Showing posts with label Kontrak Konstruksi. Show all posts
Showing posts with label Kontrak Konstruksi. Show all posts

Wednesday, August 13, 2008

Akhirnya, PPh Jasa Konstruksi kembali bersifat FINAL

Sebelumnya saya sudah pernah memposting tulisan berkaitan dengan rencana pemerintah untuk kembali memberlakukan PPh Final atas Jasa Konstruksi, dimana terakhir berdasarkan PP No. 140/2000, pemerintah menerapkan tarif umum (dikenakan PPh Pasal 23 ataupun PPh Pasal 25) untuk penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawasan dan perencanaan serta konsultan, kecuali yang omsetnya Rp 1 miliar ke bawah. (baca di sini :  PPh Jasa Konstruksi akan kembali bersifat FINAL).

Sekitar akhir tahun 2007 kemarin, Dirjen Pajak telah mengambil ancang-ancang untuk memberlakukan tarif Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi dan rencananya akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008.

Rencana ini kemudian menimbulkan reaksi pro dan kontra dari kalangan pengusaha jasa konstruksi.

Akhirnya, pada tanggal 20 Juli 2008 dengan menerbitkan PP No. 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, pemerintah benar-benar merealisasikan rencana pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi tersebut.

Dalam bagian penjelasan dipaparkan bahwa keputusan pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi ini ditujukan agar kondisi usaha Jasa Konstruksi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi. Dimana untuk itu, perlu diberikan perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi yaitu dengan dikenakan pajak yang bersifat final.

Perlakuan tersendiri tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan PPh sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi Wajib pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Pasal 2 PP No. 51 tahun 2008 mengatur bahwa atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final.

Pasal 3 mengatur mengenai tarif PPh yang dikenakan masing-masing :

· 2 % untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil, 4 % bagi Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha kecil serta 3 % bagi Penyedia Jasa lainnya;

· 4 % untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha serta 6 % bagi Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Pasal 5 mengatur bahwa PPh Final tersebut dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak atau disetor sendiri oleh Penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan pemotong pajak.

PP No. 51 tahun 2008 ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur bahwa untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh dilakukan berdasarkan PP No. 140 tahun 2000 dan untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh dilakukan berdasarkan PP No. 51 tahun 2008 ini.

Selain itu, dalam Pasal 10 ayat (2) juga diatur bahwa kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan tahun pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan tahun pajak 2008.

Berikut saya lampirkan softcopy PP No. 51 tahun 2008 serta PP No. 140 tahun 2000. Silahkan klik di sini untuk download : PP No. 51 tahun 2008 serta  PP No. 140 tahun 2000

Friday, April 4, 2008

Akuntansi Kontrak Konstruksi berdasarkan PSAK No. 34

Berdasarkan PSAK No. 34 mengenai Akuntansi Kontrak Konstruksi diatur mengenai syarat pengakuan dan pencatatan pendapatan dan biaya kontrak untuk pekerjaan kontrak konstruksi yaitu :

Paragraf 20

Bila hasil (Outcome) kontrak konstruksi dapat diestimasi secara andal, pendapatan kontrak dan biaya kontrak yang berhubungan dengan kontrak konstruksi harus diakui masing-masing sebagai pendapatan dan beban dengan memperhatikan tahap penyelesaian aktivitas kontrak pada tanggal neraca (percentage of completion).”

Paragraf 23

Menurut metode ini, pendapatan kontrak dihubungkan dengan biaya kontrak yang terjadi dalam mencapai tahap penyelesaian tersebut, sehingga pendapatan, beban, dan laba yang dilaporkan dapat diatribusikan menurut penyelesaian pekerjaan secara proporsional.”

Tahap penyelesaian suatu kontrak (percentage-of-completion) dapat ditentukan dengan berbagai cara (PSAK No. 34 par. 28). Perusahaan menggunakan mteode yang mengukur secara andal pekerjaan yang dilakukan. Bergantung pada sifat kontrak, metode tersebut antara lain meliputi :

1. proporsi biaya kontrak untuk pekerjaan yang dilaksanakan sampai tanggal total biaya kontrak yang diestimasi;

2. survei atas pekerjaan yang telah dilaksanakan; dan

3. penyelesaian suatu bagian secara fisik dari pekerjaan kontrak.

Yang paling banyak dipergunakan adalah cost-to-cost method (proporsi biaya kontrak untuk pekerjaan yang dilaksanakan sampai tanggal total biaya kontrak yang diestimasi). Dengan metode ini, tingkat persentase penyelesaian ditentukan dengan membandingkan biaya actual yang terjadi dengan estimasi total biaya keseluruhan untuk menyelesaikan pekerjaan.

Berikut ini contoh kasus atas penerapan PSAK No.34 dengan menggunakan metode tahap penyelesaian aktivitas kontrak (percentage of completion) cost-to-cost method :

Pada tahun 2005, PT ABC menerima pekerjaan konstruksi dengan nilai kontrak $3.000. Estimasi biaya penyelesaian pekerjaan berdasarkan kontrak $2.600. Berarti, estimasi laba kotor $400. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan selama 3 tahun.

Year

(1)
Actual Cost
Incurred

(2)
Estimated cost
to complete

(3)
Total Cost
(1) + (2)

(4)
Cost %
(1)/(3)

2005 $  1.040 $ 1.560   $ 2.600 *    40 %
2006  $     910
Total $  1.950 $    650   $ 2.600 *    75 %
2007  $     650
Total  $  2.600  $       0   $ 2.600 **   100 %

*) Estimated total contract cost

**) Actual total contract cost

Melanjutkan kasus di atas, biaya actual yang terjadi (actual direct and indirect cost), tagihan atas termin pekerjaan yang selesai (progress billing) serta penerimaan hasil penagihan (collection) selama tahun 2005, 2006 dan 2007 sebagai berikut :

 

Year

Direct & Allocable Indirect Cost

 

Progress Billings

 

Collections

2005   $  1.040   $  1.000   $     800
2006   $     910   $     900   $     850
2007   $     650   $  1.100   $  1.350
Total   $  2.600   $  3.000   $  3.000

Catatan : Dalam praktek, jumlah hasil penagihan (collections) sering lebih kecil dibandingkan dengan penagihan yang dilakukan (billings) karena pada umumnya, pelanggan selalu menahan jumlah tertentu sebagai retensi sampai pekerjaan benar-benar selesai.

Ayat jurnal untuk membukukan transaksi-transaksi di atas sebagai berikut :

 

2005

2006

2007

Construction in Progress
Cash,Material Used,etc
(to record actual cost incurred)
1.040
      1.040
   910
       910
  650
        650
Account Receivable 
   Progress Billing on    
    Construction Contract
(to record billings)
1.000     

      1.000
   900       

       900
1.100   

      1.100
Cash  
    Account Receivable
(to record cash collection)
   800
        800
  850
       850
1.350
     1.350

Catatan : akun Construction in Progress (Pekerjaan dalam Proses) merupakan jumlah biaya-biaya yang terjadi dan disajikan di Neraca dalam kelompok Aktiva Lancar dalam nilai bersih setelah dikurangi dengan penagihan berdasarkan Progress Billing.

AKTIVA LANCAR    
  Account Receivable     $ 250.000
  Construction in Progress $ 1.950.000  
  Less : Progress billings    
    on Const.Contract  $(1.900.000)   $   50.000

Jika penagihan (progress billings) melebihi biaya konstruksi yang terjadi (construction in progress), maka kelebihan tersebut dibukukan sebagai Kewajiban Lancar di Neraca.

Dengan cost-to-cost method, pencatatan nilai penjualan (revenue) adalah berdasarkan perhitungan proporsi biaya kontrak pada table di atas yaitu 40 % untuk tahun 2005, 75 % tahun 2006 dan 100 % tahun 2007.

Nilai kontrak $3.000.

Persentase penjualan tahun 2005 = 40 % x $3.000 = $1.200

Persentase penjualan tahun 2006 = 75 % x $3.000 = $2.250, yang sudah diakui di tahun 2005 $1.200, berarti yang dibukukan di tahun 2006 sebesar $1.050.

Persentase penjualan tahun 2007 = 100 % x $3.000 = $3.000, yang sudah diakui di tahun 2006 & 2005 sebesar $2.250, berarti yang dibukukna di tahun 2007 $750

Ayat jurnal untuk mencatat penjualan yang diakui sebagai berikut :

2005

2006

2007

Cost of Long-term
  Constr. Contract

1.040

  910

   650
Constr. in Progress
(Recognized Profit)

    160    

  140

   100
   Revenue from
    Long-term
    Constr. Contract
 

       1.200


      1.050


        750

Recognized profit setiap tahun pada saat pencatatan penjualan dan HPP ditambahkan pada akun Construction in Progress di Neraca.

Perlu dicatat bahwa prosedur yang dipergunakan dalam pencatatan revenue (penjualan) pada percentage-of-completion method tidak mempengaruhi progress billing yang dibuat ataupun hasil penagihan (collections) karena jumlah penjualan yang diakui adalah berdasarkan nilai kontrak dan bukan berdasarkan metode akuntansi yang dipergunakan.

Illustrasi saldo Construction in Progress di Neraca sebagai berikut :

Biaya actual yang terjadi   $  125.000
Ditambah : Laba yang diakui   $    45.000
J u m l a h   $  170.000
Dikurangi : Penagihan (Progress billing)   $  (65.000)
Saldo Construction in Progress   $  105.000

Lebih lanjut, dalam paragaf 36 PSAK No. 34 diatur mengenai dasar perlakuan akuntansi atas perubahan estimasi sebagai berikut :

Metode persentase penyelesaian diterapkan secara kumulatif dalam setiap periode akuntansi. Oleh karena itu, pengaruh perubahan dalam estimasi pendapatan kontrak dan biaya kontrak, dipertanggungjawabkan sebagai perubahan dalam estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi. Perubahan estimasi digunakan sebagai dasar dalam penentuan jumlah pendapatan dan beban yang diakui dalam laporan laba rugi dalam periode di mana perubahan tersebut terjadi dan periode selanjutnya.”

Dalam paragraph 37 – 42 PSAK No. 34 diatur mengenai pengungkapan dalam laporan keuangan sebagai berikut :

Perusahaan harus mengungkapkan :

· jumlah pendapatan kontrak yang diakui sebagai pendapatan dalam periode berjalan;

· metode yang digunakan untuk menentukan pendapatan kontrak yang diakui dalam periode;

· metode yang digunakan untuk menentukan tahap penyelesaian kontrak.

Perusahaan harus mengungkapkan hal-hal berikut untuk pekerjaan dalam proses penyelesaian pada tanggal neraca :

· jumlah akumulasi biaya yang terjadi dan laba yang diakui (dikurangi kerugian yang diakui) sampai tanggal neraca;

· jumlah uang muka yang diterima; dan

· jumlah retensi.

Perusahaan harus menyajikan :

· jumlah tagihan bruto kepada pemberi kerja sebagai asset; dan

· jumlah utang bruto kepada pemberi kerja sebagai kewajiban.

Jumlah tagihan bruto kepada pemberi kerja untuk pekerjaan kontrak adalah selisih antara :

· biaya yang terjadi ditambah laba yang diakui; dikurangi

· jumlah kerugian yang diakui dan termin (progress billings)

untuk semua pekerjaan dalam proses dimana biaya yang terjadi ditambah laba yang diakui (dikurangi kerugian yang diakui) melebihi termin (progress billings).

Jumlah utang bruto kepada pemberi kerja adalah selisih antara :

· biaya yang terjadi ditambah laba yang diakui; dikurangi

· jumlah kerugian yang diakui dan termin (progress billings)

untuk semua kontrak dimana termin (progress billings) melebihi biaya yang terjadi ditambah laba yang diakui (dikurangi kerugian yang diakui).

Perusahaan mengungkapkan setiap keuntungan dan kerugian kontinjen sesuai dengan PSAK No. 57 tentang Kewajiban Diestimasi, Kewajiban Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi. Keuntungan dan kerugian kontinjensi mungkin timbul dari pos-pos tertentu seperti biaya jaminan, klaim, denda, dan kemungkinan kerugian lainnya. (Hrd).

Friday, March 7, 2008

PPh Jasa Konstruksi akan kembali bersifat FINAL

Sekitar akhir tahun 2007 kemarin, Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan telah mengambil ancang-ancang untuk memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi menjadi 3% dari omzet dan rencananya akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008.

Rencana tersebut langsung membuat para pengusaha jasa konstruksi tersenyum lebar. Lho, bukankah tarif pajaknya naik ? Kok malah senang ? Kenapa tidak ? Karena yang membuat para pengusaha lega adalah mereka akan kembali menikmati tarif pajak penghasilan final seperti yang pernah mereka nikmati di tahun 1997. Bagi mereka, pengenaan pajak final selain memudahkan administrasi juga memberikan kepastian lebih tinggi.

Tetapi, apakah benar semua pengusaha jasa konstruksi menyambut baik rencana penerapan PPh final 3% tersebut ? Ternyata tidak.

PT Adhi Karya Tbk, salah satu perusahaan besar jasa konstruksi mengeluhkan wacana penerapan pajak final oleh pemerintah sebesar 3% dari penghasilan kepada perusahaan jasa konstruksi. “Dalam dunia konstruksi, margin laba bersih sangat tipis, hanya 2%-3% dari penghasilan. Praktis bila pajak final diterapkan, tidak ada perusahaan konstruksi yang bisa meraup keuntungan. Kami minta pemerintah tak menerapkan pajak final,” ujar Corporate Secretary Adhi Karya, Kurnadi Gularso.

Selain itu, Ketua Gapeksindo (Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia) Jatim, H.Gatut Prasetya, juga mengeluhkan rencana pengenaan PPh final 3% tersebut. Menurutnya, kenaikan PPh final untuk jasa konstruksi menjadi 3% akan memberatkan. Misalnya untuk daerah Jatim, sekitar 90% dari total 1.485 perusahaan yang menjadi anggota Gapeksindo Jatim adalah pengusaha kecil. PPh final yang langsung dipotong dari nilai proyek akan sangat membebani pengusaha khususnya pengusaha kecil. Jika terpaksa, pajak sebesar itu bisa diberlakukan hanya untuk pengusaha besar. Sementara untuk pengusaha kecil dia mengusulkan dikenakan tarif PPh final 1,5%. Menurut perhitungan Gapeksindo, pengusaha jasa konstruksi dengan pengerjaan proyek Rp 1 miliar tidak akan bisa survive jika menanggung tarif PPh tersebut.

Sebagai gambaran dengan nilai proyek Rp 1 miliar, keuntungan yang bisa diraih pengusaha 10% atau Rp 100 juta per tahun. Maka dengan PPh final sebesar 3% keuntungan yang dipotong mencapai Rp 30 juta. Sisa Rp 70 juta tidak cukup untuk menanggung biaya operasi perusahaan dalam setahun.

Sedangkan bagi Ditjen Pajak sendiri, penerapan pajak final akan berdampak positif bagi peningkatan kinerja dirjen pajak. Karena sistim final akan menghemat tenaga pemeriksa. Namun diatas itu, Ditjen Pajak yakin sistim final akan mampu mendongkrak penerimaan dari segi pajak.

Menurut Dirjen Pajak Darmin Nasution, bahwa “penerapan PPh final dengan pertimbangan, hampir semua pemborong saat ini berbuat curang. Biasanya aparat pajak kesulitan untuk mengaudit Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) mereka. Para kontraktor juga bisa dengan mudah menggunakan faktur bermacam-macam sebagai pemberat ongkos operasional. Maka kami putuskan untuk memfinalkan saja PPh-nya sebesar 3%. Selain itu, untuk mempermudah penghimpunan”.

Darmin sendiri optimis bahwa pengusaha tidak akan menentang perubahan kebijakan ini. Pasalnya, Ditjen Pajak merasa telah melakukan serangkaian sosialisasi kepada para pengusaha. Sehingga sebagian besar bisa memahami kebijakan tersebut. Terlebih, pada tahun 1995 sampai 1998 pemerintah pernah menerapkan kebijakan ini meskipun dengan tarif final 2%.

Tapi karena terjadi krisis pada tahun 1998, pemerintah menghapus kebijakan ini sebagai insentif bagi pengusaha jasa konstruksi. Yang terkena pajak hanya pengusaha yang beromset di bawah Rp 1 miliar. Sedangkan pengusaha menengah besar mengikuti PPh dengan tariff progresif sesuai omset.

Sekarang, Ditjen Pajak yakin kondisi pengusaha sudah pulih. Hal ini terlihat dari maraknya pembangunan gedung di berbagai tempat. Darmin juga meyakini kebijakan baru ini bisa meraup tambahan setoran pajak penghasilan hingga triliunan rupiah.

Sependapat dengan Ditjen Pajak, Ketua Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Malkan Amin menyatakan sangat setuju dengan pengenaan pajak final tersebut. “Justru kami-lah yang mengusulkan pajak final itu”.

Anggota LPJK dari dulu memang berjuang agar dikenakan pajak final saja. Di masa lalu, jasa konstruksi dikenakan pajak progresif. Artinya, pajak hanya dikenakan kepada perusahaan yang untung, sedangkan untuk perusahaan yang rugi tidak bayar pajak. Tapi kenyataannya, sistim itu justru merugikan perusahaan jasa konstruksi. “Dari kajian yang kami lakukan, penetapan pajak progresif ini memberatkan perusahaan jasa konstruksi. Anggota kami banyak yang dipermainkan oleh petugas pajak,” kata Malkan yang juga anggota DPR ini.

“Seringkali laporan keuangan jasa konstruksi tidak dipercaya petugas pajak. Ibaratnya sudah benar pun masih ada saja yang salah. Kami diobok-obok, dicari-cari persoalan,” katanya. Untuk menghindari hal itu, maka kami sepakat lebih baik pajak yang bersifat final. “Langsung dipotong dari kontrak yang kita tandatangani. Beres sudah. Permainana dari oknum petugas pajak tidak memungkinkan lagi,” katanya.

Sejarahnya, usulan PPh final untuk jasa konstruksi mengemuka saat Gapeksi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia) mengadakan kongres di Surabaya. Dirjen Pajak yang menjabat saat itu, Fuad Bawazier, yang hadir pada acara itu langsung ditodong untuk memberlakukan PPh Final bagi pengusaha jasa konstruksi.

Hasilnya, pada akhir Desember 1996 terbit Peraturan Pemerintah No. 73/1996 tentang PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan. Dalam PPh tersebut ditetapkan atas imbalan jasa pelaksana konstruksi dikenakan PPh final sebesar 2% dari nilai bruto, sedangkan untuk jasa perencanaan, pengawasan konstruksi dan konsultan dikenakan tarif 4%.

Pengenaan PPh final sector konstruksi, menurut PP No. 73/1996 tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun, fakta yang sebenarnya, Ditjen Pajak sendiri pusing setiap kali memeriksa pembukuan perusahaan jasa konstruksi yang acap kali kacau balau.

Bagi wajib pajak, PPh final sangat menguntungkan pada saat ekonomi tumbuh bagus. Sebab pada kondisi demikian, mereka umumnya mampu meraup laba besar. Pengenaan PPh final yang sifatnya flat terhadap penghasilan bruto jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan tarif progresif 10%, 15% dan 30% sebagaiman diatur dalam Pasal 17 UU PPh.

Sebaliknya, tarif PPh final akan merugikan wajib pajak pada saat keadaan perekonomian menurun atau pada saat mereka menderita kerugian. Karena pengenaan PPh final dikenakan terhadap penghasilan bruto, bukan penghasilan neto. Sedangkan, jika kondisi perusahaan merugi jika menggunakan tarif progresif dengan sendirinya tidak akan dikenakan pajak. Selain itu, mereka juga akan kehilangan hak untuk melakukan kompensasi kerugian yang dialami.

Alasan ini jugalah yang kemudian mendasari digantinya PP No. 73/11996 yang bersifat final dengan PP No. 140/2000 yang menerapkan tarif umum untuk penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawasan dan perencanaan serta konsultan, kecuali mereka yang omzetnya di bawah Rp 1 miliar (Hrd).