Saturday, December 11, 2010

Prof. Mardiasmo, Kepala BPKP terpilih menjadi Ketua IAI periode 2010 - 2014

Berikut ini adalah press release IAI pada tanggal 10 Desember 2010 seperti yang diberitakan dalam website IAI berkaitan dengan terpilihnya Prof. Mardiasmo sebagai Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI periode 2010 – 2014 menggantikan Bapak Ahmadi Hadibroto yang telah menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua DPN IAI periode 2006 – 2010.

Jakarta, 10 Desember 2010 - Prof. Mardiasmo, Ak., MBA, Ph.D terpilih menjadi Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI periode 2010 – 2014 dalam Kongres XI IAI yang berlangsung 10 Desember 2010 di Hotel Indonesia Kempinski. Kongres berlangsung sangat meriah dengan lebih dari 1100 akuntan dari seluruh Indonesia yang mengikuti pemilihan dengan sangat demokratis. Dengan sangat meyakinkan Mardiasmo (520 voters) meninggalkan dua kandidat ketua IAI lainnya: Afdal Bahaudin (306 voters) dan Erick (214 voters).

Selain itu peserta Kongres XI juga menerima Laporan pertanggung jawaban pengurus sebelumnya. Dalam kepengurusan sebelumnya, Ahmadi Hadibroto selaku Ketua DPN IAI periode 2006 – 2010 memaparkan IAI mengalami perkembangan yang baik salah satunya adalah bertambahnya kantor wilayah IAI menjadi 25 kota dimana IAI Wilayah Ambon merupakan IAI wilayah terakhir.

Program Konvergensi International Financial Reporting Standard 2012 dan terbentuknya Dewan Standar Akuntansi Syariah pun menjadi salah satu keberhasilan dari kepengurusan sebelumnya. Diharapkan melalui keberhasilan yang diraih mampu meningkatkan peran profesi akuntansi dalam pembangunan ekonomi nasional dan global.

Ketua Dewan Pengurus IAI baru, Prof. Mardiasmo, Ak., MBA Ph.D yang juga merupakan Kepala BPKP, melihat beberapa tantangan dan kondisi yang dihadapi oleh Indonesia saat ini dimana IAI selaku organisasi profesi diharapkan mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh profesi akuntansi adalah berperan untuk meningkatkan kualitas public dan corporate governance. Prof. Mardiasmo, Ak., MBA, Ph.D  pun menambahkan gerakan penguatan governance systems, pemberantasan korupsi, tuntutan untuk lebih transparan dan professional membutuhkan keterlibatan intens profesi akuntan

Sebagai salah satu anggota organisasi IFAC dan salah satu pendiri ASEAN Federation of Accountants,  di bawah kepemimpinannya selama empat tahun ke depan, IAI optimis akan menjadi organisasi profesi yang memberi nilai tambah dan berkontribusi kepada perekonomian nasional dan global dan meningkatkan daya saing bangsa. Ditambah, Indonesia menjadi salah satu anggota forum negara G20.

Dalam pemaparannya, Prof. Mardiasmo, Ak., MBA, Ph.D pun mengatakan melalui konsolidasi, revitalisasi, dan penataan organisasi profesi serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya organisasi profesi dan para anggotanya guna membangun kebanggaan anggota dan memperkokoh kepercayaan stakeholder menuju peran yang lebih strategis. DARI KITA, OLEH KITA UNTUK MASYARAKAT, BANGSA DAN NEGARA. Itulah tag-line yang diusung oleh ketua Ikatan Akuntan Indonesia terpilih.

Selamat bekerja Bapak Mardiasmo. Dukung terus dan sukseskan program konvergensi IFRS tahun 2012.

Sumber : Website IAI

Friday, December 3, 2010

Jika Perusahaan Bermaksud Menjual Aset Tetap, Bagaimana Perlakuan Akuntansinya ?

Apabila sebuah perusahaan mempunyai rencana untuk menjual aset tetap, bagaimana perlakuan akuntansinya ? Apakah tetap dibukukan sebagai bagian dari Aset Tetap sesuai dengan pengaturan dalam PSAK 16 (Revisi 2007) dan disusutkan sampai dengan saat dijual ?

PSAK No. 58 (revisi 2009) tentang Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan yang telah disahkan oleh DSAK IAI pada tanggal 15 Desember 2009 dan mulai berlaku untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011 mengatur mengenai hal tersebut.

PSAK No. 58 (revisi 2009) ini merevisi dan menggantikan PSAK 58 (2003) tentang Operasi dalam Penghentian. Adapun tujuan PSAK ini adalah mengatur akuntansi untuk aset yang dimiliki untuk dijual serta penyajian dan pengungkapan operasi yang dihentikan.

Secara khusus, PSAK ini mensyaratkan :

  1. aset yang memenuhi kriteria sebagai dimiliki untuk dijual harus diukur pada nilai yang lebih rendah antara jumlah tercatat dan nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual. Penyusutan atas aset tetap tersebut harus dihentikan.
  2. aset yang memenuhi kriteria sebagai dimiliki untuk dijual disajikan secara terpisah dalam laporan posisi keuangan dan hasil dari operasi yang dihentikan disajikan secara terpisah dalam laporan laba rugi komprehensif.

Seperti yang dijelaskan dalam paragraf 8 PSAK 58 (revisi 2009), entitas mengklasifikasikan suatu aset tidak lancar (atau kelompok lepasan/disposal groups) sebagai dimiliki untuk dijual jika jumlah tercatatnya akan dipulihkan terutama melalui transaksi penjualan daripada melalui pemakaian berlanjut.

Selanjutnya, paragraf 9 mengatur bahwa dalam hal ini, aset (atau kelompok lepasan) harus berada dalam keadaan dapat dijual dengan syarat-syarat yang biasa dan umum diperlukan dalam penjualan aset (atau kelompok lepasan) tersebut dan penjualannya harus sangat mungkin terjadi (highly probable).

Agar penjualan aset tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ‘sangat mungkin terjadi’, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, seperti yang diatur dalam paragraf 10 :

  1. manajemen di tingkat yang sesuai harus berkomitmen terhadap rencana penjualan aset (atau kelompok lepasan) tersebut dan harus telah memulai suatu program aktif untuk mencari pembeli serta menyelesaikan rencana tersebut;
  2. aset (atau kelompok lepasan) tersebut harus dipasarkan secara aktif pada harga yang pantas sesuai dengan nilai wajar kininya (current fair value);
  3. penjualan tersebut harus memenuhi ketentuan pengakuan sebagai penjualan dalam waktu satu tahun dari tanggal klasifikasi, kecuali diijinkan di paragraf 12, serta tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan rencana tersebut mengindikasikan bahwa tidak mungkin terjadi perubahan signifikan atau pembatalan atas rencana tersebut.

Kemungkinan persetujuan pemegang saham (jika disyaratkan dalam jurisdiksi) dipertimbangkan sebagai bagian dari penilaian apakah penjualan tersebut dikategorikan sebagai ‘sangat mungkin terjadi.’

Paragraf 12 menjelaskan bahwa peristiwa atau keadaan mungkin dapat memperpanjang periode penyelesaian penjualan menjadi lebih dari satu tahun sehingga persyaratan butir (3) di atas menjadi tidak terpenuhi. Perpanjangan periode yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu penjualan tidak menghalangi pengklasifikasian aset (atau kelompok lepasan) sebagai dimiliki untuk dijual jika penundaan tersebut disebabkan oleh peristiwa atau keadaan di luar kendali entitas dan terdapat cukup bukti bahwa entitas tetap berkomitmen dengan rencana penjualan aset (atau kelompok lepasan).

Berkaitan dengan hubungan antara induk dan anak perusahaan, paragraf 11 mengatur bahwa entitas yang berkomitmen terhadap rencana penjualan yang mengakibatkan kehilangan pengendalian atas entitas anak harus mengklasifikasikan seluruh aset dan liabilitas entitas anak tersebut sebagai dimiliki untuk dijual ketika kriteria yang diatur di paragraf 8-10 terpenuhi, meskipun setelah penjualan tersebut entitas masih memiliki kepentingan nonpengendali entitas anak terdahulu.

Jika perusahaan telah mengklasifikasikan suatu aset (atau kelompok lepasan) sebagai dimiliki untuk dijual, tetapi kriteria di paragraf 9-12 tidak lagi terpenuhi, maka entitas harus menghentikan pengklasifikasian aset (atau kelompok lepasan) tersebut sebagai dimiliki untuk dijual (paragraf 31) (Hrd).

Monday, November 22, 2010

Peluncuran beberapa ED PSAK baru serta pencabutan Standar Akuntansi Koperasi dan Ekuitas

Pada tanggal 18 Nopember 2010 kemarin, bertempat di Graha Niaga, Financial Hall Jakarta, DSAK-IAI telah melakukan paparan publik (public hearing) atas 7 (tujuh) Exposure Draft (ED) produk DSAK yaitu berupa 2 PSAK yang merupakan adopsi dari IFRS/IAS, 2 Interpretasi SAK (ISAK) yang mengacu ke SIC/IFRIC serta 3 Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK).

Adapun ED PSAK, ISAK dan PPSAK dimaksud adalah :

  1. ED PSAK 34 (revisi 2010) : Kontrak Konstruksi
  2. ED PSAK 45 (revisi 2010) : Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba
  3. ED ISAK 19 : Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali dalam PSAK 63 Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
  4. ED ISAK 21 : Perjanjian Konstruksi Real Estate
  5. ED PPSAK 6 : Pencabutan PSAK 21 : Akuntansi Ekuitas, ISAK 1 : Penentuan Harga Pasar Dividen, ISAK 2 : Penyajian Modal dalam Neraca dan Piutang kepada Pemesan Saham, ISAK 3 : Akuntansi atas Pemberian Sumbangan atau Bantuan
  6. ED PPSAK 7 : Pencabutan PSAK 44 Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat
  7. ED PPSAK 8 : Pencabutan PSAK 27 Akuntansi Koperasi

Seperti yang dijelaskan dalam publikasi tanggal 22 November 2010 di website IAI (www.iaiglobal.or.id), untuk ED PSAK 34 (revisi 2010) secara umum tidak ada perbedaan yang substansial dengan PSAK 34 (1994) Akuntansi Kontrak Konstruksi. Perubahan hanya terjadi pada konsep biaya, yaitu atribusi dan alokasi biaya ke kontrak dan elemen biaya yang dibebankan kepada pelanggan.

Untuk ED PSAK 45 (revisi 2010) juga tidak terjadi perubahan yang signifikan, hanya terdapat penambahan pernyataan bahwa PSAK 45 (revisi 2010) dapat digunakan oleh lembaga pemerintah dan unit sejenisnya sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan.

Sedangkan untuk ED ISAK 21 : Perjanjian Konstruksi Real Estate mengadopsi seluruh pengaturan dalam IFRIC 15 Agreement for the Construction of Real Estate per 1 Januari 2009. ED ISAK 21 ini akan menggantikan PSAK 44 Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estate yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan ED PPSAK 7.

Pencabutan PSAK 21 Akuntansi Ekuitas, PSAK 44 Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat, PSAK 27 Akuntansi Koperasi serta ISAK 1, ISAK 2 dan ISAK 3 dilakukan DSAK-IAI dengan alasan terutama karena sebagai dampak dari program konvergensi ke IFRS/IAS yang mengakibatkan perlunya pencabutan SAK yang sudah diatur dalam SAK lain.

Softocopy dari seluruh ED produk DSAK-IAI di atas dapat diunduh melalui website IAI : www.iaiglobal.or.id

Baca lebih lanjut :

  1. DSAK-IAI Kembali Meluncurkan Standar Akuntansi Baru dan Mencabut Standar Akuntansi Koperasi dan Ekuitas
  2. Laporan dari Public Hearing DSAK-IAI 18 November 2010

Wednesday, November 10, 2010

PSAK 44 Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat akan dicabut dan diganti dengan ISAK 21

Seperti yang diinformasikan melalui website IAI pada tanggal 29 Oktober 2010 kemarin, DSAK-IAI telah mengeluarkan Eksposure Draft (ED) Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) No. 6, 7 dan 8 pada bulan Oktober 2010.

Adapun salah satu dari ED PPSAK yang diterbitkan tersebut, yaitu PPSAK No. 7 yang disahkan pada tanggal 12 Oktober 2010 dan mengatur mengenai Pencabutan PSAK 44 : Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat.

ED PPSAK No. 7 menjelaskan antara lain bahwa pencabutan PSAK 44 dilandasi alasan sebagai dampak dari konvergensi IFRS yang mengakibatkan SAK berbasis industri harus dicabut karena sudah diatur dalam SAK lain serta adanya inkonsistensi dengan SAK lain.

PSAK 44 mengatur perlakuan akuntansi untuk transaksi-transaksi yang secara khusus berkaitan dengan aktivitas pengembangan real estat (real estate development activities), terutama mengenai pengakuan pendapatan dari penjualan bangunan rumah, ruko dan bangunan sejenis lainnya beserta kavling tanahnya, penjualan bangunan kondominium, apartemen, perkantoran, pusat perbelanjaan dan bangunan sejenis lainnya, serta unit dalam kepemilikan time sharing, penjualan kavling tanah tanpa bangunan, unsur biaya pengembangan proyek real estat serta penyajian dan pengungkapan laporan keuangan.

Dalam beberapa kondisi dan situasi, pengaturan dalam PSAK 44 akan bertentangan dengan pengaturan dalam SAK lain yang bersifat umum (principle-based), misalnya PSAK 1 (revisi 2009) : Penyajian Laporan Keuangan, PSAK 23 (revisi 2010) : Pendapatan, PSAK 34 : Kontrak Konstruksi, dan PSAK 57 (revisi 2009) : Provisi, Liabilitas Kontinjensi dan Aset Kontinjensi.

Tanggapan atas ED PPSAK No. 7 tersebut diharapkan dapat diterima paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010. Softcopy ED PPSAK No. 7 dimaksud dapat didownload melalui website IAI : Eksposure Draft PPSAK 6, PPSAK 7, dan PPSAK 8 telah terbit

Seiring dengan rencana pencabutan PSAK 44, DSAK-IAI pada tanggal 12 Oktober 2010 juga mengesahkan penerbitan ED ISAK No. 21 : Perjanjian Konstruksi Real Estat yang merupakan adopsi dari IFRIC 15, Agreements for the Construction of Real Estate.

Dengan dicabutnya PSAK 44 nantinya, maka selanjutnya pengaturan akuntansi aktivitas pengembangan real estat akan diatur melalui ISAK No. 21 yang rencananya akan berlaku efektif tanggal 1 Januari 2012.

ISAK 21 diterapkan untuk akuntansi pendapatan dan beban terkait oleh perusahaan yang melakukan konstruksi real estat baik secara langsung atau melalui subkontraktor.  Pengaturan untuk pengakuan pendapatan dari perjanjian konstruksi real estat dalam ED ISAK 21 berbeda secara sangat signifikan dengan pengaturan dalam SAK sebelumnya yang dijadikan acuan, yaitu PSAK 44.

Pada dasarnya, ISAK 21 membahas dua permasalahan berkaitan dengan konstruksi real estat, yaitu :

  1. Masalah pengakuan pendapatan aktivitas dalam suatu perjanjian konstruksi real estat apakah harus mengacu pada PSAK 34 (revisi 2010) : Kontrak Konstruksi dalam hal pembeli dapat menentukan elemen struktural utama desain real estat, atau mengacu pada penjualan barang sesuai PSAK 23 (revisi 2010) : Pendapatan yaitu dalam hal pembeli memiliki kemampuan terbatas untuk mempengaruhi desain real estat atau hanya menentukan perubahan kecil atas desain awal
  2. Kapan pengakuan pendapatan dari konstruksi real estat

Perubahan kebijakan akuntansi yang timbul akibat penerapan ISAK 21 ini harus diterapkan secara retrospektif sesuai dengan PSAK 25 (revisi 2009) : Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan.

Untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam ED PSAK 21 yang tersedia untuk diunduh melalui situs IAI : Eksposure Draft ISAK 21: Perjanjian Konstruksi Real Estate telah terbit

Tanggapan atas ED ISAK 21 tersebut diharapkan dapat diterima oleh DSAK-IAI paling lambat tanggal 31 Desember 2010 (HRD).

Friday, October 15, 2010

Disclaimer atas laporan auditor berkaitan dengan Going Concern Perusahaan

Kapan auditor menerbitkan laporan auditor yang tidak menyatakan pendapat (disclaimer opinion) yang terkait dengan ketidakpastian atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selama jangka waktu pantas ?

IPSA No. 30.02 tentang Pertimbangan Auditor atas Kemampuan Entitas dalam Mempertahankan Kelangsungan Hidupnya : Interpretasi atas PSA No. 30 yang diterbitkan pada tanggal 6 Maret 2009 dalam para. 09 memberikan pedoman sebagai berikut :

Auditor menerbitkan laporan auditor yang tidak menyatakan pendapat yang terkait dengan ketidakpastian atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selama jangka waktu pantas ketika kedua kondisi di bawah ini terjadi :

  1. Terdapat demikian banyaknya (pervasive) dan signifikannya dampak yang potensial terhadap laporan keuangan yang disebabkan oleh beberapa ketidakpastian yang material yang terkait dengan kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selama jangka waktu pantas; dan
  2. Terdapat kemungkinan yang besar (imminent) bahwa penyelesaian dari ketidakpastian yang terkait dengan kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selama jangka waktu pantas berpotensi menghasilkan penyelesaian yang tidak menguntungkan (unfavorable outcome), sehingga laporan keuangan secara keseluruhan menjadi tidak berarti.

Lebih lanjut, IPSA No. 30.02 tersebut juga menjelaskan bahwa :

Diterbitkannya laporan auditor yang tidak menyatakan pendapat yang terkait dengan ketidakpastian atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selama jangka waktu pantas tidak mengurangi tanggung jawab auditor untuk melaksanakan audit secara menyeluruh dan seksama. Jika terjadi juga penyimpangan terhadap prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, auditor juga harus menjelaskan penyimpangan tersebut dalam suatu paragraf tambahan yang dicantumkan setelah paragraf lingkup.

Adapun paragraf ini menjelaskan bahwa walaupun auditor sudah memutuskan untuk memberikan opini disclaimer atas laporan keuangan perusahaan berkaitan dengan masalah kelangsungan hidup (going concern), namun auditor tetap harus melanjutkan pemeriksaannya dan menerapkan prosedur-prosedur pemeriksaan yang diperlukan atas laporan keuangan perusahaan secara keseluruhan. Jika pada saat pemeriksaan auditor menemukan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan penyimpangan dari PSAK maka di samping masalah going concern, auditor juga harus mendisclose masalah penyimpangan dari PSAK tersebut dalam paragraf tambahan di opini auditor yang akan diterbitkannya.

Mengingat demikian penting dan signifikannya hal-hal tersebut di atas, auditor harus mempertimbangkan secara saksama semua hal yang terkait dengan kondisi dikeluarkannya laporan auditor yang tidak menyatakan pendapat, terutama yang berkaitan dengan ketidakpastian atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selama jangka waktu pantas, berdasarkan standar profesi yang berlaku, sebelum menerbitkan laporan auditor yang tidak menyatakan pendapat.

Menurut PSA No. 30, yang dimaksud dengan jangka waktu pantas seperti yang tercantum dalam pernyataan-pernyataan di atas adalah suatu periode yang tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang diaudit (Hrd).

Baca juga : Krisis Finansial Global, bagaimana dampaknya terhadap opini auditor ?

Sekilas Laporan Arus Kas menurut PSAK No. 2 (Revisi 2009)

PSAK No. 2 (Revisi 2009) mengenai Laporan Arus Kas disahkan oleh DSAK IAI pada tanggal 22 Desember 2009, merevisi PSAK 2 tentang Laporan Arus Kas yang telah dikeluarkan pada tanggal 7 September 1994. PSAK No. 2 (revisi 2009) ini telah mengadopsi seluruh isi dari IAS 7 Statement of Cash Flows per 1 Januari 2009 kecuali untuk beberapa paragraf tertentu.

Laporan Arus Kas melaporkan arus kas selama periode tertentu dan diklasifikasikan menurut aktivitas operasi, investasi dan pendanaan.

Jumlah arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator utama untuk menentukan apakah kegiatan operasi perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar dividen, dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar.

Arus kas dari aktivitas operasi terutama diperoleh dari aktivitas penghasil utama pendapatan entitas, seperti :

  1. penerimaan kas dari kegiatan usaha perusahaan berupa penjualan barang dan pemberian jasa
  2. penerimaan kas dari luar usaha seperti misalnya pendapatan fee, komisi dan sebagainya (biasanya dibukukan di laporan laba rugi pada kelompok Penghasilan Lain-lain)
  3. pembayaran kas kepada pemasok barang dan jasa
  4. pembayaran kas yang berkaitan dengan karyawan

Yang termasuk dalam Arus Kas dari Aktivitas Investasi misalnya :

  1. pembayaran kas untuk membeli aset tetap, aset tidak berwujud dan aset lainnya yang bersifat jangka panjang
  2. penerimaan kas dari penjualan aset tetap, aset tidak berwujud dan aset lainnya yang bersifat jangka panjang
  3. pembayaran kas untuk membeli instrumen utang atau instrumen ekuitas entitas lain dan kepemilikan dalam ventura bersama
  4. uang muka dan pinjaman yang diberikan kepada pihak lain
  5. penerimaan kas dari pelunasan uang muka dan pinjaman yang diberikan kepada pihak lain

Sedangkan untuk Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan misalnya :

  1. penerimaan kas dari penerbitan saham atau instrumen modal lain
  2. penerimaan kas dari penerbitan obligasi serta pinjaman jangka pendek dan jangka panjang
  3. pelunasan pinjaman
  4. pembayaran kas oleh lessee untuk mengurangi saldo liabilitas yang berkaitan dengan sewa pembiayaan

Berkaitan dengan penyajian laporan arus kas dalam laporan keuangan perusahan, arus kas dari aktivitas operasi biasanya disajikan dengan salah satu metode yaitu bisa menggunakan metode langsung ataupun metode tidak langsung.

Jika perusahaan menggunakan metode tidak langsung, maka dalam menentukan arus kas bersih dari aktivitas operasi terlebih dahulu harus dilakukan penyesuaian terhadap unsur-unsur nonkas seperti penyusutan dan amortisasi, keuntungan dan kerugian penjualan aset tetap, keuntungan dan kerugian mata uang asing yang belum direalisasi, laba entitas asosiasi yang belum didistribusikan dan lainnya (Hrd).

Tuesday, September 28, 2010

Batasan kriteria No. 3 dan No. 4 PSAK No. 30 (Revisi 2007) berkaitan dengan pengklasifikasian transaksi Leasing

Seperti yang telah kita ketahui, para. 10 PSAK No. 30 (Revisi 2007) memberikan contoh dari situasi yang baik secara individual maupun gabungan dalam kondisi normal menunjukkan bahwa transaksi leasing yang terjadi diklasifikasikan sebagai Sewa Pembiayaan (Finance/Capital Lease), yaitu :

  1. sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa;
  2. lessee mempunyai opsi untuk membeli aset pada harga yang cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai dilaksanakan, sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi memang akan dilaksanakan;
  3. masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset meskipun hak milik tidak dialihkan;
  4. pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan; dan
  5. aset sewaan bersifat khusus dan di mana hanya lessee yang dapat menggunakannya tanpa perlu modifikasi secara material.

Jika kita perhatikan kelima kriteria di atas, untuk kriteria ketiga dan keempat sepertinya PSAK No. 30 (Revisi 2007) tidak memberikan penjelasan memadai. Adapun masalah yang saya temukan sebagai berikut :

Untuk kriteria ketiga dimana dipersyaratkan bahwa masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset. Yang dimaksud dengan ‘untuk sebagian besar umur ekonomis aset’ itu bagaimana batasannya ?

Jika kita membaca dari PSAK No. 30 (Revisi 2007) maupun IFRS/IAS 17 (2003) tidak menjelaskan batasan dari kriteria tersebut. Namun, jika kita mengacu ke pengaturan menurut US GAAP yaitu SFAS No. 13 Accounting for Leases, dalam para. 7c dijelaskan bahwa : 

The lease term is equal to 75 percent or more of the estimated economic life of the leased property.

Jadi, kalau menurut US GAAP, yang dimaksud dengan sebagian besar umur ekonomis aset adalah meliputi minimal 75% dari umur ekonomis aset sewa.

Selanjutnya, untuk kriteria keempat yaitu pada awal sewa nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan, dimana PSAK No. 30 (Revisi 2007) maupun IAS 17 (2003) juga tidak menjelaskan batasan dari ‘secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan’ tersebut. Sedangkan, jika kita mengacu ke SFAS No. 13 dalam para. 7d dijelaskan bahwa :

The present value at the beginning of the lease term of the minimum lease payment, excluding that portion of the payments representing executory costs such as insurance, maintenance, and taxes to be paid by the lessor, including any profit thereon, equals or exceeds 90 percent of the excess of the fair value of the leased property to the lessor at the inception of the lease over any related investment tax credit retained by the lessor and expected to be realized by him.

Berdasarkan pernyataan tersebut bisa diperoleh gambaran bahwa US GAAP memberikan batasan untuk kriteria nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan yang ditentukan pada awal sewa adalah minimial sama dengan 90% dari nilai wajar aset sewaan.

Demikian sedikit penjelasan berkaitan dengan kriteria No. 3 dan No. 4 dari para. 10 PSAK No. 30 (Revisi 2007) berkaitan dengan pengklasifikasian transaksi leasing sebagai Sewa Pembiayaan atau Sewa Operasi.

Thursday, September 2, 2010

Membukukan transaksi Operating Lease

Seperti yang sudah pernah saya posting dalam tulisan sebelumnya bahwa PSAK No. 30 (Revisi 2007) mengklasifikasikan suatu transaksi leasing (sewa) apakah sebagai sewa pembiayaan (finance leases) atau sewa operasi (operating leases) adalah berdasarkan terpenuhinya salah satu dari lima kriteria yang dipersyaratkan dalam paragraf 10 ataupun salah satu dari tiga kriteria dalam paragraf 11.

Menurut saya, kriteria yang diatur dalam para. 10 lebih bersifat mutlak dan penentu utama (determinative) sedangkan kriteria dalam para. 11 lebih bersifat usulan (suggestive) yang bisa mengindikasikan transaksi leasing yang terjadi sebagai sewa pembiayaan (finance leases).

Jika suatu perjanjian leasing memenuhi salah satu kriteria tersebut, misalnya transaksi leasing (sewa) yang terjadi mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa (kriteria pertama), maka sesuai para. 10, leasing diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan (finance lease). Sebaliknya, jika perjanjian leasing tidak memenuhi satupun dari delapan persyaratan dalam para. 10 dan para. 11, maka leasing diklasifikasikan sebagai sewa operasi (operating leases).

Lantas, bagaimana pencatatan transaksi sewa operasi (operating leases) dalam pembukuan lessee ?

Menurut PSAK No. 30 (Revisi 2007) para. 29 dan 30 bahwa pembayaran sewa dalam sewa operasi (tidak termasuk biaya jasa seperti asuransi dan pemeliharaan) diakui sebagai beban dengan dasar garis lurus (straight-line basis) selama masa sewa kecuali terdapat dasar sistematis lain yang dapat lebih mencerminkan pola waktu dari manfaat aset yang dinikmati pengguna, walaupun pembayaran dilakukan tidak atas dasar tersebut.

Jadi, dalam hal ini pembayaran yang terjadi, yang meliputi pembayaran pokok dan bunga leasing seluruhnya dibukukan sebagai beban pada saat terjadinya pembayaran.

Penerapan metode garis lurus dalam hal ini misalnya untuk masa angsuran sewa operasi selama 5 tahun (60 bulan) terdapat masa tenggang selama 6 bulan pada tahun pertama, maka keadaan ini tidak mengakibatkan bahwa pada tahun pertama tersebut pembebanan angsuran sewa hanya untuk 6 bulan. Sebaliknya, masa sewa selama 4 ½ tahun tersebut harus dialokasikan untuk periode penuh selama 5 tahun, sehingga dengan demikian pembebanan sewa bulanan akan sama dengan 90% (=54 bulan pembayaran/60 bulan masa sewa) dari pembayaran sewa bulanan yang telah ditetapkan setelah berakhirnya masa tenggang (Hrd).

Baca juga posting saya sebelumnya sebagai referensi : Membukukan transaksi leasing, Akuntansi versus Pajak

Thursday, August 26, 2010

IAPI Menolak Materi RUU Akuntan Publik

Sebelumnya, pada awal April 2010 Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik (RUU-AP) telah mendapat persetujuan Presiden RI untuk disampaikan kepada DPR guna dibahas dan disahkan. Kemudian, menyusul pada tanggal 7 Mei 2010, Pengurus Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) telah menyampaikan RUU-AP tersebut yang diterima dari Panitia Antar Departemen Penyusunan RUU-AP Kementrian Keuangan RI untuk ditanggapi oleh para anggota IAPI.

Selama beberapa bulan kemudian, materi dari RUU-AP in cukup ramai dibahas dan dibicarakan dalam Forum-KAP (Forkap). Banyak praktisi Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang merasa keberatan dengan isi dari RUU-AP tersebut.

Selanjutnya, pada tanggal 20 Agustus 2010 kemarin pengurus IAPI menerbitkan Press Release dengan judul "IAPI Menolak Materi RUU Akuntan Publik." (Download di sini : Press Release IAPI).

Di dalam Press Release tersebut, IAPI menyampaikan beberapa pengaturan dalam RUU-AP yang ditolak diantaranya adalah pengaturan mengenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 63 dan Pasal 64 RUU-AP, kemudian pengaturan mengenai akuntan publik asing sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 13 ayat (4). Selain itu, dalam Press Release tersebut juga dikemukakan bahwa IAPI berpendapat RUU tersebut tidak mencerminkan good governance yang baik. Prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi dan kesetaraan tidak tercermin dalam RUU tersebut.

Beberapa media massa kemudian juga ramai memberitakan mengenai masalah RUU-AP tersebut, diantaranya adalah Harian Seputar Indonesia dalam pemberitaannya yang dipublikasikan pada tanggal 22 Agustus 2010 dengan judul "Akuntan Tolak Materi RUU Akuntan Publik", menulis antara lain bahwa akuntan publik yang tergabung dalam Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menolak materia yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Akuntan Publik. Materi RUU tersebut dianggap dapat mengancam keberadaan profesi akuntan publik di masa mendatang. Setidaknya terdapat tiga hal yang dikritisi oleh IAPI, berdasarkan hasil Rapat Umum Anggota Luar Biasa (RUALB), dalam RUU yang tengah dibahas Pemerintah dan Komisi XI DPR RI, yakni mengenai aspek pengenaan sanksi pidana, pengaturan perizinan dan kewenangan pengaturan profesi oleh Menteri Keuangan, serta liberalisasi akuntan asing.

Lebih lanjut, pemberitaan di berbagai media massa tersebut dapat dibaca di bawah ini :

  1. Akuntan Tolak Materi RUU Akuntan Publik (Seputar Indonesia)
  2. IAPI dan IAI Tolak RUU Akuntan Publik (Jurnal Parlemen)
  3. IAPI keberatan sejumlah ketentuan RUU Akuntan Publik (Antara News)
  4. Akuntan Tolak Sanksi Dalam RUU Akuntan Publik (Hukum Online)
  5. Ikatan Akuntan Publik tolak RUU Akuntan Publik (Kontan Online)

Risiko yang dihadapi auditor dalam audit atas laporan keuangan

Dalam suatu penugasan audit, auditor selalu dihadapkan dengan yang namanya risiko audit. Walaupun suatu laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan tidak diaudit, selalu ada risiko yang melekat dalam laporan keuangan tersebut.

SPAP PSA Seksi 312 mendefinisikan risiko audit sebagai risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

Dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan sebuah perusahaan, di samping risiko audit, auditor juga akan menghadapi risiko lainnya seperti risiko kerugian praktek profesionalnya akibat dari tuntutan pengadilan, publikasi negatif, atau peristiwa lain yang mungkin timbul berkaitan dengan audit atas laporan keuangan yang dilakukan.

Oleh karena itu, auditor harus selalu mempertimbangkan faktor risiko audit baik dalam tahap perencanaan audit, perancangan prosedur audit maupun dalam tahap evaluasi kewajaran penyajian laporan keuangan perusahaan.

SPAP SA Seksi 312 mengharuskan auditor untuk selalu merencanakan auditnya sedemikian rupa, sehingga risiko audit dapat dibatasi pada tingkat yang rendah, yang menurut pertimbangan profesionalnya, memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan.

Risiko audit dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

(a) Risiko Bawaan (Inherent Risk), adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait (maksudnya bahwa risiko bawaan timbul dengan asumsi pengedalian intern dalam perusahaan tidak ada. Jika sekiranya pengendalian intern dalam perusahaan memadai serta efektif dalam pelaksanaannya dengan sendirinya risiko bawaan akan dapat diminimalisasi). Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh, perhitungan yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Uang tunai dalam perusahaan lebih mudah dicuri daripada persediaan. Suatu akun dalam laporan keuangan yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data faktual. Perusahaan yang bergerak dalam bidang industri yang memproduksi barang-barang hi-tech seperti misalnya handphone akan lebih berisiko terjadinya penumpukan persediaan yang usang karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan pasar.

(b) Risiko Pengendalian (Control Risk), adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas desain dan operasi pengendalian intern untuk mencapai tujuan entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian intern.

(c) Risiko Deteksi (Detection Risk), adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut telah diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu bisa timbul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit. Ketidakpastian seperti ini dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai serta pelaksanaan praktek audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.

Seperti yang dijelaskan dalam SPAP PSA seksi 312 para. 28 bahwa risiko bawaan dan risiko pengendalian berbeda dengan risiko deteksi. Adapun risiko bawaan dan risiko pengendalian tetap ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.

Atau dengan rumus dapat dijabarkan seperti berikut : AR (Audit Risk) = IR X CR X DR

Baca juga referensi lainnya mengenai Audit Risk :  Audit Risk model, an introduction

Tuesday, August 24, 2010

Klasifikasi aset lancar dan tidak lancar menurut PSAK 1

Misalnya perusahaan memiliki saldo piutang ataupun persediaan yang belum direalisasikan setelah 12 bulan dari periode pelaporan, apakah harus diklasifikasikan sebagai Aset Lancar atau Tidak Lancar ?

Klasifikasi suatu aset apakah sebagai Aset Lancar atau Aset Tidak Lancar diatur dalam PSAK No. 1. Adapun PSAK No.1 yang masih berlaku sampai dengan saat ini adalah PSAK No. 1 (Revisi 1998), dan setelah tanggal 31 Desember 2010 nanti PSAK ini akan digantikan oleh PSAK No.1 (Revisi 2009) yang sudah mengadopsi IAS 1 : Presentation of Financial Statements per 1 Januari 2009.

PSAK No.1 (Revisi 2009) telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI pada tanggal 15 Desember 2009 dan akan mulai berlaku efektif untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setalah tanggal 1 Januari 2011.

Pengklasifikasikan suatu aset sebagai aset lancar atau tidak lancar dalam PSAK 1 (Revisi 2009) diatur dalam paragraf 63 yang menjelaskan bahwa entitas mengklasifikasikan aset sebagai aset lancar, jika :

(a) entitas mengharapkan akan merealisasikan aset, atau bermaksud untuk menjual atau menggunakannya dalam siklus operasi normal;

(b) entitas memiliki aset untuk tujuan diperdagangkan;

(c) entitas mengharapkan akan merealisasi aset dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan; atau

(d) kas atau setara kas (seperti yang dinyatakan dalam PSAK 2 (revisi 2009) : Laporan Arus Kas), kecuali aset tersebut dibatasi pertukaran atau penggunaannya untuk menyelesaikan liabilitas sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.

Entitas mengklasifikasikan aset yang tidak termasuk kategori tersebut sebagai aset tidak lancar.

Sedangkan PSAK 1 (Revisi 1998) yang masih berlaku sampai dengan 31 Desember 2010 nanti mengatur mengenai klasifikasi aset sebagai aset lancar, jika aset tersebut :

(a) diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu siklus operasi normal perusahaan; atau

(b) dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek dan diharapkan akan direalisasi dalam jangka waktu 12 bulan dari tanggal neraca; atau

(c) berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi.

Jika kita memperhatikan persyaratan pada butir (a) di atas baik pengaturan menurut PSAK 1 revisi 2009 ataupun PSAK 1 revisi 1998, maka atas saldo piutang ataupun persediaan yang biarpun belum direalisasikan dalam jangka waktu lebih dari 12 bulan tetap harus diklasifikasikan sebagai Aset Lancar karena termasuk dalam aset yang akan dijual, dikonsumsi atau direalisasikan sebagai bagian dari siklus operasi normal perusahaan meskipun aset tersebut tidak diharapkan untuk direalisasikan dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan (Hrd).

Tuesday, August 10, 2010

KOMPONEN LAPORAN KEUANGAN YANG LENGKAP, beda pengaturan PSAK No.1(1998) dengan PSAK No.1(2009)

PSAK No. 1 (Revisi 1998) : Penyajian Laporan Keuangan dalam paragraf 07 mengatur bahwa laporan keuangan yang lengkap terdiri atas komponen-kompenen berikut ini :

  1. neraca,
  2. laporan laba rugi,
  3. laporan perubahan ekuitas,
  4. laporan arus kas, dan
  5. catatan atas laporan keuangan.

Sedangkan menurut PSAK No. 1 (Revisi 2009) yang efektif mulai berlaku untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011, laporan keuangan yang lengkap harus meliputi komponen-komponen berikut ini :

  1. laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode
  2. laporan laba rugi komprehensif selama periode
  3. laporan perubahan ekuitas selama periode
  4. laporan arus kas selama periode
  5. catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lain; dan
  6. laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

Jika kita bandingkan persyaratan menurut PSAK No.1 (revisi 1998) dengan PSAK No. 1 (revisi 2009), kita dapat melihat adanya perbedaan untuk persyaratan laporan laba rugi dimana menurut PSAK No. 1 (revisi 2009), entitas harus menyajikan laporan laba rugi komprehensif.

Adapun format laporan laba rugi komprehensif yang dimaksud adalah laporan laba rugi seperti yang disajikan dalam praktek penyajian laporan keuangan selama ini yang sesuai dengan PSAK No.1 (revisi 1998) ditambah dengan pendapatan komprehensif lain yang berisikan pos-pos pendapatan dan beban (termasuk penyesuaian reklasifikasi) yang tidak diakui dalam laporan laba rugi.

Yang termasuk ke dalam komponen pendapatan komprehensif lain menurut PSAK No.1 (revisi 2009) adalah mencakup :

  1. perubahan dalam surplus revaluasi (lihat PSAK 16 (revisi 2007) : Aset Tetap dan PSAK 19 (revisi 2009) : Aset Tidak Berwujud)
  2. keuntungan dan kerugian aktuarial atas program manfaat pasti yang diakui sesuai dengan PAK 24 : Imbalan Kerja
  3. keuntungan dan kerugian yang timbul dari penjabaran laporan keuangan dari entitas asing (lihat PSAK 10 (revisi 2009) : Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing)
  4. keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan yang dikategorikan sebagai ‘tersedia untuk dijual’ (lihat PSAK 55 (revisi 2006) : Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran)
  5. bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas (lihat PSAK 55 (revisi 2006) : Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran)

Penyesuaian reklasifikasi adalah jumlah yang direklasifikasi ke bagian laba rugi periode berjalan yang sebelumnya diakui dalam pendapatan komprehensif lain pada periode berjalan atau periode sebelumnya.

Misalnya adalah penyesuaian reklasifikasi atas pelepasan kegiatan usaha luar negeri sesuai dengan PSAK 10 : Transaksi Dalam Mata Uang Asing ataupun penghentian pengakuan aset keuangan yang dikategorikan sebagai ‘tersedia untuk dijual’ sesuai dengan PSAK 55 (revisi 2006) : Instrumen Keuangan – Pengakuan dan Pengukuran.

Perbedaan lain untuk kriteria laporan keuangan yang lengkap menurut PSAK 1 (revisi 1998) dengan PSAK 1 (revisi 2009) adalah dalam butir (f) yang mengharuskan entitas untuk menyajikan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

Jika, misalnya pada tahun 2009 sebuah perusahaan melakukan restatement laporan keuangan ataupun mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya, maka perusahaan tersebut harus menyajikan 3 (tiga) laporan posisi keuangan atau neraca yaitu masing-masing neraca per 31 Desember 2009 dengan perbandingan neraca per 31 Desember 2008 serta neraca per 1 Januari 2008 (HRD).

Saturday, July 24, 2010

Road Map Konvergensi IFRS, sudah sejauh mana perjalanan kita ?

IFRS merupakan kesepakatan global standar akuntansi yang didukung lebih dari 100 negara dan badan-badan internasional di dunia. IAI pada tanggal 23 Desember 2008 telah mencanangkan konvergensi PSAK ke IFRS secara penuh pada tahun 2012.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka sejak Januari 2009 DSAK IAI mulai disibukkan dengan program kerja yang padat untuk merevisi PSAK agar secara material telah sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009.

Sesuai dengan program kerjanya, ada 29 Standar Akuntansi Keuangan yang masuk dalam program konvergensi IFRS yang dicanangkan DSAK IAI tahun 2009 dan 2010 yaitu 12 Standar untuk tahun 2009 serta 17 Standar untuk tahun 2010.

Menurut catatan saya, sejak Januari 2009 sampai dengan pertengahan Juli 2010, DSAK IAI telah mengesahkan 15 PSAK Umum, 1 PSAK ETAP, 7 ED PSAK, 7 ISAK, 3 ED ISAK dan 4 PPSAK (tabel rangkuman ED PSAK, ISAK dan PPSAK serta pengesahannya dapat di download di sini).

Di antara beberapa ED PSAK yang sampai saat ini belum disahkan, terdapat satu ED PSAK yang menggantikan ED PSAK yang sebelumnya telah diterbitkan, yaitu ED PSAK 60 (Revisi 2010) Instrumen Keuangan : Pengungkapan yang diterbitkan pada tanggal 22 Mei 2010 menggantikan ED PSAK 31 (Revisi 2009) Instrumen Keuangan : Pengungkapan yang terbit pada bulan Desember 2008.

Banyaknya standar akuntansi keuangan yang telah maupun dalam tahap pengesahan menjadi PSAK sesuai dengan program konvergensi IFRS menjadi tantangan yang cukup berat bagi publik dan memerlukan persiapan dari praktisi akuntan publik, akuntan manajemen, akademisi, regulator serta profesi pendukung lainnya seperti aktuaris dan penilai.

Seperti yang disampaikan oleh Ketua DSAK IAI Rosita Uli Sinaga pada acara seminar dan public hearing ED PSAK beberapa waktu yang lalu bahwa pelaksanaan program konvergensi IFRS ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi publik sehingga perlu sedini mungkin mengantisipasi implementasi dari program konvergensi IFRS tersebut.

Akuntan publik harus segera mengupdate pengetahuannya dan menyesuaikan pendekatan audit yang berbasis IFRS. Akuntan Manajemen/Perusahaan dapat mengantisipasi dengan segera membentuk tim sukses konvergensi IFRS yang bertugas mengupdate pengetahuan akuntan manajemen, melakukan gap analysis dan menyusun road map konvergensi.

Sedangkan bagi para akuntan akademis/universitas diharapkan mengupdate pengetahuan para akademis, merevisi kurikulum dan silabus serta melakukan berbagai penelitian yang terkait serta memberikan input/komentar terhadap ED dan Discussion Papers yang diterbitkan oleh DSAK IAI maupun IASB.

Pihak regulator perlu melakukan penyesuaian regulasi yang terkait dengan pelaporan keuangan dan perpajakan serta melakukan upaya pembinaan dan supervisi terhadap profesi yang terkait dengan pelaporan keuangan seperti penilai dan aktuaris.

Dengan adanya standar global melalui program konvergensi IFRS tersebut memungkinkan keterbandingan dan pertukaran informasi secara universal sehingga dapat meningkatkan daya informasi dari laporan keuangan perusahaan perusahaan yang ada di Indonesia karena penyajian laporan keuangannya sudah menggunakan bahasa akuntansi yang dapat dipahami dan diterima oleh dunia internasional.

Manfaat dari program konvergensi IFRS diharapkan akan mengurangi hambatan-hambatan investasi, meningkatkan transparansi perusahaan, mengurangi biaya yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan, dan mengurangi cost of capital. Sementara tujuan akhirnya laporan keuangan yang disusun berdasarkan SAK nantinya hanya akan memerlukan sedikit rekonsiliasi untuk menghasilkan laporan keuangan yang sesuai dengan IFRS.

Ketua Tim Implementasi IFRS-IAI, Dudi M. Kurniawan menyatakan dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus, yaitu (1) meningkatkan kualitas SAK, (2) mengurangi biaya SAK, (3) meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan, (4) meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan, (5) meningkatkan transparansi keuangan, (6) menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal, (7) meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.

Untuk membantu kelancaran program konvergensi IFRS, IAI sudah membentuk Tim Implementasi IFRS yang akan membantu mensosialisasikan Exposure Draft yang sudah dikeluarkan DSAK IAI serta untuk mengatasi permasalahan/isu yang berkembang di masyarakat sehubungan dengan rencana implementasi IFRS tahun 2012.

Melihat begitu banyaknya ED PSAK yang telah diterbitkan dan disahkan menjadi PSAK oleh DSAK IAI sejak Januari 2009 sampai dengan saat ini, dengan sendirinya kita dapat menilai bahwa IAI benar-benar serius untuk dapat mencapai target full compliance dengan IFRS pada Januari 2012 nanti. Semoga (Hrd) ***

Sumber : Info IAI yang dipublikasikan di website IAI sejak Januari 2009 sampai dengan pertengahan Juli 2010.

Saturday, July 17, 2010

Audit tahun pertama, bagaimana prosedurnya ?

Prosedur audit apa saja yang harus dilakukan auditor bila laporan keuangan diaudit untuk pertama kalinya atau bila laporan keuangan tahun sebelumnya diaudit oleh auditor independent lain? Jika sekiranya auditor pengganti tidak melakukan prosedur audit apapun untuk menguji kewajaran penyajian laporan keuangan tahun sebelumnya yang tidak diaudit ataupun diaudit oleh auditor lain, apakah ada pengaruhnya terhadap opini auditor tahun berjalan ?

SPAP SA Seksi 323 (PSA No. 56) Perikatan Audit Tahun Pertama – Saldo Awal mengatur dengan cukup jelas mengenai hal ini.

Dalam par. 02 dijelaskan bahwa laporan keuangan tidak hanya menyajikan posisi keuangan dan hasil usaha tahun berjalan, namun juga mencerminkan dampak dari : (a) Transaksi yang dimasukkan dalam saldo yang dibawa ke tahun berikutnya dari tahun-tahun sebelumnya, serta (b) kebijakan akuntansi yang diterapkan dalam tahun-tahun sebelumnya.

Oleh karena itu, auditor yang mengaudit laporan keuangan tahun berjalan harus memperoleh bukti audit kompeten yang cukup untuk meyakini bahwa :
a. Saldo awal tidak mengandung salah saji yang mempunyai dampak material terhadap laporan keuangan tahun berjalan;
b. Saldo penutup tahun sebelumnya telah dibawa dengan benar ke tahun berjalan atau telah dinyatakan kembali, jika semestinya dilakukan;
c. Kebijakan akuntansi yang semestinya telah diterapkan secara konsisten.

Sifat dan luas bukti audit yang harus diperoleh auditor berkaitan dengan saldo awal laporan keuangan yang akan diaudit tergantung pada : (a) Kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh perusahaan, (b) apakah laporan keuangan tahun sebelumnya telah diaudit, dan jika demikian, apa opini yang diberikan oleh auditor ? (c) sifat akun dan risiko salah saji dalam laporan keuangan tahun berjalan.

Bila laporan keuangan tahun sebelumnya telah diaudit oleh auditor independen lain, auditor tahun berjalan dapat memperoleh keyakinan mengenai saldo awal dengan cara me-review kertas kerja auditor pendahulu. Disamping itu, ia juga harus mempertimbangkan kompetensi dan independensi profesional auditor pendahulu. Jika laporan auditor tahun sebelumnya berisi pendapat selain pendapat wajar tanpa pengecualian, maka auditor tahun berjalan harus memperhatikan bidang yang relevan yang dikecualikan dalam audit tahun berjalan. Misalnya jika auditor sebelumnya melakukan pengecualian atas akun persediaan yang tidak bisa dilakukan penghitungan fisik maka auditor pengganti harus memperhatikan apakah dalam tahun berjalan prosedur tersebut juga tidak bisa diterapkan serta bagaimana pengaruhnya terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan yang akan diauditnya.

Selain me-review kertas kerja auditor pendahulu, auditor pengganti juga harus melakukan komunikasi dengan auditor sebelumnya sesuai dengan pengaturan dalam SA Seksi 315 (PSA No. 16) Komunikasi antara Auditor Pendahulu dengan Auditor Pengganti.

Bagaimana jika sekiranya laporan keuangan tahun sebelumnya tidak diaudit ? Atau jika auditor tidak dapat memperoleh keyakinan memadai dari hasil review atas kertas kerja auditor pendahulu ? Apakah ada prosedur alternatif yang bisa dilakukan ?

Dalam par. 09 SPAP Seksi 323 dijelaskan bahwa jika laporan keuangan tahun sebelumnya tidak diaudit atau jika auditor tidak dapat memperoleh keyakinan dengan me-review kertas kerja auditor pendahulu, ia harus memperoleh bukti audit kompeten yang cukup untuk mendukung asersi yang terkandung dalam saldo awal, sepanjang saldo-saldo tersebut berdampak terhadap laporan keuangan tahun berjalan.

Misalnya : untuk memperoleh keyakinan atas saldo awal Piutang, maka auditor bisa melakukan pengiriman konfirmasi ataupun melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti penerimaan kas dari hasil penagihan piutang tersebut. Demikian juga untuk saldo awal Hutang dapat diyakini kewajarannya dengan memeriksa ke bukti-bukti pembayarannya.

Untuk aktiva tetap, jika sekiranya auditor tahun berjalan tidak bisa memperoleh keyakinan memadai dari hasil review kertas kerja auditor sebelumnya atau jika laporan keuangan tahun sebelumnya tidak di audit, maka harus dilakukan pemeriksaan ke bukti-bukti pendukung perolehan aktiva tetap tahun-tahun sebelumnya, terutama untuk nilai perolehan yang material.

Jika setelah melaksanakan prosedur pemeriksaan yang diperlukan, auditor tidak dapat memperoleh keyakinan memadai serta bukti audit kompeten yang cukup berkenaan dengan saldo awal, maka ia harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau menyatakan tidak memberikan pendapat, karena adanya batasan atas lingkup auditnya.

Jika kebijakan akuntansi tahun berjalan tidak diterapkan secara konsisten dalam hubungannya dengan saldo awal dan jika perubahan tersebut tidak dipertanggungjawabkan dan diungkapkan sebagaimana mestinya serta dampaknya material, maka dalam hal ini auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar seperti yang diatur dalam par. 14 SPAP Seksi 323.

Adapun pengaturan di dalam SPAP SA Seksi 323 ini menurut saya sejalan dengan pengaturan menurut International Standard on Auditing (ISA) 510 Initial Audit Engagement – Opening Balances (baca di sini) dan juga (di sini) (Hrd).

Friday, July 9, 2010

Kenapa auditor harus memperoleh surat representasi klien

Dalam pelaksanaan pekerjaan audit atas laporan keuangan sebuah perusahaan, auditor independen diharuskan untuk meminta klien mempersiapkan Surat Representasi Klien (Client Representation Letter). Kenapa Surat Representasi Klien tersebut harus diperoleh ? Jika sekiranya auditor tidak bisa mendapatkan surat tersebut apakah akan berpengaruh terhadap opini auditnya ?

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 333 (PSA No. 17) tentang Representasi Manajemen mengatur lebih lanjut mengenai Surat Representasi Klien.

Dalam paragraf 05 SPAP Seksi 333 (PSA No. 17) diatur bahwa Representasi tertulis * dari manajemen harus diperoleh untuk semua laporan keuangan dan periode yang dicakup oleh laporan audit. Sebagai contoh, jika laporan keuangan komparatif dilaporkan, representasi tertulis yang diperoleh pada penyelesaian audit yang terkini harus mencakup semua periode yang dilaporkan.

*) Selama audit berlangsung, manajemen perusahaan biasanya membuat banyak representasi bagi auditor, baik secara lisan maupun tertulis, dalam menanggapi pertanyaan khusus atau melalui laporan keuangan. Jadi, yang ditegaskan dalam Par. 05 di atas adalah representasi tertulis.

Misalkan laporan keuangan yang diaudit adalah laporan keuangan untuk tahun buku 2009 yang disajikan dalam bentuk laporan komparatif dengan tahun buku 2008, maka dalam hal ini Surat Representasi Manajemen harus diperoleh baik untuk tahun 2009 maupun 2008. Jadi auditor tidak boleh meminta klien mempersiapkan surat representasi untuk tahun 2009 saja.

Bagaimana jika sekiranya manajemen perusahaan menolak untuk memberikan surat representasi manajemen tersebut ?

Paragraf 13 SPAP Seksi 333 (PSA No. 17) menjelaskan bahwa penolakan manajemen utnuk melengkapi representasi tertulis merupakan pembatasan terhadap lingkup audit yang menghalangi auditor untuk memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian dan biasanya cukup menyebabkan auditor tidak memberikan pendapat atau menarik diri dari perikatan.

Namun, berdasarkan pada sifat representasi yang tidak dapat diperoleh tersebut atau keadaan penolakan, auditor dapat menyimpulkan bahwa pendapat wajar dengan pengecualian adalah layak. Di samping itu, auditor harus mempertimbangkan dampak penolakan tersebut terhadap kemampuannya untuk mengandalkan representasi manajemen yang lain.

Jadi, dari penjelasan di atas, jika auditor tidak bisa memperoleh surat representasi klien dari manajemen perusahaan maka dengan mempertimbangkan sifat representasi ataupun keadaan penolakan dari manajemen, auditor minimal harus memberikan opini wajar dengan pengecualian (Hrd).

Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008

Dasar Peraturan Perpajakan :

  • Pasal 31E Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (download di sini) dan (di sini)
  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-66/PJ/2010 (download di sini) tanggal 24 Mei 2010 tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008

Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) UU Pajak Penghasilan, diatur bahwa Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar menadapat fasilitas berupa pengurangan tariff sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dalam SE Dirjen Pajak No. SE-66/PJ/2010 ditegaskan hal-hal sebagai berikut :

a. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT Tahunan PPh WP Badan. Dengan demikian, WP tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

b. Batasan peredaran bruto sampai dengan RP 50 Miliar adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh WP Badan Dalam Negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh.

c. Peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :

  1. Penghasilan yang dikenai PPh bersifat final;
  2. Penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final; dan
  3. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

d. Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak melebihi Rp 50 Miliar, tarif PPh yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi WP Badan Dalam Negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh.

Contoh penghitungan fasilitas pengurangan tariff sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dapat dilihat pada lampiran SE-66/PJ/2010 (Hrd).

Rasio Total Benchmarking, A Tax Audit Tool ?

Dasar Peraturan Perpajakan :

  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-96/PJ/2009 (download di sini) 05 Oktober 2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya;
  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-11/PJ/2010 (download di sini) tanggal 01 Februari 2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap II
  • Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-68/PJ/2010 (download di sini) tanggal 27 Mei 2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap III

Dalam rangka meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak telah menyusun rasio total benchmarking. Rasio total benchmarking tersebut dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak.

Adapun Rasio Total Benchmarking tersebut hanya merupakan suatu alat bantu (supporting tools) yang dapat digunakan oleh aparat pajak dalam membina wajib pajak dan menilai kepatuhan perpajakannya serta tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Ada 14 jenis rasio yang berkaitan dengan tingkat laba dan input-input perusahaan yang dilakukan benchmarking yaitu :

(1) Gross Profit Margin (2) Operating Profit Margin (3) Pretax Profit Margin (4) Corporate Tax to Turn Over Ratio (5) Net Profit Margin (6) Dividend Payout Ratio (7) Rasio PPN Masukan terhadap Penjualan (8) Rasio Biaya Gaji terhadap Penjualan (9) Rasio Biaya Bunga terhadap Penjualan (10) Rasio Biaya Sewa terhadap Penjualan (11) Rasio Biaya Penyusutan terhadap Penjualan (12) Rasio “input antara” lainnya terhadap Penjualan (13) Rasio Penghasilan Luar Usaha terhadap Penjualan, dan (14) Rasio Biaya Luar Usaha terhadap Penjualan.

Pengaturan lebih lanjut mengenai Rasio Total Benchmarking dapat dibaca pada masing-masing SE Dirjen Pajak tersebut di atas (Hrd).

Wednesday, July 7, 2010

Mekanisme penyesuaian akumulasi penyusutan atas aset tetap yang direvaluasi

Berdasarkan PSAK No. 16 (Revisi 2007), perusahaan diperbolehkan untuk memilih menggunakan model biaya (cost model) atau model revaluasi (revaluation model) sebagai kebijakan akuntansinya dalam mencatat nilai aset tetap setelah pengakuan awal.

Ada beberapa ketentuan dalam PSAK 16 (Revisi 2007) yang harus diperhatikan jika sebuah entitas memilih untuk menggunakan model revaluasi, diantaranya adalah jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi (par. 36), pengaturan mengenai perlakuan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi seperti yang diatur dalam paragraf 39 dan 40. Selain itu, dalam paragraf 43 diatur juga bahwa jika entitas mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap, maka perubahan tersebut berlaku prospektif artinya penyesuaian laporan keuangan akibat revaluasi aset hanya dilakukan untuk laporan keuangan periode berjalan dan ke depannya.

Selain itu, PSAK 16 (Revisi 2007) juga mengatur mengenai mekanisme penyesuaian atas pencatatan akumulasi penyusutan aset tetap yang sebelum direvaluasi telah disusutkan oleh perusahaan.

Dalam par. 35 diatur bahwa apabila suatu aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi diperlakukan dengan salah satu cara berikut ini :

  1. disajikan kembali secara proporsional dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberi indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan; atau
  2. dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah eliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering digunakan untuk bangunan.

Untuk contoh penerapan kedua metode tersebut di atas dapat dibaca dari posting saya di sini

Monday, June 21, 2010

SAK-ETAP, siapa saja yang diperbolehkan menggunakan standar akuntansi ini ?

Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP) yang telah disahkan oleh DSAK IAI pada tanggal 19 Mei 2009. SAK ETAP ini berlaku secara efektif untuk penyusunan laporan keuangan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2011. Penerapan dini diperkenankan.

Pada bagian Ruang Lingkup SAK ETAP dijelaskan bahwa SAK ETAP dimaksudkan untuk digunakan oleh entitas tanpa akuntabilitas publik. Adapun yang dimaksud dengan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik adalah entitas yang :

  1. tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan; dan
  2. menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statement) bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal adalah pemilik yang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan usaha, kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.

Entitas memiliki akuntabilitas publik signifikan jika :

  1. entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses pengajuan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau
  2. entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang dan atau pedagang efek, dana pensiun, reksadana dan bank investasi.

Dari penjelasan di atas, maka untuk entitas berupa perusahaan go public (Public Listed Company), perbankan, pialang atau pedagang efek dan lainnya yang tercakup dalam persyaratan tersebut tidak diperbolehkan untuk menggunakan SAK ETAP dalam penyajian laporan keuangannya.

Namun, seperti yang dijelaskan dalam butir 1.3 Ruang Lingkup  bahwa entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan dapat juga menggunakan SAK ETAP apabila diizinkan oleh regulator. Contohnya Bank Perkreditan Rakyat yang telah diizinkan oleh Bank Indonesia menggunakan SAK ETAP mulai 1 Januari 2010 sesuai dengan SE No. 11/37/DKBU tanggal 31 Desember 2009 (baca di sini). 

Apabila perusahaan memakai SAK ETAP, maka auditor yang akan melakukan audit di perusahaan tersebut juga akan mengacu kepada SAK-ETAP.

SAK ETAP selengkapnya dapat dibaca secara online melalui situs IAI di sini. Untuk pemesanan buku dapat menghubungi IAI: 31904232 ext 145

Gambaran umum perbedaan antara SAK Umum dengan SAK ETAP dapat dibaca melalui situs Himpunan Mahasiswa Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi (HIMATANSI) di sini

Saturday, June 12, 2010

Apakah diperbolehkan menyusun laporan konsolidasi dengan tanggal pelaporan induk dan anak perusahaan yang berbeda ?

Para pengguna laporan keuangan pada umumnya ingin mengetahui dan mendapatkan informasi tentang posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas dari suatu kelompok perusahaan secara keseluruhan. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi melalui penyajian laporan keuangan konsolidasi yang menyajikan informasi keuangan dari suatu kelompok perusahaan sebagai satu kesatuan ekonomi meskipun masing-masing perusahaan dalam kelompok tersebut merupakan suatu entitas hukum yang terpisah satu sama lain (PSAK No. 4 – Laporan Keuangan Konsolidasi Par. 04).

Laporan keuangan konsolidasi menyediakan berbagai informasi yang tidak terdapat dalam laporan keuangan terpisah perusahaan induk (laporan keuangan induk perusahaan saja), dan biasanya dalam laporan keuangan konsolidasi diwajibkan untuk menyajikan laporan posisi keuangan dan hasil operasi dari kelompok perusahaan yang berafiliasi. Kondisi yang lajim untuk konsolidasi adalah kepemilikan lebih dari 50% saham berhak suara perusahaan lain, baik secara langsung atau tidak langsung (melalui anak perusahaan) (lihat PSAK No. 4 Par. 05).

Dalam penyusunan laporan keuangan konsolidasi tersebut, apakah diperbolehkan jika sekiranya tanggal laporan keuangan induk perusahaan dengan anak perusahaan yang akan dikonsolidasi berbeda ?

Par. 09 PSAK No. 4 mengatur bahwa laporan keuangan induk perusahaan dan anak perusahaan yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan konsolidasi lazimnya adalah laporan keuangan dengan tanggal pelaporan yang sama. Apabila ternyata tanggal pelaporannya berbeda, anak perusahaan biasanya menyusun laporan keuangan dengan tanggal pelaporan yang sama dengan induk perusahaan. Apabila penyesuaian tanggal tersebut tidak dapat dilakukan, laporan keuangan dengan tanggal pelaporan yang berbeda tersebut dapat juga digunakan untuk tujuan konsolidasi sepanjang perbedaan tanggal pelaporan tersebut tidak lebih dari 3 (tiga) bulan. Sesuai dengan asas konsistensi, baik jangka waktu periode laporan maupun perbedaan dalam tanggal pelaporan harus selalu sama dari waktu ke waktu.

Selanjutnya, dalam Par. 10 diatur lebih jauh bahwa apabila laporan keuangan dengan tanggal pelaporan yang berbeda digunakan untuk tujuan konsolidasi, maka penyesuaian yang diperlukan harus dilakukan untuk pengaruh yang material dari setiap peristiwa atau transaksi antarperusahaan, yang terjadi antara tanggal pelaporan yang berbeda tersebut dengan tanggal pelaporan laporan keuangan konsolidasi.

Dari pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyusunan laporan konsolidasi dengan tanggal pelaporan antara induk dan anak perusahaan yang berbeda dapat dilakukan sepanjang perbedaan tanggal pelaporan tersebut tidak lebih dari 3 bulan.

Adapun pengaturan dalam PSAK ini sesuai dengan pengaturan dalam standar akuntansi internasional yaitu IAS 27, Consolidated and Separate Financial Statements Par. 22 yang menjelaskan bahwa “The financial statements of the parent and its subsidiaries used in the preparation of the consolidated financial statements shall be prepared as of the same date. When the end of the reporting period of the parent is different from that of a subsidiary, the subsidiary prepares, for consolidation purposes, additional financial statements as of the same date as the financial statements of the parent unless it is impracticable to do so.”

Lebih lanjut dalam Par. 23 diatur bahwa “When, in accordance with the paragraph 22, the financial statements of a subsidiary used in the preparation of consolidated financial statements are prepared as of a date different from that of the parent’s financial statements, adjustments shall be made for the effects of significant transactions or events that occur between that date and the date of the parent’s financial statements. In any case, the difference between the end of the reporting period of the subsidiary and that of the parent shall be no more than three months. The length of the reporting periods and any difference between the ends of the reporting periods shall be the same from period to period.” (Hrd)

Monday, May 24, 2010

RUU Akuntan Publik akan segera menjadi UU Akuntan Publik ?

Pada tanggal 7 Mei 2010 kemarin, Pengurus Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) melalui surat No. 200/V/Int-IAPI/2010 telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik yang telah diterima dari Panitia Antar Departemen Penyusunan RUUAP Kementerian Keuangan RI untuk ditanggapi oleh para Anggota IAPI.

Adapun RUU-AP tersebut telah mendapat persetujuan Presiden RI untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI guna dibahas dan disahkan seperti yang dipublikasikan oleh situs Badan Pembinaan Hukum Nasional (www.bphn.go.id) tanggal 8 April 2010 yang menginformasikan antara lain bahwa Pemerintah melalui Supres No R.24/Pres/04/2010 telah mengajukan RUU tentang Akuntan Pubik ke DPR untuk di bahas. Dari segi substansinya, RUU Akuntan Publik disusun untuk meningkatkan kualitas jasa profesional Akuntan Publik sehingga dapat melindungi kepentingan publik (stakeholders), mengoptimalkan peranan akuntan publik dalam menunjang perkembangan perekonomian nasional yang sehat, efisien dan transparan, serta mewujudkan profesi akuntan publik yang memiliki integritas dan profesionalisme yang tinggi.

Pihak IAPI sendiri telah menyebarluaskan RUU-AP dimaksud kepada seluruh anggota melalui :

  1. Mailing list anggota dan Forkap;
  2. Website IAPI (www.iapi.or.id); dan
  3. Hardcopy (bagi yang memerlukan dapat meminta Sekretariat IAPI untuk mengirimkan atau mengambil sendiri dengan pemberitahuan terlebih dahulu).

Kepada seluruh anggota IAPI diberi kesempatan untuk memberikan masukan dan tanggapan atas RUU-AP tersebut paling lambat 30 hari sejak dikeluarkannya surat pemberitahuan dari pengurus IAPI di atas.  Masukan dan tanggapan dapat ditujukan kepada Pengurus IAPI baik via email ke info@iapi.or.id, atau dikirim langsung ke Sekretariat IAPI, Jalan Kapten P. Tendean No. 1 Lantai 1-2, Jakarta 12710.

Untuk memudahkan, berikut saya berikan link untuk download RUU-AP tersebut melalui situs IAPI di sini

Thursday, May 6, 2010

Standar Internasional Dipakai 2012

Jakarta, Kompas  - Indonesia memutuskan untuk berkiblat pada Standar Pelaporan Keuangan Internasional atau IFRS. Standar ini sudah lama dikembangkan di Inggris.

Batas waktu yang ditetapkan bagi seluruh entitas bisnis dan pemerintah untuk menggunakan IFRS adalah 1 Januari 2012.

”Semua persiapan ke arah sana harus diselesaikan karena ini akan dimulai pada 1 Januari 2012. Coba dilihat dampak pada biayanya karena pengalihan standar akan menyebabkan timbulnya ongkos tambahan,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (5/5), saat menjadi pembicara kunci dalam seminar ”IFRS, Penerapan dan Aspek Perpajakannya”.

Menurut Sri Mulyani, konvergensi akuntansi Indonesia ke IFRS perlu didukung agar Indonesia mendapatkan pengakuan maksimal dari komunitas internasional yang sudah lama menganut standar ini.

”Kalau standar itu dibutuhkan dan akan meningkatkan posisi Indonesia sebagai negara yang bisa dipercaya di dunia dengan tata kelola dan pertanggungjawaban kepada rakyat dengan lebih baik dan konsisten, tentu itu perlu dilakukan,” ujarnya.

Selain IFRS, kutub standar akuntansi yang berlaku di dunia saat ini adalah United States General Accepted Accounting Principles (US GAAP).

Negara-negara yang tergabung di Uni Eropa, termasuk Inggris, menggunakan International Accounting Standard (IAS) dan International Accounting Standard Board (IASB).

Setelah berkiblat ke Belanda, belakangan Indonesia menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Mula-mula PSAK IAI berkiblat ke Amerika Serikat dan nanti mulai tahun 2012 beralih ke IFRS.

Tujuh manfaat

Ketua Tim Implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Dudi M Kurniawan mengatakan, dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus.

Pertama, meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK). Kedua, mengurangi biaya SAK. Ketiga, meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan.

Keempat, meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan. Kelima, meningkatkan transparansi keuangan. Keenam, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal. Ketujuh, meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.

”Pengalaman di Eropa, ada beberapa masalah yang muncul dalam implementasi IFRS, antara lain perencanaan waktu yang kurang matang dan kurangnya dukungan dari manajemen puncak,” tuturnya.

Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Etty Retno Wulandari mengatakan, Indonesia perlu mengadopsi IFRS karena sebagian besar negara di dunia sudah menganut standar akuntansi itu.

Dengan demikian, IFRS dapat meningkatkan perlindungan kepada investor pasar modal. ”Bapepam mewajibkan emiten dan perusahaan publik menyampaikan laporan keuangan ke Bapepam dan menyediakannya pada masyarakat. Laporan tersebut harus disajikan dengan standar akuntansi yang berkualitas tinggi,” ungkapnya.

Indonesia juga perlu mengadopsi IFRS karena merupakan salah satu kesepakatan kelompok negara-negara G-20.

Pertemuan G-20 terakhir di Washington, Amerika Serikat, pada November 2008 membuat rencana aksi reformasi mendasar yang muatannya hampir 50 persen terkait isu tentang akuntansi dan audit. (OIN)

Sumber : KOMPAS Cetak terbitan tanggal 06 Mei 2010

Monday, May 3, 2010

Penerapan PSAK 50 & 55 tahun depan

JAKARTA : Penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 dan 55 serta perhitungan risiko operasional (standar Basel II) terhadap perbankan masih dalam masa transisi dan akan berlaku sepenuhnya pada tahun depan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Darmansyah Hadad menjelaskan penerapan PSAK 50 dan 55 tentang instrumen keuangan tidak bisa dihindari, karena kesepakatan umum sebagai sistem akuntansi yang harus dipatuhi. Namun, pelaksanaannya bagi perbankan nasional dilakukan bertahap.

Saat ini, lanjutnya, penerapan PSAK masih dalam masa transisi selama setahun, sambil mempelajari penerapan di beberapa negara yang juga ada persoalan seperti Singapura dan Australia.

Selain itu, kata Muliaman, pembebanan modal untuk memenuhi perhitungan risiko operasional ditempuh bertahap. Langkah ini dimulai dengan pembebanan modal inti terhadap risiko operasional ditetapkan di skala 5% pada semester I 2010. Sedangkan semester berikutnya menjadi 10% sampai 2011 harus sepenuhnya menjadi 15%.

Menurut dia, kecukupan modal suatu bank tidak bisa hanya diukur dari risiko pasar dan kredit, tapi harus memasukkan risiko operasional supaya mencerminkan keadaan. Pemenuhan modal inti sangat penting bagi regulator, investor maupun nasabah untuk memastikan kesiapan bank terhadap profil risiko yang dihadapi.

"Kami sudah hitung dan membuat simulasi, berapa kira-kira rasio kecukupan modal akan berkurang jika 15% risiko operasional diberlakukan. Kalau tingkat kesiapan dari setiap bank itu ditentukan oleh SDM dan dukungan teknologinya yang harus dipenuhi sesuai standar," jelasnya pekan lalu.

Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah menjelaskan PSAK 50 dan 55 mengubah pencatatan pada beberapa pos sehingga lebih terlihat kinerja dari bisnis inti dan bisnis pelengkap bank. Data ini, tuturnya, bisa membantu regulator untuk menganalisis perbankan.

Lebih transparan

Beberapa ketentuan, lanjutnya, pencatatannya menjadi lebih transparan seperti pembedaan kredit yang komitmennya telah ada dan yang belum terkait dengan kewajiban penyediaan pencadangan. Selama ini, pencatatan kredit tidak membedakan hal itu.

"Memang PSAK yang baru, membuat bank menjadi lebih baik, dan buat otoritas menjadi lebih mudah memberikan solusi dalam kebijakan."

Halim memaparkan untuk pemenuhan risiko operasional terdapat dua pendekatan yang bisa digunakan yaitu pendekatan indikator dasar yaitu memenuhi risiko operasioal bertahap 15% dan pendekatan standar.

Beberapa bank yang besar di usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), cenderung memilih metode standar karena bisa mengurangi pembebanan atas modal menjadi lebih kecil.

Namun, sejumlah bank justru bisa kebalikannya, lebih diuntungkan dengan menggunakan pendekatan indikator dasar.

"Beberapa bank justru meminta diberlakukan segera tapi dengan pendekatan standar karena beban terhadap modalnya menjadi lebih ringan."

Wadirut BCA Jahja Setiaatmadja menambahkan saat ini perseroan telah menerapkan PSAK 50 dan 55 sehingga membuat sistem pencatatan berubah, terutama berkaitan dengan perhitungan pendapatan bunga bersih tidak lagi memasukan komponen imbal hasil dari surat berharga.

Oleh Fajar Sidik
Bisnis Indonesia

Sumber : Harian Bisnis Indonesia (www.bisnis.com) terbitan tanggal 03 May 2010

Saturday, May 1, 2010

DSAK Kembali Mengesahkan ED SAK menjadi SAK

Pada tanggal 29 April 2010 kemarin, IAI menyampaikan informasi mengenai pengesahan atas beberapa PSAK dan ISAK yang sebelumnya telah diterbitkan ED nya. Berikut ini isi berita yang saya kutip dari situs IAI tersebut :

Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) kembali mengesahkan Eksposure draft Standar Akuntansi Keuangan (SAK) menjadi SAK.

Standar Akuntansi Keuangan yang telah disahkan tersebut terdiri dari Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK). Pengesahan SAK merupakan salah satu proses konvergensi IFRS yang sedang dilaksanakan DSAK IAI.

PSAK dan ISAK yang disahkan pada tanggal 19 Pebruari 2010 adalah :

1. PSAK 7 (revisi 2010): Pengungkapan Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa

2. PSAK 23 (revisi 2010): Pendapatan

3. PSAK 19 (revisi 2010): Aset Takberwujud

4. ISAK 14: Aset TakBerwujud – Biaya Situs Web

PSAK yang disahkan pada tanggal 3 Maret 2010 adalah PSAK 22 (revisi 2010): Kombinasi Bisnis

Sedangkan PSAK dan ISAK yang disahkan pada tanggal 23 Maret 2010 adalah :

1. PSAK 10 (revisi 2010): Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing

2. ISAK 13: Lindung Nilai Investasi Neto dalam Kegiatan Usaha Luar Negeri

PSAK dan ISAK yang telah disahkan tersebut merupakan adopsi atas IFRSs per 1 Januari 2009.

Sumber : Situs IAI

Wednesday, April 28, 2010

Pos Luar Biasa, kenapa tidak diperbolehkan lagi oleh PSAK ?

Sebelumnya, penyajian akun Pos Luar Biasa dalam laporan keuangan diatur dalam PSAK No. 25 mengenai Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar dan Perubahan Kebijakan Akuntansi dalam paragraf 10 sampai dengan paragraf 14 (baca tulisan saya sebelumnya : Apa itu Pos Luar Biasa serta bagaimana penyajiannya dalam laporan keuangan)

Menurut pengaturan dalam PSAK tersebut, suatu kejadian atau transaksi dapat diklasifikasikan sebagai pos luar biasa jika memenuhi dua kriteria berikut yaitu (1) bersifat tidak normal, dan (2) tidak sering terjadi. Contohnya kerugian akibat gempa bumi, kebakaran atau banjir.

Kemudian, berdasarkan PSAK No. 25 (revisi 2009) Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan, tidak ditemukan lagi adanya paragraf yang mengatur mengenai pencatatan akuntansi atas Pos Luar Biasa. Penegasan mengenai tidak diperbolehkannya lagi pencatatan akun Pos Luar Biasa dalam laporan keuangan dapat ditemukan dalam PSAK No. 1 (revisi 2009) Penyajian Laporan Keuangan dalam paragraf 84 diatur bahwa entitas tidak diperkenankan menyajikan pos-pos penghasilan dan beban sebagai pos luar biasa dalam laporan laba rugi komprehensif, laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), atau catatan atas laporan keuangan. Kedua PSAK ini telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntasi Keuangan (DSAK) IAI pada tanggal 15 Desember 2009 dan akan mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2011.

Adapun revisi atas PSAK No.1 dan PSAK No. 25 tersebut di atas dilakukan dalam rangka proses konvergensi dengan Standar Akuntansi Internasional (IFRS/IAS) yang juga tidak lagi memperbolehkan pencatatan akun Pos Luar Biasa dalam laporan keuangan perusahaan, yang ditegaskan dalam IAS 1 Presentation of Financial Statements paragraf 87.

Sebelumnya, pada saat peluncuran Eksposure Draft (ED) PSAK No. 1 (revisi 2009) di atas memang sudah terdengar suara pro dan kontra berkaitan dengan dihilangkannya pengaturan mengenai Pos Luar Biasa dalam laporan keuangan. Akan tetapi, setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya sampai dengan disahkannya PSAK No. 1 (revisi 2009) penghapusan akun Pos Luar Biasa dalam PSAK sesuai dengan IAS 1 tetap dipertahankan.

Untuk mengetahui lebih jauh latar belakang dihilangkannya akun Pos Luar Biasa (Extraordinary Items) dalam Standar Akuntansi Internasional (IFRS/IAS) dapat dibaca melalui posting saya di sini : Extraordinary Items, why it was prohibited ?

Perlindungan profesi akuntan publik belum memadai

JAKARTA: Masalah klasik yang dihadapi akuntan publik dari tahun ke tahun adalah tindakan para oknum yang tidak mempunyai izin mengatasnamakan profesi ini untuk cari keuntungan pribadi dengan melakukan praktik ilegal sebagai akuntan publik. Namun, pemerintah hanya melakukan pengaturan kepada akuntan publik berizin, dan terkesan membiarkan praktik akuntan publik yang tidak berizin.

Bagaimana masalah sebenarnya, Bisnis Indonesia mewawancarai Ketua bidang Humas dan Media Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Erick. Berikut petikannya.

Kenapa timbul akuntan publik palsu?

Ada beberapa sebab masalah itu muncul. Mulai dari sebaran kantor akuntan publik (KAP) sampai pada perlindungan hukum akuntan publik berizin yang masih kurang memadai. Termasuk juga jasa fee yang dipatok akuntan palsu jauh dari kewajaran.

Masalahnya bukan berapa besarnya fee, melainkan kesadaran hukum pengguna jasa yang masih kurang. Dengan menggunakan akuntan publik palsu persoalan yang muncul pada kemudian hari atas hasil auditnya tak bisa dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan hasil audit akuntan publik dari KAP resmi yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan.

Berapa besar imbalan yang ditawarkan akuntan publik palsu?

Tidak wajar. Mereka tak melihat faktor kesulitan pekerjaan, tetapi mematok harga Rp2 juta-Rp5 juta. Hasilnya, seolah-olah mereka akuntan publik yang telah punya izin dari pemerintah, padahal gelap.

Kenapa praktik ilegal itu terus berlangsung?

Bisa terjadi karena pengguna jasa memang tidak mengetahui, atau dibohongi oleh akuntan publik ilegal. Bisa juga pura-pura tidak tahu. Yang terakhir ini umumnya bagi peserta tender pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal lain, juga tak kalah pentingnya, adalah distribusi atau keberadaan KAP resmi terkonsentrasi pada wilayah yang dianggap potensi bisnis seperti Jawa. Dari data IAPI, dari 502 KAP sekitar 80% berdomisili di Jawa, sisanya menyebar di Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua.

Dari 80% itu, KAP di Jakarta paling banyak, yakni sekitar 50%. Begitu pula dengan akuntan publik, dari sekitar 898 orang sebagian besar berpraktik di Ibu Kota. Jumlah yang masih minim ini memungkinkan muncul praktik akuntan publik palsu dan KAP tidak resmi. Celakanya, pemerintah kurang peduli dan seolah-olah membiarkan kejahatan itu terus berlangsung. Sikap ini yang disesali oleh kami.

Berapa banyak pengaduan praktik ilegal yang dilakukan akuntan publik dan KAP palsu?

Sejauh ini pengaduan praktik akuntan publik palsu cukup banyak, baik oleh KAP resmi maupun masyarakat pengguna jasa yang dirugikan. Sebagian di antaranya sudah ada yang diproses hukum.

Kasus yang terungkap memang kurang dipublikasi, sehingga masyarakat tak banyak mengetahui.

Ini terkait dengan profesi akuntan publik sendiri, yakni dalam ruang lingkup bisnis. Jadi, banyak akuntan publik yang dirugikan, memilih diam daripada berteriak-teriak menyangkut penangkapan pelaku praktik liar.

Namun, kami terus mengawasi ketat praktik ilegal itu, sekalipun Kementerian Keuangan kurang memberikan respons yang memadai.

Apakah ada praktik kurang terpuji dilakukan anggota IAPI atau akuntan publik resmi?

Indikasi pidana tidak ada, karena profesi ini memiliki standar profesi. Selain itu, di antara KAP resmi dapat saling melakukan review, dan IAPI mempunyai badan review mutu sebagai kendali kualitas praktik akuntan publik.

Kemungkinan terjadi di bawah standar, tidak bersifat pidana. Namun begitu, jika hal itu terjadi pengguna jasa akuntan tentu dirugikan.

Jika hal itu sampai terjadi, sanksi apa saja yang diterapkan IAPI kepada anggotanya?

Ada tiga tahapan sanksi, yakni peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin praktik. Bila seorang akuntan publik izin praktiknya dicabut, sudah tentu yang bersangkutan tidak bisa lagi memberikan layanan profesi kepada masyarakat.

Pemerintah belum mampu melindungi profesi akuntan publik, maksud Anda?

Bisa dilihat dari regulasi yang ada, sampai saat ini peraturan hukum akuntan publik masih mengacu pada UU No.34/1954 tentang Pemberian Gelar Akuntan. Menurut hemat kami, ketentuan hukum ini belum tepat sebagai dasar hukum bagi akuntan publik dan KAP. Begitu pula peraturan yang menjadi turunan dari UU itu, belum pas buat akuntan publik.

Turunan dari UU UU No. 34/1954 tentang Pemberian Gelar Akuntan berupa regulasi yang mengatur akuntan publik dan KAP bersifat subjektif dan cenderung sebagai "legalisasi" diskresi kebijakan pemerintah, ketimbang memenuhi kebutuhan profesi. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pemerintah belum mampu melindungi profesi ini secara utuh. Maka, jangan heran banyak bermunculan akuntan publik palsu, mengaku dari KAP resmi.

Apakah ideal jumlah akuntan publik layani 23.000 perusahaan di negeri ini?

Tentu tidak ideal. Perlu regenerasi akuntan publik baru. Namun, sejauh ini anak muda yang minat jadi akuntan publik sedikit sekali.

Sebenarnya profesi ini sangat diperlukan oleh perusahaan swasta dan pemerintah. Bahkan penyelenggaraan pemilihan umum dan daerah (pilkada) pun harus menggunakan jasa akuntan publik. Potensi bisnisnya cukup besar.

Pewawancara: Bambang Supriyanto

Sumber : Harian Bisnis Indonesia (www.bisnis.com) terbitan tanggal 26 April 2010 (Senin)

Monday, April 19, 2010

DSAK IAI telah mengesahkan ED PSAK 3, 18 dan 24 serta ED ISAK 15, 16 dan 17

Pada tanggal 16 April 2010 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah mengumumkan pengesahan atas beberapa Eksposure Draft (ED) PSAK dan ISAK sebagai bagian dari program full adoption IFRS pada tahun 2012. Berikut kutipan dari website IAI :

Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK IAI) telah mengesahkan Eksposure Draft PSAK dan ISAK.ED PSAK yang telah disahkan tahun 2010 ini adalah:
1. ED PSAK 3 (revisi 2010): Laporan Keuangan Interim
2. ED PSAK 18 (revisi 2010): Akuntansi dan Pelaporan Program Manfaat Purnakarya
3. ED PSAK 24 (revisi 2010): Imbalan Kerja

Selain itu, ED ISAK yang telah disahkan adalah:
1. ED ISAK 15: PSAK 24-Batas Aset Imbalan Pasti, Persyaratan Pendanaan Minimum dan Interaksinya
2. ED ISAK 16: Perjanjian Konsesi Jasa
3. ED ISAK 17: Laporan Keuangan Interim dan Penurunan Nilai

Eksposure draft SAK tersebut dapat di download di http://iaiglobal.or.id/prinsip_akuntansi/exposure.php.

Pengesahan Eksposure Draft ini merupakan rangkaian program konvergensi IFRS 2012. Tahun 2010 ini, rencananya DSAK akan menyelesaikan tahap adopsi IFRS, tahun 2011 dan 2012 merupakan tahap implementasi SAK yang sudah mengacu ke IFRS per 1 Januari 2009.

DSAK IAI mengundang publik untuk memberi saran, masukan, dan tanggapan secara langsung terkait eksposure draft yang telah disahkan melalui public hearing ED. Public hearing ED akan dilaksanakan pada Selasa, 27 April 2010 bertempat di Hotel Acacia Jakarta. Undangan public hearing dapat di download melalui website IAI di sini

Selain itu, saran, masukan, dan tanggapan ED dapat disampaikan melalui surat ke Grha Akuntan, Jl. Sindanglaya No. 1, Menteng-Jakarta 10310 atau melalui email ke dsak@iaiglobal.or.id atau ke iai-info@iaiglobal.or.id. Penyampaian tanggapan atas ED SAK disampaikan paling lambat tanggal 31 Mei 2010, namun untuk ED ISAK 16 tentang Perjanjian Konsesi, penyampaian tanggapan paling lambat 1 Oktober 2010.

Friday, April 16, 2010

DSP IAPI telah menerbitkan ED Omnibus Statement berkaitan dengan SAK-ETAP

Ikatan Akuntan Indonesia sebelumnya telah mengesahkan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP) yang akan berlaku secara efektif untuk penyusunan laporan keuangan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011. Penerapan dini diperkenankan.

Adapun latar belakangan penyusunan dan penerbitan SAK-ETAP ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi entitas skala kecil dan menengah. Bahwa SAK yang berbasis IFRS (SAK Umum) ditujukan bagi entitas yang mempunyai tanggung jawab publik signifikan dan entitas yang banyak melakukan kegiatan lintas negara. SAK umum tersebut rumit untuk dipahami serta diterapkan bagi sebagain besar entitas usaha di Indonesia yang berskala kecil dan menengah. Dalam beberapa hal SAK ETAP memberikan banyak kemudahan untuk suatu entitas dibandingkan dengan SAK Umum dengan ketentuan pelaporan yang lebih kompleks.

Sesuai dengan ruang lingkup SAK-ETAP, maka Standar ini dimaksudkan untuk digunakan oleh entitas tanpa akuntabilitas publik. Entitas tanpa akuntabilitas publik yang dimaksud adalah entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan dan menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal adalah pemilik yang tidak terlibat langsung dalam pengelola usaha, kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.

Namun, entitas yang mempunyai tanggung jawab publik signifikan dapat juga menggunakan SAK ETAP apabila diizinkan oleh regulator. Contohnya Bank Perkreditan Rakyat yang telah diizinkan oleh Bank Indonesia menggunakan SAK ETAP mulai 1 Januari 2010 sesuai dengan SE No. 11/37/DKBU tanggal 31 Desember 2009.

Apabila perusahaan memakai SAK ETAP, maka auditor yang akan melakukan audit di perusahaan tersebut juga akan mengacu kepada SAK-ETAP.

Sehubungan keluarnya SAK-ETAP dari DSAK IAI tersebut maka DSP IAPI menerbitkan ED Omnibus Statement utk merevisi beberapa PSA dalam SPAP 2001. Terlampir adalah ED dimaksud untuk ditanggapi paling lambat tanggal 30 April 2010. Klik di sini untuk download : ED Omnibus Statement SAK-ETAP

Demikian informasi yang saya peroleh dari milis ForKAP pada hari ini.

Sumber : Website IAI dan milis ForKAP IAI.