Showing posts with label Pajak Penghasilan. Show all posts
Showing posts with label Pajak Penghasilan. Show all posts

Thursday, April 9, 2020

Pajak Tangguhan atas penurunan tarif Pajak Penghasilan (Perppu No.1/2020), apakah harus disesuaikan ?

Seperti yang saya informasikan dalam tulisan saya sebelumnya, pada tanggal 31 Maret 2020 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2020 dimana dalam Perppu tersebut diatur antara lain mengenai penurunan tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi sebesar 22% yang berlaku pada tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2022. Sebelumnya tarif Pajak Penghasilan badan dalam negeri dan BUT yang berlaku adalah tarif tunggal 25%.

Penurunan tarif Pajak Penghasilan badan sebelumnya juga pernah dilakukan oleh otoritas perpajakan Indonesia yaitu pada tahun 2008 berdasarkan UU Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 yang diterbitkan pada bulan September 2008, dimana tarif Pajak Penghasilan badan yang sebelumnya menggunakan tarif progresif 10%, 15% dan 30% dirubah menjadi tarif tunggal sebesar 28% pada tahun 2009 dan 25% sejak tahun 2010 (Baca juga tulisan terkait : Penerapan tarif tunggal 28% dalam perhitungan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009).

Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia yaitu PSAK 46 mengenai Pajak Penghasilan mengatur secara khusus mengenai perlakuan pencatatan akuntansi jika sekiranya terjadi perubahan tarif pajak yang berlaku.

Seperti yang kita ketahui PSAK 46 mengatur perlakuan akuntansi untuk dua jenis Pajak Penghasilan yaitu Pajak Kini dan Pajak Tangguhan. Perlakuan pencatatan akuntansi Pajak Tangguhan atas perubahan tarif pajak diatur dalam paragraf 47 dan 48.

Paragraf 47 mengatur bahwa aset dan liabilitas pajak tangguhan diukur dengan menggunakan tarif pajak yang diharapkan berlaku ketika aset dipulihkan atau liabilitas diselesaikan, berdasarkan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku atau secara substantif telah berlaku pada akhir periode pelaporan.

Selanjutnya, paragraf 48 mengatur bahwa aset dan liabilitas pajak kini dan tangguhan biasanya diukur dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Akan tetapi, jika tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka dapat dianggap bahwa tarif pajak (dan peraturan pajak) tersebut secara substantif telah berlaku (walaupun tarif dan peraturan pajak tersebut baru berlaku efektif beberapa bulan setelah pengumuman). Dalam hal tersebut aset dan liabilitas pajak diukur dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah diumumkan.

Pertanyaan : Terkait dengan penyajian laporan keuangan tahun 2019 yang saat ini sedang dipersiapkan perusahaan-perusahaan, untuk perubahan tarif pajak penghasilan berdasarkan Perppu No.1 Tahun 2020 tersebut apakah mengakibatkan saldo Aset ataupun Liabilitas Pajak Tangguhan di laporan keuangan tahun 2019 harus disesuaikan dengan tarif pajak yang baru tersebut ?

Dengan mengacu kepada ketentuan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46 seperti yang dijelaskan di atas, untuk kasus perubahan tarif pajak di tahun 2008 sesuai dengan UU No.36 Tahun 2008 mengakibatkan laporan keuangan perusahaan tahun 2008 pada saat itu harus disesuaikan dengan perubahan tarif pajak yang berlaku di tahun 2009. Saldo Pajak Tangguhan di laporan keuangan perusahaan tahun 2008 harus disajikan seolah-olah sudah menggunakan tarif pajak yang baru walaupun tarif pajak yang baru tersebut belum berlaku saat itu.

Bagaimana halnya dengan kasus perubahan tarif pajak sesuai dengan Perppu No.1 Tahun 2020 ini ? Apakah penerapannya sama ? Apakah hal tersebut juga mengakibatkan saldo Pajak Tangguhan di laporan keuangan perusahaan tahun 2019 harus disesuaikan juga ?

Kembali kepada ketentuan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46, menurut saya perubahan tarif pajak sesuai dengan Perppu No.1 Tahun 2020 tidak mengakibatkan penyesuaian terhadap saldo Pajak Tangguhan di Laporan Keuangan tahun 2019. Kenapa ? Hal ini karena Perppu No.1 Tahun 2020 diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2020, sudah lewat dari tanggal akhir periode pelaporan tahun 2019. Sedangkan untuk kasus perubahan tarif pajak di tahun 2008, peraturan pemerintah yaitu UU No.36 Tahun 2008 sudah diterbitkan dalam tahun 2008 (lihat kembali pengaturan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46) HRD ***

Saturday, April 4, 2020

Dengan PERPPU NO.1 TAHUN 2020, Tarif Pajak Korporasi Turun 3%

Sebagaimana yang kita ketahui, pandemi COVID-19 bukan hanya berdampak pada masalah kesehatan masyarakat saja, tetapi juga menjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Sebagai respons atas hal tersebut, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu No. 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Beberapa pertimbangan pemerintah sebagai dasar penerbitan Perppu No.1/2020 seperti yang dijelaskan dalam Perppu tersebut di antaranya adalah bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak terhadap memburuknya sistem keuangan (baca penjelasan selengkapnya pertimbangan-pertimbangan Pemerintah tersebut dalam Perppu No.1/2020 yang dapat diunduh di sini).

Berdasarkan berbagai pertimbangan seperti yang dijelaskan dalam Perppu No.1/2020, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan APBN.

Adapun salah satu kebijakan relaksasi yang diambil Pemerintah adalah melalui instrumen perpajakan seperti yang diatur dalam Bagian Ketiga - Kebijakan di Bidang Perpajakan dalam Perppu No.1/2020. Pasal 4 ayat (1) lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi :

  1. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
  2. perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);
  3. perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
  4. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Pasal 5 menetapkan bahwa penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi :
  1. sebesar 22% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
  2. sebesar 20% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022
Sejalan dengan penurunan tarif Pajak Penghasilan di atas, Ditjen Pajak (DJP) dalam siaran pers tanggal 3 April 2020 (link di sini) menegaskan bahwa sebagai akibat dari penurunan tarif Pajak Penghasilan sesuai Perppu No.1/2020 maka penghitungan dan setoran angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2020 dapat menggunakan tarif sebesar 22% mulai masa pajak SPT Tahunan 2019 disampaikan dan masa pajak setelahnya.

Bagi wajib pajak yang belum menyampaikan SPT Tahunan 2019 sampai dengan akhir Maret 2020 penghitungan dan setoran angsuran PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut :
  • Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Maret 2020 (yang disetorkan paling lambat pada 15 April 2020) adalah sama dengan angsuran pada masa pajak sebelumnya
  • Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak April 2020 (yang disetorkan paling lambat pada 15 Mei 2020) dihitung berdasarkan laba fiskal yang dilaporkan pada SPT Tahunan 2019, namun sudah menggunakan tarif baru yaitu 22 persen.
Demikian informasi terkait penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagai bagian dari kebijakan relaksasi di bidang perpajakan (HRD) ***

Wednesday, February 3, 2010

Penerapan tarif tunggal 28% dalam perhitungan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009

Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang baru yaitu UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mulai berlaku sejak 1 Januari 2009. Dengan demikian, untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 yang akan berakhir pada tanggal 30 April 2010 nantinya sudah harus mengacu ke UU No. 36 tahun 2008.

Salah satu perubahan penting dari UU Pajak Penghasilan ini adalah perubahan tarif pajak untuk WP Badan, dimana berdasarkan UU PPh yang berlaku sebelumnya (UU No. 17 tahun 2000), untuk tahun pajak 2008 dan sebelumnya tarif pajak yang berlaku untuk WP Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sesuai Pasal 17 ayat (1b) adalah sebagai berikut :

1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d Rp 50 juta dikenakan tarif 10%

2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 50 juta s.d Rp 100 juta dikenakan tarif 15%

3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 juta dikenakan tarif 30%

Kemudian, berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat (1b) diatur bahwa untuk penghasilan kena pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap dikenakan tarif sebesar 28%.

Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat 2a).

Sedangkan untuk WP Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif lebih rendah 5% (Pasal 17 ayat 2b).

Ketentuan tarif PPh untuk WP Badan Dalam Negeri selain diatur dalam Pasal 17 ayat (1b), juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 31E ayat (1) : Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Implementasi dari ketentuan Pasal 31E ayat (1) ini diatur lebih lanjut dalam bagian penjelasan.

Contoh 1 :

Peredaran Bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4,5 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta. Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif PPh yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4,8 miliar.

Perhitungan PPh yang terutang : (50% x 28%) x Rp 500 juta = Rp 70 Juta.

Contoh 2 :

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 Rp 30 Miliar dengan Penghasilan Kena Pajak Rp 3 Miliar.

Oleh karena jumlah peredaran bruto sudah melebihi Rp 4,8 Miliar, maka dalam menghitung PPh terutang harus dipisahkan antara bagian yang mendapat fasilitas dan bagian yang tidak mendapat fasilitas, dengan cara sebagai berikut :

(1) Jumlah Penghasilan Kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas : (Rp 4,8 miliar : Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480 juta.

(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas : Rp 3 miliar – Rp 480 juta = Rp 2.520.000.000

Setelah itu, dihitung jumlah PPh yang terutang :

(1) (50% x 28%) x Rp 480.000.000  =       67.200.000
(2) 28% x Rp 2.520.000.000           =     705.600.000 +
       ____________
  Jumlah PPh Terutang             =     772.800.000

Sedangkan, jika peredaran bruto sudah melebihi Rp 50 Miliar maka tidak mendapat fasilitas sehingga seluruh Penghasilan Kena Pajak dikenakan tarif 28%.

Sumber : Undang Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008

Saturday, May 2, 2009

Penghapusan Sanksi Administrasi bagi WP Orang Pribadi yang terlambat lapor SPT Tahunan

Harian Bisnis Indonesia terbitan tanggal 1 Mei 2009 kemarin memberitakan bahwa :

Ketentuan mengenai penghapusan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh Wajib Pajak (WP) orang pribadi (OP), sudah bisa dilaksanakan. Dirjen Pajak Darmin Nasution dalam surat 27 April 2009 No. S-128/PJ/2009, telah memberikan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk melaksanakan ketentuan itu. "Terhadap WP orang pribadi baru yang terlambat menyampaikan SPT yaitu menyampaikan SPT PPh OP tahun pajak 2008 dalam jangka waktu 1 April 2009 sampai dengan 31 Desember 2009, sanksi administrasi berupa denda dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan secara jabatan," kata Darmin dalam surat itu yang diterima Bisnis, kemarin.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU KUP (UU No. 28 tahun 2007) diatur bahwa :

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN, Rp 100.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp 1.000.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Badan serta sebesar Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi.

Melalui Surat No. S-128/PJ/2009 tanggal 27 April 2009 tersebut, Dirjen Pajak menyampaikan latar belakang kebijakan penghapusan sanksi administrasi tersebut bahwa dalam rangka pelaksanaan hak dan pemenuhan  kewajiban perpajakan, masih banyak Wajib Pajak, khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) baru yaitu WP OP yang memperoleh NPWP sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009, belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Disamping itu, sebagian WP juga belum menerima bukti pemotongan PPh 21 (Formulir 1721 A1 atau Formulir 1721 A2) dari pemberi kerja. Hal ini menyebabkan masih banyak WP OP tersebut belum menyampaikan SPT Tahunan PPh WP OP sesuai dengan batas waktu yang ditentukan (31 Maret 2009).

Dalam Surat No. S-128/PJ/2009 tersebut, Dirjen Pajak menegaskan (dalam angka 2) bahwa terhadap WP OP baru yang terlambat menyampaikan SPT yaitu menyampaikan SPT Tahunan PPh OP tahun pajak 2008 dalam jangka waktu tanggal 1 April 2009 sampai dengan 31 Desember 2009, berdasarkan kuasa Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP, sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU KUP dapat dipertimbangkan untuk dihapuskan secara jabatan.

Selanjutnya, dalam angka 3 disampaikan bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan STP atas keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh OP sebagaimana dimaksud pada angka 2 agar mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak atasannya untuk dapat menghapuskan sanksi tersebut secara jabatan.

Bahan referensi lainnya : baca di sini >>

Wednesday, April 15, 2009

Kapan Jatuh Tempo Pembayaran PPh 29 Tahun Pajak 2008 ?

Kapan batas akhir pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29 untuk tahun pajak 2008 ? Mungkin ini yang menjadi pertanyaan kita berkaitan dengan akan berakhirnya jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Wajib Pajak Badan pada 30 April 2009 nanti.

Kalau tahun-tahun sebelumnya, kita semua sudah tahu bahwa batas akhir pembayaran PPh pasal 29 Kurang Bayar adalah pada tanggal 25 Maret sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) yang menyatakan bahwa :

Apabila pajak yang terutang untuk suatu Tahun Pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke-tiga setelah Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) disampaikan.

Lihat juga ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 (UU KUP) yang menyatakan bahwa :

Apabila pada waktu pengisian SPT PPh ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum SPT Tahunan PPh itu disampaikan.  Misalnya, SPT Tahunan PPh harus disampaikan tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau setoran akhir harus sudah dilunasi paling lambat tanggal 25 Maret, sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.

Sedangkan berdasarkan UU Pajak yang berlaku untuk tahun pajak 2008, yaitu UU No. 28 Tahun 2007 (UU KUP), dalam Pasal 9 ayat (2) diatur bahwa :

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Artinya adalah bahwa untuk tahun pajak 2008, jika sekiranya ada kekurangan pembayaran PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh (baik untuk WP Orang Pribadi maupun untuk WP Badan), harus sudah dilunasi sebelum SPT Tahunan disampaikan, paling lama sesuai dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut.

Misalnya, untuk WP Orang Pribadi, sesuai dengan ketentuan dalam UU Pajak batas akhir penyampaian SPT Tahunan adalah 31 Maret, jika sekiranya SPT Tahunan disampaikan pada tanggal 31 Maret maka pelunasan hutang PPh 29 dapat dilakukan juga pada tanggal 31 Maret, dengan ketentuan harus sudah lunas sebelum SPT Tahunan disampaikan. Demikian juga halnya untuk WP Badan, jika sekiranya SPT Tahunan disampaikan pada tanggal 30 April, maka pembayaran hutang PPh 29 kurang bayar dapat dilakukan pada tanggal 30 April juga.

Referensi :

  1. Surat Dirjen Pajak : S-141/PJ.02/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 tentang Permohonan Penegasan Mengenai SPT PPh Badan Tahun 2008
  2. Surat Edaran Dirjen Pajak : SE-35/PJ/2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang Penegasan Mengenai Batas Waktu Penyampaian dan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak yang Terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008;