Showing posts with label Pajak Tangguhan. Show all posts
Showing posts with label Pajak Tangguhan. Show all posts

Thursday, April 9, 2020

Pajak Tangguhan atas penurunan tarif Pajak Penghasilan (Perppu No.1/2020), apakah harus disesuaikan ?

Seperti yang saya informasikan dalam tulisan saya sebelumnya, pada tanggal 31 Maret 2020 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2020 dimana dalam Perppu tersebut diatur antara lain mengenai penurunan tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi sebesar 22% yang berlaku pada tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2022. Sebelumnya tarif Pajak Penghasilan badan dalam negeri dan BUT yang berlaku adalah tarif tunggal 25%.

Penurunan tarif Pajak Penghasilan badan sebelumnya juga pernah dilakukan oleh otoritas perpajakan Indonesia yaitu pada tahun 2008 berdasarkan UU Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 yang diterbitkan pada bulan September 2008, dimana tarif Pajak Penghasilan badan yang sebelumnya menggunakan tarif progresif 10%, 15% dan 30% dirubah menjadi tarif tunggal sebesar 28% pada tahun 2009 dan 25% sejak tahun 2010 (Baca juga tulisan terkait : Penerapan tarif tunggal 28% dalam perhitungan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009).

Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia yaitu PSAK 46 mengenai Pajak Penghasilan mengatur secara khusus mengenai perlakuan pencatatan akuntansi jika sekiranya terjadi perubahan tarif pajak yang berlaku.

Seperti yang kita ketahui PSAK 46 mengatur perlakuan akuntansi untuk dua jenis Pajak Penghasilan yaitu Pajak Kini dan Pajak Tangguhan. Perlakuan pencatatan akuntansi Pajak Tangguhan atas perubahan tarif pajak diatur dalam paragraf 47 dan 48.

Paragraf 47 mengatur bahwa aset dan liabilitas pajak tangguhan diukur dengan menggunakan tarif pajak yang diharapkan berlaku ketika aset dipulihkan atau liabilitas diselesaikan, berdasarkan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku atau secara substantif telah berlaku pada akhir periode pelaporan.

Selanjutnya, paragraf 48 mengatur bahwa aset dan liabilitas pajak kini dan tangguhan biasanya diukur dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Akan tetapi, jika tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka dapat dianggap bahwa tarif pajak (dan peraturan pajak) tersebut secara substantif telah berlaku (walaupun tarif dan peraturan pajak tersebut baru berlaku efektif beberapa bulan setelah pengumuman). Dalam hal tersebut aset dan liabilitas pajak diukur dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah diumumkan.

Pertanyaan : Terkait dengan penyajian laporan keuangan tahun 2019 yang saat ini sedang dipersiapkan perusahaan-perusahaan, untuk perubahan tarif pajak penghasilan berdasarkan Perppu No.1 Tahun 2020 tersebut apakah mengakibatkan saldo Aset ataupun Liabilitas Pajak Tangguhan di laporan keuangan tahun 2019 harus disesuaikan dengan tarif pajak yang baru tersebut ?

Dengan mengacu kepada ketentuan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46 seperti yang dijelaskan di atas, untuk kasus perubahan tarif pajak di tahun 2008 sesuai dengan UU No.36 Tahun 2008 mengakibatkan laporan keuangan perusahaan tahun 2008 pada saat itu harus disesuaikan dengan perubahan tarif pajak yang berlaku di tahun 2009. Saldo Pajak Tangguhan di laporan keuangan perusahaan tahun 2008 harus disajikan seolah-olah sudah menggunakan tarif pajak yang baru walaupun tarif pajak yang baru tersebut belum berlaku saat itu.

Bagaimana halnya dengan kasus perubahan tarif pajak sesuai dengan Perppu No.1 Tahun 2020 ini ? Apakah penerapannya sama ? Apakah hal tersebut juga mengakibatkan saldo Pajak Tangguhan di laporan keuangan perusahaan tahun 2019 harus disesuaikan juga ?

Kembali kepada ketentuan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46, menurut saya perubahan tarif pajak sesuai dengan Perppu No.1 Tahun 2020 tidak mengakibatkan penyesuaian terhadap saldo Pajak Tangguhan di Laporan Keuangan tahun 2019. Kenapa ? Hal ini karena Perppu No.1 Tahun 2020 diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2020, sudah lewat dari tanggal akhir periode pelaporan tahun 2019. Sedangkan untuk kasus perubahan tarif pajak di tahun 2008, peraturan pemerintah yaitu UU No.36 Tahun 2008 sudah diterbitkan dalam tahun 2008 (lihat kembali pengaturan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46) HRD ***

Saturday, January 17, 2009

Perubahan tarif pajak berdasarkan UU No. 36 tahun 2008, perhitungan pajak tangguhan harus disesuaikan ?

Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP Orang Pribadi) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.

Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.

UU No. 36 tahun 2008 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Lantas, apakah perubahan tarif tersebut akan mempengaruhi perhitungan pajak tangguhan (deferred tax) ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kembali pengaturan dalam PSAK terkait yaitu PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.

PSAK 46 Akuntansi Pajak Penghasilan (Reformat 2007) dalam paragraf 29 mengatur bahwa kewajiban (aset) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya diakui sebesar jumlah pajak terutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

Selanjutnya, dalam paragraf 30 dijelaskan bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang telah berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

Kemudian, dalam paragaraf 31 dijelaskan juga bahwa aset dan kewajiban pajak, baik yang bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Apabila tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka dapat dianggap bahwa tarif (dan peraturan) tersebut telah secara substantif berlaku [walaupun berlakunya tarif (dan peraturan) tersebut secara efektif mungkin saja masih beberapa bulan sesudah pengumumannya]. Dalam hal tersebut aset dan kewajiban pajak harus dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah dinyatakan berlaku.

Paragraf 32 menjelaskan bahwa apabila tarif pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba fiskal yang berbeda, maka aset dan kewajiban pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-rata yang akan dikenakan terhadap laba fiskal (rugi pajak) pada saat perbedaan temporer membalik (reverse).

Sedangkan paragraf selanjutnya yaitu par. 33 mengatur bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aset atau penyelesaian kewajiban yang diharapkan perusahaan pada tanggal neraca.

Dari uraian di atas, jelas bahwa atas perubahan tarif pajak untuk WP Badan dari sebelumnya dikenakan tarif progresif menjadi tarif tunggal yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, maka atas penyajian Pajak Tangguhan tahun 2008 harus dilakukan penyesuaian sesuai dengan pengaturan dalam PSAK No. 46 (Hrd). ***

Sunday, June 29, 2008

Bad Debt Expense, bagaimana perlakuan pajak tangguhannya ?

Secara umum akuntansi mengenal dua metode pencatatan penghapusan piutang ragu-ragu yaitu metode penghapusan langsung (direct write-off method) serta metode penghapusan tidak langsung (indirect write-off method).

Dengan metode penghapusan langsung, pembebanan piutang tak tertagih baru dilakukan apabila piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi. Sedangkan, metode penghapusan tidak langsung mengharuskan pembentukan cadangan estimasi piutang tak tertagih pada setiap periode pelaporan keuangan.

Sedangkan dari segi perpajakan hanya mengenal metode penghapusan langsung. Penggunaan metode tidak langsung tidak diperkenankan dalam peraturan perpajakan.

Selain itu, perpajakan dalam UU PPh mensyaratkan bahwa suatu piutang baru dapat diakui sebagai piutang tak tertagih dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto jika secara yuridis piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi.

Adapun persyaratan yuridis yang harus dipenuhi adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, sebagai berikut :

1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;

3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan

4. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Jika secara akuntansi perusahaan menerapkan metode penghapusan tidak langsung (melalui pembentukan cadangan piutang tak tertagih), maka dengan sendirinya akan timbul beda waktu antara pencatatan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur pajak tangguhan menurut PSAK 46.

Namun, dalam kondisi tertentu bad debt expense bisa berpotensi menjadi beda tetap. Jika sekiranya wajib pajak tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tersebut di atas maka bad debt expense secara perpajakan dengan sendirinya tidak dapat dibiayakan sehingga berubah menjadi beda tetap.

Berikut ini ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda waktu bad debt expense :

PT A membukukan cadangan estimasi piutang tak tertagih per 31/12/2007 sebesar Rp 40.000.000 dengan jurnal sebagai berikut :

Bad Debt Expense   40.000.000  
    Cadangan Bad Deb Exp   40.000.000

Sedangkan jurnal pajak tangguhannya sebagai berikut :

Aktiva Pajak Tangguhan   12.000.000  
  Penghasilan Pjk Tangguhan   12.000.000

(perhitungan pajak tangguhan : 30 % x Rp 40.000.000)

KESIMPULAN

Pada prinsipnya perbedaan yang disebabkan oleh adanya bad debt expense merupakan beda waktu (temporary difference), namun jika syarat penghapusan piutang tak tertagih yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tidak terpenuhi, maka bad debt expense yang timbul akan menjadi beda tetap (permanent difference) (Hrd).

Monday, June 9, 2008

Kompensasi Rugi Fiskal, bagaimana perhitungan pajak tangguhannya ?

Pada posting-posting sebelumnya, saya sudah beberapa kali membahas mengenai akuntansi pajak tangguhan. Pengertian istilah dalam akuntansi pajak tangguhan seperti misalnya beda temporer juga sudah saya bahas sehingga tidak perlu lagi saya uraikan panjang lebar dalam tulisan ini.

Adapun pembahasan mengenai pajak tangguhan kali ini berkaitan dengan perlakuan akuntansi pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami penghitungan dan pencatatan akuntansi pajak tangguhan atas kompensasi saldo rugi fiskal.

PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi.

Lantas, apakah jika perusahaan memiliki saldo rugi fiskal serta telah memenuhi persyaratan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi, maka langsung bisa membukukan aset pajak tangguhan dalam laporan keuangannya ? Jika tidak, persyaratan apa lagi yang harus diperhatikan ?

Menurut PSAK 46 par. 27 diatur bahwa berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah penghasilan kena pajak akan tersedia dalam jumlah memadai untuk dikompensasikan :

1. apakah perusahaan mempunyai perbedaan temporer kena pajak dalam jumlah yang memadai, yang memungkinkan sisa kompensasi dapat digunakan sebelum masa berlakunya kadaluarsa;

2. apakah perusahaan mungkin memperoleh laba fiskal agar saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi kerugian dapat digunakan sebelum masa berlakunya daluarsa;

3. apakah saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi timbul dari kasus-kasus tertentu yang hampir tidak mungkin berulang.

Apabila laba fiskal tidak mungkin tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dapat dikompensasi dengan saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, maka aset pajak tangguhan tidak diakui.

Paragraf 28 mengatur mengenai penilaian kembali aset pajak tangguhan. Pada setiap tanggal neraca, perusahaan menilai kembali aset pajak tangguhan yang tidak diakui. Perusahaan mengakui aset pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan akan tersedia untuk pemulihannya.

Berdasarkan Undang‑undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang‑undang No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) Pasal 6 ayat (2) diatur bahwa apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Berikut ini ilustrasi sederhana penerapan penghitungan aset pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Berhubung topik pembahasan kali ini terbatas pada kompensasi saldo rugi fiskal maka untuk memudahkan pemahaman diasumsikan bahwa tidak terdapat unsur beda temporer dalam rekonsiliasi perpajakan.

Dari rekonsiliasi laba (rugi) komersial dengan laba (rugi) menurut fiskal PT A selama 5 tahun berturut-turut diperoleh gambaran sebagai berikut :

2006

2005

2004

2003

Laba (Rugi) Komersial

11.000

10.500

(4.000)

(12.000)

Beda Tetap :

Sumbangan

300

500

100

400

Entertainment

100

300

150

800

Laba (Rugi) Fiskal

11.400

11.300

(3.750)

(10.800)

Kompensasi

(3.250)

(14.550)

(10.800)

0

Laba (Akumulasi Rugi) Fiskal

8.150

(3.250)

(14.550)

(10.800)

Ayat jurnal pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 sebagai berikut :

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

3.240

Pajak Penghasilan Tangguhan

3.240

(mencatat DTA tahun 2003)

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

1.125

Pajak Penghasilan Tangguhan

1.125

(mencatat tambahan DTA 2004)

Pajak Penghasilan Tangguhan

3.390

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

3.390

(reverse DTA - laba fiskal 2005)

Pajak Penghasilan Tangguhan

975

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

975

(reverse DTA – laba fiskal 2006)

Dari ayat-ayat jurnal di atas, dapat diketahui bahwa saldo Aset Pajak Tangguhan di Neraca PT A per 31/12/2006 sudah menjadi nol seiring dengan habisnya kompensasi saldo rugi fiskal pada tahun 2006.

Demikian sedikit gambaran perhitungan Aset Pajak Tangguhan atas Kompensasi Rugi Fiskal, semoga bermanfaat (Hrd).

Monday, April 28, 2008

Perhitungan Pajak Tangguhan atas Penyusutan Aktiva Tetap

Pada posting sebelumnya, saya sudah memberikan gambaran sekilas tentang pengertian Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK No. 46.

Berikut ini sebuah ilustrasi sederhana penerapan perhitungan Pajak Tangguhan atas perbedaan temporer penyusutan aktiva tetap menurut Akuntansi dan Perpajakan (Fiskal) yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.

Tabel penyusutan menurut akuntansi dan fiskal sebagai berikut :

Aktiva Tetap Beban Penyusutan
menurut Akuntansi
Beban Penyusutan
menurut Fiskal
Bangunan            562.500.000        1.125.000.000
Mesin         3.333.333.333        5.000.000.000
Kendaraan         1.500.000.000        1.875.000.000
Peralatan            500.000.000           625.000.000
Jumlah         5.895.833.333        8.625.000.000

Berdasarkan tabel perhitungan penyusutan dengan metode garis lurus di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi perbedaan temporer antara perlakuan pajak dengan akuntansi. Mengingat bahwa beban penyusutan secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan secara akuntansi, PT XYZ akan melakukan koreksi negatif. Akibatnya, koreksi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengurangan laba fiskal, sehingga beban PPh tahun berjalan menjadi lebih kecil.

Perhitungan koreksi negatif yang dapat memperkecil laba fiskal tersebut adalah sebagai berikut :

Laba akuntansi Rp          9.282.150.000
Koreksi fiskal    
- penyusutan akuntansi (+)          5.895.833.333
- penyusutan fiskal (-)       (8.625.000.000)
Laba Fiskal Rp         6.552.983.333
Pembulatan           6.552.983.000

Perhitungan Pajak Penghasilan

   Keterangan          Akuntansi            Fiskal
Laba        9.282.150.000       6.552.983.333
PPh Terutang    
10 % x 50.000.000               5.000.000              5.000.000
15 % x 50.000.000               7.500.000              7.500.000
30 % x 9.182.150.000        2.754.645.000  
30 % x 6.452.983.000           1.935.894.900
Jumlah PPh       2.767.145.000       1.948.394.900

Taksiran Pajak Penghasilan

Beban Pajak Kini Rp      1.948.394.900
Beban Pajak Tangguhan Rp         818.750.100
   Jumlah Beban Pajak Rp      2.767.145.000

Jurnal akuntansinya sebagai berikut :

Beban Pajak Kini     1.948.394.900  
Beban Pajak Tangguhan        818.750.100  
   Hutang PPh 25/29      1.948.394.900
   Kewajiban Pjk Tangguhan         818.750.100

Demikian ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda temporer penyusutan aktiva tetap menurut akuntansi (komersial) dan pajak (fiskal). Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami PSAK 46 khususnya yang berkaitan dengan Pajak Tangguhan (Hrd).

Sunday, April 27, 2008

Sekilas Akuntansi Pajak Tangguhan

Walaupun akuntansi Pajak Tangguhan yang diatur dalam PSAK No. 46 sudah berlaku efektif sejak 1 Januari 2001 (bagi perusahaan non-public), namun tidak bisa dipungkiri bahwa sampai dengan saat ini masih ada praktisi akuntansi yang belum familiar dengan PSAK tersebut.

Berikut ini sedikit gambaran terkait penerapan Akuntansi Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK No. 46 mengenai Pajak Penghasilan, yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.

Sebelum PSAK No. 46 diperkenalkan, orientasi yang dipergunakan oleh standar akuntansi dalam Akuntansi Pajak Penghasilan lebih bersifat “income statement liability approach”, sementara pendekatan yang dipergunakan dalam PSAK No. 46 bersifat “balance sheet liability approach”. Tentunya, perbedaan orientasi tersebut menjadi kompleksitas baru bagi para akuntan, karena literatur lama dalam Akuntansi Pajak Penghasilan masih banyak yang menggunakan “income statement liability approach”. Akibatnya, perubahan pendekatan tersebut tentunya menuntut perubahan pola berpikir para akuntan dalam memahami esensi utama dari pengimplementasian PSAK No. 46.

Accounting for Future Tax Effect

Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu.

Dampak PPh di masa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih besar di masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang.

Bila dampak pajak di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya.

Kegiatan yang Dilakukan dalam Menentukan Pajak Tangguhan

Sama halnya dengan proses akuntansi lainnya, Akuntansi Pajak Tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan berikut ini :

Pertama, pengakuan (recognition) yaitu standar yang mengatur bahwa dampak PPh atas perbedaan temporer dan tax loss carry forward (TLCF) harus diakui dalam laporan keuangan. Pengakuan ini menyiratkan bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai tercatat deferred tax asset (DTA) dan akan melunasi nilai tercatat deferred tax liability (DTL) tersebut.

DTA atau DTL yang disebabkan oleh perbedaan temporer akan terpulihkan di masa datang karena jumlah yang akan diakui sebagai biaya atau pendapatan akan sama antara akuntansi dan pajak, hanya berbeda alokasi waktunya saja. Sedangkan DTA yang timbul dari TLCF akan terpulihkan bila perusahaan menggunakan TLCF tersebut pada tahun di mana perusahaan memperoleh laba fiskal. Bila TLCF tersebut tidak terpakai dan menjadi hangus, maka DTA yang timbul harus disesuaikan.

Kedua, pengukuran (measurement) yaitu cara menghitung jumlah yang harus dibukukan dalam buku besar perusahaan. Dalam hal ini pajak tangguhan akan dihitung dengan menggunakan tarif yang berlaku atau efektif akan berlaku di masa yang akan datang.

Dalam praktek, biasanya pajak tangguhan dihitung dengan tarif PPh yang tertinggi yaitu sebesar 30%, meskipun tarif yang sebenarnya berlaku bersifat progresif. Lapisan tarif PPh sebesar 10% dan 15% dianggap tidak terlalu material untuk diperhitungkan. Di samping itu, kedua lapisan tarif PPh tersebut biasanya dipergunakan untuk menghitung pajak kini. Meskipun pajak tangguhan berkaitan dengan dampak pajak di masa datang, namun dalam pengukurannya tidak boleh didiskonto (discounted).

Ketiga, penyajian (presentation) yaitu standar yang menentukan cara penyajian di dalam laporan keuangan, baik dalam neraca ataupun laba rugi. DTA atau DTL harus disajikan secara terpisah dari aktiva atau kewajiban pajak kini dan disajikan dalam unsur non current dalam neraca. Sedangkan beban atau penghasilan pajak tangguhan harus disajikan terpisah dengan beban pajak kini dalam laporan keuangan.

Keempat, pengungkapan (disclosure) yaitu berkaitan dengan standar informasi yang perlu diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Misalnya unsur-unsur utama perbedaan temporer yang menimbulkan pajak tangguhan, unsur-unsur yang dibebankan langsung ke laba ditahan, perubahan tarif pajak dan sebagainya.

Perbedaan Temporer

Sesuai namanya, perbedaan temporer merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya.

Perbedaan temporer bisa bersifat koreksi positif atau koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang menyebabkan penambahan laba fiskal yang akhirnya akan menambah PPh terutang. Sedangkan koreksi negatif merupakan koreksi yang menyebabkan pengurangan laba fiskal sehingga PPh terutang menjadi lebih kecil. Mengingat sifatnya yang temporer, maka koreksi positif saat ini akan mengakibatkan perusahaan membayar pajak besar saat ini, tetapi akan dikompensasi (dipulihkan) dengan penghematan PPh terutang karena koreksi negatif di masa datang. Demikian sebaliknya.

Transaksi akuntansi yang mengakibatkan perbedaan temporer antara perlakuan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur Pajak Tangguhan diantaranya adalah perbedaan metode penyusutan antara akuntansi dengan pajak, perbedaan perlakuan penyertaan saham equity method menurut akuntansi dengan cost method menurut pajak, perbedaan pencadangan pesangon menurut PSAK No. 24 dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan pesangon pada saat realisasinya, perbedaan pencadangan piutang ragu-ragu menurut akuntansi dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan piutang tak tertagih pada saat benar-benar tidak tertagih, dan lainnya.

Sedangkan untuk rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi di masa datang (tax loss carry forward) menurut PSAK No. 46 diakui sebagai Aktiva Pajak Tangguhan (DTA) apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Atau dengan kata lain, bahwa akumulasi rugi fiskal yang terjadi baru boleh diakui sebagai aktiva pajak tangguhan jika besar kemungkinan bisa dikompensasi seluruhnya dengan laba fiskal dalam 5 tahun ke depan, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku (Hrd).

Saturday, April 12, 2008

Penerapan PSAK 15 dan PSAK 46 atas Penyertaan Saham Perusahaan serta efek perpajakannya

Jika sebuah perusahaan memiliki penyertaan saham dalam perusahaan lain, maka menurut PSAK No. 15 mengenai Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi diatur bahwa :

Penyertaan saham Perusahaan dan Anak Perusahaan dengan persentase kepemilikan paling sedikit 20 % tetapi tidak lebih dari 50 %, baik langsung maupun tidak langsung, dicatat dengan metode Ekuitas sebesar biaya perolehan, ditambah atau dikurangi dengan bagian laba atau rugi bersih serta dikurangi dividen yang diterima setelah tanggal perolehan anak perusahaan sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sedangkan penyertaan saham dengan kepemilikan kurang dari 20 % dicatat dengan metode Biaya Perolehan.

Ilustrasi sederhana penerapan metode Ekuitas sebagai berikut :

PT A memiliki penyertaan saham di PT B sebesar 40 % atau Rp 500 juta. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2007, saldo laba di pembukuan PT B sebesar Rp 750 Juta. Maka PT A membukukan dalam Neracanya saldo Investasi (Penyertaan Saham) pada kelompok Aset sebesar Rp 800 Juta yaitu Biaya Perolehan penyertaan Rp 500 Juta + Bagian Laba Bersih PT B yang menjadi kepemilikan PT A sebesar Rp 300 Juta (Rp 750 Juta x 40%). Selain itu, pada laporan laba rugi PT A juga dicatat Laba Penyertaan Saham sebesar Rp 300 Juta.

Jurnal lengkap dalam pembukuan PT A sebagai berikut :

Investasi (Penyertaan Saham) 800.000.000  
   K a s      500.000.000
   Laba Penyertaan  saham     300.000.000

Karena pencatatan investasi menggunakan metode Ekuitas, sesuai dengan PSAK 46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan (Pajak Tangguhan), maka akan menimbulkan perbedaan temporer (dikoreksi fiskal) dan atas perbedaan tersebut akan dihitung pajak tangguhan.

Adapun perbedaan temporer (beda waktu) timbul karena secara perpajakan tidak mengakui metode Ekuitas dalam mencatat investasi (penyertaan saham). UU Pajak menganut azas realisasi berdasarkan metode Biaya Perolehan. Sehingga dengan demikian, secara pajak tidak akan timbul laba (rugi) penyertaan saham sampai dengan saat realisasinya.

Dalam praktek, ada kalanya pencatatan penyertaan saham dengan menggunakan metode Ekuitas sesuai dengan PSAK 15 dipermasalahkan oleh pihak fiskus. Tidak jarang ditemukan, aparat pajak yang ‘ngotot’ menyatakan bahwa laba penyertaan saham yang timbul adalah merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dilakukan koreksi fiskal.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, mungkin Surat Dirjen Pajak yang diterbitkan pada tanggal 7 Maret 2003 dengan nomor S-168/PJ.312/2003 yang merupakan tanggapan atas pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP), dapat menjadi senjata pamungkas.

Dalam surat tersebut, WP menanyakan permasalah berkaitan dengan penerapan PSAK 15 dan PSAK 46 di atas kepada Dirjen Pajak bahwa apabila PSAK 15 dan PSAK 46 tersebut diterapkan pada laporan keuangan komersial sehingga WP perlu melakukan penyesuaian dan koreksi fiskal atas metode pencatatan tersebut dalam rangka menyajikan laporan keuangan fiskal, apakah pihak fiskus dapat menyetujui dilakukannya koreksi fiskal untuk menyesuaikan metode Ekuitas menjadi metode Biaya Perolehan ?

Atas permasalahan tersebut, Dirjen Pajak memberikan penegasan sebagai berikut :

1. Penghasilan dari investasi adalah dividen atau pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, serta keuntungan atau kerugian modal investasi itu sendiri (capital gain/loss).

2. UU PPh menganut azas realisasi dan pada umumnya realisasi penghasilan dividen terjadi setelah keputusan rapat umum pemegang saham mengenai pembagian laba dan/atau pada saat pembayaran dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan realisasi keuntungan atau kerugian modal investasi terjadi pada saat penjualan atau pembelian kembali (share buy back) atau likuidasi perusahaan investee. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa UU PPh juga mengatur/menetapkan penghasilan tertentu sebagai bukan Objek Pajak meskipun secara komersial diakui.

3. Pembukuan investasi berdasarkan metode Ekuitas (PSAK 15) maupun akuntansi pajak tangguhan (PSAK 46) hanya berlaku untuk pembukuan komersial yang tidak berpengaruh terhadap pengakuan penghasilan dan pengakuan biaya/kerugian untuk tujuan perpajakan.

Jadi, jelas bahwa pencatatan Laba (Rugi) Penyertaan Saham berdasarkan metode Ekuitas secara komersial/akuntansi bukanlah merupakan objek pajak dan perlakuan sebagai unsur koreksi fiskal dalam rekonsiliasi perpajakan juga sudah tepat (Hrd).