Showing posts with label Auditing. Show all posts
Showing posts with label Auditing. Show all posts

Tuesday, April 19, 2022

Konsep Suatu Audit atas Laporan Keuangan

Standar Audit (SA) 200 (Revisi 2021) tentang Tujuan Keseluruhan Auditor Independen dan Pelaksanaan Audit Berdasarkan Standar Audit dalam bagian Pendahuluan menjelaskan bahwa tujuan suatu audit adalah untuk meningkatkan tingkat keyakinan pengguna laporan keuangan yang dituju. Hal ini dicapai melalui pernyataan suatu opini oleh auditor tentang apakah laporan keuangan disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan suatu kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Dalam hal kebanyakan kerangka bertujuan umum, opini tersebut adalah tentang apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka tersebut. Suatu audit yang dilaksanakan berdasarkan SA dan ketentuan etika yang relevan memungkinkan auditor untuk merumuskan opini.

Paragraf 4 SA 200 menjelaskan bahwa laporan keuangan yang diaudit adalah milik entitas, yang disusun oleh manajemen entitas dengan pengawasan dari pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola. SA tidak mengatur tanggung jawab manajemen atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, serta tidak mengabaikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tanggung jawab mereka. Namun, suat audit berdasarkan SA dilaksanakan dengan premis bahwa manajemen dan, jika relevan, pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, mengakui tanggung jawab tertentu yang fundamental bagi pelaksanaan audit. Audit atas laporan keuangan tidak melepaskan manajemen atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola dari tanggung jawab mereka.

Selanjutnya,  paragraf 5 mengatur bahwa sebagai basis untuk opini auditor, SA mengharuskan auditor untuk memeroleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari kesalahan penyajian material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan. Keyakinan memadai merupakan suatu tingkat keyakinan tinggi. Keyakinan tersebut diperoleh ketika auditor telah memeroleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menurunkan risiko audit (risiko bahwa auditor menyatakan suatu opini yang tidak tepat ketika laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material) ke level rendah yang dapat diterima. Namun, keyakinan memadai bukan merupakan suatu tingkat keyakinan absolut, karena terdapat keterbatasan inheren dalam audit yang menghasilkan kebanyakan bukti audit, yang menjadi basis auditor dalam menarik kesimpulan dan merumuskan opini, bersifat persuasif daripada konklusif.

Seperti yang dijelaskan dalam paragraf 6 SA 200, konsep materialitas diterapkan oleh auditor dalam perencanaan dan pelaksanaan audit, serta dalam pengevaluasian dampak kesalahan penyajian dalam audit dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada, yang teridentifikasi terhadap laporan keuangan. Pada umumnya, kesalahan penyajian, termasuk penghilangan penyajian, dipandang material jika, baik secara individual maupun agregat, dapat diekspektasikan secara wajar akan memengaruhi keputusan ekonomi yang diambil oleh pengguna berdasarkan laporan keuangan tersebut. Pertimbangan tentang materialitas dibuat dengan memperhatikan kondisi yang melingkupinya, dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan informasi keuangan pengguna laporan keuangan, serta oleh ukuran atau sifat suatu kesalahan penyajian, atau kombinasi dari keduanya. Oleh karena opini auditor berhubungan dengan laporan keuangan secara keseluruhan, auditor tidak bertanggung jawab untuk mendeteksi kesalahan penyajian yang tidak material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.

Demikian sekilas gambaran konsep audit atas laporan keuangan perusahaan yang dilakukan auditor independen sesuai dengan pengaturan dalam SA 200 (Revisi 2021) yang perlu untuk dipahami oleh pengguna laporan keuangan maupun pihak manajemen perusahaan yang laporan keuangannya diaudit oleh auditor independen. Semoga bermanfaat (HRD) ***

Monday, April 4, 2022

Konsep Audit Berbasis Risiko (Risk-based Audit)

Seperti yang telah kita ketahui, sejak tanggal 1 Januari 2013 Indonesia secara resmi mengadopsi standar audit internasional yaitu ISA (International Standards on Auditing), sehingga dengan demikian audit atas laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor independen harus berpedoman kepada standar audit tersebut.

ISA adalah merupakan standar audit yang berbasis risiko. Teknik audit berbasis risiko (risk-based auditing) mendasarkan pelaksanaan prosedur audit sesuai dengan penilaian risiko (risk assessment) yang dilakukan oleh auditor untuk dapat mendeteksi apakah laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen perusahaan yang diaudit mengandung salah saji material atau tidak.

Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya "Audit Berbasis ISA" menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan risiko audit (audit risk) adalah risiko yang dihadapi oleh auditor karena memberikan opini audit yang tidak tepat atas laporan keuangan yang disalahsajikan secara material. Tujuan dilakukannya audit adalah untuk menekan risiko ini ke tingkat rendah yang dapat diterima oleh auditor.

Standar Audit (SA) 200 menjelaskan mengenai risiko audit sebagai risiko bahwa auditor menyatakan suatu opini audit yang tidak tepat ketika laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material. Risiko audit merupakan suatu fungsi risiko kesalahan penyajian material dan risiko deteksi.

Dari penjelasan di atas dapat diperoleh gambaran bahwa ada dua unsur utama dari risiko audit yang dihadapi auditor dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan perusahaan. Yang pertama berupa risiko kesalahan penyajian material yaitu risiko bahwa laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material sebelum dilakukan audit. Risiko ini terdiri dari dua komponen, yaitu :

  1. risiko inheren (risiko bawaan)/ inherent risk
  2. risiko pengendalian/ control risk
SA 200 lebih lanjut menjelaskan bahwa risiko inheren adalah kerentanan suatu asersi tentang suatu golongan transaksi, saldo akun, atau pengungkapan terhadap suatu kesalahan penyajian yang mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya, sebelum mempertimbangkan pengendalian internal yang terkait. Sedangkan risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu kesalahan penyajian yang mungkin terjadi dalam suatu asersi tentang suatu golongan transaksi, saldo akun, atau pengungkapan yang mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya, tidak akan dapat dicegah, atau dideteksi dan dikoreksi, secara tepat waktu oleh pengendalian internal perusahaan.

Jadi, risiko inheren dan risiko pengendalian berkaitan dengan perusahaan dan lingkungannya secara keseluruhan, dimana kedua risiko tersebut merupakan komponen dari risiko kesalahan penyajian yang material seperti yang dijelaskan di atas, yang sudah terkandung dalam laporan keuangan yang dipersiapkan oleh pihak manajemen perusahaan sebelum auditor independen melakukan prosedur auditnya.

Unsur kedua dari risiko audit berbasis ISA adalah berupa risiko deteksi, yaitu risiko bahwa prosedur audit yang dilaksanakan oleh auditor untuk menurunkan risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima tidak akan mendeteksi suatu kesalahan penyajian yang ada dan yang mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya.

Jadi, risiko deteksi yang dihadapi auditor merupakan risiko yang timbul selama berlangsungnya pelaksanaan audit (dengan pelaksanaan prosedur-prosedur audit), dimana ada kemungkinan bahwa prosedur audit yang dirancang oleh auditor sendiri akan gagal untuk mendeteksi kesalahan penyajian material dari laporan keuangan yang diaudit.

Secara garis besar, ada 3 tahapan dalam melakukan audit berbasis risiko (risk-based audit) seperti yang dijabarkan dalam SA 200, sebagai berikut :
  1. mengidentifikasi dan menilai risiko kesalahan penyajian material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan, berdasarkan suatu pemahaman atas entitas dan lingkungannya, termasuk pengendalian internal entitas/ risk assessment
  2. memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat tentang apakah terdapat kesalahan penyajian material, melalui perancangan dan penerapan respons yang tepat terhadap risiko yang dinilai/ risk response
  3. merumuskan suatu opini atas laporan keuangan berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari bukti audit yang diperoleh/ reporting
Opini audit yang diberikan oleh auditor independen adalah berdasarkan hasil evaluasi dari bukti audit yang cukup dan tepat yang diperoleh dari  hasil pelaksanaan risk assessment dan risk response. Demikian gambaran konsep audit berbasis risiko sesuai dengan ISA (HRD) **

Monday, August 20, 2018

Perikatan Audit Tahun Pertama, bagaimana prosedur auditnya ?

Jika sekiranya kita ditugaskan untuk mengaudit laporan keuangan sebuah perusahaan untuk tahun berjalan, sedangkan laporan keuangan tahun lalu sudah diaudit oleh auditor dari KAP Lain (auditor pendahulu), apakah ada prosedur audit tertentu yang harus kita lakukan selaku auditor pengganti berkaitan dengan laporan keuangan tahun lalu yang sudah diaudit tersebut ? Bagaimana pula jika sekiranya laporan keuangan tahun lalu tidak diaudit ? Apakah kita perlu untuk melakukan prosedur audit tertentu atas laporan keuangan yang tidak diaudit tersebut ?

Standar Audit (SA) 510, “Perikatan Audit Tahun Pertama – Saldo Awal” mengatur mengenai prosedur audit serta tanggung jawab auditor yang berhubungan dengan saldo awal dalam perikatan audit tahun pertama.

Pengertian Perikatan Audit Tahun Pertama berdasarkan SA 510 adalah :

  • Laporan keuangan utnuk periode lalu tidak diaudit, atau
  • Laporan keuangan untuk periode lalu diaudit oleh auditor pendahulu.

Berkaitan dengan Saldo Awal, SA 510 mengatur beberapa prosedur audit yang harus dilakukan oleh auditor pengganti. Yang pertama, auditor harus membaca laporan keuangan terkini, jika ada, dan laporan auditor pendahulu, jika ada, untuk informasi yang relevan dengan saldo awal, termasuk pengungkapan.

Kemudian, auditor juga diharuskan untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat tentang apakah saldo awal mengandung kesalahan penyajian material dan berdampak terhadap laporan keuangan periode berjalan, dengan :

  1. Menentukan apakah saldo akhir periode lalu secara benar telah dipindahkan ke periode berjalan atau, jika tepat ,telah disajikan kembali;
  2. Menentukan apakah saldo awal telah mencerminkan penerapan kebijakan akuntansi yang semestinya; dan
  3. Melakukan satu atau lebih hal berikut :
    • Mereviu kertas kerja auditor pendahulu untuk memperoleh bukti yang terkait dengan saldo awal, jika laporan keuangan tahun lalu telah diaudit;
    • Mengevaluasi apakah prosedur audit yang dilakukan dalam periode berjalan menyediakan bukti yang relevan dengan saldo awal; atau
    • Melakukan prosedur audit spesifik untuk memperoleh bukti yang terkait dengan saldo awal

Jika auditor memperoleh bukti audit bahwa saldo awal mengandung kesalahan penyajian yang dapat secara material berdampak terhadap laporan keuangan periode berjalan, auditor harus melakukan prosedur audit tambahan yang diperlukan dalam kondisi tersebut untuk menentukan dampaknya terhadap laporan keuangan periode berjalan. Jika auditor menyimpulkan bahwa kesalahan penyajian tersebut ada dalam laporan keuangan periode berjalan, auditor harus mengomunikasikan kesalahan penyajian tersebut kepada tingkat manajemen yang semestinya dan pihak yang bertangung jawab atas tata kelola berdasarkan SA 450, “Pengevaluasian atas Kesalahan Penyajian yang Diidentifikasi Selama Audit”.

Paragraf 8 SA 510 menyatakan bahwa auditor harus memperoleh bukti audit kompeten yang cukup dan tepat tentang apakah kebijakan akuntansi yang tercermin dalam saldo awal telah diterapkan secara konsisten dalam laporan keuangan periode berjalan, dan apakah perubahan kebijakan akuntansi telah dicatat dengan tepat serta disajikan dan diungkapkan secara memadai sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku.

Jika laporan keuangan periode lalu telah diaudit oleh auditor pendahulu dan terdapat modifikasi terhadap opini, auditor harus mengevaluasi dampak atas hal yang menyebabkan modifikasi tersebut terhadap penilaian risiko kesalahan penyajian material dalam laporan keuangan periode berjalan berdasarkan SA 315, “Pengidentifikasian dan Penilaian Risiko Kesalahan Penyajian Material Melalui Pemahaman Entitas dan Lingkungannya”.

JIka auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat yang berkaitan dengan saldo awal, auditor harus menyatakan opini wajar dengan pengecualian atau opini tidak menyatakan pendapat. Jika auditor menyimpulkan bahwa saldo awal mengandung kesalahan penyajian yang material terhadap laporan keuangan periode berjalan, dan dampak kesalahan penyajian tersebut tidak dicatat dengan tepat, atau tidak disajikan atau diungkapkan dengan memadai, maka auditor harus menyatakan opini wajar dengan pengecualian atau opini tidak wajar (HRD).

Wednesday, April 29, 2015

Perubahan Aturan ROTASI Jasa Akuntan Publik

Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik tanggal 5 Pebruari 2008 dalam Pasal 3 ayat (1) diatur bahwa :

Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dilakukan oleh KAP paling lama untuk 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut

Kemudian, dalam ayat (2) diatur bahwa :

Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima kembali penugasan audit umum untuk klien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan klien tersebut

Selanjutnya, dalam ayat (3) diatur bahwa :

Jasa audit umum atas laporan keuangan dapat diberikan kembali kepada klien yang sama melalui KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) tahun buku tidak diberikan melalui KAP tersebut

Berdasarkan pengaturan dalam PMK No.17 tersebut di atas, sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) hanya boleh mengaudit sebuah perusahaan paling lama 6 (enam) tahun buku berturut-turut, sedangkan bagi Akuntan Publik (AP) di dalam KAP tersebut hanya diperbolehkan mengaudit paling lama 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.

Pada tanggal 6 April 2015, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 tahun 2015 tentang Praktik Akuntan Publik (PP 20/2015) yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari Undang-undang No.5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik.

Berkaitan dengan aturan rotasi jasa akuntan publik diatur dalam Pasal 11 PP 20/2015 tersebut, dimana dalam Pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa :

Pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a terhadap suatu entitas oleh seorang Akuntan Publik dibatasi paling lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut

Kemudian, dalam ayat (2) dijelaskan bahwa :

Entitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

  1. Industri di sektor Pasar Modal;
  2. Bank Umum;
  3. Dana Pensiun;
  4. Perusahaan Asuransi/Reasuransi; atau
  5. Badan Usaha Milik Negara

Selanjutnya, ayat (3) Pasal 11 PP 20/2015 tersebut menjelaskan bahwa :

Pembatasan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga berlaku bagi Akuntan Publik yang merupakan Pihak Terasosiasi

(PENJELASAN - Yang dimaksud dengan “Akuntan Publik yang merupakan Pihak Terasosiasi” adalah Akuntan Publik yang tidak menandatangani laporan auditor independen namun terlibat langsung dalam pemberian jasa, misal : Akuntan Publik yang merupakan partner in charge dalam suatu perikatan audit)

Lebih lanjut, ayat (4) menjelaskan bahwa :

Akuntan Publik dapat memberikan kembali jasa audit atas informasi keuangan historis terhadap entitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 2 (dua) tahun buku berturut-turut tidak memberikan jasa tersebut

Pada bagian KETENTUAN PERALIHAN dalam Pasal 22 PP 20/2015 tersebut diatur bahwa :

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Akuntan Publik yang memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas :

  1. untuk 1 (satu) tahun buku dapat melanjutkan pemberian jasa audit secara berturut-turut untuk 4 (empat) tahun buku berikutnya
  2. untuk 2 (dua) tahun buku secara berturut-turut dapat melanjutkan pemberian jasa audit secara berturut-turut untuk 3 (tiga) tahun buku berikutnya
  3. untuk 3 (tiga) tahun buku secara berturut-turut dapat melanjutkan pemberian jasa audit secara berturut-turut untuk 2 (dua) tahun buku berikutnya

PP 20/2015 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 April 2015.

Jika sebelumnya, berdasarkan PMK 17/2008 sebuah KAP dibatasi hanya boleh melakukan audit laporan keuangan historis perusahaan dalam 6 tahun berturut-turut dan AP dalam 3 tahun berturut-turut, maka berdasarkan PP 20/2015 ini tidak ada pembatasan lagi untuk KAP. Adapun pembatasan hanya berlaku untuk AP yaitu selama 5 tahun buku berturut-turut (HRD).

Tuesday, April 5, 2011

Beberapa perubahan istilah yang perlu diperhatikan auditor berkaitan dengan penerbitan PSAK baru dan revisian yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2011

Sehubungan dengan telah diterbitkannya beberapa PSAK yang baru maupun yang direvisi sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, termasuk PSAK No. 1 (Revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan (PSAK No. 1R) serta PSAK No. 25 (Revisi 2009) tentang Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan (PSAK No. 25R) oleh DSAK IAI yang berlaku untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011, maka Dewan Standar Profesi Institut Akuntan Publik Indonesia (DSP IAPI) melalui penerbitan Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 77 tanggal 21 Maret 2011 telah melakukan beberapa penyesuaian sebagai berikut :

  1. mencabut Pernyataan Standar Auditing (PSA) tertentu yang sudah tidak relevan; serta
  2. melakukan pemuktahiran atas penggunaan frasa dan istilah tertentu yang terdapat dalam seluruh PSA, beserta interpretasi, lampiran dan contoh yang terdapat di dalamnya (secara kolektif disebut sebagai “Standar Auditing”).

Berkaitan dengan point 1 di atas, PSA yang dicabut berdasarkan PSA No. 77 adalah :

  • PSA No. 07 (SA Seksi 332), “Auditing Investasi”, karena sudah tidak relevan seiring dengan diterbitkannya PSAK No. 50 (Revisi 2006), “Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan” dan PSAK No. 55 (Revisi 2006), “Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran” oleh DSAK IAI; dan
  • PSA No. 72 (SA Seksi 411), “Makna Frasa Menyajikan Secara Wajar Sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum di Indonesia”, beserta Interpretasi Pernyataan Standar Auditing No. 72.01 terkait, karena sudah tidak relevan seiring dengan diterbitkannya PSAK No. 1R dan PSAK No. 25R oleh DSAK IAI.

Sedangkan pemutakhiran frasa dan istilah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

  • Frasa “prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia” berubah menjadi “Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia”
  • Frasa “generally accepted accounting principles in Indonesia” berubah menjadi “Indonesian Financial Accounting Standards
  • Istilah “aktiva” berubah menjadi “aset”
  • Istilah “kewajiban” berubah menjadi “liabilitas”
  • Istilah “neraca” berubah menjadi “laporan posisi keuangan (neraca)”
  • Istilah “laporan laba rugi” berubah menjadi “laporan laba rugi komprehensif”

PSA No. 77 ini berlaku efektif untuk penugasan yang terkait dengan periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011.

Softcopy PSA No. 77 ini dapat didownload secara gratis melalui official website IAPI atau dengan mengklik link berikut ini : PSA No. 77 tanggal 21 Maret 2011

Thursday, August 26, 2010

Risiko yang dihadapi auditor dalam audit atas laporan keuangan

Dalam suatu penugasan audit, auditor selalu dihadapkan dengan yang namanya risiko audit. Walaupun suatu laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan tidak diaudit, selalu ada risiko yang melekat dalam laporan keuangan tersebut.

SPAP PSA Seksi 312 mendefinisikan risiko audit sebagai risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

Dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan sebuah perusahaan, di samping risiko audit, auditor juga akan menghadapi risiko lainnya seperti risiko kerugian praktek profesionalnya akibat dari tuntutan pengadilan, publikasi negatif, atau peristiwa lain yang mungkin timbul berkaitan dengan audit atas laporan keuangan yang dilakukan.

Oleh karena itu, auditor harus selalu mempertimbangkan faktor risiko audit baik dalam tahap perencanaan audit, perancangan prosedur audit maupun dalam tahap evaluasi kewajaran penyajian laporan keuangan perusahaan.

SPAP SA Seksi 312 mengharuskan auditor untuk selalu merencanakan auditnya sedemikian rupa, sehingga risiko audit dapat dibatasi pada tingkat yang rendah, yang menurut pertimbangan profesionalnya, memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan.

Risiko audit dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

(a) Risiko Bawaan (Inherent Risk), adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait (maksudnya bahwa risiko bawaan timbul dengan asumsi pengedalian intern dalam perusahaan tidak ada. Jika sekiranya pengendalian intern dalam perusahaan memadai serta efektif dalam pelaksanaannya dengan sendirinya risiko bawaan akan dapat diminimalisasi). Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh, perhitungan yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Uang tunai dalam perusahaan lebih mudah dicuri daripada persediaan. Suatu akun dalam laporan keuangan yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data faktual. Perusahaan yang bergerak dalam bidang industri yang memproduksi barang-barang hi-tech seperti misalnya handphone akan lebih berisiko terjadinya penumpukan persediaan yang usang karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan pasar.

(b) Risiko Pengendalian (Control Risk), adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas desain dan operasi pengendalian intern untuk mencapai tujuan entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian intern.

(c) Risiko Deteksi (Detection Risk), adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut telah diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu bisa timbul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit. Ketidakpastian seperti ini dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai serta pelaksanaan praktek audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.

Seperti yang dijelaskan dalam SPAP PSA seksi 312 para. 28 bahwa risiko bawaan dan risiko pengendalian berbeda dengan risiko deteksi. Adapun risiko bawaan dan risiko pengendalian tetap ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.

Atau dengan rumus dapat dijabarkan seperti berikut : AR (Audit Risk) = IR X CR X DR

Baca juga referensi lainnya mengenai Audit Risk :  Audit Risk model, an introduction

Saturday, July 17, 2010

Audit tahun pertama, bagaimana prosedurnya ?

Prosedur audit apa saja yang harus dilakukan auditor bila laporan keuangan diaudit untuk pertama kalinya atau bila laporan keuangan tahun sebelumnya diaudit oleh auditor independent lain? Jika sekiranya auditor pengganti tidak melakukan prosedur audit apapun untuk menguji kewajaran penyajian laporan keuangan tahun sebelumnya yang tidak diaudit ataupun diaudit oleh auditor lain, apakah ada pengaruhnya terhadap opini auditor tahun berjalan ?

SPAP SA Seksi 323 (PSA No. 56) Perikatan Audit Tahun Pertama – Saldo Awal mengatur dengan cukup jelas mengenai hal ini.

Dalam par. 02 dijelaskan bahwa laporan keuangan tidak hanya menyajikan posisi keuangan dan hasil usaha tahun berjalan, namun juga mencerminkan dampak dari : (a) Transaksi yang dimasukkan dalam saldo yang dibawa ke tahun berikutnya dari tahun-tahun sebelumnya, serta (b) kebijakan akuntansi yang diterapkan dalam tahun-tahun sebelumnya.

Oleh karena itu, auditor yang mengaudit laporan keuangan tahun berjalan harus memperoleh bukti audit kompeten yang cukup untuk meyakini bahwa :
a. Saldo awal tidak mengandung salah saji yang mempunyai dampak material terhadap laporan keuangan tahun berjalan;
b. Saldo penutup tahun sebelumnya telah dibawa dengan benar ke tahun berjalan atau telah dinyatakan kembali, jika semestinya dilakukan;
c. Kebijakan akuntansi yang semestinya telah diterapkan secara konsisten.

Sifat dan luas bukti audit yang harus diperoleh auditor berkaitan dengan saldo awal laporan keuangan yang akan diaudit tergantung pada : (a) Kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh perusahaan, (b) apakah laporan keuangan tahun sebelumnya telah diaudit, dan jika demikian, apa opini yang diberikan oleh auditor ? (c) sifat akun dan risiko salah saji dalam laporan keuangan tahun berjalan.

Bila laporan keuangan tahun sebelumnya telah diaudit oleh auditor independen lain, auditor tahun berjalan dapat memperoleh keyakinan mengenai saldo awal dengan cara me-review kertas kerja auditor pendahulu. Disamping itu, ia juga harus mempertimbangkan kompetensi dan independensi profesional auditor pendahulu. Jika laporan auditor tahun sebelumnya berisi pendapat selain pendapat wajar tanpa pengecualian, maka auditor tahun berjalan harus memperhatikan bidang yang relevan yang dikecualikan dalam audit tahun berjalan. Misalnya jika auditor sebelumnya melakukan pengecualian atas akun persediaan yang tidak bisa dilakukan penghitungan fisik maka auditor pengganti harus memperhatikan apakah dalam tahun berjalan prosedur tersebut juga tidak bisa diterapkan serta bagaimana pengaruhnya terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan yang akan diauditnya.

Selain me-review kertas kerja auditor pendahulu, auditor pengganti juga harus melakukan komunikasi dengan auditor sebelumnya sesuai dengan pengaturan dalam SA Seksi 315 (PSA No. 16) Komunikasi antara Auditor Pendahulu dengan Auditor Pengganti.

Bagaimana jika sekiranya laporan keuangan tahun sebelumnya tidak diaudit ? Atau jika auditor tidak dapat memperoleh keyakinan memadai dari hasil review atas kertas kerja auditor pendahulu ? Apakah ada prosedur alternatif yang bisa dilakukan ?

Dalam par. 09 SPAP Seksi 323 dijelaskan bahwa jika laporan keuangan tahun sebelumnya tidak diaudit atau jika auditor tidak dapat memperoleh keyakinan dengan me-review kertas kerja auditor pendahulu, ia harus memperoleh bukti audit kompeten yang cukup untuk mendukung asersi yang terkandung dalam saldo awal, sepanjang saldo-saldo tersebut berdampak terhadap laporan keuangan tahun berjalan.

Misalnya : untuk memperoleh keyakinan atas saldo awal Piutang, maka auditor bisa melakukan pengiriman konfirmasi ataupun melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti penerimaan kas dari hasil penagihan piutang tersebut. Demikian juga untuk saldo awal Hutang dapat diyakini kewajarannya dengan memeriksa ke bukti-bukti pembayarannya.

Untuk aktiva tetap, jika sekiranya auditor tahun berjalan tidak bisa memperoleh keyakinan memadai dari hasil review kertas kerja auditor sebelumnya atau jika laporan keuangan tahun sebelumnya tidak di audit, maka harus dilakukan pemeriksaan ke bukti-bukti pendukung perolehan aktiva tetap tahun-tahun sebelumnya, terutama untuk nilai perolehan yang material.

Jika setelah melaksanakan prosedur pemeriksaan yang diperlukan, auditor tidak dapat memperoleh keyakinan memadai serta bukti audit kompeten yang cukup berkenaan dengan saldo awal, maka ia harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau menyatakan tidak memberikan pendapat, karena adanya batasan atas lingkup auditnya.

Jika kebijakan akuntansi tahun berjalan tidak diterapkan secara konsisten dalam hubungannya dengan saldo awal dan jika perubahan tersebut tidak dipertanggungjawabkan dan diungkapkan sebagaimana mestinya serta dampaknya material, maka dalam hal ini auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar seperti yang diatur dalam par. 14 SPAP Seksi 323.

Adapun pengaturan di dalam SPAP SA Seksi 323 ini menurut saya sejalan dengan pengaturan menurut International Standard on Auditing (ISA) 510 Initial Audit Engagement – Opening Balances (baca di sini) dan juga (di sini) (Hrd).

Friday, September 26, 2008

Kebijakan Penentuan Fee Audit

Pada tanggal 2 Juli 2008 kemarin, Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menerbitkan Surat Keputusan No. KEP.024/IAPI/VII/2008 tentang Kebijakan Penentuan Fee Audit.

Surat Keputusan ini diterbitkan dengan tujuan sebagai panduan bagi profesi Akuntan Publik maupun Kantor Akuntan Publik dalam menetapkan fee audit.

Dalam bagian Lampiran 1 dijelaskan bahwa panduan ini dikeluarkan sebagai panduan bagi seluruh Anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (‘Anggota’) yang menjalankan praktek sebagai akuntan publik dalam menetapkan besaran imbalan yang wajar atas jasa professional yang diberikannya. Panduan ini harus dibaca dalam hubungannya dengan Kode Etik Profesi, khususnya yang berkaitan dengan Independensi dan Imbalan Jasa Profesional.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa panduan ini dimaksudkan untuk membantu Anggota dalam menetapkan imbalan jasa yang wajar sesuai dengan martabat profesi akuntan publik dan dalam jumlah yang pantas untuk dapat memberikan jasa sesuai dengan tuntutan standar profesional akuntan publik yang berlaku. Imbalan jasa yang terlalu rendah atau secara signifikan jauh lebih rendah dari yang dikenakan oleh auditor/akuntan pendahulu atau diajukan oleh auditor/akuntan lain, akan menimbulkan keraguan mengenai kemampuan dan kompetensi Anggota dalam menerapkan standar teknis dan standar profesional yang berlaku.

Dalam menetapkan imbalan jasa (fee) audit, Akuntan Publik harus memperhatikan tahapan-tahapan pekerjaan audit, sebagai berikut :

a. Tahap perencanaan audit antara lain : pendahuluan perencanaan, pemahaman bisnis klien, pemahaman proses akuntansi, pemahaman struktur pengendalian internal, penetapan risiko pengendalian, melakukan analisis awal, menentukan tingkat materialitas, membuat program audit, risk assessment atas akun, dan fraud discussion dengan management.

b. Tahap pelaksanaan audit antara lain : pengujian pengendalian internal, pengujian substantif transaksi, prosedur analitis, dan pengujian detail transaksi.

c. Tahap pelaporan antara lain : review kewajiban kontijensi, review atas kejadian setelah tanggal neraca, pengujian bukti final, evaluasi dan kesimpulan, komunikasi dengan klien, penerbitan laporan audit, dan capital commitment.

Selain itu, dalam menetapkan fee audit, Akuntan Publik harus juga mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

a. Kebutuhan klien

b. Tugas dan tanggung jawab menurut hukum (statutory duties)

c. Independensi

d. Tingkat keahlian (levels of expertise) dan tanggung jawab yang melekat pada pekerjaan yang dilakukan, serta tingkat kompleksitas pekerjaan

e. Banyaknya waktu yang diperlukan dan secara efektif digunakan oleh Akuntan Publik dan stafnya untuk menyelesaikan pekerjaan, dan

f. Basis penetapan fee yang disepakati.

Imbalan jasa dihubungkan dengan banyaknya waktu yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan, nilai jasa yang diberikan bagi klien atau bagi kantor akuntan publik yang bersangkutan.

Dalam hal imbalan jasa tidak dikaitkan dengan banyaknya waktu pengerjaan, Anggota harus menyampaikan Surat Perikatan (Engagement Letter) yang setidaknya memuat : (1) tujuan, lingkup pekerjaan serta pendekatan dan metodologinya; dan (2) basis penetapan dan besaran imbalan jasa (atau estimasi besaran imbalan jasa) serta cara dan/atau termin pembayarannya.

Anggota diharuskan agar selalu : (1) memelihara dokumentasi lengkap mengenai basis pengenaan imbalan jasa yang disepakati; dan (2) menjaga agar basis pengenaan imbal jasa yang disepakati konsisten dengan praktek yang lazim berlaku.

Untuk mempertahankan independensinya, Anggota sudah harus menerima imbal jasa atas pekerjaan yang telah dilakukannya sebelum memulai pekerjaan untuk periode berikutnya.

Anggota tidak diperkenankan menerima perikatan apabila klien belum membayar lunas kewajiban kepada auditor terdahulu.

Praktek yang baik mengharuskan dilakukannya penagihan secara bertahap atas pekerjaan yang diselesaikan untuk periode lebih dari satu bulan. Penagihan harus segera dilakukan begitu termin yang disepakati telah jatuh waktu.

Setiap Kantor Akuntan Publik wajib menerapkan ketentuan mengenai panduan penetapan imbalan jasa (fee) audit sebagaimana diatur dalam Lampiran 1 Surat Keputusan ini.

Kebijakan penentuan fee audit oleh Kantor Akuntan Publik menjadi salah satu aspek dalam hal dilakukannya review mutu terhadap Kantor Akuntan Publik tersebut.

Demikian beberapa pengaturan penting berdasakan SK Ketua Umum IAPI tersebut. Untuk pengaturan teknis perhitungan fee audit serta ilustrasi penetapan imbalan jasa (fee) audit dapat dilihat pada SK tersebut (Hrd) ***

Monday, August 18, 2008

Apa saja yang harus diperhatikan auditor sebelum menerima suatu perikatan audit ?

Tulisan berikut ini memaparkan hal-hal yang harus menjadi perhatian auditor sebelum menerima suatu perikatan audit agar tidak timbul kesalahan interpretasi akan pekerjaan audit baik dari pihak auditor, klien maupun pihak lain yang berkepentingan, seperti yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 310 (PSA No. 05) mengenai Penunjukan Auditor Independen.

Penunjukan auditor independen secara dini akan memberikan banyak manfaat bagi auditor maupun klien, diantaranya adalah lebih banyak waktu bagi auditor untuk merencanakan pekerjaannya sedemikian rupa sehingga pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan cepat dan efisien serta dapat menentukan seberapa jauh pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan sebelum tanggal neraca.

Walaupun penunjukan dini lebih baik, auditor independen dapat menerima perikatan pada saat mendekati atau setelah tanggal neraca. Dalam hal ini, sebelum menerima perikatan, auditor harus yakin apakah kondisi seperti itu memungkinkan ia melaksanakan audit secara memadai dan memberikan pendapatan wajar tanpa pengecualian.

Jika kondisi tersebut tidak memungkinkan auditor untuk melakukan audit secara memadai dan untuk memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian, ia harus membahas dengan klien tentang kemungkinan ia memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau tidak memberikan pendapat.

Dalam paragraf 05 diatur bahwa auditor harus membangun pemahaman dengan klien tentang jasa yang akan dilaksanakan untuk setiap perikatan. Pemahaman tersebut mengurangi risiko terjadinya salah interpretasi kebutuhan atau harapan pihak lain, baik di pihak auditor maupun klien.

Adapun pemahaman yang harus dibangun auditor harus mencakup tujuan perikatan, tanggung jawab manajemen, tanggung jawab auditor dan batasan perikatan.

Auditor harus mendokumentasikan pemahaman tersebut dalam kertas kerjanya, lebih baik dalam bentuk komunikasi tertulis dengan klien.

Jika auditor yakin bahwa pemahaman dengan klien belum terbentuk, ia harus menolak untuk menerima atau menolak untuk melaksanakan perikatan.

Paragraf 06 mengatur mengenai hal-hal yang secara umum harus tercakup dalam proses pemahaman dengan klien tentang audit atas laporan keuangan :

1. Tujuan audit adalah untuk menyatakan suatu pendapat atas laporan keuangan

2. Manajemen bertanggung jawab untuk membangun dan mempertahankan pengendalian intern yang efektif terhadap pelaporan keuangan

3. Manajemen bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan menjamin bahwa entitas mematuhi peraturan perundangan yang berlaku terhadap aktivitasnya

4. Manajemen bertanggung jawab untuk membuat semua catatan keuangan dan informasi yang berkaitan tersedia bagi auditor

5. Pada akhir perikatan, manajemen akan menyediakan suatu surat bagi auditor (surat representasi kien) yang menegaskan representasi tertentu yang dibuat selama audit berlangsung.

6. Auditor bertanggung jawab untuk melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia (sekarang Institut Akuntan Publik Indonesia).

7. Suatu audit mencakup pemerolehan pemahaman atas pengendalian intern yang cukup untuk merencanakan audit dan untuk menentukan sifat, saat, dan luasnya prosedur audit yang harus dilaksanakan.

Dalam praktek, hal-hal tersebut biasanya tercakup dalam surat perikatan (engagement letter) yang diberikan oleh auditor kepada klien.

Selain hal-hal tersebut diatas, pemahaman pekerjaan audit dengan klien juga mencakup hal-hal lain seperti berikut ini :

1. Pengaturan mengenai pelaksanaan perikatan (contohnya waktu, bantuan klien berkaitan dengan pembuatan jadwal pelaksanaan pekerjaan audit, dan penyediaan dokumen)

2. Pengaturan tentang keikutsertaan spesialis atau auditor intern, jika diperlukan

3. Pengaturan tentang keikutsertaan auditor pendahulu

4. Pengaturan tentang fee dan penagihan

5. Adanya pembatasan atau pengaturan lain tentang kewajiban auditor atau klien, seperti ganti rugi kepada auditor untuk kewajiban yang timbul dari representasi salah yang dilakukan dengan sepengetahuan manajemen kepada auditor

6. Kondisi yang memungkinkan pihak lain diperbolehkan untuk melakukan akses ke kertas kerja auditor

7. Jasa tambahan yang disediakan oleh auditor berkaitan dengan pemenuhan persyaratan badan pengatur

8. Pengaturan tentang jasa lain yang harus disediakan oleh auditor dalam hubungannya dengan perikatan.

(Sumber tulisan : SPAP SA Seksi 310 (PSA No. 05) tentang Penunjukan Auditor Independen)

Sunday, August 3, 2008

Peristiwa Setelah Tanggal Neraca, efeknya terhadap penyajian laporan keuangan

Laporan auditor independen umumnya diterbitkan dalam hubungannya dengan laporan keuangan historis yang dimaksudkan untuk menyajikan posisi keuangan pada tanggal tertentu dan hasil usaha, perubahan ekuitas, serta arus kas untuk periode yang berakhir pada tanggal tersebut.

Namun, ada peristiwa atau transaksi yang kadang-kadang terjadi sesudah tanggal tersebut tetapi sebelum diterbitkannya laporan keuangan dan laporan audit, yang mempunyai akibat material terhadap laporan keuangan, sehingga memerlukan penyesuaian atau pengungkapan dalam laporan-laporan tersebut.

Misalnya, auditor mengaudit laporan keuangan per 31 Desember 2007 dan menerbitkan laporan auditor independen (opini auditor) pada tanggal 22 Maret 2008. Selama pelaksanaan audit, auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya peristiwa atau transaksi yang terjadi setelah tanggal 31 Desember 2007 sampai tanggal 22 Maret 2008 yang memerlukan penyesuaian atau pengungkapan dalam laporan keuangan auditan per 31 Desember 2007 tersebut.

Peristiwa atau transaksi tersebut di atas merupakan “Peristiwa Kemudian atau Peristiwa Setelah Tanggal Neraca (Subsequent Events)” yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 560 (PSA No. 46) tentang Peristiwa Kemudian serta Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 8 (Revisi 2003) tentang Peristiwa Setelah Tanggal Neraca.

Ada dua jenis peristiwa setelah tanggal neraca seperti yang diatur dalam PSAK dan SPAP, yaitu :

(1) peristiwa setelah tanggal neraca yang memerlukan penyesuaian

Contoh peristiwa setelah tanggal neraca yang memerlukan penyesuaian atas laporan keuangan adalah :

  1. Kerugian akibat piutang tak tertagih yang disebabkan oleh adanya pelanggan yang mengalami kesulitan keuangan dan menuju kebangkrutan setelah tanggal neraca
  2. Keputusan pengadilan setelah tanggal neraca atau penyelesaian tuntutan hukum yang jumlahnya berbeda dengan jumlah hutang yang sudah dicatat jika peristiwa yang menyebabkan timbulnya tuntutan tersebut telah terjadi atau ada sebelum tanggal neraca
  3. Penemuan kecurangan atau kesalahan yang menunjukkan bahwa laporan keuangan tidak benar

(2) peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian

Untuk peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian atas penyajian laporan keuangan, auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya peristiwa tertentu yang mungkin memerlukan pengungkapan agar laporan keuangan tidak menyesatkan pembacanya.

Apabila peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian adalah penting, dalam arti jika tidak diungkapkan akan mempengaruhi pengambilan keputusan pengguna laporan keuangan, maka perusahaan harus mengungkapkan informasi berikut untuk setiap peristiwa tersebut :

  1. Jenis peristiwa yang terjadi;
  2. Estimasi atas dampak keuangan, atau pernyataan bahwa estimasi semacam itu tidak dapat dibuat.

Contoh peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian tetapi diperlukan adanya pengungkapan dalam laporan keuangan adalah :

  1. Penjualan obligasi atau penerbitan saham baru
  2. Terjadinya tuntutan hukum yang signifikan yang semata-mata disebabkan oleh peristiwa yang terjadi sesudah tanggal neraca
  3. Pembelian dan pelepasan aset dalam jumlah yang signifikan, atau pengambilalihan aset oleh pemerintah
  4. Perubahan abnormal atas harga aset atau nilai tukar mata uang asing setelah tanggal neraca
  5. Perubahan tarif pajak atau peraturan perpajakan yang diberlakukan atau diumumkan setelah tanggal neraca dan memiliki pengaruh yang signifikan pada aset dan kewajiban pajak kini dan tangguhan
  6. Kerugian aktiva tetap atau persediaan yang diakibatkan oleh kebakaran

Pengidentifikasian peristiwa-peristiwa yang memerlukan penyesuaian laporan keuangan atau tidak ataupun yang memerlukan pengungkapan dalam laporan keuangan auditan membutuhkan penerapan kebijakan dan pengetahuan tentang fakta-fakta dan kondisi yang ada.

Misalnya, kerugian sebagai akibat piutang tidak tertagih yang disebabkan oleh adanya pelanggan yang mengalami kesulitan keuangan dan menuju kebangkrutan sesudah tanggal neraca merupakan indikasi keadaan yang ada pada tanggal neraca, sehingga membutuhkan penyesuaian terhadap laporan keuangan sebelum diterbitkan. Namun, apabila kerugian yang sama terjadi sebagai akibat adanya pelanggan yang mengalami kebangkrutan karena kebakaran atau banjir sesudah tanggal neraca, bukan merupakan indikasi kondisi yang ada pada tanggal neraca, sehingga tidak diperlukan adanya penyesuaian atas laporan keuangan (Hrd).

Hubungan Standar Auditing dengan Standar Pengendalian Mutu KAP

Beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah memposting tulisan berkaitan dengan Standar Pengendalian Mutu KAP (lihat Mengenal Sistem Pengendalian Mutu KAP ).

Antara Standar Pengendalian Mutu KAP dan Standar Auditing yang harus dipatuhi auditor independen dan Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam pelaksanaan audit terdapat saling keterkaitan seperti yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 161 (PSA NO. 01) mengenai Hubungan Standar Auditing dengan Standar Pengendalian Mutu.

Dalam paragraf 1 SPAP SA Seksi 161 dijelaskan bahwa dalam penugasan audit, auditor independen bertanggung jawab untuk mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Seksi 202 Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik mengharuskan anggota Ikatan Akuntan Indonesia yang berpraktik sebagai auditor independen mematuhi standar auditing jika berkaitan dengan audit atas laporan keuangan.

Kantor akuntan publik juga harus mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia dalam pelaksanaan audit. Oleh karena itu, kantor akuntan publik harus membuat kebijakan dan prosedur pengendalian mutu untuk memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian penugasan audit dengan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia.

Sifat dan luasnya kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang ditetapkan oleh kantor akuntan publik tergantung pada faktor-faktor tertentu, seperti ukuran kantor akuntan publik, tingkat otonomi yang diberikan kepada karyawan dan kantor-kantor cabangnya, sifat praktik, organisasi kantornya, serta pertimbangan biaya manfaat (lihat Mengenal Sistem Pengendalian Mutu KAP).

Standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia berkaitan dengan pelaksanaan penugasan audit secara individual; standar pengendalian mutu berkaitan dengan pelaksanaan praktik audit kantor akuntan publik secara keseluruhan.

Oleh karena itu, standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia dan standar pengendalian mutu berhubungan satu sama lain, dan kebijakan serta prosedur pengendalian mutu yang diterapkan oleh kantor akuntan publik berpengaruh terhadap pelaksanaan penugasan audit secara individual dan pelaksanaan praktik audit kantor akuntan publik secara keseluruhan (Hrd).

Sunday, June 8, 2008

Dokumentasi Tahapan Audit dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (Bag. 2 dari 2 tulisan)

DOKUMENTASI KKP AUDIT PLANNING

Dokumentasi KKP Perencanaan Audit (audit planning) meliputi :

· Pemahaman Bisnis Klien; agar perencanaan audit dapat dibuat dengan sebaik-baiknya, auditor harus benar-benar memahami bisnis klien. Dengan demikian, auditor akan dapat mengetahui kejadian-kejadian atau hal-hal yang dapat mempengaruhi laporan keuangan perusahaan dan juga mempengaruhi penugasan audit. Pemahaman bisnis klien mencakup pemahaman mengenai faktor internal perusahaan (seperti sejarah pendirian perusahaan, kepemilikan/permodalan, struktur organisasi dan manajemen, transaksi afiliasi, sifat dan jenis operasional/kegiatan usaha perusahaan, finansial dan kepegawaian, perpajakan dan lainnya) dan faktor eksternal (seperti industri perusahaaan meliputi pelanggan utama, pemasok utama, pesaing utama, kondisi industri pada umumnya, hukum dan peraturan yang berdampak terhadap perusahaan, prospek bisnis dan lainnya). Prosedur pemahaman bisnis klien harus didokumentasikan secara memadai.

· Pemahaman Proses Akuntansi;

· Penilaian Struktur Pengendalian Internal; sebaik apapun struktur pengendalian internal yang disusun manajemen, selalu ada risiko bawaan di dalamnya. Penilaian terhadap struktur pengendalian internal dapat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan overview terhadap proses akuntansi perusahaan. Proses ini akan berguna untuk menentukan tingkat risiko pengendalian untuk mendeteksi potensi salah saji yang material dalam laporan keuangan. Prosedur ini harus didokumentasikan secara memadai.

· Penetapan Risiko Pengendalian;

· Melakukan Analisa Awal; yang umum digunakan adalah data gabungan baik data keuangan maupun non-keuangan (analytical review). Tujuan utama penerapan analisa awal (analytical review) adalah untuk mendeteksi kemungkinan adanya akun-akun laporan keuangan yang kewajarannya diragukan (mengevaluasi kelayakan informasi keuangan) serta sebagai langkah awal untuk menentukan luasnya prosedur audit substantif lanjutan yang harus dilakukan. Selain itu, prosedur analytical review juga diperlukan untuk menentukan perlunya penerapan prosedur audit tambahan atas suatu akun laporan keuangan. Beberapa metode Analytical Review yang sering dilakukan Auditor dalam praktek adalah analisa comparative serta analis rasio keuangan.

· Menentukan Tingkat Materialitas; laporan keuangan mengandung salah saji material apabila salah saji yang terkandung di dalam laporan keuangan, baik individual atau keseluruhan, berdampak cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar. Penentuan tingkat materialitas dapat secara kuantitatif maupun kualitatif. Prosedur penentuan tingkat materialitas harus didokumentasikan secara memadai.

· Membuat Audit Program; design audit program harus fleksibel, dalam arti harus sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi klien dan penugasan audit. Program audit yang tercetak/baku memiliki beberapa kelemahan seperti pola pikir auditor terbatasi, daya analisa cenderung tidak berkembang serta kurangnya kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi.

Setelah tahapan-tahapan di atas terlaksana, selanjutnya adalah tahapan pemeriksaan. Auditor melakukan pemeriksaan berdasarkan perencanaan audit yang telah disusunnya, dalam rangka memperoleh bukti-bukti kompeten yang cukup untuk mendukung pendapat auditor mengenai kewajaran laporan keuangan.

TAHAPAN PEMERIKSAAN

Adapun jenis pengujian yang umumnya dilakukan dalam pekerjaan pemeriksaan adalah :

· prosedur untuk memperoleh pemahaman atas pengendalian intern

· pengujian atas pengendalian intern

· pengujian substantif transaksi

· pengujian detail transaksi

· prosedur analitik

Prosedur-prosedur yang dilaksanakan selama pekerjaan pemeriksaan pada umumnya meliputi :

· pemeriksaan fisik

· konfirmasi

· dokumentasi

· observasi/pengamatan

· tanya jawab dengan klien

· penelaahan kembali

· estimasi dari hasil prosedur analitik

Prosedur-prosedur tersebut di atas harus didokumentasikan secara memadai.

PENYELESAIAN AUDIT

Penerbitan laporan auditor independen merupakan tujuan akhir dari suatu pekerjaan pemeriksaan. Seluruh bukti audit yang telah diperoleh dalam pekerjaan pemeriksaan akan dikumpulkan dan dianalisa sebagai bahan pertimbangan pemberian opini auditor dalam laporan auditor independen.

Prosedur lainnya yang harus dilakukan dalam tahap akhir pekerjaan pemeriksaan adalah pemeriksaan kejadian penting setelah tanggal neraca. Prosedur yang umum digunakan adalah dengan cara membandingkan laporan keuangan yang terbit setelah tanggal neraca, sebelum tanggal laporan auditor. Prosedur ini harus didokumentasikan secara memadai.

Setelah itu, representasi manajemen harus diperoleh dan didokumentasikan sebagai bagian dari kertas kerja pemeriksaan (Hrd).

Dokumentasi Tahapan Audit dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (Bag. 1 dari 2 tulisan)

Pada posting saya sebelumnya dengan judul Kertas Kerja Audit, saya sudah memberikan sedikit gambaran mengenai kertas kerja pemeriksaan. Pada bagian ini, saya akan memaparkan lebih jauh informasi-informasi apa saja yang harus didokumentasikan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) selama tahapan pekerjaan audit.

Mengenai Kertas Kerja Audit diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 339 (PSA No. 15).

Kertas Kerja adalah catatan yang dipersiapkan dan disimpan oleh auditor yang isinya meliputi prosedur audit yang diterapkan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh serta kesimpulan yang dicapai dalam penugasan audit.

Pada bagian Pendahuluan, SPAP SA Seksi 339 dijelaskan bahwa “Auditor harus membuat dan memelihara kertas kerja, yang isi maupun bentuknya harus didesain untuk memenuhi keadaan-keadaan yang dihadapinya dalam perikatan tertentu. Informasi yang tercantum dalam kertas kerja merupakan catatan utama pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh auditor dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya mengenai masalah-masalah yang signifikan”.

Dalam audit umum (general audit), pada umumnya KKP yang dipersiapkan auditor terdiri dari :

· Permanent File

· Current File, berupa KKP WBS (berisi KKP akun Neraca mulai dari Kas sampai dengan Modal) serta KKP WPL (berisi KKP akun Laba Rugi)

· Tax File (kadang-kadang tax file tidak dipisahkan tersendiri oleh auditor, tetapi digabung dengan Current File ataupun Permanent File tergantung manfaat dan sifat dari KKP tersebut)

Sepanjang tahapan pelaksanaan audit, di dalam KKP harus ada dokumentasi yang menunjukkan siklus pekerjaan berupa :

· Perencanaan Pendahuluan

· Perencanaan Audit

· Pemeriksaan Audit

· Penyelesaian dan Pelaporan

Dokumentasi KKP Perencanaan Pendahuluan meliputi :

· Pertimbangan penerimaan klien berupa Survey Pendahuluan dan Evaluasi Penerimaan Klien

· Komunikasi dengan auditor pendahulu

· Surat Perikatan Audit

Pada saat survey pendahuluan untuk klien baru, informasi yang harus diperoleh pada umumnya berupa :

1. Latar belakang, seperti (a) nama dan alamat kantor serta lokasi pabrik (b) alasan penugasan audit (c) bidang usaha dan industri calon klien (d) pemilik dan permodalan perusahaan (e) gambaran sistim akuntansi perusahaan

2. Informasi mengenai kewajiban hukum klien

3. Kompetensi Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam menerima penugasan audit, berupa (a) independensi KAP, (b) staf yang terlibat dalam penugasan, (c) kelayakan audit fee yang diterima.

Sedangkan, untuk prosedur Evaluasi Penerimaan Klien, KAP harus berhati-hati dalam memutuskan penerimaan maupun keberlanjutan penugasan audit dari klien. Auditor harus menindaklanjuti informasi yang diperoleh dalam survey pendahuluan untuk keputusan penerimaan penugasan audit. Selain itu, pertimbangan-pertimbangan lain yang harus diperhatikan adalah berupa (a) pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, (b) hasil audit periode sebelumnya jika calon klien sudah pernah diaudit sebelumnya serta (c) kebutuhan akan tenaga spesialis.

Dalam melakukan komunikasi dengan auditor pendahulu, tidak hanya dilakukan saat pertimbangan penerimaan penugasan audit, tetapi juga setelah ada keputusan penerimaan penugasan audit. Auditor pengganti, setelah menerima perikatan, dapat meminta klien untuk mengijinkannya melakukan review atas KKP auditor pendahulu.

Mengenai Surat Perikatan Audit, diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 320 par. 2 “Auditor dan klien harus setuju atas syarat-syarat perikatan. Syarat-syarat yang telah disetujui bersama perlu dicatat dalam suatu surat perikatan (engagement letter).

Bentuk dan isi surat perikatan audit dapat bervariasi di antara klien, namun surat tersebut umumnya berisi :

· tujuan audit atas laporan keuangan

· tanggung jawab manajemen atas laporan keuangan

· lingkup audit, peraturan relevan yang harus diterapkan oleh auditor

· bentuk laporan

· fakta bahwa karena sifat pengujian dan keterbatasan bawaan lain suatu audit, dan dengan keterbatasan bawaan pengendalian intern, terdapat risiko yang tidak dapat dihindari tentang kemungkinan beberapa salah saji material tidak dapat terdeteksi

· akses yang tidak dibatasi terhadap catatan, dokumentasi, dan informasi lain apapun yang diminta oleh auditor dalam hubungannya dengan audit

· pembatasan atas tanggung jawab auditor

· bentuk komunikasi yang akan dilakukan dengan manajemen

Segera setelah surat perikatan disetujui, auditor harus menyusun perencanaan audit (audit planning). (bersambung)

Friday, May 30, 2008

SPAP, kapan full adoption ke ISA ?

Technorati Tags: ,,

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku di Indonesia selama ini mengacu pada standar auditing dari Amerika. SPAP ini membagi standar auditing menjadi tiga bagian utama yaitu Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan dan Standar Pelaporan.

Berikut saya paparkan sedikit gambaran perkembangan SPAP serta issue yang paling hot saat ini yaitu full adoption dengan International Standard on Auditing (ISA).

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang merupakan pedoman bagi pekerjaan auditor di Indonesia merupakan hasil pengembangan berkelanjutan yang telah dimulai sejak tahun 1973. Pada tahap awal perkembangannya, standar ini disusun oleh suatu komite dalam organisasi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang diberi nama Komite Norma Pemeriksaan Akuntan. Standar yang dihasilkan oleh komite tersebut diberi nama Norma Pemeriksaan Akuntan. Sebagaimana tercermin dari nama yang diberikan, standar yang dikembangkan pada saat itu lebih berfokus ke jasa audit atas laporan keuangan historis.

Perubahan pesat yang terjadi di lingkungan bisnis di awal dekade tahun sembilan puluhan kemudian menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan mutu jasa audit atas laporan keuangan historis, jasa atestasi, serta jasa akuntansi dan review. Disamping itu, tuntutan kebutuhan untuk menjadikan organisasi profesi akuntan publik lebih mandiri dalam mengelola mutu jasa yang dihasilkan bagi masyarakat juga terus meningkat. Respon profesi akuntan publik terhadap berbagai tuntutan tersebut diwujudkan dalam dua keputusan penting yang dibuat oleh IAI pada pertengahan tahun 1994, yaitu :

1. perubahan nama dari Komite Norma Pemeriksaan Akuntan ke Dewan Standar Profesional Akuntan Publik, dan

2. perubahan nama standar yang dihasilkan dari Norma Pemeriksaan Akuntan ke Standar Profesional Akuntan Publik

Penerbitan SPAP per 1 Agustus 1994 seiring dengan perubahan nama standar dari Norma Pemeriksaan Akuntan ke Standar Profesional Akuntan Publik sumber acuan utamanya adalah dari American Institute of Certified Public Accountant Professional Standards (AICPA Professional Standards).

Untuk merespon kebutuhan profesi akuntan publik seiring pertumbuhan ekonomi dan bisnis di Indonesia serta perubahan-perubahan radikal yang terjadi di lingkungan bisnis, dalam kurun waktu 1994-1997 Dewan SPAP telah menerbitkan berbagai standar. Selanjutnya, dalam kurun waktu 1997-2000 Dewan SPAP juga menerbitkan berbagai interpretasi standar untuk merespon kebutuhan profesi akuntan publik dalam menghadapi krisis ekonomi dan bisnis yang saat itu dialami oleh Indonesia.

Dari pengalaman masa lalu dan antisipasi tren perubahan pasca krisis ekonomi Indonesia serta memperhatikan perubahan pesat yang terjadi di AICPA Professional Standards sebagai sumber acuan SPAP, Dewan SPAP selama tahun 1999 melakukan perombakan besar atas SPAP per 1 Agustus 1994 dan menerbitkannya dalam buku yang diberi judul Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Januari 2001.

SPAP per 1 Januari 2001 tersebut adalah merupakan kodifikasi SPAP terakhir yang masih berlaku sampai dengan saat ini, dengan sedikit penambahan berupa interpretasi-interpretasi yang diterbitkan dari tahun 2001 sampai dengan 2008. Penambahan terakhir dilakukan pada bulan Pebruari 2008 dengan penerbitan Pernyataan Beragam (Omnibus Statement)

SPAP per 1 Januari 2001 memang terkesan sudah kurang up-to-date jika dibanding dengan AICPA Standards. Hal ini karena AICPA Standards yang diacu dalam SPAP 2001 adalah AICPA Standards tahun 1998, sedangkan yang berlaku di negara asalnya saat ini adalah AICPA Standards yang selalu dimutakhirkan setiap tahun. Ditengarai terdapat perbedaan yang signifikan antara AICPA Standards 2007 dengan 1998, sehingga kalau sekarang akuntan publik kita masih menggunakan SPAP 2001 yang sebagian besar hasil adopsi dari AICPA Standards 1998, maka sepertinya akuntan publik Indonesia belum memutahirkan standar profesinya pada perkembangan terkini dari standar yang diacunya.

Pada tahun 2004, melalui Konvensi Nasional Akuntan Indonesia telah diputuskan bahwa Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akan melakukan adopsi sepenuhnya (full adoption) International Auditing and Assurance Standards (ISA) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants (IFAC).

Dengan dilakukannya adopsi ISA, maka ISA akan menggantikan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang sekarang berlaku yang sebagian besar isinya diadopsi dari AICPA Professional Standards tahun 1998.

Langkah full adoption tersebut ditempuh untuk memenuhi tuntutan pesatnya perkembangan dunia usaha dan bisnis yang berimbas pada bidang akuntansi dan auditing. Selain itu, IAI yang telah menjadi full members dari International Federation of Accountant (IFAC), mempunyai kewajiban untuk mematuhi dan memenuhi butir-butir statement of membership obligation (SMO) yang salah satu diantaranya adalah bahwa semua anggota IFAC diwajibkan untuk tunduk kepada semua standar dan pernyataan lain yang dikeluarkan oleh International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB).

International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) adalah merupakan badan yang dibentuk oleh International Federation of Accountants (IFAC) sebagai badan pembuat standar auditing dan assurance yang salah satunya adalah International Standard on Auditing (ISA).

Untuk memenuhi SMO yang ditetapkan IFAC, Dewan SPAP saat itu telah merencanakan akan melakukan adopsi ISA mulai tahun 2006. Untuk mewujudkan rencana tersebut, Dewan SPAP telah membuat dua program kerja, yaitu proses internal dan eksternal.

Proses internal merupakan proses pengerjaan di dewan SPAP sendiri, diantaranya adalah pekerjaan penerjemahan naskah ISA yang masih dalam format bahasa Inggris. Selain itu, proses internal lainnya adalah berupa pemetaan/mapping, pengidentifikasian perbedaan antara SPAP dengan ISA, dan akuntabilitas dari ISA.

Sedangkan yang termasuk program kerja eksternal adalah meliputi studi dan diskusi, yang difokuskan pada studi dan diskusi mengenai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara SPAP dengan ISA. Dalam melakukan studi dan diskusi ini nantinya akan melibatkan pihak akademis, pemerhati akuntansi dan auditing, regulator serta para akuntan untuk memberikan masukan atas pemetaan yang sebelumnya sudah dibuat oleh Dewan SPAP. Selanjutnya, Dewan SPAP akan mengadakan studi banding dengan melihat penerapan ISA oleh negara-negara lain.

Dalam tulisannya pada Media Akuntansi Indonesia Edisi 6/Tahun II/Maret 2008 dengan judul “Adopsi Standar Auditing dan Assurance Internasional, Sudah Sampai Dimana ?”, Syarief Basir menjelaskan bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh, dari jumlah seksi yang ada pada ISA sebanyak 40 seksi, telah diterjemahkan oleh DSPAP sebanyak 33 seksi atau 83 % dari seluruh seksi ISA. Kemudian, yang masih harus dilakukan DSPAP adalah melakukan proses editing terjemahan dan dilanjutkan dengan mempelajari kesesuaian aturan-aturan dalam standar tersebut dengan kondisi Indonesia. Apabila ternyata beberapa isi dari ISA tersebut tidak sesuai maka proses modifikasi perlu dilakukan.

Apabila langkah-langkah yang dilakukan oleh DSPAP-IAI KAP, yang sejak Mei 2007 berubah menjadi DSPAP-IAPI sudah sejauh itu, tentu menjadi harapan kita bahwa ISA akan segera menjadi exposure draft (ED) dan akhirnya berlaku efektif bagi akuntan publik Indonesia serta menjadi standar yang lebih diakui dan diterima bukan hanya oleh stakeholder domestik tapi juga stakeholder internasional.

Namun, sepertinya akuntan publik Indonesia masih harus bersabar, karena IAASB-IFAC dalam project-nya yang dinamakan clarity project telah mengeluarkan keputusan untuk melakukan perubahan-perubahan besar pada ISA yang mencakup hampir 60% dari isi standar, dengan jadwal penyelesaian secepatnya 15 Desember 2008 (lihat lampiran IAASB Project Timetable as of March 2008).

Keputusan clarity project oleh IAASB tersebut tentu saja menghambat laju proses adopsi ISA di Indonesia. Kalau sebelumnya DSPAP sudah menyelesaikan 83% penterjemahan ISA, mendiskusikannya dan saat itu sedang mengkaji penerapan ISA, maka dengan adanya clarity project ini, DSPAP harus kembali dari awal proses penterjemahan atas ISA yang sudah diperbaharui IAASB, kemudian melakukan editing, dan tahap-tahap seterusnya.

Jadi, jika ISA yang sedang dalam proses full adoption oleh SPAP sendiri sering di-redraft dan direvisi, kapan pekerjaan DSPAP dalam rangka mengadopsi ISA bisa selesai ?

Tulisan ini merupakan hasil kompilasi dari berbagai sumber, diantaranya SPAP, Media Akuntansi Edisi 49 September 2005 dan Edisi 6 Maret 2008.

Wednesday, May 28, 2008

Sekilas Audit Persediaan

Technorati Tags: ,,,

Persediaan adalah merupakan bagian dari aset perusahaan yang pada umumnya nilainya cukup material dan rawan oleh tindakan pencurian ataupun penyalahgunaan. Oleh karena itu, biasanya akun persediaan menjadi salah satu perhatian utama auditor dalam pemeriksaan atas laporan keuangan perusahaan.

Adapun tujuan utama pemeriksaan persediaan adalah untuk menentukan bahwa :

· Persediaan secara fisik benar-benar ada

· Prosedur pisah batas (cut-off) persediaan telah dilakukan dengan memuaskan

· Persediaan telah dinilai sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum (PSAK) yang diterapkan secara konsisten

· Persediaan yang bergerak lambat (slow moving), usang, rusak, dapat diidentifikasika dengan tepat dan dicadangkan dalam jumlah yang memadai

· Penghitungan matematis dalam daftar persediaan telah dibuat dengan cermat

· Persediaan yang dijaminkan telah diidentifikasikan dan diungkapkan dengan jelas dalam catatan atas laporan keuangan

Walaupun tujuan-tujuan audit yang disebutkan di atas diarahkan terutama atas eksistensi dan valuasi persediaan dalam neraca, tetapi auditor harus selalu ingat bahwa audit terhadap akun persediaan yang dilakukannya harus berhubungan dengan harga pokok penjualan dan akun-akun terkait lainnya dalam laporan laba rugi.

Beberapa tahapan prosedur audit yang harus dilakukan auditor dalam melakukan pemeriksaan atas akun persediaan diantaranya adalah :

1. Pemahaman Bisnis Klien – kecukupan pemahaman atas bisnis perusahaan merupakan dasar terhadap audit persediaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh auditor melalui Kuesioner Pemahaman Bisnis dan Jenis Usaha Klien akan memberikan auditor pemahaman mengenai aspek-aspek unik dari bisnis dan jenis usaha, seperti faktor musiman dan siklus, sifat dari keuangan, metode dan kebijaksanaan penjualan, kondisi persaingan usaha, bahan baku dan sumbernya, tenaga kerja dan fasilitas pabrik yang berkaitan dengan kebijaksanaan operasi perusahaan serta karakteristik sistim informasi termasuk metode costing. Pemahaman ini memungkinkan auditor untuk mencapai kesimpulan mengenai aspek-aspek laporan keuangan sehubungan dengan persediaan.

2. Penilaian Pengendalian Intern – tujuan pengendalian intern atas persediaan adalah untuk meyakinkan bahwa (a) adanya pengendalian yang memadai terhadap mutasi persediaan, (b) semua transaksi persediaan telah dicatat dan diklasifikasikan dengan tepat, (c) penghitungan fisik persediaan telah dijalankan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, (d) harga perolehan persediaan telah ditentukan dengan tepat, (e) penyesuaian atas persediaan yang bergerak lambat (slow moving), usang dan rusak telah dilakukan dengan tepat.

3. Pengujian Substantif – tujuan utama pengujian substantif terhadap persediaan adalah untuk memberikan bukti nyata dari keberadaan dan penilaian persediaan. Pengujian ini meliputi observasi dan pengujian penghitungan fisik (stock taking), pengujian ringkasan dan pengujian harga.

Observasi dan Pengujian Fisik Persediaan

Observasi penghitungan fisik merupakan prosedur pemeriksaan umum. Keikutsertaan auditor pemeriksa dalam penghitungan fisik dan observasinya akan memberikan kepuasan dalam menilai metode penghitungan fisik yang dilakukan dan ketaatan perusahaan atas penyajian kuantitas serta kondisi fisik persediaan.

Apabila auditor tidak dapat melakukan observasi atsa penghitungan fisik persediaan karena adanya pembatasan pemeriksaan, maka auditor dapat memberikan pendapat dengan kualifikasi atau tidak memberikan pendapat sama sekali atas laporan keuangan perusahaan yang diperiksanya.

Ada beberapa metode penghitungan fisik persediaan, antara lain :

1. penghitungan fisik secara menyeluruh yang dilaksanakan setahun sekali pada tanggal neraca atau pada tanggal tertentu yang dihadiri auditor.

2. penghitungan yang kontinue yang dilakukan atas seluruh persediaan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun

3. penghitungan ulang atas semua seksi yang terbesar dengan menghitung sekurang-kurangnya sekali dalam setahun untuk seksi-seksi lainnya.

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 331 mengenai “Sediaan” mengatur mengenai penghitungan fisik persediaan yang dilakukan oleh auditor.

Dalam paragraf 3 diatur bahwa jika kuantitas sediaan hanya ditentukan melalui penghitungan fisik, dan semua penghitungan dilakukan pada tanggal neraca atau pada suatu tanggal dalam periode yang tepat, baik sebelum maupun sesudah tanggal neraca, maka perlu bagi auditor untuk hadir pada saat penghitungan fisik sediaan dan, melalui pengamatan, pengujian dan permintaan keterangan memadai, untuk meyakinkan dirinya tentang efektivitas metode penghitungan fisik sediaan dan mengukur keandalan yang dapat diletakkan atas representasi klien tentang kuantitas dan kondisi fisik sediaan.

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan auditor dalam penghitungan fisik persediaan, diantaranya adalah :

1. selama penghitungan fisik persediaan, auditor harus memastikan bahwa pengendalian atas prosedur pemasukan dan pengeluaran barang atau pergerakan intern barang selama penghitungan berlangsung telah diikuti sebagaimana mestinya, untuk menilai kecermatan pisah batas (cut-off) yang telah dilakukan. Jika memungkinkan, sebaiknya proses produksi dihentikan sementara selama berlangsungnya penghitungan fisik persediaan ataupun penghitungan fisik dilakukan pada saat tidak adanya kegiatan penerimaan maupun pengeluaran barang di gudang.

2. auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya barang konsinyasi (titipan) yang bukan menjadi milik perusahaan, barang jaminan dan lainnya

3. kemungkinan adanya persediaan yang tidak berada dalam pengawasan perusahaan, misalnya barang yang berada di lokasi gudang umum, barang yang dipegang oleh penjual, barang konsinyasi dan lainnya. Untuk jenis persediaan ini, prosedur audit yang harus dilakukan adalah dengan melakukan konfirmasi langsung secara tertulis ataupun dengan penghitungan fisik.

4. auditor harus memastikan bahwa persediaan dalam perjalanan benar-benar belum diterima sampai pada saat penghitungan fisik persediaan berlangsung.

Jika penghitungan fisik persediaan dilakukan setelah tanggal neraca, auditor harus melakukan tarik mundur (draw back) hasil penghitungan fisik persediaan ke saldo tanggal neraca. Prosedur ini terutama diperlukan untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa pencatatan saldo persediaan pada tanggal neraca telah sesuai dengan fisik persediaan yang ada di gudang.

Pengujian atas Penentuan Harga Pokok Persediaan

Harga pokok persediaan umumnya ditentukan dengan metode rata-rata, FIFO ataupun LIFO.

Dalam meakukan pemeriksaan atas akun persediaan, auditor harus melakukan pengujian untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa metode yang digunakan dalam menilai persediaan telah sesuai dengan kebijakan akuntansi perusahaan.

Kuesioner Pengendalian Intern Persediaan

Kuesioner berkaitan dengan pengendalian intern persediaan di gudang yang biasanya ditanyakan oleh auditor selama berlangsungnya pemeriksaan diantaranya adalah :

· apakah persediaan dipisahkan secara memadai antara bahan baku, barang dalam proses, bahan pembantu maupun barang jadi

· apakah terdapat pengamanan yang cukup terhadap pencurian, kerusakan, kebakaran, banjir maupun risiko lainnya

· apakah persediaan berada di bawah pengawasan penjaga gudang

· apakah gudang tempat penyimpanan barang hanya dapat dimasuki oleh petugas gudang

· apakah barang dalam gudang hanya boleh dikeluarkan berdasarkan bukti permintaan dan bukti pengeluaran barang yang telah disetujui oleh pejabat berwenang

· apakah ada prosedur/pengawasan barang masuk atau keluar gudang, seperti penjaga pintu, pengecekan ulang antara barang di truk dengan dokumen bersangkutan dan lainnya

· jika perusahaan menggunakan sistim persediaan perpetual, apakah pencatatan di kartu persediaan dibuat terpisah untuk masing-masing kelompok persediaan

· apakah orang yang melaksanan pencatatan pada kartu persediaan bukan orang yang berfungsi sebagai penjaga gudang

· apakah secara periodik, jumah barang yang ada di kartu persediaan dicocokkan dengan buku besar

· apakah saldo persediaan dihitung secara fisik sekurang-kurangnya setahun sekali dan dicocokkan dengan kartu persediaan

Demikian sekilas gambaran audit atas persediaan. Semoga bermanfaat. (Hrd)

Saturday, May 17, 2008

Standar Auditing Internasional (ISA) vs Standar Auditing Indonesia (SPAP)

Technorati Tags: ,

International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) adalah merupakan badan yang dibentuk oleh International Federation of Accountants (IFAC) sebagai badan pembuat standar auditing dan assurance.

Standar yang diterbitkan oleh IAASB terbagi dalam tiga kategori. Pertama, standar audit dan review informasi keuangan historis. Standar ini terdiri dari dua standar yaitu : International Standard on Auditings (ISAs), dan International Standard on Review Engagement (ISREs). Selanjutnya, untuk membantu penerapan standar auditing, IAASB mengeluarkan International Auditing Practice Statement (IAPSs). IAPS ini merupakan pedoman interpretasi dan bantuan praktis di dalam menerapkan standar auditing. Dan untuk penerapan standar review, IAASB juga telah mengeluarkan pedoman interpretasi dan batuan praktisnya. Pedoman ini diberi nama International Review Engagement Practice Statement (IREPSs).

Kategori kedua, standar untuk penugasan assurance selain audit atau review laporan keuangan historis. Untuk kategori kedua ini, IAASB mengeluarkan International Standard Assurance Engagements (ISAEs). Dan untuk penerapan lebih praktisnya, IAASB telah menerbitkan International Assurance Engagement Practice Statements (IAEPS). IAEPS ini merupakan pedoman interpretasi dan bantuan praktis didalam menerapkan standar assurance.

Kategori terakhir adalah standar untuk jasa lainnya. Untuk kategori ketiga ini, IAASB menerbitkan International Standard on Related Services (ISRSs). Standar ini harus diterapkan pada penugasan kompilasi, pengolahan informasi, dan jasa penugasan lain. Untuk penerapannya, IAASB juga telah mengeluarkan pedoman interpretasi dan bantuan praktis yang diberi nama International Related Service Practice Statements (IRSPSs).

Selain mengeluarkan standar untuk pekerjaan auditor, IAASB juga mengeluarkan standar untuk memberikan mutu pelayanan yang baik. Standar ini dinamakan International Standard on Qualitiy Controls (ISQCSs).

Di Indonesia, sebelum terbentuknya Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), standar auditing ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Setelah terbentuknya IAPI yang secara resmi diterima sebagai anggota asosiasi yang pertama oleh IAI pada tanggal 4 Juni 2007 serta diakui oleh pemerintah RI sebagai organisasi profesi akuntan publik yang berwenang melaksanakan ujian sertifikasi akuntan publik, penyusunan dan penerbitan standar profesional dan etika akuntan publik, serta menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan publik di Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 pada tanggal 5 Pebruari 2008, selanjutnya standar auditing berupa Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) disusun dan diterbitkan oleh IAPI.

SPAP merupakan kodifikasi berbagai pernyataan standar teknis dan aturan etika. Pernyataan standar teknis yang dikodifikasi dalam SPAP terdiri dari :

1. Pernyataan Standar Auditing

2. Pernyataan Standar Atestasi

3. Pernyataan Jasa Akuntansi dan Review

4. Pernyataan Jasa Konsultasi

5. Pernyataan Standar Pengendalian Mutu

Sedangkan aturan etika yang dicantumkan dalam SPAP adalah Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang dinyatakan berlaku oleh Kompartemen Akuntan Publik sejak bulan Mei 2000.

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku di Indonesia selama ini mengacu pada standar auditing dari Amerika. SPAP ini membagi standar auditing menjadi tiga bagian utama yaitu Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan dan Standar Pelaporan.

Sedangkan International Standar on Auditing (ISA) tidak membagi standar auditing dengan kategori seperti halnya SPAP. Pada ISA, tidak ada Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan dan Standar Pelaporan. Penyajian standar-standar yang ada di ISA sudah mencerminkan proses pengerjaan auditing.

Pendekatan pekerjaan audit di ISA dibagi dalam enam tahap. Tahap pertama dimulai dengan persetujuan penugasan (agreement of engagement). Kemudian, tahap kedua melakukan pengumpulan informasi, pemahaman bisnis dan sistim akuntansi klien, serta penentuan unit yang akan diaudit. Tahap ketiga adalah pengembangan strategi audit. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan access inherent list.

Tahap selanjutnya adalah execute the audit, yaitu mulai melaksanakan audit. Pada saat melaksanakan audit maka akan dilakukan test of control, substantive and analytical procedure dan other substantive procedure. Tahap kelima, mulai membentuk opini. Dan tahap terakhir adalah membuat laporan audit.

Dari keenam tahapan pekerjaan audit yang diatur dalam ISA tersebut sepertinya tidak jauh berbeda dengan pengaturan dalam SPAP yang menjadi pedoman audit bagi KAP di Indonesia. Demikian sedikit gambaran International Standar on Auditing (ISA) yang merupakan standar audit internasional dibandingkan dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang merupakan standar audit yang berlaku di Indonesia.

Sumber : Media Akuntansi Edisi 49/Tahun XII/September 2005 dan SPAP

Tuesday, May 13, 2008

Kertas Kerja Audit

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 339 (PSA No. 15) mengatur mengenai Kertas Kerja Audit.

Kertas Kerja adalah catatan yang dipersiapkan dan disimpan oleh auditor yang isinya meliputi prosedur audit yang diterapkan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh serta kesimpulan yang dicapai dalam penugasan audit.

Dalam setiap penugasan audit dibutuhkan penyusunan kertas kerja yang paling sesuai dengan kondisi penugasan yang sedang dihadapi.

Pada bagian Pendahuluan, SPAP SA Seksi 339 dijelaskan bahwa “Auditor harus membuat dan memelihara kertas kerja, yang isi maupun bentuknya harus didesain untuk memenuhi keadaan-keadaan yang dihadapinya dalam perikatan tertentu. Informasi yang tercantum dalam kertas kerja merupakan catatan utama pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh auditor dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya mengenai masalah-masalah yang signifikan”.

Kertas Kerja terutama berfungsi untuk :

1. Sebagai pendukung utama bagi laporan auditor, termasuk representasi tentang pengamatan atas standar pekerjaan lapangan. Selain itu, kertas kerja juga merupakan bukti pendukung utama yang memungkinkan auditor membela diri apabila hasil kerjanya dipermasalahkan dikemudian hari.

2. Membantu auditor dalam pelaksanaan dan supervisi audit.

Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, kertas kerja harus direncanakan dan dipergunakan untuk meningkatkan pelaksanaan penugasan audit seefisien dan seekonomis mungkin. Kertas kerja harus berisi catatan mengenai prosedur audit yang memadai dan lengkap yang dilakukan dalam pemeriksaan laporan keuangan serta kesimpulan yang dicapai.

Kuantitas, bentuk, dan isi kertas kerja untuk penugasan khusus akan berlainan tergantung pada keadaan masing-masing penugasan tersebut. Faktor-faktor berikut ini dapat mempengaruhi pertimbangan auditor mengenai kuantitas, bentuk dan isi kertas kerja :

1. Sifat dasar penugasan

2. Sifat dasar laporan auditor

3. Sifat dasar laporan keuangan, lampiran atau informasi lain yang dilaporkan oleh auditor

4. Sistim pembukuan yang ada pada perusahaan klien

5. Cukup tidaknya pengendalian intern terhadap pencatatan akuntansi

6. Tingkat supervisi dan penelaahan yang diperlukan

Paragraf 5 SPAP SA Seksi 339 menjelaskan mengenai Isi Kertas Kerja.

Kuantitas, tipe, dan isi kertas kerja bervariasi dengan keadaan yang dihadapi oleh auditor, namun harus cukup memperlihatkan bahwa catatan akuntansi cocok dengan laporan keuangan atau informasi lain yang dilaporkan serta standar pekerjaan lapangan yang dapat diterapkan telah diamati. Kertas kerja biasanya harus berisi dokumentasi yang memperlihatkan :

1. Pekerjaan telah direncanakan dan disupervisi dengan baik

2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern telah diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang telah dilakukan

3. Bukti audit yang telah diperoleh, prosedur audit yang telah ditetapkan, dan pengujian yang telah dilaksanakan, memberikan bukti kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.

Jadi, pada dasarnya proses perancangan kertas kerja audit yang memadai sangatlah tergantung kepada keahlian serta pengalaman audit field work seorang auditor. Selain itu, menurut saya, daya nalar dan daya imajinatif juga sangat mendukung dalam merancang kertas kerja audit sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan untuk mendeteksi kecurangan-kecurangan maupun kekeliruan penyajian laporan keuangan sebuah perusahaan yang sedang diaudit. Lebih lanjut, menurut saya, merancang kertas kerja audit adalah sebuah seni. Diperlukan seorang seniman audit yang baik untuk dapat menciptakan karya seni berupa kertas kerja audit yang baik pula.

Pada umumnya, kertas kerja audit dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu :

1. Permanent File; berisi informasi penting yang berkesinambungan bagi suatu penugasan pemeriksaan dan dimaksudkan untuk menyimpan data historis atau data berkesinambungan sebagai sumber informasi yang penting untuk pelaksanaan audit dari tahun ke tahun. Contoh : Akta Pendirian Perusahaan, Informasi Bisnis dan Jenis Usaha Klien (UCBIQ), Perjanjian Pinjaman dan Kontrak Jangka Panjang dan lainnya.

2. Current File; berisi kertas-kertas kerja yang dapat digunakan selama pemeriksaan tahun berjalan. Misalnya : Draft Laporan Auditor, Laporan Keuangan Perusahaan (Inhouse/Home Statement), Laporan Audit Final, Management Letter, Surat Representasi Klien, Review Points, Kertas Kerja Perencanaan Audit, Kertas Kerja Pengujian Substantif seperti Working Balance Sheet, Working Profit and Loss, Ayat Jurnal Koreksian Auditor, Audit Program dan kertas kerja lainnya yang berkaitan dengan audit tahun berjalan.

3. Tax File; berisi informasi yang berkaitan dengan kewajiban klien dibidang perpajakan tahun berjalan, tahun-tahun sebelumnya dan tahun yang akan datang. Berkas ini juga berfungsi sebagai dasar pengisian SPT Tahun berjalan.

Paragraf 6, 7 dan 8 SPAP SA Seksi 339 mengatur mengenai kepemilikan dan penyimpanan kertas kerja.

Kertas kerja adalah milik auditor. Namun hak dan kepemilikan atas kertas kerja masih tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang berkaitan dengan hubungan yang bersifat rahasia dengan klien.

Seringkali kertas kerja tertentu auditor dapat berfungsi sebagai sumber acuan bagi kliennya, namun kertas kerja harus tidak dipandang sebagai bagian dari, atau sebagai pengganti terhadap, catatan akuntansi klien.

Auditor harus menerapkan prosedur memadai untuk menjaga keamanan kertas kerja dan harus menyimpannya dalam periode yang dapat memenuhi kebutuhan praktiknya dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku mengenai penyimpanan dokumen.

Pasal 44 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik mewajibkan Akuntan Publik dan/atau KAP untuk memelihara Laporan Auditor Independen, Kertas Kerja serta dokumen pendukung lainnya yang berkaitan dengan pemberian jasa selama 10 (sepuluh) tahun.

“The skill of an accountant can always be ascertained by an inspection of his working papers.”
— Robert H. Montgomery, Montgomery’s Auditing, 1912

Thursday, May 8, 2008

Audit Points

Selama pelaksanaan penugasan audit, Auditor selalu mencatat bermacam-macam audit notes dan penelaahan atau butir-butir pemeriksaan (audit points) untuk beberapa tujuan guna membantu Auditor dalam melaksanakan pekerjaannya.

Pencatatan tersebut biasanya dalam bentuk :

1. To Do Points

2. Butir-butir Catatan atas Laporan Keuangan (Notes to Financial Statement Points)

3. Management Letter Points

4. Catatan untuk Partner (Points for Partner)

Audit points ini biasanya ditulis pada buku catatan ataupun dengan menggunakan bantuan perangkat komputer. Jika butir-butir tersebut dapat dinilai dengan jelas dan tertulis dengan cukup terperinci, maka catatan tersebut dapat menjadi alat bantu yang berguna untuk mengingatkan penyelesaian masalah-masalah tertentu atau untuk pelaksanaan prosedur audit tertentu.

To Do Points

To Do Points berfungsi sebagai sarana untuk mengingatkan Auditor terhadap prosedur-prosedur yang karena satu atau lain alasan, belum dapat dilaksanakan lebih awal, atau pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak auditor tapi belum terjawab. Biasanya setiap Auditor menyimpan lembar “To Do Point” nya sendiri.

Format To Do Points secara umum mencakup informasi Nama Klien, Lembar Judul (To Do Points), Tanggal Audit, Referensi Kertas Kerja, Penjelasan To Do Points serta Remarks.

Untuk suatu butir To Do Points yang sudah diselesaikan, point tersebut harus dicoret. Dengan demikian, point-point yang masih belum diselesaikan dan perlu penyelesaian dapat diidentifikasi dengan mudah.

Semua masalah penting yang timbul dan penyelesaiannya harus ditunjukkan dalam kertas kerja yang berhubungan. Hal ini merupakan bagian dari temuan Auditor dan berfungsi sebagai masukan pada proses evaluasi bukti-bukti, oleh karena itu harus ditunjukkan dalam kertas kerja yang sesuai. Lembaran “To Do Points” bukan bagian dari kertas kerja. Lembaran-lembaran tersebut harus dimusnahkan setelah semua point telah diselesaikan dan telah dicatat dengan benar dalam kertas kerja audit.

Notes to Financial Statement Points

Selama berlangsungnya audit, Auditor harus waspada terhadap masalah-masalah yang membutuhkan pengungkapan (disclosure) dalam Laporan Keuangan. Ketika Auditor menemukan hal-hal yang membutuhkan pengungkapan, dia harus mencatatnya pada lembaran Notes to Financial Statement Points sehingga dapat berfungsi untuk mengingatkan atau sebagai future reference ketika dia membantu klien membuat draft Catatan atas Laporan Keuangan.

Format Notes to Financial Statement Points pada umumnya harus memberikan informasi mengenai Nama Klien, Lembar Judul (Notes to FS Points), Tanggal Audit, Referensi Kertas Kerja (WP Reference), Rincian hal-hal atau data yang membutuhkan pengungkapan serta Tindakan yang diambil.

Management Letter Points

Management Letter (ML) Points berisi hal-hal yang menjadi temuan Auditor selama pelaksanaan audit dan memerlukan perhatian serta langkah perbaikan oleh manajemen perusahaan misalnya adanya kelemahan pengendalian internal ataupun masalah lainnya. Hal-hal yang akan ditulis pada ML harus disusun selama berlangsungnya audit untuk memudahkan penyusunan ML tersebut dan untuk meningkatkan kwalitasnya.

ML Points harus disimpan pada point sheet yang menerangkan ML Point, bagaimana ML dicatat, rekomendasi untuk langkah perbaikan, komentar manajemen perusahaan serta tindakan yang diambil.

Lembaran ML Points yang harus ditandatangan dan diberi tanggal oleh Auditor yang menyusun, dapat dikumpulkan dalam satu map selama berlangsungnya audit dan kemudian segera difile setelah Ringkasan Kelemahan Pengendalian (Summary of Control Weaknesses).

Catatan untuk Partner (Points for Partner)

Selama proses pemeriksaan, auditor harus mencatat pengecualian-pengecualian yang membutuhkan perhatian atau pertimbangan mendesak dari Partner yang bertanggung jawab (Engagement Partner). Pengecualian ini merupakan pengecualian serius yang dapat menimbulkan efek material terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan atau pengecualian yang dapat mengisyaratkan adanya kecurangan atau penyelewengan yang sangat dibutuhkan tindakan segera dari Engagement Partner (Hrd).

Sunday, April 27, 2008

Pelatihan dan Keahlian Auditor Independen

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 210 (PSA No. 04) menegaskan perlunya pendidikan dan pengalaman memadai dalam bidang auditing sebagai syarat utama untuk melakukan audit.

Sebagaimana dinyatakan dalam Standar Umum yang pertama bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

Dalam paragraf 3 SPAP SA Seksi 210 dinyatakan antara lain bahwa dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit.

Jadi, untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang auditor yang dapat melaksanakan pekerjaan audit dengan baik, tidak cukup hanya dengan bekal pendidikan formal semata tetapi juga harus ditunjang oleh pengalaman praktek di lapangan dengan jam kerja yang memadai. Berdasarkan pengalaman penulis sejauh ini, banyak ditemukan masalah dan kasus akuntansi dan auditing dalam suatu perusahaan yang tidak pernah didapat dari bangku perkuliahan sehingga untuk menyelesaikan masalah dan kasus tersebut benar-benar diperlukan keahlian dan pengalaman audit di lapangan.

Selanjutnya, dalam paragraf 3 juga ditegaskan bahwa asisten junior, yang baru masuk ke dalam karier auditing harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan review atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman.

Saya pernah punya pengalaman dengan seorang asisten junior yang baru diterima sebagai anggota tim audit. Beliau adalah tamatan salah satu universitas papan atas di Indonesia dan sama sekali belum mempunyai pengalaman kerja baik dari perusahaan ataupun dari KAP. Oleh karena belum berpengalaman, beliau ditempatkan sebagai asisten junior dan dalam pelaksanaan pekerjaan auditnya selalu disupervisi dan diawasi oleh staff senior (atasannya) yang sudah berpengalaman dalam praktek di lapangan. Mungkin karena merasa sudah ‘pintar’ dengan pekerjaan audit dan merasa sudah mendapat bekal yang cukup selama mengikuti bangku perkuliahan, beliau merasa keberatan untuk selalu disupervisi dan hanya ditempatkan sebagai asisten junior. Akhirnya, setelah sekitar 2 bulan bekerja, karena merasa ‘dikesampingkan’ dan kurang dihargai (pengalaman akademisnya) akhirnya beliau mengundurkan diri.

Memang, pendidikan formal (akademis) cukup menunjang dalam pekerjaan audit, namun menurut saya itu saja tidak cukup. Untuk menjadi seorang auditor yang baik dan benar kita harus mempunyai pengalaman praktek di lapangan dan jam kerja yang memadai, karena seperti yang saya sebutkan di atas, dalam pekerjaan di lapangan sering ditemukan permasalahan dan kasus yang tidak dipelajari di bangku perkuliahan sehingga dalam hal ini sangat diperlukan keahlian dan judgment profesional dari seorang auditor. Jika seorang yang baru tamat dari bangku perkuliahan dan sama sekali belum memiliki pengalaman praktek di lapangan yang memadai, kemudian langsung ditempatkan untuk mengaudit sebuah perusahaan tanpa disupervisi sebagaimana mestinya, menurut saya, akan sangat tinggi risiko audit yang akan timbul nantinya.

Paragraf 4 SPAP SA Seksi 210 menjelaskan bahwa pendidikan formal auditor independen dan pengalaman profesionalnya saling melengkapi satu sama lain. Setiap auditor independen yang menjadi penanggung jawab suatu perikatan harus menilai dengan baik kedua persyaratan profesional ini dalam menentukan luasnya supervisi dan review terhadap hasil kerja para asistennya. Perlu disadari bahwa yang dimaksudkan dengan pelatihan seorang profesional mencakup pula kesadarannya untuk secara terus-menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Ia harus mempelajari, memahami, dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.

Paragraf ini menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang auditor yang baik, seorang auditor profesional juga dituntut untuk selalu meng-update dan mengikuti perkembangan bisnis/dunia usaha serta perkembangan ilmu akuntansi dan auditing global secara terus menerus.

Kesimpulannya, untuk menjadi seorang auditor profesional yang baik dan benar harus membekali diri dengan pendidikan formal dan pengalaman praktek di lapangan yang memadai. Selain itu, seorang auditor profesional juga harus selalu mengikuti perkembangan bisnis/dunia usaha serta perkembangan ilmu akuntansi dan auditing Internasional. Perkembangan teknologi dan internet yang begitu pesat sekarang ini, menurut saya, cukup mendukung bagi auditor untuk mendapatkan informasi-informasi terkini berkaitan dengan dunia bisnis, ilmu akuntansi dan auditing global. Jadi, kalau tidak mau ketinggalan, seorang auditor juga harus menjadi “Hi-tech Auditor”. Nggak jamannya lagi kalau masih ada auditor yang Gaptek.

Friday, April 25, 2008

Standar Auditing

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 150 (PSA No. 01) membagi standar auditing menjadi 3 bagian utama yaitu :

a. Standar Umum

1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor

2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor

3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama

b. Standar Pekerjaan Lapangan

1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya

2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan

3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

c. Standar Pelaporan

1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia

2. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya

3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor

4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.

Standar-standar tersebut di atas dalam banyak hal saling berhubungan dan saling bergantung satu dengan lainnya. Keadaan yang berhubungan erat dengan penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar, dapat berlaku juga untuk standar yang lain. “Materialitas” dan “Risiko Audit” melandasi penerapan semua standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan.

Paragraf 4 SPAP SA Seksi 150 menjelaskan bahwa konsep “Materialitas” bersifat bawaaan dalam pekerjaan auditor independen. Dasar yang lebih kuat harus dicari sebagai landasan pendapat auditor independen atas unsur-unsur yang secara relatif lebih penting dan unsur-unsur yang mempunyai kemungkinan besar salah saji material.

Misalnya, dalam perusahaan dengan jumlah debitur yang sedikit, dengan nilai piutang yang besar, secara individual piutang itu adalah lebih penting dan kemungkinan terjadinya salah saji material juga lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain yang mempunyai jumlah nilai piutang yang sama tetapi terdiri dari debitur yang banyak dengan nilai piutang yang relatif kecil.

Dalam perusahaan manufaktur dan perusahaan dagang, persediaan umumnya mempunyai arti penting, baik bagi posisi keuangan maupun hasil usaha perusahaan, sehingga secara relatif persediaan memerlukan perhatian auditor yang lebih besar dibandingkan dengan persediaan dalam perusahaan jasa. Begitu pula, piutang umumnya memerlukan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan premi asuransi dibayar di muka.

Sedangkan paragraf 5 menjelaskan mengenai risiko audit. Pertimbangan atas risiko audit berkaitan erat dengan sifat audit. Transaksi kas umumnya lebih rentan terhadap kecurangan jika dibandingkan dengan transaksi persediaan, sehingga audit atas kas harus dilaksanakan secara lebih konklusif, tanpa harus menyebabkan penggunaan waktu yang lebih lama. Transaksi dengan pihak tidak terkait biasanya tidak diperiksa serinci pemeriksaan terhadap transaksi antarbagian dalam perusahaan atau transaksi dengan pimpinan perusahaan dan karyawan, yang tingkat kepentingan pribadi dalam transaksi yang disebut terakhir ini sulit ditentukan.

Pengendalian intern terhadap lingkup audit mempengaruhi besar atau kecilnya risiko salah saji terhadap prosedur audit yang dilaksanakan oleh auditor. Semakin efektif pengendalian intern, semakin rendah tingkat risiko pengendalian.