Showing posts with label Pengusaha Kecil. Show all posts
Showing posts with label Pengusaha Kecil. Show all posts

Wednesday, July 18, 2018

Peredaran Bruto tidak lebih dari Rp 4,8 Miliar, kini Pajaknya 0,5%

Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2013 (PP 46/2013) (baca di sini), atas penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dikenakan Pajak Penghasilan Final dengan tarif sebesar 1% (satu persen).

Pada tanggal 8 Juni 2018 Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2018 (PP 23/2018) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, menggantikan PP 46/2013.

Pasal 2 PP 23/2018 ini mengatur bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat FINAL dalam jangka waktu tertentu dengan tarif sebesar 0,5% (nol koma lima persen), turun dari tarif yang ditetapkan berdasarkan PP 46/2013 sebelumnya sebesar 1%.

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah :

  1. Wajib Pajak orang pribadi; dan
  2. Wajib Pajak badan

yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam satu Tahun Pajak.

Adapun penghasilan dari usaha yang dikecualikan dari penerapan tarif Pajak FINAL sebesar 0,5% ini adalah sebagai berikut (Pasal 2 ayat 3) :

  1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (contohnya pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris dan lainnya);
  2. penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
  3. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  4. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak

Jika sebelumnya, berdasarkan PP 46/2013, pengenaan Pajak Penghasilan Final sebesar 1% bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam satu Tahun Pajak adalah bersifat mutlak/keharusan, maka berdasarkan PP 23/2018 ini, Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar tersebut diberi kebebasan untuk memilih apakah dikenakan Pajak Penghasilan Final sebesar 0,5% atau memilih untuk dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau Pasal 17 ayat (2a) dan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak badan.

Pengaturan lainnya yang berbeda dengan PP 46/2013 adalah adanya ketentuan mengenai pembatasan jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan Final tersebut. Pasal 5 PP 23/2018 menjelaskan bahwa jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu paling lama :

  1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
  3. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Penentuan jangka waktu di atas adalah terhitung sejak :

  1. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau
  2. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

PP 23/2018 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018 menggantikan PP 46/2013 (HRD).

Monday, June 20, 2016

Setelah SAK berbasis IFRS, SAK ETAP, sekarang SAK EMKM

Saat ini entitas bisnis di Indonesia dalam menyelenggarakan pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan mengenal dua jenis standar akuntansi yang berlaku di Indonesia yaitu SAK berbasis IFRS serta SAK ETAP. Tidak lama lagi, bakalan ada tambahan satu jenis SAK lagi yang dapat menjadi pilihan bagi entitas bisnis di Indonesia yaitu SAK EMKM, dimana Exposure Draft Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (ED SAK EMKM) telah disahkan oleh DSAK IAI dalam rapatnya pada tanggal 18 Mei 2016.

Seperti yang dipublikasikan di situs resmi IAI pada tanggal 8 Juni 2016 kemarin, IAI menyatakan bahwa dengan disahkannya ED SAK EMKM ini, maka standar akuntansi keuangan di Indonesia nantinya akan menjadi lengkap dengan tiga pilar standar akuntansi keuangan, yakni SAK Umum yang berbasis IFRS, SAK ETAP, dan SAK EMKM. Masing-masing pilar utama tersebut merupakan dukungan infrastruktur dalam konteks standar akuntansi keuangan yang dapat mencerminkan esensi dari entitas dunia usaha di Indonesia, yaitu :

  1. SAK Umum yang berbasis IFRS merupakan standar akuntansi yang mengatur perlakuan akuntansi untuk transaksi-transaksi yang dilakukan oleh entitas dengan akuntabilitas publik signifikan;
  2. SAK ETAP merupakan standar akuntansi keuangan yang dimaksudkan untuk digunakan oleh entitas tanpa akuntabilitas publik yang signifikan namun menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum bagi penggunanya; dan
  3. SAK EMKM (saat ini masih berupa ED) yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pelaporan keuangan entitas mikro, kecil, dan menegah.

GatraNews dalam publikasinya tanggal 16 Juni 2016 berjudul “Dorong EMKM Capai Literasi Keuangan, IAI Siapkan Standar Akuntansi" menulis bahwa :

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menilai mayoritas Entitas Mikro, Kecil dan Menengah (EMKM) di Indonesia sulit mendapatkan akses ke perbankan dan sumber pendanaan lainnya. Kondisi ini terjadi karena EMKM tidak memiliki laporan keuangan yang memadai dan sesuai standar yang berlaku di industri keuangan. Padahal, kontribusi EMKM terhadap pertumbuhan ekonomi domestik mencapai 60 persen. Bahkan sektor EMKM menyerap 97 persen tenaga kerja produktif Indonesia dan berperan sebagai penyangga ekonomi nasional di saat krisis.

Dalam rangka mewujudkan EMKM Indonesia yang maju, mandiri, dan modern serta mampu mengakses sumber pendanaan industri keuangan, IAI sebagai standard setter menyiapkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, Menengah (SAK EMKM). 

Lantas, kriteria entitas bisnis seperti apa yang dapat menggunakan SAK EMKM ini nantinya ?

IAI menyatakan bahwa Undang-undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat digunakan sebagai acuan dalam mendefinisikan dan memberikan rentang kuantitatif EMKM.

Adapun UU No.20 Tahun 2008 dalam Pasal 6 mengatur bahwa kriteria Usaha Mikro adalah jika memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 Juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 Juta. Kriteria Usaha Kecil adalah jika memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 Juta sampai dengan Rp 500 Juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 Juta sampai dengan Rp 2,5 Milyar. Sedangkan kriteria Usaha Menengah adalah jika memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 Juta sampai dengan Rp 10 Milyar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2,5 Milyar sampai dengan Rp 50 Milyar.

SAK EMKM ini rencananya akan mulai berlaku efektif tanggal 1 Januari 2018.

Bagi yang membutuhkan ED SAK EMKM tersebut dapat diperoleh melalui link berikut ini : ED SAK EMKM

Monday, December 30, 2013

Perubahan Batasan PENGUSAHA Kecil PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Pada tanggal 20 Desember 2013 kemarin, Menteri Keuangan RI telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.197/PMK.03/2013 mengenai Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Sebelumnya, berdasarkan PMK No.68/PMK.03/2010, batasan PENGUSAHA KECIL PPN adalah sebesar Rp 600 juta. Melalui PMK No.197/PMK.03/2013 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2014 ini, batasan PENGUSAHA KECIL PPN tersebut telah ditingkatkan menjadi sebesar Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 1 PMK tersebut dijelaskan bahwa PENGUSAHA KECIL merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) TAHUN BUKU melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto TIDAK LEBIH dari Rp 4.800.000.000. Jumlah peredaran bruto ini merupakan jumlah keseluruhan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.

Pasal 4 PMK No.197 tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila SAMPAI DENGAN SUATU BULAN DALAM TAHUN BUKU jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 Miliar. Kewajiban untuk melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling lama AKHIR BULAN BERIKUTNYA setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 Miliar.

Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam 1 tahun buku tidak melebihi Rp 4,8 Miliar, maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan PENCABUTAN pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (HRD).

Monday, September 9, 2013

Pajak Final atas Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar

Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2013 (PP 46/2013) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu mengatur mengenai pajak penghasilan atas penghasilan usaha yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Pasal 2 PP 46/2013 tersebut mengatur bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat FINAL.

Adapun kriteria wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah wajib pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
  2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam satu tahun pajak

Kriteria Wajib Pajak Orang Pribadi di atas tidak termasuk wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya :

  1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan

Sedangkan untuk kriteria Wajib Pajak Badan di atas, tidak termasuk :

  1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
  2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4,8 Miliar

Besarnya tarif Pajak Penghasilan Final yang dikenakan bagi Wajib Pajak orang pribadi ataupun badan yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar sesuai ketentuan di atas adalah sebesar 1 % (satu persen), dimana pengenaan pajaknya didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam satu tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4,8 Miliar dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenakan tarif Pajak Penghasilan Final sebesar 1 % tersebut sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan. Jika peredaran bruto wajib pajak telah melebihi Rp 4,8 Miliar pada suatu tahun pajak, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak pada tahun pajak berikutnya dikenakan tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan Final di atas adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013 (HRD).