Thursday, August 26, 2010

IAPI Menolak Materi RUU Akuntan Publik

Sebelumnya, pada awal April 2010 Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik (RUU-AP) telah mendapat persetujuan Presiden RI untuk disampaikan kepada DPR guna dibahas dan disahkan. Kemudian, menyusul pada tanggal 7 Mei 2010, Pengurus Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) telah menyampaikan RUU-AP tersebut yang diterima dari Panitia Antar Departemen Penyusunan RUU-AP Kementrian Keuangan RI untuk ditanggapi oleh para anggota IAPI.

Selama beberapa bulan kemudian, materi dari RUU-AP in cukup ramai dibahas dan dibicarakan dalam Forum-KAP (Forkap). Banyak praktisi Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang merasa keberatan dengan isi dari RUU-AP tersebut.

Selanjutnya, pada tanggal 20 Agustus 2010 kemarin pengurus IAPI menerbitkan Press Release dengan judul "IAPI Menolak Materi RUU Akuntan Publik." (Download di sini : Press Release IAPI).

Di dalam Press Release tersebut, IAPI menyampaikan beberapa pengaturan dalam RUU-AP yang ditolak diantaranya adalah pengaturan mengenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 63 dan Pasal 64 RUU-AP, kemudian pengaturan mengenai akuntan publik asing sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 13 ayat (4). Selain itu, dalam Press Release tersebut juga dikemukakan bahwa IAPI berpendapat RUU tersebut tidak mencerminkan good governance yang baik. Prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi dan kesetaraan tidak tercermin dalam RUU tersebut.

Beberapa media massa kemudian juga ramai memberitakan mengenai masalah RUU-AP tersebut, diantaranya adalah Harian Seputar Indonesia dalam pemberitaannya yang dipublikasikan pada tanggal 22 Agustus 2010 dengan judul "Akuntan Tolak Materi RUU Akuntan Publik", menulis antara lain bahwa akuntan publik yang tergabung dalam Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menolak materia yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Akuntan Publik. Materi RUU tersebut dianggap dapat mengancam keberadaan profesi akuntan publik di masa mendatang. Setidaknya terdapat tiga hal yang dikritisi oleh IAPI, berdasarkan hasil Rapat Umum Anggota Luar Biasa (RUALB), dalam RUU yang tengah dibahas Pemerintah dan Komisi XI DPR RI, yakni mengenai aspek pengenaan sanksi pidana, pengaturan perizinan dan kewenangan pengaturan profesi oleh Menteri Keuangan, serta liberalisasi akuntan asing.

Lebih lanjut, pemberitaan di berbagai media massa tersebut dapat dibaca di bawah ini :

  1. Akuntan Tolak Materi RUU Akuntan Publik (Seputar Indonesia)
  2. IAPI dan IAI Tolak RUU Akuntan Publik (Jurnal Parlemen)
  3. IAPI keberatan sejumlah ketentuan RUU Akuntan Publik (Antara News)
  4. Akuntan Tolak Sanksi Dalam RUU Akuntan Publik (Hukum Online)
  5. Ikatan Akuntan Publik tolak RUU Akuntan Publik (Kontan Online)

Risiko yang dihadapi auditor dalam audit atas laporan keuangan

Dalam suatu penugasan audit, auditor selalu dihadapkan dengan yang namanya risiko audit. Walaupun suatu laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan tidak diaudit, selalu ada risiko yang melekat dalam laporan keuangan tersebut.

SPAP PSA Seksi 312 mendefinisikan risiko audit sebagai risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.

Dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan sebuah perusahaan, di samping risiko audit, auditor juga akan menghadapi risiko lainnya seperti risiko kerugian praktek profesionalnya akibat dari tuntutan pengadilan, publikasi negatif, atau peristiwa lain yang mungkin timbul berkaitan dengan audit atas laporan keuangan yang dilakukan.

Oleh karena itu, auditor harus selalu mempertimbangkan faktor risiko audit baik dalam tahap perencanaan audit, perancangan prosedur audit maupun dalam tahap evaluasi kewajaran penyajian laporan keuangan perusahaan.

SPAP SA Seksi 312 mengharuskan auditor untuk selalu merencanakan auditnya sedemikian rupa, sehingga risiko audit dapat dibatasi pada tingkat yang rendah, yang menurut pertimbangan profesionalnya, memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan.

Risiko audit dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

(a) Risiko Bawaan (Inherent Risk), adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait (maksudnya bahwa risiko bawaan timbul dengan asumsi pengedalian intern dalam perusahaan tidak ada. Jika sekiranya pengendalian intern dalam perusahaan memadai serta efektif dalam pelaksanaannya dengan sendirinya risiko bawaan akan dapat diminimalisasi). Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh, perhitungan yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Uang tunai dalam perusahaan lebih mudah dicuri daripada persediaan. Suatu akun dalam laporan keuangan yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data faktual. Perusahaan yang bergerak dalam bidang industri yang memproduksi barang-barang hi-tech seperti misalnya handphone akan lebih berisiko terjadinya penumpukan persediaan yang usang karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan pasar.

(b) Risiko Pengendalian (Control Risk), adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas desain dan operasi pengendalian intern untuk mencapai tujuan entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian intern.

(c) Risiko Deteksi (Detection Risk), adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut telah diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu bisa timbul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit. Ketidakpastian seperti ini dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai serta pelaksanaan praktek audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.

Seperti yang dijelaskan dalam SPAP PSA seksi 312 para. 28 bahwa risiko bawaan dan risiko pengendalian berbeda dengan risiko deteksi. Adapun risiko bawaan dan risiko pengendalian tetap ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.

Atau dengan rumus dapat dijabarkan seperti berikut : AR (Audit Risk) = IR X CR X DR

Baca juga referensi lainnya mengenai Audit Risk :  Audit Risk model, an introduction

Tuesday, August 24, 2010

Klasifikasi aset lancar dan tidak lancar menurut PSAK 1

Misalnya perusahaan memiliki saldo piutang ataupun persediaan yang belum direalisasikan setelah 12 bulan dari periode pelaporan, apakah harus diklasifikasikan sebagai Aset Lancar atau Tidak Lancar ?

Klasifikasi suatu aset apakah sebagai Aset Lancar atau Aset Tidak Lancar diatur dalam PSAK No. 1. Adapun PSAK No.1 yang masih berlaku sampai dengan saat ini adalah PSAK No. 1 (Revisi 1998), dan setelah tanggal 31 Desember 2010 nanti PSAK ini akan digantikan oleh PSAK No.1 (Revisi 2009) yang sudah mengadopsi IAS 1 : Presentation of Financial Statements per 1 Januari 2009.

PSAK No.1 (Revisi 2009) telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI pada tanggal 15 Desember 2009 dan akan mulai berlaku efektif untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setalah tanggal 1 Januari 2011.

Pengklasifikasikan suatu aset sebagai aset lancar atau tidak lancar dalam PSAK 1 (Revisi 2009) diatur dalam paragraf 63 yang menjelaskan bahwa entitas mengklasifikasikan aset sebagai aset lancar, jika :

(a) entitas mengharapkan akan merealisasikan aset, atau bermaksud untuk menjual atau menggunakannya dalam siklus operasi normal;

(b) entitas memiliki aset untuk tujuan diperdagangkan;

(c) entitas mengharapkan akan merealisasi aset dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan; atau

(d) kas atau setara kas (seperti yang dinyatakan dalam PSAK 2 (revisi 2009) : Laporan Arus Kas), kecuali aset tersebut dibatasi pertukaran atau penggunaannya untuk menyelesaikan liabilitas sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.

Entitas mengklasifikasikan aset yang tidak termasuk kategori tersebut sebagai aset tidak lancar.

Sedangkan PSAK 1 (Revisi 1998) yang masih berlaku sampai dengan 31 Desember 2010 nanti mengatur mengenai klasifikasi aset sebagai aset lancar, jika aset tersebut :

(a) diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu siklus operasi normal perusahaan; atau

(b) dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek dan diharapkan akan direalisasi dalam jangka waktu 12 bulan dari tanggal neraca; atau

(c) berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi.

Jika kita memperhatikan persyaratan pada butir (a) di atas baik pengaturan menurut PSAK 1 revisi 2009 ataupun PSAK 1 revisi 1998, maka atas saldo piutang ataupun persediaan yang biarpun belum direalisasikan dalam jangka waktu lebih dari 12 bulan tetap harus diklasifikasikan sebagai Aset Lancar karena termasuk dalam aset yang akan dijual, dikonsumsi atau direalisasikan sebagai bagian dari siklus operasi normal perusahaan meskipun aset tersebut tidak diharapkan untuk direalisasikan dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan (Hrd).

Tuesday, August 10, 2010

KOMPONEN LAPORAN KEUANGAN YANG LENGKAP, beda pengaturan PSAK No.1(1998) dengan PSAK No.1(2009)

PSAK No. 1 (Revisi 1998) : Penyajian Laporan Keuangan dalam paragraf 07 mengatur bahwa laporan keuangan yang lengkap terdiri atas komponen-kompenen berikut ini :

  1. neraca,
  2. laporan laba rugi,
  3. laporan perubahan ekuitas,
  4. laporan arus kas, dan
  5. catatan atas laporan keuangan.

Sedangkan menurut PSAK No. 1 (Revisi 2009) yang efektif mulai berlaku untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011, laporan keuangan yang lengkap harus meliputi komponen-komponen berikut ini :

  1. laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode
  2. laporan laba rugi komprehensif selama periode
  3. laporan perubahan ekuitas selama periode
  4. laporan arus kas selama periode
  5. catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lain; dan
  6. laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

Jika kita bandingkan persyaratan menurut PSAK No.1 (revisi 1998) dengan PSAK No. 1 (revisi 2009), kita dapat melihat adanya perbedaan untuk persyaratan laporan laba rugi dimana menurut PSAK No. 1 (revisi 2009), entitas harus menyajikan laporan laba rugi komprehensif.

Adapun format laporan laba rugi komprehensif yang dimaksud adalah laporan laba rugi seperti yang disajikan dalam praktek penyajian laporan keuangan selama ini yang sesuai dengan PSAK No.1 (revisi 1998) ditambah dengan pendapatan komprehensif lain yang berisikan pos-pos pendapatan dan beban (termasuk penyesuaian reklasifikasi) yang tidak diakui dalam laporan laba rugi.

Yang termasuk ke dalam komponen pendapatan komprehensif lain menurut PSAK No.1 (revisi 2009) adalah mencakup :

  1. perubahan dalam surplus revaluasi (lihat PSAK 16 (revisi 2007) : Aset Tetap dan PSAK 19 (revisi 2009) : Aset Tidak Berwujud)
  2. keuntungan dan kerugian aktuarial atas program manfaat pasti yang diakui sesuai dengan PAK 24 : Imbalan Kerja
  3. keuntungan dan kerugian yang timbul dari penjabaran laporan keuangan dari entitas asing (lihat PSAK 10 (revisi 2009) : Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing)
  4. keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan yang dikategorikan sebagai ‘tersedia untuk dijual’ (lihat PSAK 55 (revisi 2006) : Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran)
  5. bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas (lihat PSAK 55 (revisi 2006) : Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran)

Penyesuaian reklasifikasi adalah jumlah yang direklasifikasi ke bagian laba rugi periode berjalan yang sebelumnya diakui dalam pendapatan komprehensif lain pada periode berjalan atau periode sebelumnya.

Misalnya adalah penyesuaian reklasifikasi atas pelepasan kegiatan usaha luar negeri sesuai dengan PSAK 10 : Transaksi Dalam Mata Uang Asing ataupun penghentian pengakuan aset keuangan yang dikategorikan sebagai ‘tersedia untuk dijual’ sesuai dengan PSAK 55 (revisi 2006) : Instrumen Keuangan – Pengakuan dan Pengukuran.

Perbedaan lain untuk kriteria laporan keuangan yang lengkap menurut PSAK 1 (revisi 1998) dengan PSAK 1 (revisi 2009) adalah dalam butir (f) yang mengharuskan entitas untuk menyajikan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

Jika, misalnya pada tahun 2009 sebuah perusahaan melakukan restatement laporan keuangan ataupun mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya, maka perusahaan tersebut harus menyajikan 3 (tiga) laporan posisi keuangan atau neraca yaitu masing-masing neraca per 31 Desember 2009 dengan perbandingan neraca per 31 Desember 2008 serta neraca per 1 Januari 2008 (HRD).