Saturday, July 30, 2016

Perubahan Mata Uang, bagaimana pengaturan menurut PERPAJAKAN ?

Pada dasarnya perpajakan di Indonesia mengharuskan penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan mata uang Rupiah. Adapun penyelenggaraan pembukuan dalam mata uang selain Rupiah hanya diperbolehkan dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat, setelah mendapatkan izin tertulis dari Menteri Keuangan.

Peraturan pajak yang mengatur mengenai penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan mata uang asing adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.196/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Dalam Pasal 6 PMK No.196 tersebut diatur antara lain :

Bagi Wajib Pajak yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagai berikut:

PADA AWAL TAHUN BUKU :

Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari Neraca akhir tahun buku sebelumnya (dalam satuan mata uang Rupiah) yang dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs :

  1. untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;
  2. untuk akumulasi penyusutan dan/atau amortisasi harta sebagaimana dimaksud pada bagian 1) menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;
  3. untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas;
  4. apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;
  5. untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, yakni kurs tengah Bank Indonesia, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;
  6. untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi;
  7. dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari satuan mata uang Rupiah ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada bagian 1), bagian 2), bagian 3), bagian 4) dan bagian 5) maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

DALAM TAHUN BERJALAN :

  • untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan;
  • untuk transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang menggunakan satuan mata uang selain Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi, yaitu sebagai berikut : (1) apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs yang diketahui dari transaksi tersebut; (2) apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas.

Selanjutnya, dalam Pasal 11 PMK No.196 tersebut diatur bahwa sisa kerugian fiskal dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun-tahun sebelumnya yang dapat dikompensasikan ke Tahun Pajak dimulainya pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, dikonversikan ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada akhir tahun buku pada saat kerugian fiskal tersebut terjadi.

Wajib pajak yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat, harus menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dalam jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun pajak sejak diterbitkan izin atau penyampaian pemberitahuan.

CATATAN : baca juga tulisan sebelumnya : Perubahan Mata Uang Fungsional, bagaimana Standar Akuntansi Mengaturnya ? untuk membandingkan dengan pengaturan menurut Standar Akuntansi di Indonesia (PSAK).

Thursday, July 28, 2016

Perubahan Mata Uang Fungsional, bagaimana Standar Akuntansi Mengaturnya ?

Sebelum tanggal 1 Januari 2012, terdapat beberapa standar akuntansi yang mengatur mengenai pencatatan akuntansi serta pelaporan keuangan atas transaksi dalam mata uang asing. Salah satu standar akuntansi yang mengatur mengenai hal tersebut adalah PSAK 52 (1998) tentang Mata Uang Pelaporan.

Berkaitan dengan Mata Uang Fungsional (baca juga : Penentuan Mata Uang Fungsional dalam Pengukuran Transaksi Mata Uang Asing), PSAK 52 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 antara lain dalam paragraf 4 dan 5 mengatur bahwa :

Mata Uang Pelaporan yang digunakan oleh Perusahaan di Indonesia adalah mata uang Rupiah. Perusahaan dapat menggunakan mata uang selain Rupiah sebagai mata uang pelaporan hanya apabila mata uang tersebut memenuhi kriteria Mata Uang Fungsional.

Mata Uang Pencatatan harus sama dengan Mata Uang Pelaporan.

Selanjutnya, dalam paragarf 17 diatur bahwa :

Perusahaan diharuskan untuk mengubah mata uang pencatatan dan pelaporan ke Rupiah, apabila mata uang fungsional berubah dari bukan Rupiah ke Rupiah. Perubahan mata uang pencatatan dan pelaporan harus dilakukan pada awal tahun buku, bukan di tengah tahun buku.

Berkaitan dengan pengukuran kembali akun-akun laporan keuangan jika terjadi perubahan mata uang fungsional diatur dalam paragraf 14, 15 dan 16 yang antara lain menjelaskan bahwa :

  • Penentuan saldo awal untuk tujuan pencatatan akuntansi dilakukan dengan pengukuran kembali akun-akun laporan keuangan seolah-olah mata uang fungsional tersebut telah digunakan sejak tanggal terjadinya transaksi
  • Pengukuran kembali akun-akun laporan keuangan dilakukan surut hingga tahun di mana mata uang fungsional tersebut mulai berlaku

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PSAK 52 mensyaratkan penerapan secara RETROSPEKTIF (berlaku surut) atas perubahan mata uang fungsional.

Sedangkan pengaturan sejak tanggal 1 Januari 2012, dengan berlakunya PSAK 10 (Revisi 2010) tentang Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing, atas perubahan mata uang fungsional, paragraf 36 PSAK 10 mengatur bahwa :

Ketika terdapat perubahan dalam mata uang fungsional, entitas menerapkan prosedur penjabaran untuk mata uang fungsional yang baru secara PROSPEKTIF sejak tanggal perubahan tersebut.

Lebih lanjut, paragraf 38 antara lain menjelaskan bahwa :

Pengaruh perubahan mata uang fungsional diperlakukan secara prospektif. Dalam kata lain, entitas menjabarkan semua pos ke dalam mata uang fungsional yang baru menggunakan kurs pada tanggal perubahan itu. Hasil dari jumlah yang dijabarkan untuk pos non moneter dianggap sebagai biaya historisnya.

Jadi, kesimpulannya bahwa PSAK 10 (Revisi 2010) yang berlaku saat ini mensyaratkan penerapan secara PROSPEKTIF atas perubahan mata uang fungsional (HRD).

Saturday, July 9, 2016

TAX AMNESTY 2016, Ungkap, Tebus, Lega

Pada tanggal 28 Juni 2016 kemarin, DPR secara resmi mengesahkan Undang-Undang Tax Amnesty atau UU Pengampunan Pajak, dan selanjutnya pada tanggal 1 Juli 2016, Presiden RI Joko Widodo secara resmi mencanangkan program Pengampunan Pajak yang berlaku secara nasional dan terbuka bagi seluruh masyarakat wajib pajak. Melalui program Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) yang berlaku hingga 31 Maret 2017, pemerintah memberikan kesempatan bagi semua wajib pajak untuk mendapatkan penghapusan atas pokok pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan melalui pembayaran sejumlah uang tebusan dengan tarif tertentu.

Tax Amnesty ini berlaku untuk semua kewajiban perpajakan yang belum dibayar oleh wajib pajak sampai dengan tahun pajak terakhir (yaitu tahun pajak yang berakhir antara 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2015) melalui deklarasi aset dengan menggunakan Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak/SPHPP). Ruang lingkup Tax Amnesty ini meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan Barang Mewah.

Adapun Tax Amnesty diperhitungkan atas nilai aset bersih (aset dikurangi utang) yang dideklarasikan di dalam SPHPP, meliputi aset bersih yang ditempatkan baik di dalam maupun di luar Indonesia.

Besaran TARIF UANG TEBUSAN yang ditetapkan dalam UU Tax Amnesty adalah sebagai berikut :

(1) untuk Deklarasi Aset Luar Negeri yang tidak disertai dengan Repatriasi ke Indonesia, untuk periode penyampaian SPHPP antara bulan Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 4%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 6% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 10%.

(2) untuk Deklarasi Aset Luar Negeri yang disertai dengan Repatriasi ke Indonesia dan diinvestasikan di Indonesia minimal dalam 3 tahun, untuk periode penyampaian SPHPP antara Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 2%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 3% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 5%.

(3) untuk Deklarasi Aset Dalam Negeri dan tetap berada di Indonesia minimal dalam 3 tahun, untuk periode penyampaian SPHPP antara Juli s.d September 2016 dikenakan tarif 2%, untuk penyampaian SPHPP antara Oktober s.d Desember 2016 dikenakan tarif 3% dan untuk penyampaian SPHPP antara Januari s.d Maret 2017 dikenakan tarif 5%.

Untuk wajib pajak UMKM yaitu wajib pajak dengan peredaran usaha sampai dengan Rp 4,8 Milyar per 31 Desember 2015 dikenakan TARIF UANG TEBUSAN sebagai berikut :

  1. Deklarasi Aset sampai dengan Rp 10 milyar dikenakan tarif 0,5%
  2. Deklarasi Aset di atas Rp 10 milyar dikenakan tarif 2%

Tarif uang tebusan untuk UMKM di atas dikenakan seragam untuk periode penyampaian SPHPP terhitung sejak Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017.

Berkaitan dengan perhitungan dasar pengenaan Uang Tebusan, nilai UTANG yang dapat diperhitungkan dibatasi sebagai berikut :

  1. Maksimal 75% dari nilai aset tambahan untuk wajib pajak korporasi
  2. Maksimal 50% dari nilai aset tambahan untuk wajib pajak individual

Program Tax Amnesty ini akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2017 (HRD).