Showing posts with label Instrumen Keuangan. Show all posts
Showing posts with label Instrumen Keuangan. Show all posts

Thursday, March 24, 2011

PSAK 26 (Revisi 2008) tentang Biaya Pinjaman serta PSAK 50 & 55 (Revisi 2006) Mulai Berlaku untuk Pelaporan Keuangan Tahun 2010. Sudah Siapkah Anda ?

Saat-saat seperti sekarang ini sebagian besar perusahaan disibukkan dengan kegiatan mempersiapkan laporan keuangan tahun buku 2010 baik untuk keperluan pelaporan SPT Tahunan PPh Badan ke kantor pajak yang sudah harus disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2011 maupun untuk keperluan audit oleh kantor akuntan publik.

Dalam mempersiapkan laporan keuangan tersebut, terutama sejak dicanangkannya program konvergensi secara penuh (full adoption) PSAK ke IFRS yang merupakan standar akuntansi internasional pada tanggal 23 Desember 2008 yang lalu yang mengakibatkan banyak PSAK yang direvisi, pihak manajemen perusahaan harus selalu aware dengan perubahan-perubahan PSAK yang terjadi yang kemungkinan besar akan berpengaruh terhadap penyajian laporan keuangan perusahaan.

Untuk pelaporan keuangan tahun 2010 yang sedang dipersiapkan manajemen perusahaan saat ini, ada beberapa PSAK revisi yang perlu menjadi perhatian yaitu diantaranya :

(1) PSAK No. 26 (revisi 2008) tentang Biaya Pinjaman yang mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 menggantikan PSAK No. 26 (1997) tentang Biaya Pinjaman. PSAK ini mengatur bahwa biaya pinjaman yang dapat diatribusikan secara langsung dengan perolehan, konstruksi, atau pembuatan aset kualifikasian harus dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya perolehan aset tersebut (ketika kemungkinan besar biaya pinjaman tersebut menghasilkan manfaat ekonomi masa depan untuk entitas dan dapat diukur secara andal). Sedangkan biaya pinjaman lainnya diakui sebagai beban pada periode terjadinya.

(2) PSAK No. 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan menggantikan PSAK No. 50 (1998) : Akuntansi Investasi Efek Tertentu, untuk pengaturan yang terkait dengan penyajian dan pengungkapan investasi efek tertentu, dan PSAK No. 55 (revisi 1999) : Akuntansi Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai, untuk pengaturan yang terkait dengan penyajian dan pengungkapan instrumen derivatif dan aktivitas lindung nilai serta PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan PSAK No. 50 (revisi 1998) tentang Akuntansi Investasi Efek Tertentu, untuk pengaturan yang terkait dengan pengakuan dan pengukuran investasi efek tertentu dan PSAK No. 55 (revisi 1999) tentang Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai, untuk pengaturan yang terkait dengan pengakuan dan pengukuran instrument derivatif dan aktivitas lindung nilai serta beberapa PSAK lainnya pada bagian yang relevan. Kedua PSAK ini semula ditetapkan mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2009, akan tetapi kemudian ditunda menjadi 1 Januari 2010.

PSAK 50 dan PSAK 55 (Revisi 2006) ini pada dasarnya mengatur prinsip penyajian, pengungkapan, pengakuan dan pengukuran Instrumen Keuangan perusahaan yang mencakup Aset Keuangan, Kewajiban Keuangan serta Instrumen Ekuitas. Selain itu, PSAK ini juga mengatur perlakuan akuntansi atas aktivitas lindung nilai perusahaan.

Perusahaan harus menerapkan PSAK 50 dan PSAK 55 (Revisi 2006) tersebut secara prospektif untuk laporan keuangan yang mencakup periode yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2010 (Hrd).

Monday, May 3, 2010

Penerapan PSAK 50 & 55 tahun depan

JAKARTA : Penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 dan 55 serta perhitungan risiko operasional (standar Basel II) terhadap perbankan masih dalam masa transisi dan akan berlaku sepenuhnya pada tahun depan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Darmansyah Hadad menjelaskan penerapan PSAK 50 dan 55 tentang instrumen keuangan tidak bisa dihindari, karena kesepakatan umum sebagai sistem akuntansi yang harus dipatuhi. Namun, pelaksanaannya bagi perbankan nasional dilakukan bertahap.

Saat ini, lanjutnya, penerapan PSAK masih dalam masa transisi selama setahun, sambil mempelajari penerapan di beberapa negara yang juga ada persoalan seperti Singapura dan Australia.

Selain itu, kata Muliaman, pembebanan modal untuk memenuhi perhitungan risiko operasional ditempuh bertahap. Langkah ini dimulai dengan pembebanan modal inti terhadap risiko operasional ditetapkan di skala 5% pada semester I 2010. Sedangkan semester berikutnya menjadi 10% sampai 2011 harus sepenuhnya menjadi 15%.

Menurut dia, kecukupan modal suatu bank tidak bisa hanya diukur dari risiko pasar dan kredit, tapi harus memasukkan risiko operasional supaya mencerminkan keadaan. Pemenuhan modal inti sangat penting bagi regulator, investor maupun nasabah untuk memastikan kesiapan bank terhadap profil risiko yang dihadapi.

"Kami sudah hitung dan membuat simulasi, berapa kira-kira rasio kecukupan modal akan berkurang jika 15% risiko operasional diberlakukan. Kalau tingkat kesiapan dari setiap bank itu ditentukan oleh SDM dan dukungan teknologinya yang harus dipenuhi sesuai standar," jelasnya pekan lalu.

Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah menjelaskan PSAK 50 dan 55 mengubah pencatatan pada beberapa pos sehingga lebih terlihat kinerja dari bisnis inti dan bisnis pelengkap bank. Data ini, tuturnya, bisa membantu regulator untuk menganalisis perbankan.

Lebih transparan

Beberapa ketentuan, lanjutnya, pencatatannya menjadi lebih transparan seperti pembedaan kredit yang komitmennya telah ada dan yang belum terkait dengan kewajiban penyediaan pencadangan. Selama ini, pencatatan kredit tidak membedakan hal itu.

"Memang PSAK yang baru, membuat bank menjadi lebih baik, dan buat otoritas menjadi lebih mudah memberikan solusi dalam kebijakan."

Halim memaparkan untuk pemenuhan risiko operasional terdapat dua pendekatan yang bisa digunakan yaitu pendekatan indikator dasar yaitu memenuhi risiko operasioal bertahap 15% dan pendekatan standar.

Beberapa bank yang besar di usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), cenderung memilih metode standar karena bisa mengurangi pembebanan atas modal menjadi lebih kecil.

Namun, sejumlah bank justru bisa kebalikannya, lebih diuntungkan dengan menggunakan pendekatan indikator dasar.

"Beberapa bank justru meminta diberlakukan segera tapi dengan pendekatan standar karena beban terhadap modalnya menjadi lebih ringan."

Wadirut BCA Jahja Setiaatmadja menambahkan saat ini perseroan telah menerapkan PSAK 50 dan 55 sehingga membuat sistem pencatatan berubah, terutama berkaitan dengan perhitungan pendapatan bunga bersih tidak lagi memasukan komponen imbal hasil dari surat berharga.

Oleh Fajar Sidik
Bisnis Indonesia

Sumber : Harian Bisnis Indonesia (www.bisnis.com) terbitan tanggal 03 May 2010

Tuesday, January 12, 2010

Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) 2008 dan perkembangan terkini-nya

Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) adalah merupakan petunjuk pelaksanaan yang berisi penjabaran lebih lanjut dari PSAK yang relevan untuk industri perbankan. PAPI disusun dengan kerjasama antara Bank Indonesia, perbankan dan Ikatan Akuntan Indonesia.

Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia No. 3/22/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank antara lain menyatakan bahwa perubahan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia akan ditetapkan dengan Surat Edaran (SE) Bank Indonesia.

Oleh karena itu, dengan SE No. 11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009 yang menggantikan SE No. 3/33/DPNP tanggal 14 Desember 2001, telah diatur beberapa hal antara lain :

1. Dalam rangka peningkatan transparansi kondisi keuangan Bank dan penyusunan laporan keuangan yang relevan, komprehensif, andal dan dapat diperbandingkan, Bank wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang relevan bagi Bank, Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI), dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

2. PAPI merupakan petunjuk pelaksanaan yang berisi penjabaran lebih lanjut dari beberapa PSAK yang relevan bagi industri perbankan.

3. Berkaitan dengan penerbitan PSAK No. 50 (Revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan serta PSAK No. 55 (Revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran, PAPI 2001 kemudian telah direvisi menjadi PAPI 2008.

4. PAPI 2008 merupakan acuan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan Bank. Mengingat sifat PAPI merupakan petunjuk pelaksanaan dari PSAK maka untuk hal-hal yang tidak diatur dalam PAPI tetap mengacu ke PSAK yang berlaku.

SE No. 11/4/DPNP sebagai dasar pemberlakuan PAPI 2008 kemudian mengalami perubahan berdasarkan SE No. 11/33/DPNP tanggal 8 Desember 2009. Perubahan tersebut dilakukan sehubungan dengan kendala teknis yang dihadapi oleh perbankan dalam penerapan PSAK No. 55 (Revisi 2006) terutama terkait dengan keterbatasan dalam memperoleh data kerugian historis.

Untuk mengatasi kendala teknis tersebut telah dilakukan pembahasan antara Bank Indonesia bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), Bank dan Kantor Akuntan Publik yang menghasilkan kesepakatan untuk melakukan penyesuaian terhadap PAPI 2008 sehingga dengan demikian juga memerlukan perubahan terhadap SE yang memberlakukan PAPI 2008 beserta penyesuaiannya.

SE perubahan tersebut antara lain mengatur mengenai penerapan Estimasi Penurunan Nilai secara Kolektif bagi Bank yang menghadapi beberapa keterbatasan kondisi serta tugas dan tanggung jawab dari Akuntan Publik yang melakukan pemeriksaan atas Estimasi Penurunan Nilai Kolektif.

Akuntan Publik yang menemukan Bank yang tidak menerapkan PSAK 55 (Revisi 2006) dan PAPI 2008, serta melanggar SE ini harus memberitahukan mengenai temuan tersebut dalam laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter) yang wajib disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai transparansi kondisi keuangan bank.

Adapun ketentuan dalam SE No. 11/4/DPNP, SE No. 11/33/DPNP dan PAPI 2008 beserta penyesuaiannya mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2010 seiring dengan mulai berlakunya PSAK 50 dan PSAK 55 dengan masa transisi hingga 31 Desember 2011.

Downloadable Materials :

Buku Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) 2008 beserta perubahannya dapat didownload di sini

SE Bank Indonesia No. 11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009 dapat didownload di sini

SE Bank Indonesia No. 11/33/DPNP/2009 beserta lampirannya dapat didownload di sini

Monday, January 5, 2009

Penundaan Berlakunya PSAK 50 dan PSAK 55

Dalam rangka konvergensi dengan International Accounting Standards (IAS) dan International Financial Reporting Standards (IFRS), sejak Desember 2006 sampai dengan pertengahan tahun 2007 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah merevisi dan mengesahkan lima Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).

Tiga dari revisi PSAK tersebut berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2008 yaitu PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi, PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap serta PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa.

Sedangkan dua PSAK lainnya, yaitu masing-masing PSAK No. 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan yang menggantikan Akuntansi Investasi Efek Tertentu serta PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2009.

Adapun PSAK No. 50 (revisi 2006) sebagian besar sudah sesuai dengan International Accounting Standards (IAS) No. 32 : Financial Instrument : Presentation (Revised 2005) sedangkan PSAK No. 55 (revisi 2006) sebagian besar sudah sesuai dengan IAS No. 39 : Financial Instrument : Recognition and Measurement (Revised 2005).

Bank Indonesia mewajibkan bank menyajikan laporan keuangan dengan mengacu pada PSAK No. 50 (revisi 2006) serta PSAK No. 55 (revisi 2006) tersebut mulai tahun 2009 seperti yang ditulis dalam harian Bisnis Indonesia terbitan 18 Januari 2008 kemarin.

Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI I Gde Made Sadguna menjelaskan pada harian Bisnis Indonesia bahwa sebagian besar standar akuntansi untuk laporan keuangan bank disesuaikan dengan standar internasional.

“PSAK 50 dan 55 sudah sesuai dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) dan berlaku 1 Januari 2009. Pada 2010 akan dilakukan adopsi penuh tanpa diskresi,” katanya, seperti yang ditulis dalam harian Bisnis Indonesia terbitan 18 Januari 2008 tersebut.

Adapun beberapa pengaturan dalam PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 revisi 2006 tersebut secara mendasar merubah metode pengakuan dan pencatatan yang diterapkan selama ini dan dampaknya akan merubah sistim pencatatan bank khususnya, sehingga secara tidak langsung akan memerlukan penyesuaian pada sistim internal bank.

Diharapkan dengan penerapan PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 revisi 2006 tersebut secara tepat dan konsisten, laporan keuangan bank dapat disajikan secara wajar dan memberikan informasi yang lebih bermanfaat bagi pembaca laporan keuangan.

Namun, berkaitan dengan krisis finansial global yang melanda dunia dan turut berdampak pada perekonomian di Indonesia , menyebabkan ketatnya likuiditas perbankan sehingga beberapa waktu yang lalu pihak perbankan telah mengajukan penundaan penerapan PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 tersebut kepada pemerintah (Bank Indonesia), dengan tujuan agar perbankan bisa lebih bergerak dan likuiditas sedikit longgar.

Berkaitan dengan hal itu, pada tanggal 30 Desember 2008 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah mengeluarkan surat pengumuman dengan No. 1705/DSAK/IAI/XII/2008 yang berisikan bahwa DSAK IAI mengubah tanggal efektif pemberlakuan PSAK 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan, sebagaimana diatur dalam paragraf 95 PSAK 50 (Revisi 2006), dan PSAK 55 (Revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran, sebagaimana diatur dalam paragraf 107 PSAK 55 (Revisi 2006), yang semula berlaku efektif untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2009 diubah menjadi untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2010.