Monday, August 22, 2016

DSAK IAI telah menerbitkan ED PSAK 70 tentang Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak

Sehubungan dengan disahkannya UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) (baca juga : Tax Amnesty 2016, Ungkap, Tebus, Lega) pada tanggal 1 Juli 2016 oleh Presiden Joko Widodo, selanjutnya sebagai response atas masalah perlakuan akuntansi atas aset dan liabilitas yang timbul dari program Tax Amnesty tersebut, DSAK IAI telah menerbitkan Exposure Draft (ED) PSAK 70 : Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak.  ED PSAK 70 ini telah disetujui untuk disebarluaskan dan ditanggapi pada tanggal 18 Agustus 2016.

Adapun beberapa pengaturan dalam ED PSAK 70 tersebut diantaranya adalah :

Pada paragraf 4 diatur bahwa pada saat diterbitkannya Surat Keterangan, entitas dalam laporan posisi keuangannya:

  1. mengakui aset dan liabilitas pengampunan pajak jika pengakuan atas aset atau liabilitas tersebut disyaratkan oleh SAK;
  2. tidak mengakui suatu item sebagai aset dan liabilitas jika SAK tidak memperbolehkan pengakuan atas item tersebut; dan
  3. mengukur, menyajikan, serta mengungkapkan aset dan liabilitas pengampunan pajak sesuai dengan SAK yang relevan.

Terlepas dari ketentuan dalam paragraf 4, Pernyataan ini memberikan opsi bagi entitas pada saat pengakuan awal untuk mengukur aset dan liabilitas pengampunan pajak sesuai dengan ketentuan dalam paragraf 06-14.

ASET pengampunan pajak diakui sebesar biaya perolehan aset pengampunan pajak (para.6), sedangkan LIABILITAS pengampunan pajak diakui sebesar kewajiban kontraktual untuk menyerahkan kas atau setara kas untuk menyelesaikan kewajiban yang berkaitan langsung dengan perolehan aset pengampunan pajak (para.7). Entitas mengakui SELISIH antara aset pengampunan pajak dan liabilitas pengampunan pajak sebagai bagian dari TAMBAHAN MODAL DISETOR di Ekuitas (para.8).

Entitas mengakui uang tebusan yang dibayarkan dalam LABA RUGI pada periode disampaikannya Surat Pernyataan (Para.9). Pada bagian Dasar Kesimpulan, dijelaskan bahwa Uang Tebusan yang dibayarkan untuk pengampunan pajak tidak termasuk dalam ruang lingkup PSAK 46 : Pajak Penghasilan, karena tidak dikenakan atas dasar neto sesuai dengan ketentuan dalam PSAK 46. Perlakuan akuntansi atas uang tebusan mengacu pada PSAK 57 : Provisi, Liabilitas Kontinjensi dan Aset Kontinjensi, sehingga uang tebusan diakui dalam laba rugi pada saat periode disampaikannya Surat Pernyataan dan tidak disajikan dalam akun BEBAN PAJAK dalam laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain sebagaimana dimaksud dalam PSAK 1 paragraf 82(d).

Aset dan Liabilitas pengampunan pajak disajikan secara terpisah dari aset dan liabilitas lainnya dalam laporan posisi keuangan (Para.12).

Entitas tidak melakukan saling hapus antara aset dan liabilitas pengampunan pajak (Para.13).

ED PSAK 70 ini berlaku sejak tanggal pengesahan UU Pengampunan Pajak.

Tanggapan tertulis atas ED PSAK 70 ini paling lambat diterima oleh DSAK IAI tanggal 26 Agustus 2016.

Isi selengkapnya dari ED PSAK 70 dapat dibaca melalui link berikut ini : ED PSAK 70 : Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak

CATATAN : DSAK IAI telah mengesahkan ED PSAK 70 menjadi PSAK 70 : Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak pada tanggal 14 September 2016. Baca lebih lanjut : Berita Pengesahan PSAK 70

Saturday, July 30, 2016

Perubahan Mata Uang, bagaimana pengaturan menurut PERPAJAKAN ?

Pada dasarnya perpajakan di Indonesia mengharuskan penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan mata uang Rupiah. Adapun penyelenggaraan pembukuan dalam mata uang selain Rupiah hanya diperbolehkan dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat, setelah mendapatkan izin tertulis dari Menteri Keuangan.

Peraturan pajak yang mengatur mengenai penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan mata uang asing adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.196/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Dalam Pasal 6 PMK No.196 tersebut diatur antara lain :

Bagi Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagai berikut:

PADA AWAL TAHUN BUKU :

Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari Neraca akhir tahun buku sebelumnya (dalam satuan mata uang Rupiah) yang dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs :

  1. untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;
  2. untuk akumulasi penyusutan dan/atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada bagian 1) menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;
  3. untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas;
  4. apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;
  5. untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, yakni kurs tengah Bank Indonesia, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;
  6. untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi;
  7. dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari satuan mata uang Rupiah ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada bagian 1), bagian 2), bagian 3), bagian 4) dan bagian 5) maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

DALAM TAHUN BERJALAN :

  • untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan;
  • untuk transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang menggunakan satuan mata uang selain Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi, yaitu sebagai berikut : (1) apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs yang diketahui dari transaksi tersebut; (2) apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas.

Selanjutnya, dalam Pasal 11 PMK No.196 tersebut diatur bahwa sisa kerugian fiskal dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya yang dapat dikompensasikan ke Tahun Pajak dimulainya pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada akhir tahun buku pada saat kerugian fiskal tersebut terjadi.

Wajib pajak yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat, harus menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dalam jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun pajak sejak diterbitkan izin atau penyampaian pemberitahuan.

CATATAN : baca juga tulisan sebelumnya : Perubahan Mata Uang Fungsional, bagaimana Standar Akuntansi Mengaturnya ? untuk membandingkan dengan pengaturan menurut Standar Akuntansi di Indonesia (PSAK).

Thursday, July 28, 2016

Perubahan Mata Uang Fungsional, bagaimana Standar Akuntansi Mengaturnya ?

Sebelum tanggal 1 Januari 2012, terdapat beberapa standar akuntansi yang mengatur mengenai pencatatan akuntansi serta pelaporan keuangan atas transaksi dalam mata uang asing. Salah satu standar akuntansi yang mengatur mengenai hal tersebut adalah PSAK 52 (1998) tentang Mata Uang Pelaporan.

Berkaitan dengan Mata Uang Fungsional (baca juga : Penentuan Mata Uang Fungsional dalam Pengukuran Transaksi Mata Uang Asing), PSAK 52 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 antara lain dalam paragraf 4 dan 5 mengatur bahwa :

Mata Uang Pelaporan yang digunakan oleh Perusahaan di Indonesia adalah mata uang Rupiah. Perusahaan dapat menggunakan mata uang selain Rupiah sebagai mata uang pelaporan hanya apabila mata uang tersebut memenuhi kriteria Mata Uang Fungsional.

Mata Uang Pencatatan harus sama dengan Mata Uang Pelaporan.

Selanjutnya, dalam paragarf 17 diatur bahwa :

Perusahaan diharuskan untuk mengubah mata uang pencatatan dan pelaporan ke Rupiah, apabila mata uang fungsional berubah dari bukan Rupiah ke Rupiah. Perubahan mata uang pencatatan dan pelaporan harus dilakukan pada awal tahun buku, bukan di tengah tahun buku.

Berkaitan dengan pengukuran kembali akun-akun laporan keuangan jika terjadi perubahan mata uang fungsional diatur dalam paragraf 14, 15 dan 16 yang antara lain menjelaskan bahwa :

  • Penentuan saldo awal untuk tujuan pencatatan akuntansi dilakukan dengan pengukuran kembali akun-akun laporan keuangan seolah-olah mata uang fungsional tersebut telah digunakan sejak tanggal terjadinya transaksi
  • Pengukuran kembali akun-akun laporan keuangan dilakukan surut hingga tahun di mana mata uang fungsional tersebut mulai berlaku

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PSAK 52 mensyaratkan penerapan secara RETROSPEKTIF (berlaku surut) atas perubahan mata uang fungsional.

Sedangkan pengaturan sejak tanggal 1 Januari 2012, dengan berlakunya PSAK 10 (Revisi 2010) tentang Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing, atas perubahan mata uang fungsional, paragraf 36 PSAK 10 mengatur bahwa :

Ketika terdapat perubahan dalam mata uang fungsional, entitas menerapkan prosedur penjabaran untuk mata uang fungsional yang baru secara PROSPEKTIF sejak tanggal perubahan tersebut.

Lebih lanjut, paragraf 38 antara lain menjelaskan bahwa :

Pengaruh perubahan mata uang fungsional diperlakukan secara prospektif. Dalam kata lain, entitas menjabarkan semua pos ke dalam mata uang fungsional yang baru menggunakan kurs pada tanggal perubahan itu. Hasil dari jumlah yang dijabarkan untuk pos non moneter dianggap sebagai biaya historisnya.

Jadi, kesimpulannya bahwa PSAK 10 (Revisi 2010) yang berlaku saat ini mensyaratkan penerapan secara PROSPEKTIF atas perubahan mata uang fungsional (HRD).

Saturday, July 9, 2016

TAX AMNESTY 2016, Ungkap, Tebus, Lega

Pada tanggal 28 Juni 2016 kemarin, DPR secara resmi mengesahkan Undang-Undang Tax Amnesty atau UU Pengampunan Pajak, dan selanjutnya pada tanggal 1 Juli 2016, Presiden RI Joko Widodo secara resmi mencanangkan program Pengampunan Pajak yang berlaku secara nasional dan terbuka bagi seluruh masyarakat wajib pajak. Melalui program Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) yang berlaku hingga 31 Maret 2017, pemerintah memberikan kesempatan bagi semua wajib pajak untuk mendapatkan penghapusan atas pokok pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan melalui pembayaran sejumlah uang tebusan dengan tarif tertentu.

Tax Amnesty ini berlaku untuk semua kewajiban perpajakan yang belum dibayar oleh wajib pajak sampai dengan tahun pajak terakhir (yaitu tahun pajak yang berakhir antara 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2015) melalui deklarasi aset dengan menggunakan Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak/SPHPP). Ruang lingkup Tax Amnesty ini meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan Barang Mewah.

Adapun Tax Amnesty diperhitungkan atas nilai aset bersih (aset dikurangi utang) yang dideklarasikan di dalam SPHPP, meliputi aset bersih yang ditempatkan baik di dalam maupun di luar Indonesia.

Besaran TARIF UANG TEBUSAN yang ditetapkan dalam UU Tax Amnesty adalah sebagai berikut :

(1) untuk Deklarasi Aset Luar Negeri yang tidak disertai dengan Repatriasi ke Indonesia, untuk periode penyampaian SPHPP antara bulan Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 4%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 6% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 10%.

(2) untuk Deklarasi Aset Luar Negeri yang disertai dengan Repatriasi ke Indonesia dan diinvestasikan di Indonesia minimal dalam 3 tahun, untuk periode penyampaian SPHPP antara Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 2%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 3% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 5%.

(3) untuk Deklarasi Aset Dalam Negeri dan tetap berada di Indonesia minimal dalam 3 tahun, untuk periode penyampaian SPHPP antara Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 2%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 3% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 5%.

Untuk wajib pajak UMKM yaitu wajib pajak dengan peredaran usaha sampai dengan Rp 4,8 Milyar per 31 Desember 2015 dikenakan TARIF UANG TEBUSAN sebagai berikut :

  1. Deklarasi Aset sampai dengan Rp 10 milyar dikenakan tarif 0,5%
  2. Deklarasi Aset di atas Rp 10 milyar dikenakan tarif 2%

Tarif uang tebusan untuk UMKM di atas dikenakan seragam untuk periode penyampaian SPHPP terhitung sejak Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017.

Berkaitan dengan perhitungan dasar pengenaan Uang Tebusan, nilai UTANG yang dapat diperhitungkan dibatasi sebagai berikut :

  1. Maksimal 75% dari nilai aset tambahan untuk wajib pajak korporasi
  2. Maksimal 50% dari nilai aset tambahan untuk wajib pajak individual

Program Tax Amnesty ini akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2017 (HRD).

Monday, June 20, 2016

Setelah SAK berbasis IFRS, SAK ETAP, sekarang SAK EMKM

Saat ini entitas bisnis di Indonesia dalam menyelenggarakan pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan mengenal dua jenis standar akuntansi yang berlaku di Indonesia yaitu SAK berbasis IFRS serta SAK ETAP. Tidak lama lagi, bakalan ada tambahan satu jenis SAK lagi yang dapat menjadi pilihan bagi entitas bisnis di Indonesia yaitu SAK EMKM, dimana Exposure Draft Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (ED SAK EMKM) telah disahkan oleh DSAK IAI dalam rapatnya pada tanggal 18 Mei 2016.

Seperti yang dipublikasikan di situs resmi IAI pada tanggal 8 Juni 2016 kemarin, IAI menyatakan bahwa dengan disahkannya ED SAK EMKM ini, maka standar akuntansi keuangan di Indonesia nantinya akan menjadi lengkap dengan tiga pilar standar akuntansi keuangan, yakni SAK Umum yang berbasis IFRS, SAK ETAP, dan SAK EMKM. Masing-masing pilar utama tersebut merupakan dukungan infrastruktur dalam konteks standar akuntansi keuangan yang dapat mencerminkan esensi dari entitas dunia usaha di Indonesia, yaitu :

  1. SAK Umum yang berbasis IFRS merupakan standar akuntansi yang mengatur perlakuan akuntansi untuk transaksi-transaksi yang dilakukan oleh entitas dengan akuntabilitas publik signifikan;
  2. SAK ETAP merupakan standar akuntansi keuangan yang dimaksudkan untuk digunakan oleh entitas tanpa akuntabilitas publik yang signifikan namun menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum bagi penggunanya; dan
  3. SAK EMKM (saat ini masih berupa ED) yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pelaporan keuangan entitas mikro, kecil, dan menegah.

GatraNews dalam publikasinya tanggal 16 Juni 2016 berjudul “Dorong EMKM Capai Literasi Keuangan, IAI Siapkan Standar Akuntansi" menulis bahwa :

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menilai mayoritas Entitas Mikro, Kecil dan Menengah (EMKM) di Indonesia sulit mendapatkan akses ke perbankan dan sumber pendanaan lainnya. Kondisi ini terjadi karena EMKM tidak memiliki laporan keuangan yang memadai dan sesuai standar yang berlaku di industri keuangan. Padahal, kontribusi EMKM terhadap pertumbuhan ekonomi domestik mencapai 60 persen. Bahkan sektor EMKM menyerap 97 persen tenaga kerja produktif Indonesia dan berperan sebagai penyangga ekonomi nasional di saat krisis.

Dalam rangka mewujudkan EMKM Indonesia yang maju, mandiri, dan modern serta mampu mengakses sumber pendanaan industri keuangan, IAI sebagai standard setter menyiapkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, Menengah (SAK EMKM). 

Lantas, kriteria entitas bisnis seperti apa yang dapat menggunakan SAK EMKM ini nantinya ?

IAI menyatakan bahwa Undang-undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat digunakan sebagai acuan dalam mendefinisikan dan memberikan rentang kuantitatif EMKM.

Adapun UU No.20 Tahun 2008 dalam Pasal 6 mengatur bahwa kriteria Usaha Mikro adalah jika memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 Juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 Juta. Kriteria Usaha Kecil adalah jika memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 Juta sampai dengan Rp 500 Juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 Juta sampai dengan Rp 2,5 Milyar. Sedangkan kriteria Usaha Menengah adalah jika memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 Juta sampai dengan Rp 10 Milyar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2,5 Milyar sampai dengan Rp 50 Milyar.

SAK EMKM ini rencananya akan mulai berlaku efektif tanggal 1 Januari 2018.

Bagi yang membutuhkan ED SAK EMKM tersebut dapat diperoleh melalui link berikut ini : ED SAK EMKM