya sudah pernah memposting beberapa tulisan berkaitan dengan revaluasi aset berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007). Baca di sini : Sekilas revaluasi aset berdasarkan PSAK 16/2007, dan juga di sini : Revaluasi aset, beda pengaturan antara akuntansi dan pajak.

Beberapa perbedaan pengaturan revaluasi aset menurut perpajakan (PMK 79/2008) dibandingkan dengan akuntansi (PSAK 16/2007) saya paparkan berikut ini.

Secara perpajakan, untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap, perusahaan harus memperoleh ijin dari Dirjen Pajak terlebih dahulu (lihat point ke-1 beberapa ketentuan pokok PMK 79/2008 di atas). Secara akuntansi, berdasarkan PSAK 16/2007 tidak diperlukan adanya persetujuan dari Dirjen Pajak untuk membukukan aset tetap model revaluasian.

Berdasarkan PSAK 16/2007 par. 36 diatur bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Dalam hal ini, PSAK memperbolehkan perusahaan untuk melakukan revaluasi aset menurut kelompok aset tertentu (tidak harus terhadap keseluruhan aset tetap). Perusahaan juga diperbolehkan untuk melakukan revaluasi secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda (rolling basis) seperti yang dijelaskan dalam par. 38. Sedangkan perpajakan dalam PMK 79/2008 (lihat point 2) mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud.

Selanjutnya, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 34 diatur bahwa perusahaan dapat melakukan revaluasi aset dengan frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Sedangkan secara perpajakan menurut PMK 79/2008 (lihat point 3) diatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini.

Friday, August 1, 2008

Masa Transisi PSAK 16 (Revisi 2007), bagaimana penerapannya ?

Sebelumnya saya sudah pernah posting beberapa tulisan berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang mulai berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.

Buat yang belum mengetahui, PSAK No. 16 (Revisi 2007) ini menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan.

Dengan demikian, sejak tanggal 1 Januari 2008, PSAK No. 16 (1994) serta PSAK No. 17 (1994) tersebut tidak berlaku lagi dan digantikan dengan PSAK No. 16 (Revisi 2007).

Berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tersebut, kali ini saya ingin sedikit membahas mengenai ketentuan transisi yang diatur dalam paragraf 83 dan paragraf 84.

Dalam paragraf 83 PSAK No. 16 (Revisi 2007) diatur bahwa “Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat Pernyataan ini diterbitkan.”

Artinya jika sebelumnya (tahun 2007 dan sebelumnya) perusahaan pernah melakukan revaluasi aktiva tetap dan untuk tahun buku 2008, perusahaan memilih menggunakan model biaya dalam pencatatan aset tetapnya, maka nilai aset tetap yang dipergunakan sebagai biaya perolehan mulai tahun 2008 tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya.

Kemudian, dalam paragraf 84 diatur bahwa “Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali Pernyataan ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.”

Paragraf ini menjelaskan bahwa jika misalnya pada Neraca PT A per 31/12/2007 terdapat saldo Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap yang merupakan pencatatan selisih hasil penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dengan jumlah tercatat (nilai buku) aktiva tetap atas hasil revaluasi aktiva pada tahun 2007 ataupun tahun-tahun sebelumnya, maka saldo tersebut per 1 Januari 2008 harus direklas ke Saldo Laba.

Contoh penyajian dalam Neraca PT A per 30 Juni 2008 dan per 31 Desember 2007 sebagai berikut :

EKUITAS    30/6/08   31/12/07
Modal Saham       2.000       2.000
Selisih penilaian aset tetap             0       1.200
Saldo Laba      55.000      32.500

Sedangkan penyajian Laporan Perubahan Ekuitas per 30 Juni 2008 dan 31 Desember 2007 sebagai akibat dari reklasifikasi Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap sebesar Rp 1.200 sebagai berikut :

    Modal   SPAT    R/E   Jumlah
Saldo per 1/1/2008     2.000    1.200   32.500     35.700
Laba Bersih           0          0   21.300     21.300
Penyesuaian atas
  penerapan PSAK
  16 (revisi 2007)
          0   (1.200)     1.200             0
Saldo per 30/6/2008     2.000          0   55.000     57.000

Modal = Modal Saham; SPAT = Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap; R/E = Saldo Laba

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan masa transisi penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007). Semoga bermanfaat (Hrd)

Monday, June 30, 2008

Sekali lagi mengenai penyusutan aset tetap (PSAK 16)

Pada tulisan saya sebelumnya (baca : Beda syarat penyusutan aktiva tetap menurut pajak dan akuntansi serta Penangguhan beban penyusutan, apakah diperbolehkan ? ), saya sudah memaparkan perbedaan syarat pengakuan penyusutan menurut akuntansi dengan pajak.

Secara akuntansi, syarat dimulainya penyusutan aset tetap adalah pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen (PSAK 16 (revisi 2007) par. 58).

Sedangkan secara perpajakan, syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap adalah pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3)).

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas berkaitan dengan syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap menurut pajak, silahkan baca kembali tulisan saya sebelumnya di sini : Beda syarat penyusutan aktiva tetap menurut pajak dan akuntansi.

Jika kita simak kembali pengaturan syarat dimulainya penyusutan aset tetap berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 58 di atas sepertinya tidak mengatur dengan jelas mengenai apakah penyusutan aset tetap dilanjutkan atau harus ditangguhkan jika sekiranya aset tetap bersangkutan dihentikan penggunaannya sementara.

Namun, jika kita membaca International Accounting Standard (IAS) No. 16, Property, Plant and Equipment, dalam paragraf 12 diatur bahwa :

An entity is required to begin depreciating an item of property, plant and equipment when it is available for use and to continue depreciating it until it is derecognised, even if during that period the item is idle. The previous version of IAS 16 did not specify when depreciation of an item began and specified that an entity should cease depreciating an item that it had retired from active use and was holding for disposal.

Jadi, jelas bahwa berdasarkan IAS 16, Property, Plant and Equipment , aset tetap tidak dihentikan pembebanan penyusutannya walaupun terjadi penghentian sementara atas penggunaan aset tetap bersangkutan (idle). (Hrd)

Thursday, June 26, 2008

Menggunakan Depreciated Replacement Cost Approach sebagai pendekatan alternatif dalam penentuan nilai wajar aset tetap

Seperti yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya bahwa PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap memberikan dua opsi sebagai kebijakan akuntansi dalam pengukuran nilai aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu model biaya (cost model) ataupun model revaluasi (revaluation model) Baca di sini

Jika menggunakan model revaluasi, setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi.

Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi profesional berdasarkan bukti pasar. Nilai wajar pabrik dan peralatan biasanya menggunakan nilai pasar yang ditentukan oleh penilai (PSAK 16 Par. 32).

Jika tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas mungkin perlu mengestimasi nilai wajar menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach) (PSAK 16 Par. 33).

Yang akan saya bahas berikut ini adalah berkaitan dengan penerapan depreciated replacement cost approach dalam penentuan nilai wajar aset tetap.

Dalam buku WILEY – IFRS 2008 Interpretation and Application diberikan contoh penerapan depreciated replacement cost approach yang cukup jelas.

Berikut kutipannya ------------------------------------

IAS 16 suggests that fair value is usually determined by appraisers, using market-based evidence. Market values can also be used for machinery and equipment, but since such items often do not have readily determinable market values, particularly if intended for specialized applications, they may instead be valued at depreciated replacement cost.

Example of depreciated replacement cost (sound value) as a valuation approach :

An asset acquired January 1, 2005 at a cost of € 40,000 was expected to have a useful economic life of 10 years. On January 1, 2008, it is appraised as having a gross replacement cost of € 50,000. The sound value, or depreciated replacement cost, would be 7/10 x € 50,000 or € 35,000. This compares with a book, or carrying value of € 28,000 at the same date. Mechanically, to accomplish a revaluation at January 1, 2008, the asset should be written up by € 10,000 (i.e from € 40,000 to € 50,000 gross cost) and the accumulated depreciation should be proportionally written up by € 3,000 (from € 12,000 to € 15,000). Under IAS 16, the net amount of the revaluation adjustment, € 7,000 would be recognized in other comprehensive income and accumulated in revaluation surplus, an additional equity account.

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan penggunaan depreciated replacement cost approach sebagai pendekatan alternatif penentuan nilai wajar aset tetap. Semoga bisa membantu untuk lebih memahami PSAK 16 (Revisi 2007) terutama yang berkaitan dengan penerapan model revaluasi. (Hrd)

Wednesday, June 25, 2008

Perubahan Estimasi Umur Manfaat Aset, bagaimana pencatatan akuntansinya ?

PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap mendefinisikan umur manfaat (useful life) sebagai :

1. suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau

2. jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas.

Paragraf 54 PSAK 16 (Revisi 2007) menjelaskan bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus direview minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.

(The residual value and the useful life of an asset shall be reviewed at least at each financial year-end and, if expectations differ from previous estimates, the change(s) shall be accounted for as a change in an accounting estimate in accordance with IAS 8 Accounting Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors – IAS 16 Property, Plant and Equipment Par. 51).

Lantas, bagaimana perlakuan pencatatan akuntansi yang diperlukan jika terjadi perubahan estimasi umur manfaat aset ? Apakah laporan keuangan perlu disajikan kembali (restatement) ?

Untuk menjawabnya, simak penjelasan berikut yang saya kutip dari Wiley – IFRS 2008 Interpretation and Application.

Useful life is affected by such things as the entity’s practices regarding repairs and maintenance of its assets, as well as the pace of technological change and the market demand for goods produced and sold by the entity using the assets as productive inputs. If it is determined, when reviewing the depreciation method, that the estimated life is greater or less than previously believed, the change is handled as a change in accounting estimate, not as a correction of an accounting error. Accordingly, no restatement is to be made to previously reported depreciation; rather, the change is accounted for strictly on a prospective basis, being reflected in the period of change and subsequent periods.

To illustrate this concept, consider an asset costing € 100,000 and originally estimated to have a productive life of 10 years. The straight-line method is used, and there was no residual value anticipated. After 2 years, management revises its estimate of useful life to a total of 6 years. Since the net carrying value of the asset is € 80,000 after 2 years (= € 100,00 x 8/10), and the remaining expected life is 4 years (2 of the 6 revised total years having already elapsed), depreciation in years 3 through 6 will be € 20,000 (= € 80,000/4) each.

Dari penjelasan dan contoh ilustrasi tersebut di atas jelas bahwa jika terjadi perubahan estimasi umur manfaat aset tetap, maka berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) dan IAS 16 harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi dan tidak perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan (restatement). Pengaruh atas perubahan tersebut hanya terhadap laporan keuangan periode berjalan dan periode selanjutnya (Hrd).

Thursday, June 19, 2008

Revaluasi aset, beda pengaturan antara akuntansi dan pajak

Dalam tulisan sebelumnya dengan judul “Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) (baca di sini) saya sudah menjelaskan bahwa PSAK 16 (Revisi 2007) memperbolehkan perusahaan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasian.

Sistimatika dan aturan main pencatatan akuntansi aset tetap jika perusahaan memilih model revaluasian juga diatur dengan cukup jelas dalam PSAK 16 (Revisi 2007) tersebut.

Sedangkan dari segi perpajakan, pengaturan mengenai penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan diatur terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2008 (download di sini : PMK No.79/PMK.03/2008), menggantikan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.

Beberapa perbedaan antara pengaturan menurut KMK No. 486/KMK.03/2002 dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 diantaranya adalah :

1. KMK yang lama mengatur bahwa revaluasi dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan (pasal 3 ayat (2)), sedangkan PMK yang baru mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap (pasal 3 ayat (1)).

2. Revaluasi aktiva tetap menurut KMK yang lama dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama (pasal 3 ayat (3)), sedangkan PMK yang baru mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (pasal 3 ayat (2)).

Pengaturan ini sepertinya agak bertentangan dengan perlakuan akuntansi menurut PSAK 16 (Revisi 2007) yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 dimana dalam paragraf 31 diatur bahwa (apabila perusahaan menerapkan model revaluasian) maka revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara signifikan dari nilai wajar pada tanggal neraca. Selanjutnya dalam par. 34 dijelaskan lagi bahwa jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan.

Jadi, apabila setiap tahun terjadi perubahan nilai wajar secara signifikan terhadap jumlah tercatat aset tetap, maka dengan sendirinya revaluasi harus dilakukan secara tahunan. Sedangkan perpajakan mengatur bahwa aktiva tetap baru boleh dinilai kembali setelah jangka waktu 5 tahun sejak revaluasi yang terakhir dilakukan.

Seandainya perusahaan secara akuntansi menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetapnya dan dalam 2 tahun kemudian nilai wajar aset tetap mengalami peningkatan signifikan sehingga perlu dilakukan revaluasi kembali jelas akan menghadapi masalah karena dengan sendirinya revaluasi yang dilakukan sudah menyimpang dari ketentuan perpajakan. Lantas bagaimana dengan Pajak Penghasilan Final 10 % yang dikenakan atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskalnya (Pasal 5 PMK No. 79) ? Apakah tetap harus dibayar sedangkan jika prosedur revaluasi tidak sesuai ketentuan perpajakan sudah tentu tidak akan diterbitkan keputusan ijin revaluasi dari Dirjen Pajak ?

Sepertinya harus pikir-pikir dulu sebelum menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetap perusahaan sesuai PSAK 16 (Revisi 2007). Setidaknya harus sudah diprediksikan terlebih dahulu bahwa aset tetap yang sudah direvaluasi tersebut tidak akan mengalami peningkatan nilai wajar yang signifikan dalam 5 tahun ke depan (Hrd).

Wednesday, June 18, 2008

Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap saat ini sudah hampir sepenuhnya mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Salah satu perubahan signifikan dari PSAK 16 (Revisi 2007) ini adalah mengenai revaluasi aset tetap. Dalam PSAK sebelumnya yaitu PSAK 16 (1994) mengenai Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain pada dasarnya mengharuskan penyajian aktiva tetap berdasarkan nilai perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah, dan dalam hal ini harus ada catatan ataupun penjelasan dalam laporan keuangan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan (PSAK 16 (1994) Par. 29).

Jadi, sebelum berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007), jika perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap yang pada umumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perpajakan, maka pada opini auditor harus ada catatan dan penjelasan tambahan berkaitan dengan hal tersebut.

Dengan mulai berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007) sejak 1 Januari 2008, maka perusahaan diperbolehkan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasi, dan harus diterapkan terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.

Jika menggunakan model biaya, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 (revisi 2007) par. 30). Model ini adalah seperti yang diterapkan sebagian besar perusahaan selama ini.

Sedangkan jika menggunakan model Revaluasi, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca (PSAK 16 (revisi 2007) par. 31).

Dalam paragraph 34 diatur lebih lanjut bahwa frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Paragraf 36 menjelaskan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.

Paragraf 39 dan 40 mengatur mengenai perlakuan pencatatan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi sebagai berikut :

· Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke Ekuitas pada bagian Surplus Revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi sehingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi (par. 39)

· Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut (par. 40).

PSAK 16 (1994) menggunakan istilah “Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” untuk membukukan selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap.

Jika perusahaan mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap maka perubahan tersebut berlaku prospektif. Hal ini diatur dalam paragraph 43 PSAK 16 (revisi 2007).

Ketentuan Transisi PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa :

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya, maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat PSAK ini diterbitkan (par. 83).

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.

Demikian sekilas penjelasan pengaturan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)/IAS 16. Selanjutnya, saya akan menulis tentang perbedaan pengaturan revaluasi aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) dibandingkan dengan ketentuan perpajakan yang diatur terakhir berdasarkan PMK No. 79/PMK.03/2008 tanggal 23 Mei 2008 (Hrd).

Thursday, May 29, 2008

Membukukan Transaksi Leasing, Akuntansi (PSAK 30) versus Pajak

Dasar Pencatatan :

(1) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 30 (Revisi 2007) tentang Sewa,

(2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991

Perlakuan Akuntansi

PSAK No. 30 (Revisi 2007) tentang Sewa dalam paragraf 8 mengatur bahwa suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika sewa tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset.

Paragraf 10 menjelaskan bahwa klasifikasi sewa sebagai sewa pembiayaan atau sewa operasi didasarkan pada substansi transaksi dan bukan pada bentuk kontraknya. Contoh dari situasi yang secara individual atau gabungan dalam kondisi normal mengarah pada sewa yang diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan adalah :

1. sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa;

2. lessee mempunyai opsi untuk membeli aset pada harga yang cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai dapat dilaksanakan, sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi memang akan dilaksanakan;

3. masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset meskipun hak milik tidak dialihkan;

4. pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan; dan

5. aset sewaan bersifat khusus dan dimana hanya lessee yang dapat menggunakannya tanpa perlu modifikasi secara material.

Lebih lanjut, paragraf 16 menjelaskan bahwa untuk sewa pembiayaan pada awal masa sewa, lessee mengakui sewa pembiayaan sebagai aset dan kewajiban dalam neraca sebesar nilai wajar aset sewaan atau sebesar nilai kini dari pembayaran sewa minimum, jika nilai kini lebih rendah dari nilai wajar. Penilaian ditentukan pada awal kontrak.

Sedangkan dalam paragraf 29 diatur mengenai pencatatan sewa operasi, bahwa pembayaran sewa dalam sewa operasi diakui sebagai beban dengan dasar garis lurus (straight-line basis) selama masa sewa kecuali terdapat dasar sistimatis lain yang dapat lebih mencerminkan pola waktu dari manfaat aset yang dinikmati pengguna.

Untuk jenis transaksi leasing berupa transaksi jual dan sewa-balik (sale and lease back) dapat terjadi bahwa nilai aset tercatat aset yang dialihkan kepada leasing company berbeda dengan nilai pembelian/pembiayaan oleh leasing company tersebut.

Paragraf 56 PSAK No. 30 mengatur bahwa jika suatu transaksi jual dan sewa-balik merupakan sewa pembiayaan, selisih lebih hasil penjualan dari nilai tercatat tidak dapat diakui segera sebagai pendapatan oleh penjual-lessee, tetapi ditangguhkan dan diamortisasi selama masa sewa.

Perlakuan Perpajakan

Secara perpajakan, pencatatan transaksi leasing diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991. KepMenKeu ini hanya mengatur mengenai pencatatan transaksi leasing secara sale and lease back dengan hak opsi sehingga untuk jenis leasing lainnya misalnya Pembiayaan Konsumen harus mengacu kepada PSAK No. 30.

Dalam praktek sehari-hari, sering ditemukan kesalahpahaman dari accounting perusahaan sehingga dalam perpajakan memperlakukan transaksi Pembiayaan Konsumen layaknya Sale and Lease Back dengan Hak Opsi.

Menurut KepMenKeu No. 1169 tersebut, kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha (SGU) dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :

1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama ditambaha dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;

2. Masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan;

3. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Ketentuan perpajakan memperlakukan SGU dengan Hak Opsi secara berbeda dari akuntansi. Adapun perbedaannya sebagai berikut :

Secara akuntansi, pencatatan dilakukan secara Capital Lease, dimana :

1. aktiva leasing langsung dibukukan sebagai aktiva tetap leasing dan disusutkan sesuai dengan masa manfaatnya;

2. lessee membebankan biaya penyusutan aktiva SGU dan beban bunga SGU

Secara perpajakan, dilakukan secara Operating Lease, dimana :

1. aktiva tetap leasing baru diakui setelah lessee melaksanakan hak opsinya, dengan biaya perolehan sebagai dasar penyusutan sebesar nilai opsi tersebut

2. lessee membebankan angsuran pokok dan bunga SGU sebagai biaya leasing

Sedangkan untuk transaksi pembiayaan konsumen, pencatatan secara akuntansi maupun perpajakan sama, yaitu dilakukan secara Capital Lease.

Contoh illustrasi (Sale and Lease Back dengan Hak Opsi) :

PT A memperoleh fasilitas pembiayaan berupa Sale and Lease Back dengan Hak Opsi atas 1 unit Mesin Press dengan rincian transaksi sebagai berikut :

Harga beli dari supplier = Rp 1.144.800.000; Pembayaran Uang Muka (D/P) kepada Supplier = Rp 300.000.000; Sisa Hutang kepada Supplier = Rp 844.800.000.

Pembiayaan oleh Leasing Company = Rp 844.800.000; Masa Angsuran = 20/11/2004 s/d 20/10/2007 (36 bulan); Angsuran Pokok = Rp 844.800.000; Bunga Angsuran = Rp 201.312.000

Jurnal Akuntansi (PSAK No. 30) :

  Aktiva Tetap - Mesin      1.144.800.000  
      K a s          300.000.000
      Hutang Supplier          844.800.000

(membukukan transaksi pembelian aktiva tetap dari supplier)

  Hutang Supplier           844.800.000  
      Hutang Leasing         844.800.000

(membukukan transaksi pengalihan aktiva tetap ke leasing company)

  Hutang Leasing             26.144.498  
  Biaya Bunga Leasing             12.412.502  
     K a s           38.557.000

(membukukan pembayaran angsuran bulanan SGU)

Jurnal Perpajakan (KepMenKeu No. 1169)

  Aktiva Tetap - Mesin        1.144.800.000  
     K a s         300.000.000
     Hutang Supplier         844.800.000

(membukukan transaksi pembelian aktiva tetap dari supplier)

  Hutang Supplier           844.800.000  
  Jaminan Leasing           300.000.000  
      Aktiva Tetap Mesin       1.144.800.000

(membukukan transaksi pengalihan aktiva tetap ke leasing company)

  Biaya Leasing              38.557.000  
      K a s            38.557.000

(membukukan pembayaran angsuran bulanan SGU)

Secara perpajakan, jika pada akhir masa leasing, lessee menggunakan hak opsinya maka dalam pembukuan lessee membukukan aktiva tetap sebagai dasar penyusutan sebesar Rp 300.000.000 yaitu sebesar nilai jaminan leasing. Selama masa SGU, jaminan leasing dibukukan sebagai Aktiva Lain-lain.

Sedangkan, jika transaksinya berupa Pembiayaan Konsumen, maka pencatatan akuntansi dan perpajakan harus sesuai PSAK No. 30 (jurnal pertama) (Hrd).

Saturday, May 17, 2008

Penangguhan Beban Penyusutan, apakah diperbolehkan ?

Jika sekiranya terjadinya penurunan produksi ataupun bahkan penghentian produksi mesin pabrik untuk sementara sehingga aktiva mesin pabrik tersebut dengan sendirinya juga tidak dipergunakan, apakah diperbolehkan untuk menangguhkan pembebanan mesin pabrik untuk sementara ? Tentunya hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah terjadi penurunan ataupun penghentian penggunaan mesin pabrik tersebut.

Dari sudut akuntansi, PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap dalam paragraf 58 mengatur bahwa penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal ketika :

1. aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut termasuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan

2. aset tersebut dihentikan pengakuannya seperti yang diatur dalam paragraf 69 (yaitu jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan atau tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya).

Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak dipergunakan atau dihentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namun, apabila metode penyusutan yang digunakan adalah usage method (seperti unit of production method) maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya.

Jadi, kesimpulannya, secara akuntansi pada dasarnya tidak boleh menghentikan ataupun menangguhkan penyusutan sementara walaupun dengan alasan bahwa aktiva tetap seperti mesin pabrik misalnya tidak dipergunakan karena adanya penghentian produksi sementara, kecuali jika metode penyusutan yang dipergunakan adalah usage method yang dengan sendirinya beban penyusutan akan menjadi nol pada saat mesin tidak berproduksi.

Terus, kalau secara perpajakan apakah diperbolehkan ?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengacu ke Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-02/PJ.42/1999 tanggal 26 Januari 1999 perihal Penegasan tentang Penangguhan Penyusutan atas Harta Berwujud.

Melalui SE tersebut, Dirjen Pajak memberikan beberapa penegasan sebagai berikut :

1. Pada prinsipnya semua pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, apabila pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, maka pembebanan atas pengeluaran tersebut sebagai biaya harus dilakukan melalui penyusutan. Dengan demikian, penyusutan adalah merupakan suatu metode pembebanan biaya.

2. Metode penyusutan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya penyusutan yang dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut, atau Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Dalam menghitung besarnya penyusutan atas harta berwujud, Wajib Pajak hanya diperbolehkan menggunakan salah satu dari kedua metode penyusutan tersebut untuk seluruh jenis harta berwujud dan penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.

3. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (3))

4. Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak. Pengertian mulai menghasilkan tersebut dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (4))

5. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud tersebut akan diakhiri dengan penyusutan atau pembebanan sekaligus atas nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan, kecuali apabila sebelum akhir masa manfaat harta berwujud tersebut ditarik dari pemakaian atau dijual, maka penghitungan penyusutan yang terakhir atas harta berwujud tersebut adalah penyusutan untuk tahun terakhir sebelum tahun ditariknya harta berwujud tersebut dari pemakaian.

6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penangguhan penyusutan atas harta berwujud yang telah disusutkan tidak diperkenankan, walaupun dalam tahun pajak tersebut terjadi penurunan atau penghentian produksi. Oleh karena itu, sepanjang harta berwujud tersebut tidak ditarik dari pemakaian atau tidak dijual, maka penyusutan atas harta berwujud tersebut tetap harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan.

Jadi, peraturan perpajakan juga tidak memperbolehkan adanya penangguhan penyusutan atas aktiva tetap yang sebelumnya telah disusutkan, kecuali jika aktiva tetap tersebut ditarik dari pemakaian ataupun dijual.

Catatan - perpajakan hanya mengakui metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (1) dan (2)). Penyusutan secara usage method tidak diperkenankan dalam perpajakan (Hrd).

Friday, May 9, 2008

Bagaimana jika salah mengelompokkan aktiva tetap ?

Dalam praktek sehari-hari, cukup sering pertanyaan yang berkaitan dengan perlakuan perpajakan atas penyusutan aktiva tetap dilontarkan. Salah satunya adalah bagaimana jika terjadi kekeliruan pengelompokkan aktiva tetap misalnya aktiva tetap yang secara fiskal seharusnya dikelompokkan sebagai kelompok I tetapi dalam pembukuan dimasukkan sebagai kelompok II. Jika dilakukan penyesuaian pada tahun berjalan, bagaimana mekanismenya ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kasus berikut ini yang merupakan tanggapan Dirjen Pajak atas pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP) yang bergerak dalam bidang industri teh dalam kemasan.

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-286/PJ.42/2003 tanggal 23 Mei 2003 dipaparkan sebagai berikut :

  1. PT ABC merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri teh dalam kemasan dimana salah satu aktiva tetapnya berupa botol beling, krat dan galon plastik;
  2. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 tentang jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan, botol beling, krat dan galon plastik adalah merupakan barang-barang yang mudah pecah dan rusak serta mempunyai masa manfaat baik secara teknis maupun ekonomis tidak lebih dari 4 (empat) tahun;
  3. PT ABC selama ini telah melakukan kekeliruan dalam mengelompokkan aktiva tetap botol beling, krat dan galon plastic tersebut menggunakan metode Saldo Menurun dengan tarif Kelompok II sebesar 25 % dari nilai buku, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan di atas mupun pengelompokkan yang lazim digunakan pada industry lainnya yang sejenis;
  4. PT ABC bermaksud untuk mengelompokkan kembali aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik tersebut ke dalam Kelompok I sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 tanggal 8 April 2002 mulai tahun buku 2002 dengan menggunakan metode saldo menurun dengan tarif kelompok I sebesar 50 % dari nilai buku akhir tahun 2001 sebagai dasar penyusutan untuk tahun buku 2002;

Bagaimana perhitungan dasar penyusutan sehubungan dengan penggolongan kembali aktiva tetap tersebut ?

Berdasarkan Pasal 11 ayat (6) UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, antara lain diatur bahwa untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud untuk jenis harta Bukan Bangunan, Kelompok I (masa manfaat 4 tahun) tarif penyusutan jika menggunakan metode Garis Lurus 25 %, jika menggunakan metode Saldo Menurun 50 %. Sedangkan untuk Kelompok II (masa manfaat 8 tahun) tarif penyusutan jika menggunakan metode Garis Lurus 12,5 % dan metode Saldo Menurun 25 %.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 diatur bahwa untuk jenis usaha industry makanan dan minuman jenis harta antara lain pallet dan sejenisnya termasuk dalam Kelompok I.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa :

a. Aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik dalam industri makanan dan minuman termasuk dalam Kelompok I dengan jenis harta pallet dan sejenisnya;

b. Apabila PT ABC mulai tahun pajak 2002 akan mengelompokkan kembali aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik yang sebelumnya disusutkan berdasarkan kelompok II ke dalam kelompok I, maka dasar penyusutan yang digunakan adalah nilai sisa buku fiskal pada 1 Januari 2002;

c. Aktiva tetap yang pada tanggal 1 Januari 2002 telah disusutkan selama 4 (empat) tahun atau lebih, nilai sisa bukunya disusutkan sekaligus pada tahun 2002. Sedangkan bagi aktiva tetap yang telah disusutkan kurang dari 4 (empat) tahun per 1 Januari 2002, maka nilai sisa bukunya dijadikan dasar penyusutan kelompok I dengan tarif sebesar 50 % untuk masa manfaat 4 (empat) tahun ke depan.

Demikian isi Surat Dirjen Pajak No. S-286/PJ.42/2003 tanggal 23 Mei 2003 tersebut (Hrd).

Thursday, May 1, 2008

Memperkecil Beban Pajak dari Revaluasi Aktiva Tetap

Pada Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003 kolom My Tax Advisor, seorang pembaca menanyakan masalah manfaat revaluasi aktiva tetap, sebagai berikut :

Saya pernah mendengar bahwa revaluasi aktiva tetap mempunyai manfaat bagi perusahaan, khususnya dari sisi perpajakan yang akan mempengaruhi pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Apakah benar demikian ? Bagaimana persyaratannya ?

Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh Tahun 2000), dijelaskan bahwa dalam masa di mana terdapat perkembangan harga yang mencolok (inflasi) atau perubahan kebijakan di bidang moneter (devaluasi mata uang dalam negeri) dapat terjadi kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Hal ini disebabkan karena pengukuran biaya berdasarkan historical cost, sementara pendapatan diukur dengan harga berlaku yaitu current cost.

Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dan faktor penyesuaiannya (indeksasi nilai perolehan aktiva dan biaya penyusutannya), di mana yang masih berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Revaluasi aktiva tetap memang mempunyai manfaat bagi perusahaan, yaitu antara lain :

1. Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat meningkatnya nilai aktiva dan modal;

2. Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai aktiva dapat dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus);

3. Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio keuangan perusahaan, khususnya yang ditunjukkan oleh debt to assets ratio dan debt to equity ratio.

4. Penghematan pajak yang terjadi sebagai akibat bertambah besarnya nilai penyusutan aktiva, yang dapat memberikan penghematan pajak sebesar 30% dari nilai tambah penyusutan. Sementara keuntungan dari revaluasi aktiva hanya dikenakan pajak final sebesar 10%.

Adapun prosedur, persyaratan dan perhitungan pajak atas revaluasi aktiva tetap diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Sumber : Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003

Monday, April 28, 2008

Perhitungan Pajak Tangguhan atas Penyusutan Aktiva Tetap

Pada posting sebelumnya, saya sudah memberikan gambaran sekilas tentang pengertian Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK No. 46.

Berikut ini sebuah ilustrasi sederhana penerapan perhitungan Pajak Tangguhan atas perbedaan temporer penyusutan aktiva tetap menurut Akuntansi dan Perpajakan (Fiskal) yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.

Tabel penyusutan menurut akuntansi dan fiskal sebagai berikut :

Aktiva Tetap Beban Penyusutan
menurut Akuntansi
Beban Penyusutan
menurut Fiskal
Bangunan            562.500.000        1.125.000.000
Mesin         3.333.333.333        5.000.000.000
Kendaraan         1.500.000.000        1.875.000.000
Peralatan            500.000.000           625.000.000
Jumlah         5.895.833.333        8.625.000.000

Berdasarkan tabel perhitungan penyusutan dengan metode garis lurus di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi perbedaan temporer antara perlakuan pajak dengan akuntansi. Mengingat bahwa beban penyusutan secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan secara akuntansi, PT XYZ akan melakukan koreksi negatif. Akibatnya, koreksi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengurangan laba fiskal, sehingga beban PPh tahun berjalan menjadi lebih kecil.

Perhitungan koreksi negatif yang dapat memperkecil laba fiskal tersebut adalah sebagai berikut :

Laba akuntansi Rp          9.282.150.000
Koreksi fiskal    
- penyusutan akuntansi (+)          5.895.833.333
- penyusutan fiskal (-)       (8.625.000.000)
Laba Fiskal Rp         6.552.983.333
Pembulatan           6.552.983.000

Perhitungan Pajak Penghasilan

   Keterangan          Akuntansi            Fiskal
Laba        9.282.150.000       6.552.983.333
PPh Terutang    
10 % x 50.000.000               5.000.000              5.000.000
15 % x 50.000.000               7.500.000              7.500.000
30 % x 9.182.150.000        2.754.645.000  
30 % x 6.452.983.000           1.935.894.900
Jumlah PPh       2.767.145.000       1.948.394.900

Taksiran Pajak Penghasilan

Beban Pajak Kini Rp      1.948.394.900
Beban Pajak Tangguhan Rp         818.750.100
   Jumlah Beban Pajak Rp      2.767.145.000

Jurnal akuntansinya sebagai berikut :

Beban Pajak Kini     1.948.394.900  
Beban Pajak Tangguhan        818.750.100  
   Hutang PPh 25/29      1.948.394.900
   Kewajiban Pjk Tangguhan         818.750.100

Demikian ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda temporer penyusutan aktiva tetap menurut akuntansi (komersial) dan pajak (fiskal). Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami PSAK 46 khususnya yang berkaitan dengan Pajak Tangguhan (Hrd).