Monday, March 24, 2008

Perubahan jumlah penghasilan bruto bagi WP yang wajib mengisi SPT 1770SS

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-161/PJ/2007 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana Tahun 2007, dalam Pasal 2 ditentukan bahwa SPT Pajak Penghasilan Formulir 1770 SS diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak melebihi dari Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi. Lihat posting saya sebelumnya dengan judul  Karyawan punya NPWP wajib lapor SPT Tahunan

Kemudian, berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-8/PJ/2008 tanggal 13 Maret 2008, batas penghasilan WP yang wajib mengisi SPT 1770 SS dirubah menjadi tidak lebih dari Rp 48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah).

Selengkapnya bunyi Pasal 2 Peraturan Dirjen Pajak No. PER-8/PJ/2008 tersebut sebagai berikut :

Pasal 2

“SPT Pajak Penghasilan ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp 48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi”.

Saturday, March 22, 2008

Auditor boleh memberikan opini tersendiri untuk laporan keuangan induk atas audit laporan konsolidasian ?

Melalui milis FORKAP (Forum Kantor Akuntan Publik), saya memperoleh informasi bahwa pada tanggal 10 Maret 2008 yang lalu, Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB) telah menerbitkan surat yang dikirimkan kepada para wajib pajak yang terdaftar pada KPP tersebut. Inti dari isi surat tersebut adalah himbauan kepada WP yang merupakan Perusahaan Terbuka untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh KAP beserta opini auditor yang diperuntukkan khusus untuk perusahaan induk.

Berikut kutipan isi surat tersebut :

Sehubungan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Tahunan PPh Pasal 21 tahun pajak 2007 yang jatuh tempo pada tanggal 31 Maret 2008, maka dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Sesuai dengan Pasal 2 angka (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-214/PJ./2001 tentang Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan disebutkan bahwa Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri (bukan Neraca dan Laporan Laba Rugi Konsolidasi grup) beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal yang harus disampaikan pada SPT Tahunan PPh Badan.

2. Sesuai dengan Ayat (1) huruf c Pasal 68 Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa “Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila perseroan merupakan Perseroan Terbuka”. Dengan demikian :

a. Bagi Wajib Pajak yang merupakan Perseroan Terbuka (Tbk) diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit beserta opini audit sebagai dasar pengisian SPT Tahunan PPh Badan;

b. Bagi perusahaan induk, dihimbau untuk menyampaikan laporan keuangan yang diaudit beserta opini audit yang diperuntukkan khusus untuk perusahaan induk (tidak termasuk anak-anak perusahaan);

c. Apabila audit laporan keuangan belum selesai dilakukan sampai dengan saat tanggal berakhirnya penyampaian SPT Tahunan, maka Saudara dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan dengan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan 1770-Y (Sementara).

Jika kita perhatikan Surat dari KPP PMB tersebut yang mengharuskan WP melampirkan laporan keuangan induk (atas laporan keuangan konsolidasian) dalam SPT Tahunan PPh Badan yang dilengkapi dengan opini auditor (tersendiri/khusus untuk perusahaan induk) atas laporan keuangan induk jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang tidak memperbolehkan adanya opini tersendiri untuk laporan keuangan perusahaan induk saja atas laporan keuangan konsolidasian. PSAK menegaskan bahwa pada dasarnya induk perusahaan yang memenuhi kriteria konsolidasi tidak boleh menyajikan tersendiri laporan keuangannya (tanpa konsolidasi) karena hanya ada satu laporan keuangan yang berlaku umum, yaitu laporan keuangan konsolidasi.

Paragraf 16 PSAK No. 4 mengenai Laporan Keuangan Konsolidasi menyatakan bahwa :

Apabila dipenuhi kriteria konsolidasi, maka laporan keuangan konsolidasi wajib disusun. Untuk tujuan pelaporan keuangan, induk perusahaan yang memenuhi kriteria konsolidasi tidak boleh menyajikan tersendiri laporan keuangannya (tanpa konsolidasi) karena hanya ada satu laporan keuangan yang berlaku umum (general purpose financial statement), yaitu laporan keuangan konsolidasi. Akan tetapi, laporan keuangan tersendiri boleh disajikan apabila bertujuan untuk memberikan informasi tambahan bagi pengguna laporan keuangan konsolidasi. Dalam laporan keuangan induk perusahaan yang disajikan tersendiri tersebut, penyertaan pada anak perusahaan harus dipertanggung jawabkan dengan menggunakan metode ekuitas.

Sedangkan SPAP – SA Seksi 9551 mengenai Pelaporan Auditor Atas Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Induk Perusahaan saja: Interpretasi SA Seksi 551 mengatur bahwa jika suatu kantor akuntan publik melakukan audit atas laporan keuangan konsolidasian dan pemakai laporan audit selain memerlukan pendapat auditor atas laporan keuangan konsolidasian juga membutuhkan pendapat auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja (parent company only) harus mengacu pada PSA No. 36 (SA Seksi 551 Pelaporan atas Informasi yang Menyertai Laporan Keuangan Pokok dalam Dokumen yang Diserahkan oleh Auditor).

Opini auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja boleh diberikan auditor sebatas tidak terpisah dari opini atas laporan keuangan konsolidasian dan disajikan dalam paragraf tersendiri (sebagai informasi tambahan) setelah paragraf opini auditor atas laporan konsolidasian.

Illustrasinya adalah sebagai berikut :

Paragraf ke-3 Opini auditor atas laporan keuangan konsolidasian :

Menurut pendapat kami, laporan keuangan konsolidasian yang kami sebut diatas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan perusahaan KXT dan anak perusahaannya tanggal 31 Desember 20X2, dan 20X1, dan hasil usaha, serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Paragraf ke-4 Opini auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja

Audit kami laksanakan dengan tujuan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan pokok secara keseluruhan. Laporan keuangan induk perusahaan disajikan untuk tujuan analisa tambahan dan bukan merupakan bagian laporan keuangan pokok yang diharuskan menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Laporan keuangan induk perusahaan tersebut telah menjadi objek prosedur audit yang kami terapkan dalam audit atas laporan keuangan pokok, dan, menurut pendapat kami, disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, berkaitan dengan laporan keuangan pokok secara keseluruhan.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia tidak memperbolehkan adanya opini tersendiri khusus untuk laporan keuangan induk perusahaan saja seperti yang dipersyaratkan oleh KPP PMB tersebut. Jadi, bagaimana KAP dan IAPI menanggapi hal tersebut ? (Hrd).

Wednesday, March 19, 2008

Perlakuan Akuntansi dan Perpajakan atas BIAYA PRA-OPERASI (Pre-operating Cost)

Berdasarkan pengalaman, sampai dengan saat ini masih banyak praktisi akuntansi di perusahaan-perusahaan yang keliru memperlakukan biaya pra-operasi dalam pelaporan keuangannya. Sering ditemukan biaya pra-operasi yang timbul sebelum perusahaan beroperasi secara komersial, tanpa pilih-pilih, langsung dimasukkan semuanya sebagai Biaya Ditangguhkan di Neraca.

Jelas, praktek seperti ini keliru sekali.

Menurut PSAK No. 6 mengenai Akuntansi dan Pelaporan bagi Perusahaan dalam Tahap Pengembangan, dalam paragraf 5 diatur secara jelas bahwa :

Prinsip akuntansi yang berlaku umum berlaku bagi setiap perusahaan dalam tahap pengembangan (pra-operasi) baik dalam pengakuan pendapatan maupun dalam menentukan apakah biaya dibukukan sebagai beban pada periode berjalan, atau ditangguhkan pembebanannya (dikapitalisasi) untuk disusutkan/diamortisasi selama beberapa periode sesuai dengan pemulihan manfaatnya di masa depan. Penangguhan pembebanan tersebut hanya terbatas pada biaya-biaya yang memiliki manfaat di masa depan yang antara lain meliputi beban pendirian perusahaan.

Dari paragraf di atas, jelas bahwa tidak semua biaya yang timbul selama perusahaan masih dalam kondisi pra-operasi dapat ditangguhkan (dikapitalisasi). Penangguhan pembebanan hanya diperbolehkan sebatas untuk biaya yang nyata-nyata dapat memberikan manfaat untuk lebih dari satu periode akuntansi. Untuk biaya yang tidak memenuhi kriteria tersebut seperti misalnya biaya kantor dan biaya umum harus langsung dibebankan dalam laporan laba rugi tahun berjalan.

Peraturan Perpajakan juga mengatur perlakuan pencatatan fiskal atas biaya pra-operasi. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir dengan UU No. 17 tahun 2000 Pasal 11A ayat (6) dijelaskan bahwa :

Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Kemudian, dalam bagian Penjelasan diuraikan lebih jauh bahwa dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial (yang dapat dikapitalisasi/ditangguhkan) adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan, tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran (Hrd).

Monday, March 17, 2008

Membukukan Persediaan Dalam Perjalanan

Bagaimana mekanisme pencatatan dan pengakuan Persediaan Dalam Perjalanan dalam laporan keuangan sebuah perusahaan ? Jika sekiranya kita melakukan pemesanan barang untuk Persediaan/Stock di gudang, apakah kalau sampai dengan tanggal tutup buku (tanggal neraca) barang tersebut belum diterima, harus dibukukan sebagai Persediaan Dalam Perjalanan ? Bagaimana cara membedakan Persediaan dan Persediaan Dalam Perjalanan.

Untuk mengetahui apakah suatu transaksi pemesanan/pembelian barang dapat diklasifikasikan sebagai Persediaan atau Persediaan Dalam Perjalanan, kita harus memperhatikan hal berikut :

Persediaan dibukukan jika telah terjadi penerimaan barang (oleh bagian gudang misalnya) yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen/bukti penerimaan barang, sedangkan Persediaan Dalam Perjalanan diakui dan dibukukan jika barang telah dikirim oleh penjual tetapi belum diterima oleh pembeli.

Dalam mempertimbangkan apakah suatu transaksi pembelian harus dibukukan sebagai Persediaan Dalam Perjalanan, menurut saya, kita harus memperhatikan syarat penjualan yang tercantum di kontrak jual beli. Jika syarat penjualan adalah franco gudang penjual  (transaksi jual beli telah dianggap terjadi begitu barang dikeluarkan dari gudang penjual) berarti jika barang belum kita terima tetapi sudah dikirim dari gudang penjual, maka bagian pembukuan berdasarkan bukti ataupun pemberitahuan pengiriman barang dari penjual harus membukukan transaksi tersebut sebagai Persediaan Dalam Perjalanan dalam kelompok Aset Lancar di Neraca.

Kenapa harus dibukukan sebagai Aset ? Bukankah barang yang dibeli belum kita terima ?

Ya, karena sesuai dengan syarat penjualan di atas yaitu franco gudang penjual berarti risiko dan manfaat kepemilikan barang sudah berpindah ke tangan pembeli begitu barang dikeluarkan dari gudang penjual. Atau dengan bahasa awamnya, barang yang dibeli sudah sah menjadi milik pembeli begitu keluar dari gudang penjual walupun fisik barang belum diterima.

Lantas, kalau sekiranya syarat penjualan franco gudang pembeli, kapan pengakuan Persediaan Dalam Perjalanan-nya ?

Kalau syarat penjualan adalah franco gudang pembeli dengan sendirinya tidak akan ada pencatatan/pengakuan Persediaan Dalam Perjalanan.

Kenapa demikian ? Karena kalau franco gudang pembeli berarti sebelum barang diterima oleh pembeli (walaupun barang sudah keluar dari gudang penjual) risiko dan manfaat kepemilikan barang belum berpindah ke tangan pembeli sehingga transaksi jual beli sama sekali belum dianggap terjadi.

PROSEDUR PEMERIKSAAN PERSEDIAAN DALAM PERJALANAN

Kalau kita sebagai pemeriksa (auditor), prosedur apa yang harus kita laksanakan untuk mengidentifikasi kebenaran pencatatan Persediaan Dalam Perjalanan di Neraca ?

Dengan asumsi syarat transaksi jual beli adalah franco gudang penjual, menurut saya, pertama kita harus perhatikan apakah barang sudah benar-benar dikirim dari gudang penjual. Kita bisa memperoleh informasi tersebut berdasarkan bukti pengiriman barang ataupun bukti lainnya yang dapat menginformasikan bahwa barang tersebut sudah benar-benar dikirim oleh penjual.

Jika syarat pertama sudah terpenuhi, setelah itu, kita harus perhatikan juga apakah barang tersebut benar-benar belum diterima sampai dengan tanggal neraca, misalnya dengan menelusuri ke bukti penerimaan barang di gudang ataupun bukti pendukung lainnya yang relevan.

Atau singkatnya, jika bukti pengiriman barang dari penjual ada (diterbitkan sebelum tanggal neraca) dan bukti penerimaan barang di gudang diterbitkan setelah tanggal neraca berarti pencatatan Persediaan Dalam Perjalanan benar.

Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka pencatatan Persediaan Dalam Perjalanan harus dipertanyakan kebenarannya (Hrd).

Karyawan Perusahaan boleh teken faktur pajak ?

Dasar Peraturan Perpajakan :

Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2008 tanggal 6 Februari 2008 tentang : Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa

Pasal 2 (1) dalam peraturan ini mengatur bahwa “Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa.

Sedangkan dalam Pasal 2 ayat 2 diatur mengenai persyaratan seorang kuasa. Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

2. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir;

3. menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; dan

4. memiliki Surat Kuasa Khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa.

Pasal 2 ayat 3 menjelaskan bahwa seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk konsultan pajak.

Pasal 4 ayat (1) :

Seorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan Wajib Pajak hanya dapat menerima kuasa dari :

1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 1,8 miliar dalam setahun; atau

3. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 2,4 miliar dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 4 ayat (2) mengatur bahwa Karyawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah karyawan tetap yang telah menerima penghasilan dari Wajib Pajak pemberi kuasa yang dibuktikan dengan Surat Pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak.

Dalam Pasal 6 diatur bahwa seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa.

Dari peraturan pajak diatas dapat disimpulan bahwa dalam hal faktur pajak, yang boleh menandatangani faktur pajak adalah pengurus perusahaan. Sedangkan karyawan perusahaan hanya boleh diberi kuasa untuk menandatangani faktur pajak apabila peredaran bruto perusahaan tidak lebih dari Rp 2,4 miliar setahun.

Pengertian Pengurus menurut UU Perpajakan

Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007 dinyatakan bahwa sebagai sebuah badan, dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili oleh pengurus.

Sedangkan dalam Pasal 32 ayat (4) dijelaskan bahwa termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

Lebih lanjut, dalam bagian penjelasan diuraikan bahwa orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cheque dan sebagainya, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.

Penegasan Lebih Lanjut

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-16/PJ/2008 tanggal 10 Maret 2008 perihal : Penegasan Sehubungan Dengan Penunjukkan Seorang Kuasa Dengan Surat Kuasa Khusus, pada angka 8 ditegaskan bahwa satu surat kuasa khusus hanya untuk 1 (satu) pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu. Seorang kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain.

Angka 9 menegaskan bahwa seorang kuasa dapat menunjuk orang lain atau karyawannya dengan membuat Surat Penunjukan, terbatas untuk menyampaikan dokumen dan/atau menerima dokumen perpajakan yang diperlukan dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang dikuasakan, selain penyerahan dokumen yang dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu.

Angka 10 menjelaskan bahwa Wajib Pajak dapat meminta karyawannya untuk menyampaikan dokumen dan/atau menerima dokumen perpajakan yang diperlukan dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tanpa surat penunjukan kepada karyawan yang bersangkutan, selain penyerahan dokumen yang dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu.

Kemudian, pada angka 11 yang merupakan bagian terakhir ditegaskan bahwa :

Sehubungan dengan hal-hal yang diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 10, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :

1. Pengurus, komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali serta karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan perusahaan dapat melaksanakan hak dan/atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.

2. Dokumen perpajakan seperti Faktur Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak, dapat ditandatangani oleh pejabat/karyawan yang ditunjuk oleh Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.

3. Penyerahan dokumen yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu, tidak memerlukan surat kuasa khusus atau surat penunjukan.

Lampiran PMK No. 22/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 serta SE-16/PJ/2008 tanggal 10 Maret 2008 dapat di download di sini : PMK No. 22/PMK.03/2008 tanggal 6 pebr 2008; Lampiran PMK No.22; SE-16/PJ/2008 tanggal 10 Mrt 2008

Saturday, March 15, 2008

Pengembangan PSAK bukan hanya menuju IFRS

Melalui milis FORKAP (Forum Kantor Akuntan Publik) beberapa waktu yang lalu, Bapak Ahmadi Hadibroto (ketua IAI) menginformasikan perkembangan terakhir Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Indonesia.

Pada bulan Januari yang lalu (Januari 2008), DSAK menyampaikan kepada DPN IAI rencana pengembangan PSAK sebagai berikut :

1. Penyusunan SAK-UKM

Secara diam-diam ternyata DSAK sejak tahun lalu sudah mulai menyusun SAK untuk UKM. Jika tidak ada halangan, exposure draftnya akan diterbitkan dalam beberapa bulan mendatang dan diharapkan dapat disahkan tahun ini juga.

2. Penyusunan SAK Nasional

SAK Nasional adalah merupakan SAK khusus yang tidak dicakup dalam IFRS, yaitu :

· SAK untuk transaksi berbasis syariah, ditargetkan rampung tahun ini juga;

· SAK untuk badan layanan umum, target 2008-2009;

· SAK untuk entitas nirlaba, target 2009-2010;

· SAK untuk derivasi peraturan perundang-undangan, target 2010-2012

3. Konvergensi dengan IFRS

· Pada akhir 2010 diharapkan seluruh IFRS sudah diadopsi dalam PSAK;

· Tahun 2011 merupakan tahun penyiapan seluruh infrastruktur pendukung untuk implementasi PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS;

· Tahun 2012 merupakan tahun implementasi dimana PSAK yang berbasis IFRS wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik.

Melihat program pengembangan standar akuntansi di atas, jelas terlihat bahwa para anggota DSAK kita tidak bermental inlander. Pengembangan PSAK untuk UKM dan kebutuhan spesifik nasional kita didahulukan. Bahkan nantinya PSAK berbasis IFRS tidak wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan lokal yang tidak memiliki akuntabilitas publik.

Demikian disampaikan Bapak Ahmadi Hadibroto melalui milis FORKAP tanggal 4 Maret 2008 (Hrd).

Thursday, March 13, 2008

Karyawan punya NPWP wajib lapor SPT Tahunan

Dasar Ketentuan Perpajakan :

· Peraturan Dirjen Pajak No. PER-81/PJ./2007 tanggal 16 Mei 2007 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2007 Beserta Petunjukan Pengisiannya

· Peraturan Dirjen Pajak No. PER-161/PJ/2007 tanggal 14 November 2007 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana Tahun 2007

Dengan diterbitkannya kedua peraturan perpajakan tersebut di atas, mulai tahun pajak 2007, bagi karyawan yang mempunyai NPWP (tidak terkecuali) harus mengisi dan melaporkan SPT Tahunan paling lambat tanggal 31 Maret 2008 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat karyawan bersangkutan terdaftar sebagai wajib pajak.

Lantas jenis formulir SPT Tahunan yang bagaimana yang harus diisi oleh masing-masing karyawan ? Apakah seragam untuk semua karyawan tanpa memperhatikan besar gaji yang diterima ?

Oh, tidak. Menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-161/PJ/2007 Pasal 2, bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak melebihi Rp 30 Juta setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi wajib melaporkan SPT Tahunannya dengan menggunakan Formulir 1770 SS.

Jadi, jika gaji seorang karyawan ber NPWP tidak melebihi Rp 30 Juta setahun (atau Rp 2.500.000 sebulan), maka dia harus melaporkan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 ini ke KPP paling lambat tanggal 31 Maret 2008 dengan menggunakan Formulir 1770 SS.

Perlu diingat juga, bahwa saat melaporkan SPT Formulir 1770 SS tersebut harus dilampirkan dengan Bukti Potong Pajak Penghasilan Pasal 21 Formulir 1721-A1 atau Formulir 1721-A2 (yang merupakan bukti potong PPh Pasal 21 atas gaji kita yang dipotong dan dilaporkan perusahaan tempat kita bekerja).

Selanjutnya, untuk karyawan ber NPWP dengan jumlah gaji setahun melebihi Rp 30 Juta, harus melaporkan SPT Tahunan dengan menggunakan Formulir yang berbeda yaitu Formulir 1770 S.

Dengan terbitnya kedua peraturan perpajakan tersebut, maka formulir SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 untuk WP Orang Pribadi (WPOP) dan/atau karyawan adalah sebagai berikut :

1. Formulir 1770-SS digunakan untuk WPOP yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto maksimal Rp 30 Juta setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi (contohnya karyawan yang hanya bekerja di satu perusahaan dengan jumlah gaji dalam setahun tidak lebih dari Rp 30 Juta)

2. Formulir 1770-S digunakan untuk WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas (contohnya seseorang yang semata-mata hanya bekerja sebagai karyawan dengan jumlah gaji dalam setahun lebih dari Rp 30 Juta).

3. Formulir 1770 digunakan untuk WPOP yang melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.

Jadi, kalau untuk karyawan yang bekerja di perusahaan dan tidak mempunyai usaha, Formulir yang harus diisi adalah Formulir 1770-S ataupun Formulir 1770-SS tergantung jumlah gaji yang diterima selama setahun (Hrd).

Menentukan Pos Moneter dan Pos Non-Moneter dalam pencatatan transaksi mata uang asing

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 10 tentang Transaksi dalam Mata Uang Asing menjelaskan pengertian transaksi dalam mata uang asing sebagai suatu transaksi yang didenominasi atau membutuhkan penyelesaian dalam suatu mata uang asing, termasuk transaksi yang timbul ketika suatu perusahaan :

  1. membeli atau menjual barang atau jasa yang harganya didenominasi dalam suatu mata uang asing;meminjam (utang) atau meminjamkan (piutang) dana yang didenominasi dalam suatu mata uang asing;
  2. menjadi pihak untuk suatu perjanjian dalam valuta asing yang belum terlaksana; atau
  3. memperoleh atau melepaskan asset, dan menimbulkan atau melunasi kewajiban, yang didenominasi dalam suatu mata uang asing.

Paragraf 7 PSAK tersebut menyatakan bahwa transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi.

Kemudian, dalam paragraf 9 diatur mengenai penggunaan kurs mata uang asing pada tanggal neraca. Pada setiap tanggal neraca :

  • pos asset dan kewajiban moneter dalam mata uang asing dilaporkan ke dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tanggal neraca. Apabila terdapat kesulitan dalam menentukan kurs tanggal neraca, dapat digunakan kurs tengah Bank Indonesia sebagai indikator yang objektif;
  • pos non-moneter tidak boleh dilaporkan dengan menggunakan kurs tanggal neraca, tetapi harus dilaporkan dengan menggunakan kurs tanggal transaksi; dan
  • pos non-moneter yang dinilai dengan nilai wajar dalam mata uang asing harus dilaporkan dengan menggunakan kurs yang berlaku pada saat nilai tersebut ditentukan.

PSAK No. 10 mendefinisikan Pos Moneter sebagai kas dan setara kas, aset dan kewajiban yang akan diterima atau dibayar yang jumlahnya pasti atau dapat ditentukan.

Situs www.Answers.com mendefinisikan Pos Moneter (Monetary Items) sebagai : asset or liability whose amounts are fixed or determinable in dollars without reference to future price of specific goods or services. Their economic significance depends heavily upon the general purchasing power of money. The two types of monetary items are monetary assets and monetary liabilities. Monetary assets are those stated in current dollars needing no adjustment in the price-level balance sheet, such as cash, account receivable, and marketable securities at market value. Monetary liabilities are obligations payable in dollar requiring no adjustment in the price-level balance sheet, such as accounts payable and bonds payable.

Dalam praktek, sering terjadi kekeliruan dalam mengklasifikasikan suatu akun di neraca sebagai pos moneter (yang jika didenominasi dalam mata uang asing berdasarkan PSAK No. 10 harus dilaporkan ke dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tanggal neraca) atau bukan pos moneter (yang tidak memerlukan penyesuaian dengan kurs tanggal neraca).

Menurut saya, pedoman untuk membedakan suatu akun di neraca sebagai pos moneter ataupun bukan adalah dengan melihat apakah akun tersebut memerlukan adanya pembayaran kas dan setara kas atau tidak. Misalnya, akun Persediaan jelas bukan merupakan pos moneter karena tidak memerlukan pembayaran kas dan setara kas setelah tanggal neraca. Piutang dan Hutang Dagang merupakan pos moneter karena memerlukan pembayaran kas dan setara kas untuk pelunasan Piutang dan Hutang setelah tanggal neraca.

Sedangkan untuk akun Uang Muka Penjualan maupun Uang Muka Pembelian, apakah merupakan pos moneter atau bukan ? Apakah denominasi dalam mata uang asing atas saldo tanggal neracanya harus disesuaikan dengan kurs tanggal neraca atau tidak ?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu mengacu kembali ke pedoman di atas. Apakah atas Uang Muka Penjualan misalnya diperlukan pembayaran kas dan setara kas pada saat realisasinya atau tidak ?

Untuk lebih jelas, kita buat suatu kasus. Misalnya pada tanggal 31/12/2007, saldo Uang Muka Penjualan di Neraca sebesar USD 500. Penerimaan Uang Muka Penjualan terjadi pada tanggal 14 Desember 2007. Misalnya kurs translasi yang berlaku pada tanggal tersebut untuk USD 1 = Rp 9.200. Sedangkan kurs tanggal neraca untuk 1 USD = Rp 9.400. Apakah di Neraca saldo Uang Muka Penjualan dibukukan sebesar USD 500 x Rp 9.200 = Rp 4.600.000 atau USD 500 x Rp 9.400 = Rp 4.700.000 ?

Analisanya sebagai berikut :

Kita harus melihat transaksi normal setelah tanggal neracanya.

Misalnya, pada tanggal 25 Januari 2008, transaksi penjualan yang merupakan realisasi dari penerimaan uang muka penjualan tersebut telah terjadi. Nilai penjualan berdasakan invoice penjualan USD 1.500. Apakah nilai uang muka penjualan tersebut akan dibayar dengan kas ataupun setara kas pada saat realisasi penjualannya ? Jawabannya adalah tidak, karena nilai uang muka penjualan yang telah diterima pada tanggal 14 Desember 2007 tersebut hanya mengurangi nilai Piutang atas transaksi penjualan sebesar USD 1.500 tersebut. Jadi, yang merupakan pos moneter adalah Piutang dari Penjualan sedangkan Uang Muka Penjualan bukan merupakan pos moneter karena tidak memerlukan pembayaran kas dan setara kas. (Hrd)

Wednesday, March 12, 2008

Perlakuan perpajakan atas Bunga Pinjaman dalam masa Konstruksi

Pembahasan kasus berikut ini adalah berdasarkan Surat Penegasan dari Dirjen Pajak atas pertanyaan Wajib Pajak (WP) mengenai perlakuan perpajakan atas pembebanan bunga pinjaman dalam masa konstruksi. Adapun Surat Dirjen Pajak dimaksud masing-masing Surat No. S-217/PJ.42/1994 tanggal 1 Desember 1994, Surat No. S-46/PJ.31/1995 tanggal 19 Mei 1995, Surat No. S-240/PJ.42/1995 tanggal 1 Desember 1995 serta Surat No. S-965/PJ.312/2002 tanggal 27 Desember 2002.

Sedangkan Peraturan Pelaksanaan atas Pembebanan Bunga Pinjaman Dalam Masa Konstruksi untuk Pengusaha Real Estate diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-20/PJ.42/1994 tanggal 1 Desember 1994.

Permasalahan : adanya perbedaan pengakuan biaya bunga selama masa konstruksi menurut laporan keuangan komersial dengan SPT WP atas beberapa WP yang bergerak dalam usaha property (real estate) yang mana biaya bunga pinjaman menurut laporan keuangan komersial dikapitalisir dalam nilai gedung atau proyek yang bersangkutan. Akan tetapi, dalam pengisian SPT-nya, beban bunga tersebut dibebankan sekaligus pada periode diakuinya beban bunga tersebut sehingga Penghasilan Kena Pajak akan lebih kecil dibandingkan dengan penghasilan menurut laporan keuangan komersial.

Pada prinsipnya pembebanan bunga selama masa konstruksi tergantung kepada jenis aktiva yang dibangun tersebut :

1. Aktiva tetap yaitu gedung yang dibangun untuk dipakai sendiri oleh WP atau disewakan;

2. Inventory (Persediaan Barang Dagangan) yaitu gedung yang akan dijual oleh Wajib Pajak (misalnya untuk perusahaan real estate).

Pembebanan bunga pinjaman selama masa konstruksi dari aktiva tetap pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU PPh 1984, bahwa atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Dengan demikian seluruh beban bunga yang ditanggung oleh Wajib Pajak atas pinjaman untuk pembangunan gedung tersebut dikapitalisir dalam harga perolehan gedung tersebut yang akan disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU PPh tahun 1984. Jika setelah gedung itu selesai WP masih membayar bunga pinjaman tersebut, maka bunga setelah aktiva tersebut dipakai dapat dibebankan sebagai biaya pada tahun yang bersangkutan.

Pembebanan bunga pinjaman selama masa konstruksi dari gedung atau rumah sebagai barang dagangan (inventory) harus digabungkan dalam perhitungan harga pokok gedung tersebut yaitu sebagai komponen dari biaya langsung dalam menghitung laba bruto usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) huruf c UU PPh tahun 1984. Jika setelah gedung tersebut siap dipasarkan dimana harga pokoknya sudah jelas WP masih membayar bunga pinjaman tersebut, maka bunga pinjaman tersebut dapat dibebankan langsung pada tahun yang bersangkutan.

Jadi, perlakuan perpajakan atas bunga pinjaman selama masa konstruksi apakah dikapitalisir atau dibebankan ke dalam harga pokok aktiva adalah tergantung pada jenis aktiva yang dibangun sebagaimana dijelaskan di atas.

Kasus lainnya : sebuah perusahaan membeli tanah dengan dana yang berasal dari pinjaman pada tahun 1997 yang setelah dimatangkan hingga saat ini tanah tersebut dipergunakan untuk lahan parkir. Tanah tersebut adalah merupakan tanah jadi yang sudah tidak mengalami aktivitas untuk membangun/konstruksi atau memproduksi aktiva. Apakah bunga atas pinjaman yang diperoleh harus diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan tanah ?

Atas pertanyaan tersebut, Dirjen Pajak melalui Surat No. S-965/PJ.312/2002 memberikan penegasan sebagai berikut :

Biaya bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membiayai pembelian tanah, yang terhutang atau dibayarkan hingga selesainya proses perolehan hak atas tanah, diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan tanah tersebut. Sedangkan biaya bunga yang terhutang atau dibayarkan setelah selesainya proses perolehan hak atas tanah, tidak dapat diakui sebagai biaya kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan langsung sebagai alat usaha untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang tidak dikenakan PPh final.

Apabila tanah tersebut dipergunakan sebagai lahan perparkiran komersial resmi, maka biaya bunga tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto jasa parkir (Hrd).

Sulitnya Membukukan Penjualan

Technorati Tags: ,,

Security and Exchange Commission (SEC) atau badan pengawas pasar modal di Amerika Serikat telah mengindikasikan bahwa masalah pengakuan transaksi penjualan yang diterapkan selama ini merupakan penyebab utama sering dilakukannya penyajian kembali (restatement) laporan keuangan perusahaan. Wall Street Journal dalam salah satu artikelnya pada bulan Januari 2002 juga melaporkan bahwa lebih sering dilakukan penyajian kembali laporan keuangan perusahaan dalam 3 tahun belakangan dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Sedangkan berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) ditemukan bahwa lebih setengah dari kecurangan laporan keuangan perusahaan publik di Amerika Serikat melibatkan overstatement penjualan. Atas latar belakang itulah kemudian, pada tahun 1999, US Security and Exchange Commission (SEC) menerbitkan Staff Accounting Bulletin 101, “Revenue Recognition in Financial Statements (SAB 101)”, yang diikuti pada bulan Oktober 2000 dengan diterbitkannya “Revenue Recognition in Financial Statements; Frequently Asked Questions.” Penerbitan SAB 101 ini telah berpengaruh signifikan terhadap tata cara pengakuan transaksi penjualan dalam pelaporan keuangan.

SAB 101 mengikhtisarkan pandangan staff SEC terhadap permasalahan yang ditemukan berkaitan dengan pengakuan transaksi penjualan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (GAAP). SAB 101 mengidentifikasi empat kriteria utama yang harus dipenuhi sebelum pengakuan penjualan suatu produk, yaitu :

1. adanya bukti pendukung transaksi yang memadai (persuasive evidence of an arrangement between buyer and seller exists)

2. pengiriman barang telah dilakukan atau jasa telah diberikan (delivery has occurred or services have been rendered)

3. harga jual kepada pembeli tetap dan dapat ditentukan (the seller’s price to the buyer is fixed or determinable)

4. penagihan secara wajar diyakini dapat dilakukan (collectability is reasonably assured)

Bandingkan dengan pengaturan akuntansi transaksi penjualan menurut PSAK. Berdasarkan PSAK No. 23 mengenai Pendapatan paragraf 13 dinyatakan bahwa Pendapatan dari penjualan barang harus diakui bila seluruh kondisi berikut terpenuhi :

1. perusahaan telah memindahkan risiko secara signifikan dan memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli;

2. perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual;

3. jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan andal;

4. besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada perusahaan tersebut; dan

5. biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan transaksi penjualan dapat diukur dengan andal.

Sedangkan untuk penjualan jasa, PSAK No. 23 mengatur bahwa apabila hasil suatu transaksi yang meliputi penjualan jasa dapat diestimasi dengan andal, pendapatan sehubungan dengan transaksi tersebut harus diakui dengan acuan pada tingkat penyelesaian dari transaksi pada tanggal neraca.

Hasil suatu transaksi dapat diestimasi dengan andal bila seluruh kondisi berikut ini dipenuhi :

1. jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal;

2. besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan;

3. tingkat penyelesaian dari suatu transaksi pada tanggal neraca dapat diukur dengan andal; dan

4. biaya yang terjadi untuk transaksi dan untuk menyelesaikan transaksi tersebut dapat diukur dengan andal.

Situs CFO.com memaparkan dalam salah satu artikelnya bahwa dari hasil riset SEC berdasarkan annual report yang disampaikan oleh sekitar 7.000 emiten yang harus mengimplementasikan SAB 101 pada tanggal 31 Desember 2000, ditemukan bahwa hanya 291 emiten yang melakukan perubahan terhadap kebijakan pengakuan penjualannya.

Lantas, industri apakah yang paling terpengaruh dengan implementasi SAB 101 tersebut ? Sekitar 43 persen dari perusahaan-perusahaan yang melaporkan perubahan kebijakan akuntansinya berkaitan dengan penerapan SAB 101 adalah perusahaan manufaktur, dan diikuti oleh perusahaan jasa sebesar 20%.

Keempat kriteria dasar pengakuan transaksi penjualan berdasarkan SAB 101 tersebut, walaupun kelihatannya sederhana dan mudah untuk dilaksanakan, namun dalam kenyataannya tidak demikian. Perusahaan yang memiliki beragam anak perusahaan dengan tipe dan jenis produk yang seragam tetapi menerapkan metode pengakuan transaksi penjualan yang berbeda-beda akan mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan syarat-syarat pengakuan penjualan berdasarkan SAB 101 tersebut.

Beberapa artikel yang dapat dijadikan referensi untuk mempelajari lebih jauh implementasi SAB 101 dapat didownload melalui link di bawah ini :

SAB 101 : FAQ ; Implementation of SAB 101 dan JoA : The Right Way to Recognize Revenue

Atau googling saja dengan keyword “SAB 101” untuk mendapatkan bahan referensi yang lebih banyak.

SAB 101 is based on the principle that in companies financial reporting, revenue should not be recognized until it is realized or realizable and earned. Before revenue is recognized, the following criteria must be met : persuasive evidence of an arrangement must exist; delivery must have occurred or services been rendered; the seller’s price to the buyer must be fixed or determinable; and collectability should be reasonably assured.

Tuesday, March 11, 2008

Perubahan Peraturan Jasa Akuntan Publik, KAP Boleh Audit 6 Tahun Berturut-turut

Menteri Keuangan RI pada tanggal 5 Pebruari 2008 menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik yang merupakan penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan No. 423/KMK.06/2002 dan No. 359/KMK.06/2003 yang dianggap sudah tidak memadai.

Siaran Pers Depkeu No. 26/HMS/2008 tanggal 15 Pebruari 2008

Beberapa perubahan mendasar yang menjadi latar belakang diterbitkannya peraturan tersebut diantaranya adalah :

1.    Perubahan Asosiasi Profesi Akuntan Publik, yang sebelumnya setiap Akuntan Publik berhimpun dalam naungan Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) sekarang berada di bawah naungan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI);

2.    Menegaskan kewajiban KAP menyampaikan laporan kegiatan dan keuangan yang lebih terinci sehingga dapat menunjang system informasi akuntan, akuntan publik, dan kantor akuntan publik yang sedang disusun.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut terdapat pokok-pokok penyempurnaan peraturan mengenai pembatasan masa pemberian jasa bagi akuntan, laporan kegiatan, dan asosiasi profesi akuntan publik. Untuk pembatasan masa pemberian jasa bagi akuntan publik, sebelumnya KAP dapat memberikan jasa audit umum paling lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut kemudian dirubah menjadi 6 (enam) tahun buku berturut-turut. Mengenai Laporan Kegiatan, telah ditetapkan formulir baku laporan kegiatan beserta lampirannya (termasuk di dalamnya laporan keuangan KAP) yang di dalam peraturan sebelumnya tidak diatur. Selain itu laporan kegiatan yang sebelumnya hanya disampaikan KAP dalam bentuk hardcopy, saat ini laporan kegiatan yang akan disampaikan KAP harus dalam bentuk hardcopy dan softcopy.

Untuk asosiasi profesi akuntan publik, seluruh akuntan publik yang sebelumnya diwajibkan menjadi anggota IAI dan IAI-KAP, kini diwajibkan menjadi anggota IAPI. Asosiasi akuntan publik yang diakui adalah IAPI yang di dalam peraturan sebelumnya tidak diatur. Ujian Sertifikasi Akuntan Publik dilaksanakan oleh IAPI yang sebelumnya dilaksanakan oleh IAI. Sementara itu, Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) juga ditetapkan oleh IAPI yang sebelumnya ditetapkan oleh IAI-KAP.

Dari perubahan peraturan tersebut di atas, mungkin yang cukup melegakan bagi KAP dan akuntan publik-nya adalah perubahan Pasal 3 mengenai Pembatasan Masa Pemberian Jasa.

Berikut ini isi Pasal 3 dari Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tersebut :

(1)    Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dilakukan oleh KAP paling lama untuk 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut;

(2)    Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima kembali penugasan audit umum untuk klien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan klien tersebut;

(3)    Jasa audit umum atas laporan keuangan dapat diberikan kembali kepada klien yang sama melalui KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) tahun buku tidak diberikan melalui KAP tersebut;

(4)    Dalam hal KAP yang telah menyelenggarakan audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas melakukan perubahan komposisi Akuntan Publiknya, maka terhadap KAP tersebut tetap diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

(5)    KAP yang melakukan perubahan komposisi Akuntan Publik yang mengakibatkan jumlah Akuntan Publiknya 50% (lima puluh perseratus) atau lebih berasal dari KAP yang telah menyelenggarakan audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas, diberlakukan sebagai kelanjutan KAP asal Akuntan Publik yang bersangkutan dan tetap diberlakukan pembatasan penyelenggaraan audit umum atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

(6)    Pendirian atau perubahan nama KAP yang komposisi Akuntan Publiknya 50% (lima puluh perseratus) atau lebih berasal dari KAP yang telah menyelenggarakan audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas, diberlakukan sebagai kelanjutan KAP asal Akuntan Publik yang bersangkutan dan tetap diberlakukan pembatasan penyelenggaraan audit umum atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pada awalnya, ketentuan mengenai praktek akuntan di Indonesia diatur dengan Undang-undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan yang mensyaratkan bahwa gelar akuntan hanya dapat dipakai oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya dari perguruan tinggi dan telah terdaftar pada Departemen Keuangan R.I.

Sejak tahun 1986, praktik akuntan publik diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan selaku regulator bagi profesi akuntan publik melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang terus diperbaharui hingga saat ini.

Keputusan Menteri Keuangan No. 423/KMK.06/2002 yang dirubah dengan KMK No. 359/KMK.06/2003 tentang Jasa Akuntan Publik merupakan KMK yang banyak mengundang perhatian dan pro-kontra dari para akuntan praktisi karena pada KMK tersebut pertama kali diperkenalkannya pengaturan rotasi bagi praktik Akuntan Publik di Indonesia.

Melihat perkembangan yang cukup pesat dari profesi akuntan publik, maka pemerintah selaku regulator memandang perlu melakukan pembaharuan peraturan yang berkaitan dengan praktik akuntan publik sehingga kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tanggal 5 Pebruari 2008 tentang Jasa Akuntan Publik yang diharapkan dengan terbitnya PMK ini dapat menciptakan pengaturan, pembinaan dan pengawasan yang lebih efektif dan berkesinambungan terhadap profesi akuntan publik dan Kantor Akuntan Publik (KAP) serta melindungi kepentingan umum. (hrd)

Saturday, March 8, 2008

Standard Audit Approach

Seorang Auditor memberikan pendapat (opini) nya terhadap Laporan Keuangan Perusahaan setelah memperoleh keyakinan memadai atas dasar bukti-bukti yang dikumpulkan dan dievaluasi serta diuji selama proses audit. Keyakinan tersebut berasal dari :

1. Pengetahuan dan pemahaman terhadap bisnis klien

2. Penelaahan dan evaluasi kemampuan dan keefektifan sistim pengendalian internal

3. Prosedur-prosedur khusus untuk mengidentifikasi kelemahan dalam sistim pengendalian internal sehingga Auditor memperoleh keyakinan memadai bahwa tidak menimbulkan efek yang material terhadap kewajaran penyajian Laporan Keuangan

4. Prosedur-prosedur verifikasi termasuk tes spesifik terhadap rincian transaksi dan saldo serta analytical review

5. Proses penelaahan oleh Auditor

Standard Audit Approach (SAA) terbagi atas 4 tahapan utama audit, yaitu :

1. Perencanaan Pendahuluan

2. Penelaahan dan Evaluasi Pendahuluan atas Sistim Akuntansi dan Lingkungan Pengendalian (Control Environment)

3. Prosedur Pengujian Ketaatan dan Substantif (Compliance and Substantive Procedures)

4. Penelaahan dan Evaluasi Akhir

Perencanaan Pendahuluan

Dalam setiap tahap audit, penting bahwa pertimbangan Senior Audit Personal (Partner, Group Head Coordinator dan Group Head) harus ada. Hal ini terutama penting dalam tahap perencanaan, dimana partisipasi staf audit yang senior dalam mengevaluasi risiko secara keseluruhan dan penentuan strategi ditujukan untuk menghindari penerapan prosedur audit yang tidak efisien dan efektif.

Proses Perencanaan Pendahuluan meliputi lima unsur berikut ini :

1. Memperoleh pengetahuan tentang bisnis dan jenis usaha klien

2. Menelaah perkembangan terakhir yang berdampak terhadap bisnis dan jenis usaha klien

3. Melakukan Overall Analytical Review

4. Mengenali risiko audit luar biasa dan ruang lingkupnya yang membutuhkan penekanan khusus akunting dan auditing

5. Melaksanakan kegiatan-kegiatan perencanaan pendahuluan lainnya

6. Menentukan hasil dari kegiatan perencanaan pendahuluan dan mengembangkan keseluruhan rencana audit.

Control Environment

Setelah tahap Perencanaan Pendahuluan, Auditor harus mengembangkan program audit yang akan digunakan dalam pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti. Sebelum program audit dirancang, terlebih dahulu harus diperoleh pemahaman sistim akuntansi klien dan pengembangannya yang meliputi penelitian organisasi, manajemen, personil dan proses transaksi.

Untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai sistim akuntansi klien, Auditor dapat menggunakan bantuan Flowchart. Untuk perusahaan yang kecil informasi dapat diperoleh dari penjelasan langsung klien. Flowcharts atau penjelasan langsung harus diperoleh untuk 4 siklus transaksi, yaitu : siklus pengeluaran, siklus produksi, siklus pendapatan dan transaksi tersendiri.

Dalam melengkapi tahap awal penelaahan, Auditor harus mengidentifikasi dan membuat evaluasi awal untuk menentukan apakah pengendalian internal dapat diandalkan secara efektif dan efisien. Untuk pelaksanaan prosedur ini, Auditor dapat menggunakan bantuan Kuesioner Pengendalian Internal/Internal Control Questionner (ICQ).

Dalam kasus tertentu, dengan mendapat persetujuan dari Managing Partner, Auditor dapat memutuskan bahwa akan lebih efisien dengan melakukan prosedur pengujian substantif daripada menelaah dan mengevaluasi pengendalian internal perusahaan. Kasus ini timbul dalam hal dimana pengendalian internal tidak dapat diandalkan.

Prosedur Pengujian Ketaatan dan Substantif (Compliance and Substantive Procedures)

Tujuan utama Auditor dalam suatu penugasan audit adalah untuk memberikan pendapat (opini) atas kewajaran penyajian Laporan Keuangan perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Auditor harus memperoleh bukti audit yang memadai melalui pelaksanaan dua tahap prosedur pengujian audit, yaitu :

1. Prosedur Pengujian Ketaatan (Compliance Procedures)

2. Prosedur Pengujian Substantif (Substantive Procedures)

Penelaahan dan Evaluasi Akhir

Setelah Auditor melengkapi semua prosedur di atas, penggabungan informasi yang diperoleh merupakan langkah selanjutnya yang penting untuk memperoleh kesimpulan mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan. Hal ini merupakan proses secara subjektif yang mengandalkan penilaian professional dari Auditor.

Setelah audit selesai, Auditor menerbitkan audit report untuk melengkapi laporan keuangan klien. Laporan tersebut harus memadai secara teknis dan mencakup keseluruhan ruang lingkup pemeriksaan dan sifat dari temuan audit.

Management Letter juga harus dipersiapkan bila ditemukan adanya kelemahan ataupun kekurangan selama melakukan prosedur pengujian ketaatan maupun substantif.

Akhirnya, Summary Review Memorandum harus dibuat oleh Auditor untuk merangkum seluruh informasi yang telah dikumpulkan, prosedur-prosedur yang dilaksanakan, serta membuat kesimpulan untuk penugasan audit tersebut (Hrd).

Technorati Tags:

Friday, March 7, 2008

PPh Jasa Konstruksi akan kembali bersifat FINAL

Sekitar akhir tahun 2007 kemarin, Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan telah mengambil ancang-ancang untuk memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi menjadi 3% dari omzet dan rencananya akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008.

Rencana tersebut langsung membuat para pengusaha jasa konstruksi tersenyum lebar. Lho, bukankah tarif pajaknya naik ? Kok malah senang ? Kenapa tidak ? Karena yang membuat para pengusaha lega adalah mereka akan kembali menikmati tarif pajak penghasilan final seperti yang pernah mereka nikmati di tahun 1997. Bagi mereka, pengenaan pajak final selain memudahkan administrasi juga memberikan kepastian lebih tinggi.

Tetapi, apakah benar semua pengusaha jasa konstruksi menyambut baik rencana penerapan PPh final 3% tersebut ? Ternyata tidak.

PT Adhi Karya Tbk, salah satu perusahaan besar jasa konstruksi mengeluhkan wacana penerapan pajak final oleh pemerintah sebesar 3% dari penghasilan kepada perusahaan jasa konstruksi. “Dalam dunia konstruksi, margin laba bersih sangat tipis, hanya 2%-3% dari penghasilan. Praktis bila pajak final diterapkan, tidak ada perusahaan konstruksi yang bisa meraup keuntungan. Kami minta pemerintah tak menerapkan pajak final,” ujar Corporate Secretary Adhi Karya, Kurnadi Gularso.

Selain itu, Ketua Gapeksindo (Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia) Jatim, H.Gatut Prasetya, juga mengeluhkan rencana pengenaan PPh final 3% tersebut. Menurutnya, kenaikan PPh final untuk jasa konstruksi menjadi 3% akan memberatkan. Misalnya untuk daerah Jatim, sekitar 90% dari total 1.485 perusahaan yang menjadi anggota Gapeksindo Jatim adalah pengusaha kecil. PPh final yang langsung dipotong dari nilai proyek akan sangat membebani pengusaha khususnya pengusaha kecil. Jika terpaksa, pajak sebesar itu bisa diberlakukan hanya untuk pengusaha besar. Sementara untuk pengusaha kecil dia mengusulkan dikenakan tarif PPh final 1,5%. Menurut perhitungan Gapeksindo, pengusaha jasa konstruksi dengan pengerjaan proyek Rp 1 miliar tidak akan bisa survive jika menanggung tarif PPh tersebut.

Sebagai gambaran dengan nilai proyek Rp 1 miliar, keuntungan yang bisa diraih pengusaha 10% atau Rp 100 juta per tahun. Maka dengan PPh final sebesar 3% keuntungan yang dipotong mencapai Rp 30 juta. Sisa Rp 70 juta tidak cukup untuk menanggung biaya operasi perusahaan dalam setahun.

Sedangkan bagi Ditjen Pajak sendiri, penerapan pajak final akan berdampak positif bagi peningkatan kinerja dirjen pajak. Karena sistim final akan menghemat tenaga pemeriksa. Namun diatas itu, Ditjen Pajak yakin sistim final akan mampu mendongkrak penerimaan dari segi pajak.

Menurut Dirjen Pajak Darmin Nasution, bahwa “penerapan PPh final dengan pertimbangan, hampir semua pemborong saat ini berbuat curang. Biasanya aparat pajak kesulitan untuk mengaudit Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) mereka. Para kontraktor juga bisa dengan mudah menggunakan faktur bermacam-macam sebagai pemberat ongkos operasional. Maka kami putuskan untuk memfinalkan saja PPh-nya sebesar 3%. Selain itu, untuk mempermudah penghimpunan”.

Darmin sendiri optimis bahwa pengusaha tidak akan menentang perubahan kebijakan ini. Pasalnya, Ditjen Pajak merasa telah melakukan serangkaian sosialisasi kepada para pengusaha. Sehingga sebagian besar bisa memahami kebijakan tersebut. Terlebih, pada tahun 1995 sampai 1998 pemerintah pernah menerapkan kebijakan ini meskipun dengan tarif final 2%.

Tapi karena terjadi krisis pada tahun 1998, pemerintah menghapus kebijakan ini sebagai insentif bagi pengusaha jasa konstruksi. Yang terkena pajak hanya pengusaha yang beromset di bawah Rp 1 miliar. Sedangkan pengusaha menengah besar mengikuti PPh dengan tariff progresif sesuai omset.

Sekarang, Ditjen Pajak yakin kondisi pengusaha sudah pulih. Hal ini terlihat dari maraknya pembangunan gedung di berbagai tempat. Darmin juga meyakini kebijakan baru ini bisa meraup tambahan setoran pajak penghasilan hingga triliunan rupiah.

Sependapat dengan Ditjen Pajak, Ketua Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Malkan Amin menyatakan sangat setuju dengan pengenaan pajak final tersebut. “Justru kami-lah yang mengusulkan pajak final itu”.

Anggota LPJK dari dulu memang berjuang agar dikenakan pajak final saja. Di masa lalu, jasa konstruksi dikenakan pajak progresif. Artinya, pajak hanya dikenakan kepada perusahaan yang untung, sedangkan untuk perusahaan yang rugi tidak bayar pajak. Tapi kenyataannya, sistim itu justru merugikan perusahaan jasa konstruksi. “Dari kajian yang kami lakukan, penetapan pajak progresif ini memberatkan perusahaan jasa konstruksi. Anggota kami banyak yang dipermainkan oleh petugas pajak,” kata Malkan yang juga anggota DPR ini.

“Seringkali laporan keuangan jasa konstruksi tidak dipercaya petugas pajak. Ibaratnya sudah benar pun masih ada saja yang salah. Kami diobok-obok, dicari-cari persoalan,” katanya. Untuk menghindari hal itu, maka kami sepakat lebih baik pajak yang bersifat final. “Langsung dipotong dari kontrak yang kita tandatangani. Beres sudah. Permainana dari oknum petugas pajak tidak memungkinkan lagi,” katanya.

Sejarahnya, usulan PPh final untuk jasa konstruksi mengemuka saat Gapeksi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia) mengadakan kongres di Surabaya. Dirjen Pajak yang menjabat saat itu, Fuad Bawazier, yang hadir pada acara itu langsung ditodong untuk memberlakukan PPh Final bagi pengusaha jasa konstruksi.

Hasilnya, pada akhir Desember 1996 terbit Peraturan Pemerintah No. 73/1996 tentang PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan. Dalam PPh tersebut ditetapkan atas imbalan jasa pelaksana konstruksi dikenakan PPh final sebesar 2% dari nilai bruto, sedangkan untuk jasa perencanaan, pengawasan konstruksi dan konsultan dikenakan tarif 4%.

Pengenaan PPh final sector konstruksi, menurut PP No. 73/1996 tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun, fakta yang sebenarnya, Ditjen Pajak sendiri pusing setiap kali memeriksa pembukuan perusahaan jasa konstruksi yang acap kali kacau balau.

Bagi wajib pajak, PPh final sangat menguntungkan pada saat ekonomi tumbuh bagus. Sebab pada kondisi demikian, mereka umumnya mampu meraup laba besar. Pengenaan PPh final yang sifatnya flat terhadap penghasilan bruto jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan tarif progresif 10%, 15% dan 30% sebagaiman diatur dalam Pasal 17 UU PPh.

Sebaliknya, tarif PPh final akan merugikan wajib pajak pada saat keadaan perekonomian menurun atau pada saat mereka menderita kerugian. Karena pengenaan PPh final dikenakan terhadap penghasilan bruto, bukan penghasilan neto. Sedangkan, jika kondisi perusahaan merugi jika menggunakan tarif progresif dengan sendirinya tidak akan dikenakan pajak. Selain itu, mereka juga akan kehilangan hak untuk melakukan kompensasi kerugian yang dialami.

Alasan ini jugalah yang kemudian mendasari digantinya PP No. 73/11996 yang bersifat final dengan PP No. 140/2000 yang menerapkan tarif umum untuk penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawasan dan perencanaan serta konsultan, kecuali mereka yang omzetnya di bawah Rp 1 miliar (Hrd).

Thursday, March 6, 2008

Mengenali The Framework of Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

Technorati Tags: ,,

Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) adalah merupakan hasil pengembangan berkelanjutan standar profesional akuntan publik yang dimulai sejak tahun 1973. Pada tahap awal perkembangannya, standar ini disusun oleh suatu komite dalam organisasi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang diberi nama Komite Norma Pemeriksaan Akuntan. Standar yang dihasilkan oleh komite tersebut diberi nama Norma Pemeriksaan Akuntan. Sebagaimana tercermin dari nama yang diberikan, standar yang dikembangkan pada saat itu lebih berfokus ke jasa audit atas laporan keuangan historis.

Perubahan pesat yang terjadi di lingkungan bisnis di awal dekade tahun sembilan puluhan kemudian menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan mutu jasa audit atas laporan keuangan historis, jasa atestasi, dan jasa akuntansi dan review. Di samping itu, tuntutan kebutuhan untuk menjadikan organisasi profesi akuntan publik lebih mandiri dalam mengelola mutu jasa yang dihasilkan bagi masyarakat juga terus meningkat. Respon profesi akuntan publik terhadap berbagai tuntutan tersebut diwujudkan dalam dua keputusan penting yang dibuat oleh IAI pada pertengahan tahun 1994 : (1) perubahan nama dari Komite Norma Pemeriksaan Akuntan ke Dewan Standar Profesional Akuntan Publik dan (2) perubahan nama standar yang dihasilkan dari Norma Pemeriksaan Akuntan ke Standar Profesional Akuntan Publik.

SPAP merupakan kodifikasi berbagai pernyataan standar teknis dan aturan etika. Pernyataan standar teknis yang dikodifikasi dalam buku SPAP ini terdiri dari :

1. Pernyataan Standar Auditing

2. Pernyataan Standar Atestasi

3. Pernyataan Jasa Akuntansi dan Review

4. Pernyataan Jasa Konsultansi

5. Pernyataan Standar Pengendalian Mutu

Sedangkan aturan etika yang dicantumkan dalam SPAP adalah Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang dinyatakan berlaku oleh Kompartemen Akuntan Publik sejak bulan Mei 2000.

Standar Auditing

Standar auditing merupakan panduan audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri dari 10 standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing (PSA). Dengan demikian, PSA merupakan penjabaran lebih lanjut masing-masing standar yang tercantum dalam standar auditing. PSA berisi ketentuan-ketentuan dan panduan utama yang harus diikuti oleh akuntan publik dalam melaksanakan perikatan audit. Termasuk dalam PSA adalah Interpretasi Pernyataan Standar Auditing (IPSA), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh Dewan terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh Dewan dalam PSA.

Standar Atestasi

Standar atestasi memberikan rerangka untuk fungsi atestasi bagi jasa akuntan publik yang mencakup tingkat keyakinan tertinggi yang diberikan dalam jasa audit atas laporan keuangan historis, pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, serta tipe perikatan atestasi lain yang memberikan keyakinan yang lebih rendah (review, pemeriksaan, dan prosedur yang disepakati). Standar atestasi terdiri dari 11 standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Atestasi (PSAT). PSAT merupakan penjabaran lebih lanjut masing-masing standar yang terdapat dalam standar atestasi. Termasuk dalam PSAT adalah Interpretasi Pernyataan Standar Atestasi (IPSAT), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh Dewan terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh Dewan dalam PSAT.

Standar Jasa Akuntansi dan Review

Standar jasa akuntansi dan review memberikan rerangka untuk fungsi nonatestasi bagi jasa akuntan publik yang mencakup jasa akuntansi dan review. Standar jasa akuntansi dan review dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (PSAR). Termasuk di dalam Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review adalah Interpretasi Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (IPSAR), yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh Dewan terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh Dewan dalam PSAR.

Standar Jasa Konsultansi

Standar jasa konsultansi memberikan panduan bagi praktisi yang menyediakan jasa konsultansi bagi kliennya melalui kantor akuntan publik. Jasa konsultansi pada hakikatnya berbeda dari jasa atestasi akuntan publik terhadap asersi pihak ketiga. Dalam jasa atestasi, para praktisi menyajikan suatu kesimpulan mengenai keandalan suatu asersi tertulis yang menjadi tanggung jawab pihak lain, yaitu pembuat asersi (asserter). Dalam jasa konsultansi, para praktisi menyajikan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Sifat dan lingkup pekerjaan jasa konsultansi ditentukan oleh perjanjian antara praktisi dengan kliennya. Umumnya, pekerjaan jasa konsultansi dilaksanakan untuk kepentingan klien.

Standar Pengendalian Mutu

Standar pengendalian mutu memberikan panduan bagi kantor akuntan publik di dalam melaksanakan pengendalian kualitas jasa yang dihasilkan oleh kantornya dengan mematuhi berbagai standar yang diterbitkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik dan Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang diterbitkan oleh Kompartemen Akuntan Publik, Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam perikatan jasa profesional, kantor akuntan publik bertanggung jawab untuk mematuhi berbagai standar relevan yang telah diterbitkan oleh Dewan dan Kompartemen Akuntan Publik. Dalam pemenuhan tanggung jawab tersebut, kantor akuntan publik wajib mempertimbangkan integritas stafnya dalam menentukan hubungan profesionalnya; bahwa kantor akuntan publik dan para stafnya akan independen terhadap kliennya sebagaimana diatur oleh Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik dan bahwa staf kantor akuntan publik kompeten, profesional, dan objektif serta akan menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama (due profesional care). Oleh karena itu, kantor akuntan publik harus memiliki sistim pengendalian mutu untuk memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian perikatan profesionalnya dengan berbagai standar dan aturan relevan yang berlaku.

Sumber : Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

Wednesday, March 5, 2008

Perlakuan PPh atas Biaya Bunga dan Biaya Overhead Dalam Masa Konstruksi

Dasar Ketentuan Perpajakan :

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-22/PJ.42/1999 tanggal 27 Mei 1999 perihal Perlakuan PPh atas Biaya Bunga dan Biaya Overhead Dalam Masa Konstruksi

Berdasarkan SE Dirjen Pajak tersebut diatur bahwa :

1. Dalam hal suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, biaya bunga yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut, yang pembebanannya melalui biaya penyusutan.

2. Dalam hal suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembelian tanah, biaya bunganya harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan tanah, namun tidak dapat dibebankan sebagai biaya penyusutan.

3. Apabila suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik dan pembelian tanah serta aktiva lainnya yang tidak dapat dipisah-pisahkan perhitungan kapitalisasinya ke dalam masing-masing aktiva tersebut dapat dilakukan secara prorata.

4. Atas biaya overhead (seperti biaya gaji/tunjangan, biaya perjalanan dan biaya lain-lain) yang berkaitan dengan pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut yang pembebanannya melalui biaya penyusutan. Perhitungan kapitalisasi secara prorata juga berlaku dalam hal biaya overhead berkaitan dengan pembangunan/pengadaan berbagai aktiva yang tidak dapat dipisah-pisahkan (Hrd) ***

Sunday, March 2, 2008

Perlakuan Pajak terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan Pasar Modal

Berikut ini adalah isi Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-18/PJ.31/1989 tanggal 31 Oktober 1989 perihal Perlakuan Pajak Terhadap Hal-hal yang Berkaitan dengan Kegiatan Pasar Modal

  1. Agio saham yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengeluaran saham adalah tidak termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang PPh 1984, dengan demikian bukan merupakan objek Pajak Penghasilan. Yang dimaksud dengan agio saham adalah selisih lebih antara jumlah yang diterima perusahaan dari pengeluaran saham dan nilai nominalnya.
  2. Biaya pengeluaran saham, termasuk biaya pencetakan saham, iklan penilai (appraisal), penjamin emisi (underwriter), prospektus, yang dikeluarkan dalam rangka pengeluaran saham adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-undang PPh 1984, dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (11) Undang-undang PPh 1984.
  3. Sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh 1984, keuntungan yang diterima atau diperoleh pemegang saham dari penjualan saham yang dimilikinya (capital gain) adalah objek Pajak Penghasilan. Ketentuan ini berlaku pula bagi penjualan saham yang ditempatkan meskipun belum disetor penuh oleh pemiliknya.
  4. Capital gain sebagaimana dimaksud dalam butir 3 di atas harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh baik oleh Wajib Pajak perseorangan maupun Wajib Pajak Badan. Perlakuan ini tidak berlaku bagi para pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 250/KMK.011/1985 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1033/KMK.013/1988.
  5. Bagi pemegang saham, kerugian yang terjadi dari penjualan saham (capital loss) yang dimiliki untuk mendapatkan penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf d sepanjang kerugian tersebut secara nyata dapat dibuktikan.
  6. Para pembeli saham yang mempunyai penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan belum memiliki NPWP wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-undang PPh 1984, wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh. Hal ini tidak berlaku bagi orang asing dan atau badan asing sepanjang mereka bukan penduduk Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).
  7. Perantara perdagangan efek (pialang broker) adalah termasuk dalam pengertian pengusaha jasa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1988 dan Pengumuman Direktur Jenderal Pajak No. Peng : 139/PJ.63/1989. Oleh karena itu penyerahan jasa oleh Perantara Perdagangan Efek dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Technorati Tags: ,,

Saturday, March 1, 2008

DSPAP mengeluarkan 4 PS baru tanggal 20 Pebruari 2008

Technorati Tags: ,,

Dewan Standar Profesional Akuntan Publik (DPAP) – Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) pada tanggal 20 Pebruari 2008 telah mengeluarkan empat Pernyataan Standar baru yang terdiri dari :

1. Pernyataan Standar Auditing No. 75 mengenai Pernyataan Beragam (Omnibus Statement) Standar Auditing 2008 (PSA 75)

2. Pernyataan Standar Astetasi No. 10 mengenai Pernyataan Beragam (Omnibus Statement) Standar Atestasi 2008 (PSAT 10)

3. Pernyataan Standar Akuntansi dan Jasa Review No. 05 mengenai Pernyataan Beragam (Omnibus Statement) Standar Jasa Akuntansi dan Review 2008 (PSAR 05)

4. Pernyataan Standar Pengendalian Mutu No. 04 mengenai Pernyataan Beragam (Omnibus Statement) Standar Pengendalian Mutu 2008 (PSPM 04)

Seluruh Pernyataan Standar tersebut di atas mengatur tentang perubahan istilah yang terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) sehubungan dengan berdirinya IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) tanggal 24 Mei 2007, yaitu istilah Ikatan Akuntan Indonesia dan Kompartemen Akuntan Publik diubah menjadi Institut Akuntan Publik Indonesia, dan istilah Indonesian Institute of Accountans diubah menjadi Indonesian Institute of Certified Public Accountants.

Keempat Pernyataan Standar ini berlaku efektif sejak tanggal 15 Maret 2008, namun penerapan lebih awal dari tanggal efektif berlakunya keempat Pernyataan Standar ini diizinkan.

Contoh perubahan pada Laporan Audit Bentuk Baku sesuai PSA 75 sebagai berikut :

Paragraf ke-2

Kami melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia Institut Akuntan Publik Indonesia. Standar tersebut mengharuskan kami merencanakan dan melaksanakan audit agar kami memperoleh ……………

Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui, sebelumnya akuntan publik di Indonesia bernaung dalam Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Kemudian pada tanggal 24 Mei 2007 berdiri Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik, Menteri Keuangan mewajibkan seluruh akuntan publik untuk menjadi anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) seiring perubahan asosiasi profesi akuntan public. Untuk asosiasi profesi akuntan publik, seluruh akuntan public yang sebelumnya diwajibkan menjadi anggota IAI dan IAI-KAP, kini diwajibkan menjadi anggota IAPI (Hrd).