Showing posts with label UU Pajak. Show all posts
Showing posts with label UU Pajak. Show all posts

Tuesday, March 1, 2011

Pengembalian (Restitusi) Kelebihan PPN atau PPnBM

UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang mulai berlaku terhitung sejak 1 April 2010, dalam Pasal 9 ayat (4) mengatur antara lain bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Kemudian, dalam ayat (4a) diatur bahwa atas kelebihan Pajak Masukan (PM) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Dalam hal ini berarti setiap kelebihan PM pada suatu masa pajak dikompensaikan ke masa pajak berikutnya terlebih dahulu, baru pada masa pajak akhir tahun buku, jika terdapat kelebihan PM dapat diajukan permohonan untuk pengembalian (restitusi). Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah masa pajak saat wajib pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).

Untuk PKP tertentu, kelebihan PM dapat diajukan permohonan restitusi pada setiap masa pajak (tidak terbatas hanya pada akhir tahun buku) seperti yang diatur dalam ayat (4b). Adapun yang termasuk PKP tertentu tersebut adalah :

1. PKP yang melakukan ekspor barang kena pajak berwujud;

2. PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak kepada Pemungut PPN;

3. PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang PPN-nya tidak dipungut;

4. PKP yang melakukan ekspor barang kena pajak tidak berwujud;

5. PKP yang melakukan ekspor jasa kena pajak; dan/atau

6. PKP dalam tahap belum berproduksi

Tata cara pengembalian (restitusi) kelebihan PPN dan PPnBM tersebut sebelumnya diatur berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-48/PJ/2008 tanggal 16 Desember 2008 yang masih mengacu ke UU PPN dan PPnBM No. 18 tahun 2000. Kemudian, seiring dengan mulai berlakunya UU PPN dan PPnBM No. 42 tahun 2009 pada tanggal 1 April 2010, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 72/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010. Selanjutnya, pada tanggal 3 November 2010 berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-49/PJ/2010 pemerintah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi PER-48/PJ/2008 yang berlaku surut terhitung sejak tanggal 1 April 2010 (Hrd).

Friday, July 9, 2010

Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008

Dasar Peraturan Perpajakan :

  • Pasal 31E Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (download di sini) dan (di sini)
  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-66/PJ/2010 (download di sini) tanggal 24 Mei 2010 tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008

Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) UU Pajak Penghasilan, diatur bahwa Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar menadapat fasilitas berupa pengurangan tariff sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dalam SE Dirjen Pajak No. SE-66/PJ/2010 ditegaskan hal-hal sebagai berikut :

a. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT Tahunan PPh WP Badan. Dengan demikian, WP tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

b. Batasan peredaran bruto sampai dengan RP 50 Miliar adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh WP Badan Dalam Negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh.

c. Peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :

  1. Penghasilan yang dikenai PPh bersifat final;
  2. Penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final; dan
  3. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

d. Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak melebihi Rp 50 Miliar, tarif PPh yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi WP Badan Dalam Negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh.

Contoh penghitungan fasilitas pengurangan tariff sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dapat dilihat pada lampiran SE-66/PJ/2010 (Hrd).

Wednesday, February 3, 2010

Penerapan tarif tunggal 28% dalam perhitungan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009

Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang baru yaitu UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mulai berlaku sejak 1 Januari 2009. Dengan demikian, untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 yang akan berakhir pada tanggal 30 April 2010 nantinya sudah harus mengacu ke UU No. 36 tahun 2008.

Salah satu perubahan penting dari UU Pajak Penghasilan ini adalah perubahan tarif pajak untuk WP Badan, dimana berdasarkan UU PPh yang berlaku sebelumnya (UU No. 17 tahun 2000), untuk tahun pajak 2008 dan sebelumnya tarif pajak yang berlaku untuk WP Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sesuai Pasal 17 ayat (1b) adalah sebagai berikut :

1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d Rp 50 juta dikenakan tarif 10%

2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 50 juta s.d Rp 100 juta dikenakan tarif 15%

3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 juta dikenakan tarif 30%

Kemudian, berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat (1b) diatur bahwa untuk penghasilan kena pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap dikenakan tarif sebesar 28%.

Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat 2a).

Sedangkan untuk WP Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif lebih rendah 5% (Pasal 17 ayat 2b).

Ketentuan tarif PPh untuk WP Badan Dalam Negeri selain diatur dalam Pasal 17 ayat (1b), juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 31E ayat (1) : Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Implementasi dari ketentuan Pasal 31E ayat (1) ini diatur lebih lanjut dalam bagian penjelasan.

Contoh 1 :

Peredaran Bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4,5 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta. Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif PPh yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4,8 miliar.

Perhitungan PPh yang terutang : (50% x 28%) x Rp 500 juta = Rp 70 Juta.

Contoh 2 :

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 Rp 30 Miliar dengan Penghasilan Kena Pajak Rp 3 Miliar.

Oleh karena jumlah peredaran bruto sudah melebihi Rp 4,8 Miliar, maka dalam menghitung PPh terutang harus dipisahkan antara bagian yang mendapat fasilitas dan bagian yang tidak mendapat fasilitas, dengan cara sebagai berikut :

(1) Jumlah Penghasilan Kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas : (Rp 4,8 miliar : Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480 juta.

(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas : Rp 3 miliar – Rp 480 juta = Rp 2.520.000.000

Setelah itu, dihitung jumlah PPh yang terutang :

(1) (50% x 28%) x Rp 480.000.000  =       67.200.000
(2) 28% x Rp 2.520.000.000           =     705.600.000 +
       ____________
  Jumlah PPh Terutang             =     772.800.000

Sedangkan, jika peredaran bruto sudah melebihi Rp 50 Miliar maka tidak mendapat fasilitas sehingga seluruh Penghasilan Kena Pajak dikenakan tarif 28%.

Sumber : Undang Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008

Saturday, May 2, 2009

Penghapusan Sanksi Administrasi bagi WP Orang Pribadi yang terlambat lapor SPT Tahunan

Harian Bisnis Indonesia terbitan tanggal 1 Mei 2009 kemarin memberitakan bahwa :

Ketentuan mengenai penghapusan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh Wajib Pajak (WP) orang pribadi (OP), sudah bisa dilaksanakan. Dirjen Pajak Darmin Nasution dalam surat 27 April 2009 No. S-128/PJ/2009, telah memberikan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk melaksanakan ketentuan itu. "Terhadap WP orang pribadi baru yang terlambat menyampaikan SPT yaitu menyampaikan SPT PPh OP tahun pajak 2008 dalam jangka waktu 1 April 2009 sampai dengan 31 Desember 2009, sanksi administrasi berupa denda dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan secara jabatan," kata Darmin dalam surat itu yang diterima Bisnis, kemarin.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU KUP (UU No. 28 tahun 2007) diatur bahwa :

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN, Rp 100.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp 1.000.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Badan serta sebesar Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi.

Melalui Surat No. S-128/PJ/2009 tanggal 27 April 2009 tersebut, Dirjen Pajak menyampaikan latar belakang kebijakan penghapusan sanksi administrasi tersebut bahwa dalam rangka pelaksanaan hak dan pemenuhan  kewajiban perpajakan, masih banyak Wajib Pajak, khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) baru yaitu WP OP yang memperoleh NPWP sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009, belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Disamping itu, sebagian WP juga belum menerima bukti pemotongan PPh 21 (Formulir 1721 A1 atau Formulir 1721 A2) dari pemberi kerja. Hal ini menyebabkan masih banyak WP OP tersebut belum menyampaikan SPT Tahunan PPh WP OP sesuai dengan batas waktu yang ditentukan (31 Maret 2009).

Dalam Surat No. S-128/PJ/2009 tersebut, Dirjen Pajak menegaskan (dalam angka 2) bahwa terhadap WP OP baru yang terlambat menyampaikan SPT yaitu menyampaikan SPT Tahunan PPh OP tahun pajak 2008 dalam jangka waktu tanggal 1 April 2009 sampai dengan 31 Desember 2009, berdasarkan kuasa Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP, sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU KUP dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan secara jabatan.

Selanjutnya, dalam angka 3 disampaikan bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan STP atas keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh OP sebagaimana dimaksud pada angka 2 agar mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak atasannya untuk dapat menghapuskan sanksi tersebut secara jabatan.

Bahan referensi lainnya : baca di sini >>

Wednesday, April 15, 2009

Kapan Jatuh Tempo Pembayaran PPh 29 Tahun Pajak 2008 ?

Kapan batas akhir pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29 untuk tahun pajak 2008 ? Mungkin ini yang menjadi pertanyaan kita berkaitan dengan akan berakhirnya jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Wajib Pajak Badan pada 30 April 2009 nanti.

Kalau tahun-tahun sebelumnya, kita semua sudah tahu bahwa batas akhir pembayaran PPh pasal 29 Kurang Bayar adalah pada tanggal 25 Maret sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) yang menyatakan bahwa :

Apabila pajak yang terutang untuk suatu Tahun Pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke-tiga setelah Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) disampaikan.

Lihat juga ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 (UU KUP) yang menyatakan bahwa :

Apabila pada waktu pengisian SPT PPh ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum SPT Tahunan PPh itu disampaikan.  Misalnya, SPT Tahunan PPh harus disampaikan tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau setoran akhir harus sudah dilunasi paling lambat tanggal 25 Maret, sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.

Sedangkan berdasarkan UU Pajak yang berlaku untuk tahun pajak 2008, yaitu UU No. 28 Tahun 2007 (UU KUP), dalam Pasal 9 ayat (2) diatur bahwa :

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Artinya adalah bahwa untuk tahun pajak 2008, jika sekiranya ada kekurangan pembayaran PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh (baik untuk WP Orang Pribadi maupun untuk WP Badan), harus sudah dilunasi sebelum SPT Tahunan disampaikan, paling lama sesuai dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut.

Misalnya, untuk WP Orang Pribadi, sesuai dengan ketentuan dalam UU Pajak batas akhir penyampaian SPT Tahunan adalah 31 Maret, jika sekiranya SPT Tahunan disampaikan pada tanggal 31 Maret maka pelunasan hutang PPh 29 dapat dilakukan juga pada tanggal 31 Maret, dengan ketentuan harus sudah lunas sebelum SPT Tahunan disampaikan. Demikian juga halnya untuk WP Badan, jika sekiranya SPT Tahunan disampaikan pada tanggal 30 April, maka pembayaran hutang PPh 29 kurang bayar dapat dilakukan pada tanggal 30 April juga.

Referensi :

  1. Surat Dirjen Pajak : S-141/PJ.02/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 tentang Permohonan Penegasan Mengenai SPT PPh Badan Tahun 2008
  2. Surat Edaran Dirjen Pajak : SE-35/PJ/2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang Penegasan Mengenai Batas Waktu Penyampaian dan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak yang Terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008;

Saturday, January 17, 2009

Perubahan tarif pajak berdasarkan UU No. 36 tahun 2008, perhitungan pajak tangguhan harus disesuaikan ?

Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP Orang Pribadi) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.

Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.

UU No. 36 tahun 2008 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Lantas, apakah perubahan tarif tersebut akan mempengaruhi perhitungan pajak tangguhan (deferred tax) ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kembali pengaturan dalam PSAK terkait yaitu PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.

PSAK 46 Akuntansi Pajak Penghasilan (Reformat 2007) dalam paragraf 29 mengatur bahwa kewajiban (aset) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya diakui sebesar jumlah pajak terutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

Selanjutnya, dalam paragraf 30 dijelaskan bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang telah berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

Kemudian, dalam paragaraf 31 dijelaskan juga bahwa aset dan kewajiban pajak, baik yang bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Apabila tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka dapat dianggap bahwa tarif (dan peraturan) tersebut telah secara substantif berlaku [walaupun berlakunya tarif (dan peraturan) tersebut secara efektif mungkin saja masih beberapa bulan sesudah pengumumannya]. Dalam hal tersebut aset dan kewajiban pajak harus dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah dinyatakan berlaku.

Paragraf 32 menjelaskan bahwa apabila tarif pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba fiskal yang berbeda, maka aset dan kewajiban pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-rata yang akan dikenakan terhadap laba fiskal (rugi pajak) pada saat perbedaan temporer membalik (reverse).

Sedangkan paragraf selanjutnya yaitu par. 33 mengatur bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aset atau penyelesaian kewajiban yang diharapkan perusahaan pada tanggal neraca.

Dari uraian di atas, jelas bahwa atas perubahan tarif pajak untuk WP Badan dari sebelumnya dikenakan tarif progresif menjadi tarif tunggal yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, maka atas penyajian Pajak Tangguhan tahun 2008 harus dilakukan penyesuaian sesuai dengan pengaturan dalam PSAK No. 46 (Hrd). ***

Wednesday, September 3, 2008

Akhirnya UU Pajak Penghasilan tahun 2008 disahkan juga

Informasi ini saya peroleh dari situs www.detikfinance.com, dalam tulisannya dengan judul 'Tarif-tarif Baru Pajak Penghasilan' terbitan tanggal 2 September 2008 kemarin.

Berikut ini kutipan lengkap yang saya posting dari media tersebut.

Undang-undang pajak penghasilan yang baru kini sudah disahkan oleh DPR. Beberapa tarif pajak dipotong sehingga diperkirakan potential lost pajaknya mencapai Rp 40 triliun. Wajib pajak yang tak ber-NPWP akan dikenakan pajak yang lebih tinggi.

Berikut pokok-pokok pikiran dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) yang baru disahkan oleh DPR, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (2/9/2008).

1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh)
Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).

a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010.
Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.

d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.

e. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.

f. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

2. Bagi WP yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

4. Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP.a. Bagi WP penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal.b. Bagi WP menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.c. Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari tarif normal.

5.Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.

a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial.
b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

6. Pengecualian dari objek PPh

a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.

7. Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak.

Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.(dnl/ddn)

Sumber : detikFinance.com

Saturday, May 10, 2008

MenKeu Terbitkan Petunjuk Teknis Sunset Policy Perpajakan

Technorati Tags: ,,

Beberapa waktu yang lalu saya pernah memposting tulisan berkaitan dengan kebijakan sunset policy dengan judul “Sunset Policy (Pengampunan Pajak?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007”.

Adapun peraturan perpajakan yang mengatur mengenai sunset policy selain Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 adalah Peraturan Menteri Keuangan (PerMenKeu) No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 37A tersebut.

Selanjutnya, pada tanggal 29 April 2008, Menteri Keuangan telah menerbitkan PerMenKeu No. 66/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan dan Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Penerapan Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 dan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008.

Dengan berlakunya PerMenKeu No. 66/PMK.03/2008 tersebut, maka PerMenKeu sebelumnya yaitu PerMenKeu No. 18/PMK.03/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 11).

Untuk sekedar menyegarkan ingatan kembali, bahwa pemerintah melalui Menteri Keuangan memberikan fasilitas sunset policy atau semacam pengampunan pajak baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan sebagai berikut :

1. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar

2. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan :

· Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebelum Tahun Pajak 2007; atau

· Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan sebelum Tahun Pajak 2007,

yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Pengaturan lebih lanjut dapat dibaca dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.03/2008 terlampir.

PerMenKeu No.66/PMK03/2008

Thursday, May 1, 2008

Sunset Policy (Pengampunan Pajak ?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007

Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 menyisipkan 1 (satu) pasal yang tidak diatur dalam UU Perpajakan sebelumnya yakni Pasal 37A. Pasal ini mengatur mengenai kebijakan Sunset Policy (semacam pengampunan pajak) baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Lebih lanjut, isi dari Pasal 37A tersebut adalah sebagai berikut :

1. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini dberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya serta Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007.

Pasal 1

1. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

2. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilunasi sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Pasal 2

1. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.

2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2009.

3. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

4. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali :

· Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut menyatakan lebih bayar; atau

· terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan tersebut tidak benar.

Pasal 3

Terhadap Wajib Pajak yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) atau Pasal 2 ayat (1), tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Secara umum, kebijakan Sunset Policy tersebut adalah berupa penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar (kurang bayar), diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.

Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007, masa kadaluarsa kewajiban perpajakan diubah menjadi 5 tahun dari sebelumnya 10 tahun berdasarkan UU yang lama, apakah berarti SPT Tahunan yang perlu dilakukan pembetulan hanya sebatas 5 tahun ke belakang (tahun 2003 s.d tahun 2007) ?

Jika kita perhatikan lebih jauh, dalam Pasal II angka 1 UU No. 28 tahun 2007 tersebut diatur bahwa “Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000”.

Berarti, menurut saya, mengikuti Pasal II tersebut di atas, seharusnya SPT Tahunan yang perlu dibetulkan adalah untuk 10 tahun ke belakang (tahun 1998 s.d tahun 2007) sesuai dengan masa kadaluarsa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000.

Yang menarik, dalam Pasal II ditambahkan satu paragraf lagi (angka 2) yang menyatakan bahwa “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.” Berarti untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, jika tidak dilakukan penetapan pajak sampai dengan 2013, maka dengan sendirinya kewajiban perpajakan menjadi daluwarsa.

Sedikit informasi tambahan, pada tanggal 24 Maret 2008 kemarin, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak telah mengeluarkan pengumuman (public release) yang menghimbau para wajib pajak untuk memanfaatkan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan tersebut di atas (Hrd).

Sunset Policy (Pengampunan Pajak ?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007

Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 menyisipkan 1 (satu) pasal yang tidak diatur dalam UU Perpajakan sebelumnya yakni Pasal 37A. Pasal ini mengatur mengenai kebijakan Sunset Policy (semacam pengampunan pajak) baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Lebih lanjut, isi dari Pasal 37A tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini dberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya serta Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007.

Pasal 1

  1. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
  2. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilunasi sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Pasal 2

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.
  2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2009.
  3. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
  4. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali :
  • Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut menyatakan lebih bayar; atau
  • terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan tersebut tidak benar.

Pasal 3

Terhadap Wajib Pajak yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) atau Pasal 2 ayat (1), tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Secara umum, kebijakan Sunset Policy tersebut adalah berupa penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar (kurang bayar), diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.

Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007, masa kadaluarsa kewajiban perpajakan diubah menjadi 5 tahun dari sebelumnya 10 tahun berdasarkan UU yang lama, apakah berarti SPT Tahunan yang perlu dilakukan pembetulan hanya sebatas 5 tahun ke belakang (tahun 2003 s.d tahun 2007) ?

Jika kita perhatikan lebih jauh, dalam Pasal II angka 1 UU No. 28 tahun 2007 tersebut diatur bahwa "Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000".

Berarti, menurut saya, mengikuti Pasal II tersebut di atas, seharusnya SPT Tahunan yang perlu dibetulkan adalah untuk 10 tahun ke belakang (tahun 1998 s.d tahun 2007) sesuai dengan masa kadaluarsa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000.

Yang menarik, dalam Pasal II ditambahkan satu paragraf lagi (angka 2) yang menyatakan bahwa "Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013." Berarti untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, jika tidak dilakukan penetapan pajak sampai dengan 2013, maka dengan sendirinya kewajiban perpajakan menjadi daluwarsa.

Sedikit informasi tambahan, pada tanggal 24 Maret 2008 kemarin, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak telah mengeluarkan pengumuman (public release) yang menghimbau para wajib pajak untuk memanfaatkan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan tersebut di atas.

Thursday, April 10, 2008

Kewajiban penyampaian laporan keuangan konsolidasi dalam pelaporan SPT Tahunan

Dalam Pasal 4 Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada ayat 4 ditambahkan dua aline tambahan yang sebelumnya tidak diatur, yaitu ayat 4a dan 4b. Lebih lengkapnya bunyi ayat 4 sebagai berikut :

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampirkan dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (ayat 4)

Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak (ayat 4a)

(Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak. Contoh : PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi – Penjelasan ayat 4a)

Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan diangggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b. (ayat 4b)

Berdasarkan ketentuan dalam ayat 4a dan 4b tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pelaporan SPT Tahunan, Wajib Pajak yang memiliki penyertaan saham pada perusahaan lain dan memenuhi persyaratan wajib menyusun laporan keuangan konsolidasi (dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam PSAK No. 4 tentang Laporan Keuangan Konsolidasi), harus melampirkan baik laporan keuangan konsolidasi maupun laporan keuangan induk perusahaan tersendiri (sebelum dikonsolidasi).

Sedangkan, jika laporan keuangan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), maka merupakan kewajiban juga untuk melampirkan laporan keuangan yang telah diaudit.

Jika, persyaratan yang diatur dalam ayat 4a dan 4b di atas tidak dipenuhi, dengan sendirinya SPT Tahunan yang disampaikan dianggap tidak lengkap/tidak disampaikan.

Persyaratan perusahaan yang memiliki penyertaan saham pada perusahaan lain yang wajib menyusun laporan keuangan konsolidasi menurut PSAK No. 4 adalah sebagai berikut :

  1. perusahaan memiliki penyertaan saham dengan hak suara (pemilikan) lebih dari 50 % baik langsung maupun tidak langsung (melalui anak perusahaan) dan perusahaan memiliki kemampuan untuk mengendalikan anak perusahaan tersebut
  2. perusahaan memiliki penyertaan saham sebesar 50 % atau kurang tetapi dapat dibuktikan adanya kemampuan untuk mengendalikan anak perusahaan.

Jika persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka perusahaan yang walaupun memiliki penyertaan saham pada perusahaan lain, tidak perlu menyusun laporan keuangan konsolidasi.

Kewajiban untuk melampirkan laporan keuangan konsolidasian dalam pelaporan SPT selain laporan keuangan induk perusahaan tersendiri menurut saya merupakan langkah yang cukup bagus dari Dirjen Pajak atas permasalahan yang sering dihadapi oleh KAP.

Selama ini, untuk perusahaan yang diaudit oleh suatu KAP dan memenuhi persyaratan konsolidasi, maka opini auditor hanya diberikan atas laporan keuangan konsolidasi. Sedangkan untuk laporan keuangan induk perusahaan, auditor tidak boleh memberikan opini tersendiri. Hal ini sesuai dengan pengaturan dalam PSAK No. 4 paragraf 16 yang menyatakan bahwa induk perusahaan yang memenuhi persyaratan konsolidasi tidak boleh menyusun laporan keuangan induk perusahaan tersendiri (tanpa konsolidasi), kecuali jika laporan keuangan induk perusahaan tersendiri tersebut bersifat sebatas sebagai informasi tambahan bagi pengguna laporan keuangan konsolidasi. Berdasarkan PSAK No. 4, hanya ada satu laporan keuangan yang berlaku umum yaitu laporan keuangan konsolidasian. Dengan demikian, auditor tidak diperbolehkan untuk memberikan opini tersendiri atas laporan keuangan induk perusahaan saja.

Opini atas laporan keuangan induk perusahaan saja boleh diberikan auditor sebatas tidak terpisah dari opini atas laporan keuangan konsolidasian dan disajikan dalam paragraf tersendiri (sebagai informasi tambahan) setelah paragraf opini auditor atas laporan konsolidasian. Hal ini diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) - SA Seksi 9551.

Untuk penjelasan lebih lanjut, silahkan baca posting saya berikut ini : Auditor boleh memberikan opini tersendiri untuk laporan keuangan induk perusahaan

Bagi WP yang laporan keuangan konsolidasinya diaudit oleh KAP sering timbul masalah dalam pelaporan SPT Tahunan. Hal ini karena di satu sisi, auditor tidak boleh memberikan opini atas laporan keuangan induk perusahaan tersendiri, sedangkan di sisi lain, perpajakan tidak mengakui laporan keuangan konsolidasian karena menurut ketentuan perpajakan, baik induk perusahaan dan anak perusahaannya masing-masing adalah badan hukum yang berdiri sendiri. Laporan keuangan konsolidasi, dalam hal ini tidak bisa mencerminkan posisi keuangan dan kegiatan usaha dari masing-masing perusahaan tersebut.

Dalam pelaporan SPT Tahunan WP tersebut yang menyatakan diaudit oleh KAP dan dilampirkan laporan keuangan induk perusahaan (tanpa konsolidasi) , dalam praktek sering ditolak oleh pihak fiskus (kantor pelayanan pajak) karena menganggap laporan keuangan tersebut tidak diaudit oleh KAP (karena tidak ada lampiran opini auditor).

Jadi, dengan terbitnya peraturan yang mengharuskan bagi WP untuk melampirkan laporan keuangan konsolidasian dengan sendirinya akan memudahkan bagi WP dalam pelaporan SPT Tahunan nantinya. Semoga (Hrd)