Monday, July 14, 2008

Apa itu Pos Luar Biasa serta Bagaimana Penyajiannya dalam Laporan Keuangan ?

Laba atau rugi bersih untuk periode berjalan terdiri atas unsur-unsur berikut, yang masing-masing harus diungkapkan pada laporan laba rugi, yaitu :

(a) Laba atau rugi dari aktivitas normal; dan

(b) Pos luar biasa

Penyajian Pos Luar Biasa dalam laporan laba rugi perusahaan diatur berdasarkan PSAK No. 25 mengenai Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi Paragraf 10 - 14.

Sebenarnya semua unsur pendapatan dan beban yang tercakup dalam perhitungan laba rugi bersih untuk periode tertentu timbul dari aktivitas normal perusahaan tersebut. Karenanya, jarang sekali suatu kejadian atau transaksi menimbulkan pos luar biasa

Apakah suatu kejadian atau transaksi secara jelas berbeda dengan aktivitas normal suatu perusahaan ditentukan oleh hakikat dari kejadian atau transaksi tersebut sehubungan dengan usaha yang biasanya dilakukan oleh perusahaan tersebut. Oleh karena itu, suatu kejadian atau transaksi mungkin luar biasa bagi satu perusahaan, namun tidak luar biasa bagi perusahaan lain, karena perbedaan-perbedaan aktivitas normal masing-masing perusahaan. Sebagai contoh, kerugian karena gempa bumi pada kebanyakan perusahaan dapat dianggap sebagai kerugian luar biasa. Akan tetapi, tuntutan ganti rugi oleh pemegang polis asuransi kerugian karena gempa bumi tidak dapat dianggap sebagai pos luar biasa untuk perusahaan asuransi yang menanggung kerugian tersebut.

Suatu kejadian atau transaksi dapat diklasifikasikan sebagai pos luar biasa jika memenuhi dua kriteria berikut :

(a) Bersifat tidak normal; kejadian atau transaksi yang bersangkutan memiliki tingkat abnormalitas yang tinggi dan tidak mempunyai hubungan dengan kegiatan normal perusahaan

(b) Tidak sering terjadi; kejadian atau transaksi yang bersangkutan tidak sering terjadi dalam kegiatan normal perusahaan.

Penerapan kedua kriteria di atas harus dihubungkan dengan sifat dan karakteristik dari kegiatan perusahaan serta faktor geografis perusahaan. Bila hanya salah satu kriteria tersebut terpenuhi, maka transaksi atau kejadian tersebut dikelompokkan sebagai penghasilan atau beban lain-lain.

Contoh kejadian atau transaksi yang pada umumnya menimbulkan kerugian luar biasa bagi perusahaan adalah kerugian sebagai akibat gempa bumi, kebakaran, atau banjir. Kerugian tersebut setelah dikurangi dengan klaim asuransi, jika ada, disajikan sebagai unsur pos luar biasa dalam laporan laba rugi.

Pos luar biasa dalam laporan laba rugi disajikan setelah laba yang berasal dari kegiatan normal perusahaan. Hakikat dari pos luar biasa dan pertimbangan yang mendasari pengelompokan kejadian atau transaksi tersebut sebagai pos luar biasa harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Dengan demikian, pengguna laporan keuangan tetap dapat melakukan evaluasi mengenai kinerja perusahaan yang berasal dari kegiatan normal selama periode tersebut sekaligus juga melihat pengaruh dari pos luar biasa terhadap perhitungan laba rugi perusahaan untuk periode yang bersangkutan.

Ilustrasi penyajian Pos Luar Biasa dalam laporan laba rugi perusahan sebagai berikut :

PT ABC - Laporan Laba Rugi

PENDAPATAN USAHA xxxxxxxx
BEBAN POKOK PENJUALAN (xxxxxxx)
LABA KOTOR xxxxxxx
BEBAN USAHA (xxxxxxx)
LABA USAHA xxxxxxx
PENGHASILAN (BEBAN) LAIN-LAIN xxxxxxx
LABA SEBELUM PAJAK PENGHASILAN xxxxxxx
BEBAN (PENGHASILAN) PAJAK PENGHASILAN
Periode Berjalan xxxxxxx
Tangguhan xxxxxxx
LABA DARI AKTIVITAS NORMAL xxxxxxx
POS LUAR BIASA xxxxxxx
LABA BERSIH xxxxxxx

Demikian sedikit penjelasan mengenai Pos Luar Biasa. Semoga bermanfaat (Hrd).

Saturday, July 12, 2008

Perlakuan perpajakan atas konversi Hutang menjadi Modal (Debt to Equity SWAP)

Melalui Surat No. S-141/PJ.42/2004 tanggal 14 Mei 2004, Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan Wajib Pajak PT ABC berkaitan dengan Perlakuan Perpajakan atas Konversi Utang Menjadi Modal.

PT ABC yang bergerak di bidang industry mutiara merencanakan untuk menerbitkan saham baru sejumlah USD 12,530 juta ke pemegang saham asing, PT XYZ, dengan cara mengkonversi pinjaman jangka panjang pemegang saham (utang) menjadi penyertaan modal dari pemegang saham yang sama (debt to equity swap), dalam jumlah yang sama. Tingkat konversi modal rupiah akan digunakan sama dengan kurs mata uang USD terhadap rupiah pada waktu modal awal dibayar, yaitu Rp 135,50/USD. Perbedaan antara kurs pada saat penyetoran modal awal dengan kurs pada saat ini (Rp 8.465/USD per 31 Desember 2003) dicatat sebagai tambahan agio saham. Setelah konversi tersebut, pinjaman pemegang saham sebagai penyetoran saham tidak akan dibebankan biaya bunga.

PT ABC berpendapat bahwa proses konversi tersebut tidak menimbulkan pendapatan kena pajak, karena konversi utang menjadi modal dalam jumlah yang sama dengan nilai buku dari utang tersebut dianggap sebagai transaksi Laporan Neraca dan bukan merupakan penghapusan utang.

Perbedaan kurs yang dicatat sebagai tambahan agio saham tidak dikenakan PPh karena merupakan transaksi Neraca.

Karena kewajiban membayar bunga pinjaman kepada pemegang saham selesai, maka kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 kepada pemegang saham tidak ada lagi.

Atas hal-hal tersebut di atas, Dirjen Pajak memberikan penegasan sebagai berikut :

Berdasarkan UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan huruf k diatur bahwa “Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk antara lain bunga dan keuntungan karena pembebasan utang”.

Pasal 10 ayat (2) mengatur bahwa “Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar”.

Sedangkan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan ayat (5) diatur bahwa “Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk bunga, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20 % dan bersifat final, dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.

Selanjutnya, berdasarkan penjelasan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus yang Dibentuk Pemerintah, antara lain diatur bahwa dalam hal perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur (debt to equity swap), besarnya jumlah penyertaan modal tersebut untuk kepentingan perpajakan harus sama dengan nilai buku utang debitur. Apabila nilai saham ditetapkan berdasarkan nilai buku atau harga pasar, atas agio atau disagio saham yang diperoleh debitur bukan merupakan penghasilan ataupun kerugian bagi debitur.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat diberikan penegasan sebagai berikut ;

Dalam transaksi konversi utang menjadi modal (debt to equity swap), sepanjang dilakukan dengan nilai yang sama antara pelunasan utang dan penyertaan modal, yakni sebesar nilai buku utang terakhir, maka tidak terdapat konsekuensi perpajakan seketika. Dalam hal utang (sebesar nilai buku terakhir) dilunasi melalui perubahan bentuk menjadi penyertaan modal yang jumlahnya lebih kecil, maka selisihnya merupakan keuntungan karena pembebasan utang bagi debitur dan penghapusan piutang bagi kreditur berdasarkan suatu perjanjian. Sebaliknya, apabila jumlah penyertaan modal lebih besar dari nilai buku terakhir utang yang dilunasi, maka selisihnya merupakan penghasilan bunga bagi kreditur dan biaya bunga bagi debitur.

Agio dan disagio saham yang timbul karena transaksi penyertaan modal yang menggunakan harga pasar, bukan merupakan penghasilan ataupun kerugian bagi debitur.

Atas penghasilan bunga yang diterima oleh kreditur sebagai wajib pajak luar negeri, wajib dipotong pajak sebesar 20% yang bersifat final, dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan, sepanjang bunga atas pinjaman tersebut telah dibebankan sebagai biaya bunga oleh debitur dan telah diakui sebagai penghasilan oleh pihak kreditur (Hrd).

Wednesday, July 9, 2008

Mengenal Sistem Pengendalian Mutu KAP

Setiap Kantor Akuntan Publik (KAP) wajib memiliki sistem pengendalian mutu yang harus diterapkan pada semua jasa audit, atestasi, akuntansi dan review, yang standarnya telah ditetapkan dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).

Dalam setiap penugasan jasa profesional, KAP bertanggung jawab untuk mematuhi SPAP. Dalam pemenuhan tanggung jawab tersebut, KAP wajib mempertimbangkan integritas stafnya, independensi terhadap klien, kompetensi, objektivitas serta penggunaan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. Oleh karena itu, KAP harus memiliki sistem pengendalian mutu yang mencakup struktur organisasi, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan KAP untuk memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian penugasan profesional dengan SPAP.

Sistem Pengendalian Mutu KAP diatur dalam Pernyataan Standar Pengendalian Mutu (PSPM) No. 01 yang dikeluarkan oleh Komite SPAP.

Sifat dan lingkup kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang ditetapkan oleh KAP dapat berbeda antara antara KAP yang satu dengan lainnya karena penyusunan sistem pengendalian mutu KAP dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain ukuran KAP, tingkat otonomi yang diberikan kepada staf dan kantor-kantor cabangnya, sifat praktik, organisasi kantor serta pertimbangan biaya manfaat.

KAP harus mempertimbangkan setiap unsur pengendalian mutu, sejauh dapat diterapkan dalam prakteknya, dalam merumuskan kebijakan dan prosedur pengendalian mutu.

Adapun unsur-unsur pengendalian mutu dimaksud adalah berupa :

1. Independensi

2. Penugasan Personel

3. Konsultasi

4. Supervisi

5. Pemekerjaan (Hiring)

6. Pengembangan Profesional

7. Promosi (Advancement)

8. Penerimaan dan Keberlanjutan Klien

9. Inspeksi

KAP wajib mengkomunikasikan kebijakan dan prosedur pengendalian mutu kepada personelnya dengan suatu cara yang akan memberikan keyakinan memadai bahwa kebijakan dan prosedur tersebut dapat dipahami. Bentuk dan lingkup komunikasi tersebut harus cukup komprehensif sehingga dapat menyampaikan, kepada personel KAP, informasi mengenai kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang berhubungan dengan mereka.

Pada umumnya, komunikasi akan lebih baik apabila dilakukan secara tertulis, namun keefektifan sistem pengendalian mutu KAP tidak terpengaruh oleh ketiadaan dokumentasi kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang ditetapkan oleh KAP. Ukuran, struktur, dan sifat praktek KAP harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah dokumentasi kebijakan dan prosedur pengendalian mutu diperlukan dan, jika diperlukan, seberapa luas dokumentasi tersebut dilaksanakan.

Umumnya, dokumentasi kebijakan dan prosedur pengendalian mutu pada KAP besar akan lebih ekstensif dibandingan dengan dokumentasi pada KAP kecil, begitu pula dokumentasi akan lebih ekstensif pada KAP yang memilki banyak kantor dibandingkan dengan dokumentasi pada KAP yang hanya memiliki satu kantor.

KAP harus memantau keefektifan sistem pengendalian mutunya dengan mengevaluasi, secara rutin, kebijakan dan prosedur pengendalian mutunya, penetapan tanggung jawab, dan komunikasi kebijakan serta prosedurnya.

Perubahan terhadap kebijakan dan prosedur pengendalian mutu KAP dapat terjadi karena adanya perubahan yang berasal dari Pernyataan baru oleh pihak berwenang, atau karena adanya perubahan keadaan seperti adanya perluasan praktik atau pembukaan kantor baru ataupun adanya penggabungan (merger) KAP.

Demikian sedikit pembahasan dan pengenalan Sistem Pengendalian Mutu KAP yang diatur dalam PSPM No. 01. Pada tulisan selanjutnya, saya akan memaparkan mengenai sembilan unsur pengendalian mutu KAP di atas, yang diatur berdasarkan PSPM No. 02 mengenai Perumusan Kebijakan dan Prosedur Pengendalian Mutu (Hrd).

Thursday, July 3, 2008

Introduction to Business Combination

Penggabungan usaha dalam praktek bisnis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penerbitan saham baru dan pembelian aktiva perusahaan yang akan diakuisisi. Dari kedua cara tersebut lahirlah dua metode pencatatan yang dikenal yaitu, metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest) dan metode pembelian (purchase).

Kedua metode ini merupakan pilihan yang dapat digunakan dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam PSAK 22 tentang “Akuntansi Penggabungan Usaha”.

Namun sering para praktisi mencari celah pada syarat-syarat yang telah ditentukan sehingga dapat memilih metode pencatatan akuntansi yang paling menguntungkan.

PSAK No. 22 merupakan standar akuntansi keuangan yang diadopsi dari IAS No. 22 tentang “Business Combinations”. Namun, kemudian IAS No. 22 tidak berlaku lagi karena telah digantikan dengan IFRS No. 3 yang berlaku efektif sejak 31 Maret 2004.

IFRS No. 3 yang menggantikan IAS No. 22 tidak lagi mengijinkan penerapan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest) sehingga dengan sendirinya semua transaksi penggabungan usaha harus dibukukan dengan menggunakan metode pembelian (purchase). Sedangkan PSAK yang berlaku di Indonesia sampai dengan saat ini masih mengijinkan penggunaan kedua metode penyatuan kepemilikan dan pembelian.

(Kutipan dari buku Akuntansi Penggabungan Usaha karangan Marisi P. Purba)

Introduction to Business Combinations

All business combinations are now, for accounting purpose under IFRS, considered to be acquisitions, whereby one entity (the parent) takes management control of another entity, or of its assets and liabilities. This is independent of the legal form of the business combination. Thus, two entities may consolidate to create a new, third enterprise. Alternatively, one entity may purchase, for cash or for stock, the stock of another enterprise, which may or may not be followed by a formal merging of the acquired entity into the acquirer. In yet other cases, one entity may simply purchase the assets of another, with or without assuming the debts of that enterprise. One enterprise may enter into an agreement for another to manage its assets and liabilities.

Uniting of Interests

The use of pooling of interests (or uniting of interests) accounting had been widespread for about fifty years, particularly in the US. Under this method of accounting of business combinations, the pre-merger book values of each combining entity’s assets and liabilities would simply be added together, with no re-measurement to fair value.

US GAAP eliminated pooling accounting outright (effective mid-2001) and the IASB followed suit, under IFRS 3, from early 2004. With the exceptions of selected types of combinations, such as those involving existing affiliated entities, where there are conceptually sound reasons to not permit fair value adjustments at the time of what may not be arm’s-length acquisition transactions, all business combinations must now be treated as acquisitions of one entity by another, with the acquiree’s assets and liabilities being recorded at fair values.

(Business Combinations and Consolidated Financial Statements - WILEY IFRS 2008 Interpretation and Application)

Jadi, dengan mulai berlakunya IFRS No. 3 sejak 31 Maret 2004, semua transaksi penggabungan usaha harus diperlakukan sebagai akuisisi dan harus dibukukan dengan metode pembelian dimana semua aset dan kewajiban dicatat dengan nilai wajar (fair value) (Hrd).