Showing posts with label Penggabungan Usaha. Show all posts
Showing posts with label Penggabungan Usaha. Show all posts

Wednesday, September 12, 2012

DENGAN BERLAKUNYA PSAK No.4 (REVISI 2009), bagaimana dampaknya jika sekiranya pemegang saham induk perusahaan akan melakukan pembagian DIVIDEN ?

Sehubungan dengan berlakunya PSAK No.4 (Revisi 2009) tentang Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2011, maka perusahaan yang dalam aktivitas bisnisnya memiliki anak perusahaan (subsidiary) harus memperhatikan ketentuan yang diatur dalam PSAK tersebut jika sekiranya perusahaan selaku entitas induk akan menyusun laporan keuangan tersendiri (bukan konsolidasian).

Jika sebelumnya, PSAK No.4 (1994) dalam paragraf 26 mengatur bahwa induk perusahaan (entitas induk) yang memilih untuk menyajikan laporan keuangan tersendiri sebagai informasi tambahan dalam laporan keuangan konsolidasi, maka penyertaan pada anak perusahaan dalam laporan keuangan tersendiri tersebut harus dicatat dengan menggunakan metode EKUITAS.

Sedangkan PSAK No.4 (Revisi 2009) yang berlaku saat ini mengatur dalam paragraf 35 bahwa jika entitas induk menyusun laporan keuangan tersendiri sebagai informasi tambahan, maka entitas induk harus mencatat investasi pada entitas anak (anak perusahaan) dengan menggunakan metode BIAYA PEROLEHAN atau sesuai PSAK No.55 (Revisi 2006) : Instrumen Keuangan, Pengakuan dan Pengukuran.

Jika pencatatan investasi pada entitas anak dilakukan dengan menggunakan metode EKUITAS maka jumlah ekuitas dan laba bersih pada laporan keuangan konsolidasi AKAN SAMA dengan ekuitas dan laba bersih pada laporan keuangan induk perusahaan. Sebaliknya jika menggunakan metode BIAYA PEROLEHAN maka jumlah ekuitas dan laba bersih pada laporan keuangan konsolidasi TIDAK AKAN SAMA dengan ekuitas dan laba bersih pada laporan keuangan induk perusahaan.

Sebelum berlakunya PSAK No.4 (Revisi 2009), jika sekiranya pemegang saham induk perusahaan akan melakukan pembagian dividen biasanya akan menggunakan laporan keuangan induk perusahaan sebagai dasar perhitungan dividen yang akan dibagi. Hal ini tidak akan menjadi masalah karena baik EKUITAS maupun LABA BERSIH tahun berjalan dalam laporan keuangan induk perusahaan sebagai dasar perhitungan dividen adalah sama dengan EKUITAS dan LABA BERSIH laporan konsolidasi. Jadi, baik menggunakan dasar perhitungan dari laporan keuangan tersendiri induk perusahaan maupun laporan keuangan konsolidasi akan tetap sama.

Dengan berlakunya PSAK No.4 (Revisi 2009) yang mengharuskan induk perusahaan untuk menghitung investasi saham pada entitas anak dengan menggunakan metode BIAYA PEROLEHAN sehingga mengakibatkan EKUITAS dan LABA BERSIH pada laporan keuangan tersendiri induk perusahaan menjadi tidak sama dengan laporan keuangan konsolidasi, maka jika sekiranya pemegang saham induk perusahaan akan membagi dividen apakah harus menggunakan angka EKUITAS yang disajikan di laporan keuangan konsolidasi atau laporan keuangan tersendiri induk perusahaan sebagai dasar perhitungan ?

Menurut pendapat saya pribadi, oleh karena jika sekiranya laporan keuangan tersendiri induk perusahaan disusun dengan menggunakan metode EKUITAS untuk mencatat investasi saham pada anak perusahaan maka jumlah EKUITAS dan LABA BERSIH dalam laporan keuangan tersendiri tersebut akan sama dengan laporan keuangan konsolidasi, maka dengan berlakunya PSAK No.4 (Revisi 2009) adalah lebih tepat jika dasar perhitungan dividen yang akan dibagikan dilakukan dengan menggunakan angka EKUITAS yang disajikan di laporan keuangan konsolidasi, bukan laporan keuangan tersendiri induk perusahaan yang disajikan dengan menggunakan metode BIAYA PEROLEHAN.

Bagaimana menurut Anda ? Jika sekiranya ada pendapat lain bisa di-share di sini ya (HRD) ***

Saturday, June 12, 2010

Apakah diperbolehkan menyusun laporan konsolidasi dengan tanggal pelaporan induk dan anak perusahaan yang berbeda ?

Para pengguna laporan keuangan pada umumnya ingin mengetahui dan mendapatkan informasi tentang posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas dari suatu kelompok perusahaan secara keseluruhan. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi melalui penyajian laporan keuangan konsolidasi yang menyajikan informasi keuangan dari suatu kelompok perusahaan sebagai satu kesatuan ekonomi meskipun masing-masing perusahaan dalam kelompok tersebut merupakan suatu entitas hukum yang terpisah satu sama lain (PSAK No. 4 – Laporan Keuangan Konsolidasi Par. 04).

Laporan keuangan konsolidasi menyediakan berbagai informasi yang tidak terdapat dalam laporan keuangan terpisah perusahaan induk (laporan keuangan induk perusahaan saja), dan biasanya dalam laporan keuangan konsolidasi diwajibkan untuk menyajikan laporan posisi keuangan dan hasil operasi dari kelompok perusahaan yang berafiliasi. Kondisi yang lajim untuk konsolidasi adalah kepemilikan lebih dari 50% saham berhak suara perusahaan lain, baik secara langsung atau tidak langsung (melalui anak perusahaan) (lihat PSAK No. 4 Par. 05).

Dalam penyusunan laporan keuangan konsolidasi tersebut, apakah diperbolehkan jika sekiranya tanggal laporan keuangan induk perusahaan dengan anak perusahaan yang akan dikonsolidasi berbeda ?

Par. 09 PSAK No. 4 mengatur bahwa laporan keuangan induk perusahaan dan anak perusahaan yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan konsolidasi lazimnya adalah laporan keuangan dengan tanggal pelaporan yang sama. Apabila ternyata tanggal pelaporannya berbeda, anak perusahaan biasanya menyusun laporan keuangan dengan tanggal pelaporan yang sama dengan induk perusahaan. Apabila penyesuaian tanggal tersebut tidak dapat dilakukan, laporan keuangan dengan tanggal pelaporan yang berbeda tersebut dapat juga digunakan untuk tujuan konsolidasi sepanjang perbedaan tanggal pelaporan tersebut tidak lebih dari 3 (tiga) bulan. Sesuai dengan asas konsistensi, baik jangka waktu periode laporan maupun perbedaan dalam tanggal pelaporan harus selalu sama dari waktu ke waktu.

Selanjutnya, dalam Par. 10 diatur lebih jauh bahwa apabila laporan keuangan dengan tanggal pelaporan yang berbeda digunakan untuk tujuan konsolidasi, maka penyesuaian yang diperlukan harus dilakukan untuk pengaruh yang material dari setiap peristiwa atau transaksi antarperusahaan, yang terjadi antara tanggal pelaporan yang berbeda tersebut dengan tanggal pelaporan laporan keuangan konsolidasi.

Dari pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyusunan laporan konsolidasi dengan tanggal pelaporan antara induk dan anak perusahaan yang berbeda dapat dilakukan sepanjang perbedaan tanggal pelaporan tersebut tidak lebih dari 3 bulan.

Adapun pengaturan dalam PSAK ini sesuai dengan pengaturan dalam standar akuntansi internasional yaitu IAS 27, Consolidated and Separate Financial Statements Par. 22 yang menjelaskan bahwa “The financial statements of the parent and its subsidiaries used in the preparation of the consolidated financial statements shall be prepared as of the same date. When the end of the reporting period of the parent is different from that of a subsidiary, the subsidiary prepares, for consolidation purposes, additional financial statements as of the same date as the financial statements of the parent unless it is impracticable to do so.”

Lebih lanjut dalam Par. 23 diatur bahwa “When, in accordance with the paragraph 22, the financial statements of a subsidiary used in the preparation of consolidated financial statements are prepared as of a date different from that of the parent’s financial statements, adjustments shall be made for the effects of significant transactions or events that occur between that date and the date of the parent’s financial statements. In any case, the difference between the end of the reporting period of the subsidiary and that of the parent shall be no more than three months. The length of the reporting periods and any difference between the ends of the reporting periods shall be the same from period to period.” (Hrd)

Thursday, July 3, 2008

Introduction to Business Combination

Penggabungan usaha dalam praktek bisnis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penerbitan saham baru dan pembelian aktiva perusahaan yang akan diakuisisi. Dari kedua cara tersebut lahirlah dua metode pencatatan yang dikenal yaitu, metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest) dan metode pembelian (purchase).

Kedua metode ini merupakan pilihan yang dapat digunakan dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam PSAK 22 tentang “Akuntansi Penggabungan Usaha”.

Namun sering para praktisi mencari celah pada syarat-syarat yang telah ditentukan sehingga dapat memilih metode pencatatan akuntansi yang paling menguntungkan.

PSAK No. 22 merupakan standar akuntansi keuangan yang diadopsi dari IAS No. 22 tentang “Business Combinations”. Namun, kemudian IAS No. 22 tidak berlaku lagi karena telah digantikan dengan IFRS No. 3 yang berlaku efektif sejak 31 Maret 2004.

IFRS No. 3 yang menggantikan IAS No. 22 tidak lagi mengijinkan penerapan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest) sehingga dengan sendirinya semua transaksi penggabungan usaha harus dibukukan dengan menggunakan metode pembelian (purchase). Sedangkan PSAK yang berlaku di Indonesia sampai dengan saat ini masih mengijinkan penggunaan kedua metode penyatuan kepemilikan dan pembelian.

(Kutipan dari buku Akuntansi Penggabungan Usaha karangan Marisi P. Purba)

Introduction to Business Combinations

All business combinations are now, for accounting purpose under IFRS, considered to be acquisitions, whereby one entity (the parent) takes management control of another entity, or of its assets and liabilities. This is independent of the legal form of the business combination. Thus, two entities may consolidate to create a new, third enterprise. Alternatively, one entity may purchase, for cash or for stock, the stock of another enterprise, which may or may not be followed by a formal merging of the acquired entity into the acquirer. In yet other cases, one entity may simply purchase the assets of another, with or without assuming the debts of that enterprise. One enterprise may enter into an agreement for another to manage its assets and liabilities.

Uniting of Interests

The use of pooling of interests (or uniting of interests) accounting had been widespread for about fifty years, particularly in the US. Under this method of accounting of business combinations, the pre-merger book values of each combining entity’s assets and liabilities would simply be added together, with no re-measurement to fair value.

US GAAP eliminated pooling accounting outright (effective mid-2001) and the IASB followed suit, under IFRS 3, from early 2004. With the exceptions of selected types of combinations, such as those involving existing affiliated entities, where there are conceptually sound reasons to not permit fair value adjustments at the time of what may not be arm’s-length acquisition transactions, all business combinations must now be treated as acquisitions of one entity by another, with the acquiree’s assets and liabilities being recorded at fair values.

(Business Combinations and Consolidated Financial Statements - WILEY IFRS 2008 Interpretation and Application)

Jadi, dengan mulai berlakunya IFRS No. 3 sejak 31 Maret 2004, semua transaksi penggabungan usaha harus diperlakukan sebagai akuisisi dan harus dibukukan dengan metode pembelian dimana semua aset dan kewajiban dicatat dengan nilai wajar (fair value) (Hrd).

Monday, June 2, 2008

Akuntansi Penggabungan Usaha, beda pengaturan antara PSAK 22 vs IFRS 3

Akuntansi Penggabungan Usaha diatur terutama dalam PSAK No. 22 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1995 hingga sekarang. Adapun PSAK 22 ini adalah merupakan hasil adopsi dari International Accounting Standard (IAS) No. 22 tentang “Business Combinations” yang dikeluarkan oleh International Accounting Standards Committee. Kemudian, pada bulan Maret 2004 International Accounting Standards Board (IASB) mengeluarkan IFRS No. 3 sebagai pengganti IAS No. 22 yang berlaku efektif sejak 31 Maret 2004. Selanjutnya, pada bulan Januari 2008, IASB menerbitkan revisi atas IFRS No. 3.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, PSAK No. 22 sampai dengan saat ini masih merupakan adopsian dari IAS No. 22, sehingga dengan sendirinya terdapat perbedaan perlakuan dengan IFRS No. 3.

Adapun beberapa perbedaan dalam ketentuan akuntansi penggabungan usaha yang ditetapkan dalam PSAK No. 22 dan IAS No. 22 dibandingkan dengan IFRS No. 3 diantaranya adalah :

1. IAS No. 22 dan PSAK No. 22 memberikan ijin atas penggunaan metode pembelian dan penyatuan kepemilikan serta menetapkan syarat-syarat penggunaan metode tersebut. Metode penyatuan kepemilikan digunakan apabila sulit sekali mengidentifikasi perusahaan pengakuisisi dan terjadi pembagian risiko serta manfaat secara seimbang antara pemegang saham perusahaan-perusahaan yang menggabungkan diri; sedangkan IFRS No. 3 tidak lagi mengijinkan penggunaan metode penyatuan kepemilikan dan mensyaratkan bahwa semua penggabungan usaha harus dicatat dengan menggunakan metode pembelian. Ketentuan dalam IFRS No. 3 tersebut ditetapkan karena walaupun terdapat kriteria yang ditetapkan oleh IAS No. 22 dalam menggunakan metode pembelian dan penyatuan kepemilikan, manajemen sering mencari celah agar dapat mengunakan salah satu dari dua metode pencatatan tersebut yang menguntungkan bagi mereka.

2. IAS No. 22 dan PSAK No. 22 mengharuskan amortisasi goodwill selama satu periode yang tidak kurang dari 20 tahun; sedangkan IFRS No. 3 tidak lagi memperkenankan amortisasi atas goodwill yang berasal dari transaksi penggabungan usaha. Goodwill dianggap habis dengan sendirinya seiring dengan terjadinya penurunan nilai aktiva yang dilakukan berdasarkan IAS No. 36 tentang “Impairment of Assets”.

3. Berdasarkan PSAK No. 22 paragraf 82, sisa goodwill negatif setelah dilakukan penurunan nilai aktiva non-moneter, harus diakui sebagai pendapatan ditangguhkan dan diakui sebagai pendapatan secara sistimatis tidak lebih dari 20 tahun; sedangkan IFRS No. 3 mengharuskan pengakuan laba atau rugi yang berasal dari sisa goodwill negatif.

(Sumber : Buku “Akuntansi Penggabungan Usaha” karangan Marisi P.Purba)

Berikut ini beberapa perubahan mendasar IFRS No. 3 (Revisi Januari 2008) dengan sebelumnya :

· The scope was broadened to cover business combinations involving only mutual entities and business combinations achieved by contract alone

· The definitions of a business and a business combination were amended and additional guidance was added for identifying when a group of assets constitutes a business

· For each business combination, the acquirer must measure any non-controlling interest in the acquiree either at fair value or as the non-controlling interest’s proportionate share of the acquiree’s net identifiable assets. Previously, only the latter was permitted

· The requirements for how the acquirer makes any classifications, designations or assessments for the identifiable assets acquired and liabilities assumed in a business combination were clarified

· The period during which changes to deferred tax benefits acquired in a business combination can be adjusted against goodwill has been limited to the measurement period (through a consequential amendment to IAS 12 (Income Taxes)

· An acquirer is no longer permitted to recognise contingencies acquired in a business combination that do not meet the definition of a liability

· Costs the acquirer incurs in connection with the business combination must be accounted for separately from the business combination, which usually means that they are recognised as expenses (rather than included in goodwill)

· Consideration transferred by the acquirer, including contingent consideration, must be measured and recognised at fair value at the acquisition date. Subsequent changes in the fair value of contingent consideration classified as liabilities are recognised in accordance with IAS 39, IAS 37 or other IFRSs, as appropriate (rather than by adjusting goodwill). The disclosures required to be made in relation to contingent consideration were enhanced

· Application guidance was added in relation to when the acquirer is obliged to replace the acquiree’s share-based payment awards; measuring indemnification assets; rights sold previously that are reacquired in a business combination; operating leases; and valuation allowances related to financial assets such as receivables and loans

· For business combinations achieved in stages, having the acquisition date as the single measurement date was extended to include the measurement of goodwill. An acquirer must remeasure any equity interest it hold in the acquiree immediately before achieving control at its acquisition-date fair value and recognise the resulting gain or loss, if any, in profit or loss.

(Source : IFRS Bound Volume 2008) (Hrd)

Thursday, April 17, 2008

Perlakuan PSAK 40 atas Revaluasi Aktiva Tetap Anak Perusahaan serta Implikasi Perpajakannya

PT XYZ mempunyai investasi saham pada PT ABC sebesar 30 % dari total saham beredar. Pada tanggal 12 Maret 2004, PT ABC melakukan penilaian kembali aktiva tetap. Semua aktiva tetap PT ABC memenuhi persyaratan untuk dinilai kembali sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 dan nilai buku aktiva tetap sama dengan nilai buku fiskal. Penilaian kembali dilakukan oleh lembaga penilai yang menetapkan bahwa nilai pasar wajar aktiva tersebut sebesar Rp 900 Juta.

Atas penilaian kembali aktiva tetap tersebut dicatat oleh PT ABC dengan jurnal sebagai berikut :

Aktiva tetap (nilai revaluasi)    900.000.000  
Pajak Penghasilan      50.000.000  
     Aktiva Tetap (nilai buku    
        aktiva lama)      400.000.000
     Kas/PPh Terhutang       50.000.000
     Selisih Penilaian Kembali    
        Aktiva Tetap      500.000.000

Sedangkan dalam pembukuan PT XYZ dijurnal sebagai berikut :

Investasi pada PT ABC    150.000.000  
   Selisih Transaksi Perubahan    
     Ekuitas Perush Asosiasi   150.000.000

(Dari nilai selisih revaluasi aktiva tetap, yang menjadi bagian pemilikan PT XYZ adalah 30 % x Rp 500 Juta = Rp 150 Juta)

Ilustrasi di atas untuk mencatat pengakuan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Perusahaan Asosiasi dalam pembukuan induk perusahaan yang memiliki investasi (penyertaan) saham pada anak perusahaan sebagai akibat adanya revaluasi aktiva tetap anak perusahaan sesuai dengan PSAK No. 40 – Akuntansi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan/Perusahaan Asosiasi.

Lantas, bagaimana perlakuan perpajakan atas pencatatan transaksi di atas ?

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-29/PJ.312/2006 tanggal 19 Januari 2006, Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan seorang Wajib Pajak berkaitan dengan hal tersebut.

PT ABC adalah perusahaan yang bergerak dalam penerbitan surat kabar nasional di Indonesia. Dalam perkembangan usahanya, PT ABC mempunyai penyertaan saham pada 4 anak perusahaan yang bergerak dalam bisnis yang berbeda dengan PT ABC.

Pada tahun pajak 2004, PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap secara fiscal sehingga terdapat kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap pada PT ABC dan anak perusahaannya. Dalam neraca PT ABC, kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap dicatat pada perkiraan “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” dan kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap pada anak perusahaan (berkaitan dengan investasi PT ABC pada anak perusahaan seperti contoh di atas) dicatat dalam pembukuan PT ABC pada perkiraan “Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan”

Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap selanjutnya akan dikapitalisasi sebagai tambahan Modal Disetor.

Sehubungan dengan hal di atas, bagaimana implikasi perlakuan Pajak Penghasilan atas pencatatan tambahan Modal Disetor atau saham bonus dari kapitalisasi Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap tersebut ?

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan, diatur bahwa :

1. Pasal 9 ayat (1), selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan”

2. Pasal 9 ayat (2), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal tersebut dalam Pasal 5 ayat (1), bukan merupakan Objek Pajak.

3. Pasal 9 ayat (3), dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hanya sampai dengan sebesar selisih penilaian kembali secara komersial.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas :

1. Pencatatan “Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan” yang berasal dari “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhi ketentuan dalam PSAK No. 40

2. Dalam hal PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi aktiva) untuk tujuan perpajakan, jika terdapat selisih lebih karena penilaian kembali aktiva maka selisih tersebut merupakan Objek Pajak. Dalam peraturan perpajakan, anak perusahaan merupakan entitas sendiri yang terpisah dari induk perusahaan sehingga penghasilan/keuntungan anak perusahaan dicatat dalam laporan keuangan masing-masing. Dalam hal selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap anak perusahaan yang dilakukan untuk tujuan perpajakan selanjutnya dikapitalisasi sebagai tambahan modal disetor, maka selisih lebih tersebut merupakan saham bonus kepada pemegang saham sebesar persentase penyetoran pada anak perusahaan. Sepanjang pemberian saham bonus atau tambahan modal tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap tersebut tidak melebihi selisih lebih revaluasi secara fiskal, maka pemberian saham bonus tersebut bukan merupakan Objek Pajak atau pembayaran dividen. Dengan demikian, saham bonus atau tambahan modal yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap anak perusahaan secara fiskal bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan ataupun pembayaran dividen bagi pemegang saham.

Dalam hal di kemudian hari, pemegang saham mengalihkan/menjual sahamnya, maka keuntungan (capital gain) atau penghasilan yang diterima oleh pemegang saham atas penjualan atau pengalihan saham bonus tersebut kepada pihak ketiga merupakan Objek Pajak Penghasilan yang harus diakui pemegang saham pada tahun pajak saham bonus tersebut dialihkan atau dijual (Hrd).

Saturday, March 22, 2008

Auditor boleh memberikan opini tersendiri untuk laporan keuangan induk atas audit laporan konsolidasian ?

Melalui milis FORKAP (Forum Kantor Akuntan Publik), saya memperoleh informasi bahwa pada tanggal 10 Maret 2008 yang lalu, Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB) telah menerbitkan surat yang dikirimkan kepada para wajib pajak yang terdaftar pada KPP tersebut. Inti dari isi surat tersebut adalah himbauan kepada WP yang merupakan Perusahaan Terbuka untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh KAP beserta opini auditor yang diperuntukkan khusus untuk perusahaan induk.

Berikut kutipan isi surat tersebut :

Sehubungan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Tahunan PPh Pasal 21 tahun pajak 2007 yang jatuh tempo pada tanggal 31 Maret 2008, maka dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Sesuai dengan Pasal 2 angka (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-214/PJ./2001 tentang Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan disebutkan bahwa Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri (bukan Neraca dan Laporan Laba Rugi Konsolidasi grup) beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal yang harus disampaikan pada SPT Tahunan PPh Badan.

2. Sesuai dengan Ayat (1) huruf c Pasal 68 Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa “Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila perseroan merupakan Perseroan Terbuka”. Dengan demikian :

a. Bagi Wajib Pajak yang merupakan Perseroan Terbuka (Tbk) diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit beserta opini audit sebagai dasar pengisian SPT Tahunan PPh Badan;

b. Bagi perusahaan induk, dihimbau untuk menyampaikan laporan keuangan yang diaudit beserta opini audit yang diperuntukkan khusus untuk perusahaan induk (tidak termasuk anak-anak perusahaan);

c. Apabila audit laporan keuangan belum selesai dilakukan sampai dengan saat tanggal berakhirnya penyampaian SPT Tahunan, maka Saudara dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan dengan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan 1770-Y (Sementara).

Jika kita perhatikan Surat dari KPP PMB tersebut yang mengharuskan WP melampirkan laporan keuangan induk (atas laporan keuangan konsolidasian) dalam SPT Tahunan PPh Badan yang dilengkapi dengan opini auditor (tersendiri/khusus untuk perusahaan induk) atas laporan keuangan induk jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang tidak memperbolehkan adanya opini tersendiri untuk laporan keuangan perusahaan induk saja atas laporan keuangan konsolidasian. PSAK menegaskan bahwa pada dasarnya induk perusahaan yang memenuhi kriteria konsolidasi tidak boleh menyajikan tersendiri laporan keuangannya (tanpa konsolidasi) karena hanya ada satu laporan keuangan yang berlaku umum, yaitu laporan keuangan konsolidasi.

Paragraf 16 PSAK No. 4 mengenai Laporan Keuangan Konsolidasi menyatakan bahwa :

Apabila dipenuhi kriteria konsolidasi, maka laporan keuangan konsolidasi wajib disusun. Untuk tujuan pelaporan keuangan, induk perusahaan yang memenuhi kriteria konsolidasi tidak boleh menyajikan tersendiri laporan keuangannya (tanpa konsolidasi) karena hanya ada satu laporan keuangan yang berlaku umum (general purpose financial statement), yaitu laporan keuangan konsolidasi. Akan tetapi, laporan keuangan tersendiri boleh disajikan apabila bertujuan untuk memberikan informasi tambahan bagi pengguna laporan keuangan konsolidasi. Dalam laporan keuangan induk perusahaan yang disajikan tersendiri tersebut, penyertaan pada anak perusahaan harus dipertanggung jawabkan dengan menggunakan metode ekuitas.

Sedangkan SPAP – SA Seksi 9551 mengenai Pelaporan Auditor Atas Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Induk Perusahaan saja: Interpretasi SA Seksi 551 mengatur bahwa jika suatu kantor akuntan publik melakukan audit atas laporan keuangan konsolidasian dan pemakai laporan audit selain memerlukan pendapat auditor atas laporan keuangan konsolidasian juga membutuhkan pendapat auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja (parent company only) harus mengacu pada PSA No. 36 (SA Seksi 551 Pelaporan atas Informasi yang Menyertai Laporan Keuangan Pokok dalam Dokumen yang Diserahkan oleh Auditor).

Opini auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja boleh diberikan auditor sebatas tidak terpisah dari opini atas laporan keuangan konsolidasian dan disajikan dalam paragraf tersendiri (sebagai informasi tambahan) setelah paragraf opini auditor atas laporan konsolidasian.

Illustrasinya adalah sebagai berikut :

Paragraf ke-3 Opini auditor atas laporan keuangan konsolidasian :

Menurut pendapat kami, laporan keuangan konsolidasian yang kami sebut diatas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan perusahaan KXT dan anak perusahaannya tanggal 31 Desember 20X2, dan 20X1, dan hasil usaha, serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Paragraf ke-4 Opini auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja

Audit kami laksanakan dengan tujuan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan pokok secara keseluruhan. Laporan keuangan induk perusahaan disajikan untuk tujuan analisa tambahan dan bukan merupakan bagian laporan keuangan pokok yang diharuskan menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Laporan keuangan induk perusahaan tersebut telah menjadi objek prosedur audit yang kami terapkan dalam audit atas laporan keuangan pokok, dan, menurut pendapat kami, disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, berkaitan dengan laporan keuangan pokok secara keseluruhan.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia tidak memperbolehkan adanya opini tersendiri khusus untuk laporan keuangan induk perusahaan saja seperti yang dipersyaratkan oleh KPP PMB tersebut. Jadi, bagaimana KAP dan IAPI menanggapi hal tersebut ? (Hrd).