Showing posts with label Revaluasi Aset. Show all posts
Showing posts with label Revaluasi Aset. Show all posts

Wednesday, July 7, 2010

Mekanisme penyesuaian akumulasi penyusutan atas aset tetap yang direvaluasi

Berdasarkan PSAK No. 16 (Revisi 2007), perusahaan diperbolehkan untuk memilih menggunakan model biaya (cost model) atau model revaluasi (revaluation model) sebagai kebijakan akuntansinya dalam mencatat nilai aset tetap setelah pengakuan awal.

Ada beberapa ketentuan dalam PSAK 16 (Revisi 2007) yang harus diperhatikan jika sebuah entitas memilih untuk menggunakan model revaluasi, diantaranya adalah jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi (par. 36), pengaturan mengenai perlakuan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi seperti yang diatur dalam paragraf 39 dan 40. Selain itu, dalam paragraf 43 diatur juga bahwa jika entitas mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap, maka perubahan tersebut berlaku prospektif artinya penyesuaian laporan keuangan akibat revaluasi aset hanya dilakukan untuk laporan keuangan periode berjalan dan ke depannya.

Selain itu, PSAK 16 (Revisi 2007) juga mengatur mengenai mekanisme penyesuaian atas pencatatan akumulasi penyusutan aset tetap yang sebelum direvaluasi telah disusutkan oleh perusahaan.

Dalam par. 35 diatur bahwa apabila suatu aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi diperlakukan dengan salah satu cara berikut ini :

  1. disajikan kembali secara proporsional dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberi indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan; atau
  2. dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah eliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering digunakan untuk bangunan.

Untuk contoh penerapan kedua metode tersebut di atas dapat dibaca dari posting saya di sini

Wednesday, December 3, 2008

Pokok-pokok perubahan PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tanggal 29 Mei 2007 menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan.

Pada dasarnya PSAK 16 (Revisi 2007) telah mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Beberapa perubahan mendasar dari PSAK 16 (2007) dibandingkan dengan PSAK 16 (1994) diantaranya adalah :

1. PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap.

2. Penggantian penggunaan istilah “Aktiva” menjadi Aset dalam seluruh PSAK

3. Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Biaya yang dapat diatribusikan secara langsung sebagai komponen biaya perolehan aset tetap termasuk (a) biaya imbalan kerja (seperti yang didefinisikan dalam PSAK No. 24 tentang Imbalan Kerja) yang timbul secara langsung dari pembangunan atau akuisisi aset tetap, serta (b) biaya pengujian aset apakah aset berfungsi dengan baik, setelah dikurangi hasil bersih penjualan produk yang dihasilkan sehubungan dengan pengujian tersebut (PSAK 16 (2007) Par. 17). Kedua point tersebut tidak termasuk dalam PSAK 16 sebelumnya (lihat PSAK 16 (1994) Par. 14)

4. Bukan Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Sebagian kegiatan terjadi sehubungan dengan pembangunan atau pengembangan suatu aset tetap, tetapi tidak dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Kegiatan insidental ini mungkin terjadi sebelum atau selama konstruksi atau aktivitas pengembangan. Contoh, penghasilan yang diperoleh dari penggunaan lahan lokasi bangunan sebagai tempat parkir mobil sampai pembangunan dimulai. Karena kegiatan insidental ini tidak dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen, penghasilan dan beban yang terkait dari kegiatan insidental diakui dalam laporan laba rugi dan diklasifikasikan dalam penghasilan dan beban (Par. 21). PSAK No. 16 (1994) sebelumnya tidak mengatur mengenai hal ini.

5. Pertukaran Aset Tetap – PSAK No. 16 (1994) sebelumnya membedakan perlakuan pencatatan atas pertukaran aktiva tetap yang sejenis/serupa (Par.21) serta pertukaran aktiva tetap yang tidak sejenis/tidak serupa (Par. 20), sedangkan PSAK 16 (revisi 2007) tidak membedakannya.

Par. 24 PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa untuk pertukaran aset tetap, biaya perolehan diukur pada nilai wajar kecuali (a) transaksi pertukaran tidak memiliki substansi komersial; atau (b) nilai wajar dari aset yang diterima dan diserahkan tidak dapat diukur secara andal.

6. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal – PSAK 16 (revisi 2007) Par. 15 maupun PSAK 16 (1994) sebelumnya (Par. 13) mengatur bahwa suatu aset tetap (aktiva tetap) yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset (aktiva) pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan.

PSAK 16 (revisi 2007) dalam Par. 29 mengatur mengenai Pengukuran Setelah Pengakuan Awal Aset Tetap, “Suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) dalam par. 30 atau model revaluasi (revaluation model) dalam par. 31 sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.”

Jadi, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007), entitas mempunyai 2 pilihan pencatatan akuntansi untuk pengukuran aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu (a) model biaya atau (b) model revaluasi.

Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya pada dasarnya tidak memperbolehkan penggunaan model revaluasi dalam pengukuran aktiva tetap.

“Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah. Dalam hal ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan di dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan. Selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap dibukukan dalam akun modal dengan nama “Selisih penilaian kembali aktiva tetap.”

7. Telaah Ulang Nilai Residu, Umur Manfaat dan Metode Penyusutan – PSAK 16 (revisi 2007) Par. 54 mengatur bahwa “nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.”

Kemudian Par. 64 mengatur bahwa “metode penyusutan yang digunakan untuk aset harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan, apabila terjadi perubahan yang signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dari aset tersebut, maka metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan pola tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25

Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya dalam Par. 39 mengatur bahwa “masa manfaat suatu aktiva tetap harus ditelaah ulang secara periodik dan, jika harapan berbeda secara signifikan dengan estimasi sebelumnya, beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.”

Par. 42 PSAK 16 (1994) mengatur bahwa “metode penyusutan yang digunakan untuk aktiva tetap ditelaah ulang secara periodik dan jika terdapat suatu perubahan signifikan dalam pola pemanfaatan ekonomi yang diharapkan dari aktiva tersebut, metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai suatu perubahan kebijakan akuntansi dan dilaporkan sesuai dengan PSAK No. 25, dan beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.”

8. PSAK 16 (Revisi 2007) Par. 45 mengatur bahwa : Jika dalam suatu entitas terdapat aset tetap yang tersedia untuk dijual, maka perlakuan akuntansi untuk aset tersebut adalah sebagai berikut :

a) Diakui pada saat dilakukan penghentian operasi;

b) Diukur sebesar nilai yang lebih rendah dari jumlah tercatatnya dibandingkan dengan nilai wajar setelah dikurangi dengan biaya-biaya penjualan aset tersebut;

c) Disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya akan dipulihkan melalui transaksi penjualan dari penggunaan lebih lanjut; dan

d) Diungkapkan dalam laporan keuangan dalam rangka evaluasi dampak penghentian operasi dan pelepasan aset (aset tidak lancar)

Par. 45 yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi untuk aset tetap yang tersedia untuk dijual ini mengacu ke paragraph 6, 15 dan 30 dari IFRS 5 : Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations).

9. Penyusutan – PSAK 16 (Revisi 2007) par. 46 mengatur bahwa “setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset harus disusutkan secara terpisah.” Sedangkan dalam PSAK 16 (1994) sebelumnya tidak diatur.

10. Aktiva Lain-lain – PSAK 16 (1994) sebelumnya mengatur mengenai Aktiva Lain-lain sedangkan dalam PSAK 16 (revisi 2007) tidak diatur.

11. PSAK 16 (Revisi 2007) ini berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.

Tuesday, September 16, 2008

PMK No. 79 tahun 2008 (versus PSAK 16 revisi 2007), apakah memang perlu direvisi ? (bagian 2 dari 2 tulisan)

Perbedaan lainnya yang menjadi permasalahan adalah pengaturan menurut Pasal 9 ayat (1) PMK 79/2008 yang menyatakan bahwa selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal …….. “ (lihat point 7). Sedangkan PSAK 16/2007 mengatur pencatatan selisih revaluasi aset terutama dalam par. 39 dan par. 40.

Dalam par. 39 PSAK 16/2007 diatur bahwa jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun, kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi.

Selanjutnya, par. 40 mengatur bahwa jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut.

Dari pengaturan kedua paragraf PSAK 16/2007 tersebut, jelas akan terjadi perbedaan pengakuan saldo selisih revaluasi aktiva tetap dengan pengaturan menurut PMK 79/2008.

Selain itu, perlu diperhatikan juga pengaturan masa transisi penerapan PSAK 16/2007 dalam par. 84 yang menggariskan bahwa perusahaan yang sebelumnya pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK 16/2007 ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. (lihat tulisan saya sebelumnya : Masa transisi PSAK 16/2007, bagaimana penerapannya ?). Sedangkan PMK 79/2008 tidak mengatur mengenai hal ini.

PMK 79/2008 perlu (atau harus) direvisi ?

Ketidak-sinkronan antara pengaturan menurut PMK 79/2008 dengan PSAK 16/2007 seperti yang saya paparkan sebelumnya merupakan permasalahan yang banyak diprotes habis-habisan oleh para praktisi akuntansi di Indonesia.

Bapak Tarkosunaryo, partner KAP Syarief Basir & Rekan (a member of Russell Bedford International) dalam milis FORKAP beberapa waktu yang lalu mengusulkan agar PMK 79/2008 tersebut direvisi, terutama untuk pasal 9 yang menurut beliau sebaiknya dihapus atau direvisi karena kontradiktif dengan PSAK.

Dalam tulisannya yang dimuat majalah Akuntan Indonesia terbitan IAI Wilayah Jakarta dengan judul “Revaluasi Aset Tetap : Suatu Tinjauan dari Aspek Akuntansi dan Aspek Peraturan Perpajakan”, beliau memaparkan antara lain bahwa revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008 merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.”

Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa “Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.”

Ika Fransisca, dosen luar biasa pada Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandala Surabaya serta Wan Juli, tax manager pada Purwantono, Sarwoko, Sandjaja Consult dalam tulisannya berjudul “PMK No. 79/2008, Tidak Sejalan dengan PSAK ?” yang dimuat dalam Indonesian Tax Review Volume I/Edisi 09/2008 memaparkan antara lain bahwa ketidaksejalanan antara PSAK 16/2007 dengan PMK 79/2008 hampir pasti berujung pada banyaknya kesulitan, terutama yang terkait dengan penerapan dampak pajak tangguhan seperti yang diatur dalam PSAK 46 Akuntansi Pajak Tangguhan.

Dalam rezim yang lama, yaitu PSAK 16 sebelum revisi dan KMK No. 486/KMK.03/2002, hampir pasti kedua ketentuan itu sejalan sehingga koreksi atas aktiva tetap dan penyusutannya (perbedaan penyusutan fiskal dan komersial) umumnya hanya menimbulkan beda waktu saja, dan tentu saja, aktiva dan kewajiban pajak tangguhan. Namun berdasarkan rezim baru ini, PSAK revisi dan PMK No. 79/PMK.03/2008, hampir bisa dipastikan bahwa atas koreksi di aktiva tetap dan penyusutan, sebagai akibat adanya revaluasi itu, akan mengakibatkan beda waktu sekaligus beda tetap. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan komersial melakukan revaluasi, sekalipun fiskal tidak, ataupun sebaliknya (fiskal melakukan revaluasi tetapi komersial tidak).

Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa revaluasi juga mengakibatkan adanya risiko lain yaitu timbulnya salah interpretasi dari pihak fiskus setelah melihat neraca Wajib Pajak. Kesalahan interpretasi ini muncul akibat adanya selisih revaluasi yang tidak didukung dengan pembayaran PPh Final, karena mungkin WP tersebut tidak mengajukan permohonan revaluasi ke DJP.

Jadi, sebagai penutup, menurut saya, sudah saatnya pihak IAI dan Dirjen Pajak duduk bersama membahas kembali masalah ini. Kalau tidak, buntutnya para praktisi akuntansi di Indonesia bakalan pusing tujuh keliling terutama dalam menghitung dan membukukan efek pajak tangguhan atas revaluasi aset tersebut. Cape deh. (Hrd) ***

Catatan kaki : berdasarkan polling yang saya lakukan, 100 % persen responden (walaupun hanya 9 partisipan sampai dengan saat ini) menyatakan bahwa PMK 79/2008 perlu direvisi

PMK No. 79 tahun 2008 (versus PSAK 16 revisi 2007), apakah memang perlu direvisi ? (bagian 1 dari 2 tulisan)

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 79/PMK.03/2008 yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2008 mengatur mengenai penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan. PMK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.

Sesuai dengan judul tulisan di atas, kali ini saya tidak akan membahas mengenai pengaturan perpajakan atas PMK No. 79 tahun 2008 ini. Akan tetapi, yang akan saya bahas adalah mengenai pengaturan revaluasi aktiva tetap (aset tetap menurut istilah PSAK revisian) secara perpajakan (PMK No. 79 tahun 2008) dibandingkan dengan pengaturan menurut akuntansi (PSAK 16 revisi 2007).

Beberapa ketentuan pokok menurut PMK No. 79 tahun 2008 yang akan saya perbandingkan nantinya adalah :

1. Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak (pasal 2 ayat 1);

2. Penilaian kembali aktiva tetap Perusahaan dilakukan terhadap : (a) Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau (b) seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak (Pasal 3 ayat 1);

3. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (Pasal 3 ayat 2);

4. Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali, (b) masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut, (c) perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 1);

5. Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan, (b) sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan, (c) perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut (Pasal 7 ayat 2);

6. Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 3);

7. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal ……………… “ (Pasal 9 ayat 1);

Secara Akuntansi, mengenai revaluasi aktiva tetap (aset tetap) diatur terutama dalam PSAK 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Sebelumnya, saya sudah pernah memposting beberapa tulisan berkaitan dengan revaluasi aset berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007). Baca di sini : Sekilas revaluasi aset berdasarkan PSAK 16/2007, dan juga di sini : Revaluasi aset, beda pengaturan antara akuntansi dan pajak.

Beberapa perbedaan pengaturan revaluasi aset menurut perpajakan (PMK 79/2008) dibandingkan dengan akuntansi (PSAK 16/2007) saya paparkan berikut ini.

Secara perpajakan, untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap, perusahaan harus memperoleh ijin dari Dirjen Pajak terlebih dahulu (lihat point ke-1 beberapa ketentuan pokok PMK 79/2008 di atas). Secara akuntansi, berdasarkan PSAK 16/2007 tidak diperlukan adanya persetujuan dari Dirjen Pajak untuk membukukan aset tetap model revaluasian.

Berdasarkan PSAK 16/2007 par. 36 diatur bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Dalam hal ini, PSAK memperbolehkan perusahaan untuk melakukan revaluasi aset menurut kelompok aset tertentu (tidak harus terhadap keseluruhan aset tetap). Perusahaan juga diperbolehkan untuk melakukan revaluasi secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda (rolling basis) seperti yang dijelaskan dalam par. 38. Sedangkan perpajakan dalam PMK 79/2008 (lihat point 2) mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud.

Selanjutnya, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 34 diatur bahwa perusahaan dapat melakukan revaluasi aset dengan frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Sedangkan secara perpajakan menurut PMK 79/2008 (lihat point 3) diatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini.

Friday, August 1, 2008

Masa Transisi PSAK 16 (Revisi 2007), bagaimana penerapannya ?

Sebelumnya saya sudah pernah posting beberapa tulisan berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang mulai berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.

Buat yang belum mengetahui, PSAK No. 16 (Revisi 2007) ini menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan.

Dengan demikian, sejak tanggal 1 Januari 2008, PSAK No. 16 (1994) serta PSAK No. 17 (1994) tersebut tidak berlaku lagi dan digantikan dengan PSAK No. 16 (Revisi 2007).

Berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tersebut, kali ini saya ingin sedikit membahas mengenai ketentuan transisi yang diatur dalam paragraf 83 dan paragraf 84.

Dalam paragraf 83 PSAK No. 16 (Revisi 2007) diatur bahwa “Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat Pernyataan ini diterbitkan.”

Artinya jika sebelumnya (tahun 2007 dan sebelumnya) perusahaan pernah melakukan revaluasi aktiva tetap dan untuk tahun buku 2008, perusahaan memilih menggunakan model biaya dalam pencatatan aset tetapnya, maka nilai aset tetap yang dipergunakan sebagai biaya perolehan mulai tahun 2008 tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya.

Kemudian, dalam paragraf 84 diatur bahwa “Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali Pernyataan ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.”

Paragraf ini menjelaskan bahwa jika misalnya pada Neraca PT A per 31/12/2007 terdapat saldo Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap yang merupakan pencatatan selisih hasil penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dengan jumlah tercatat (nilai buku) aktiva tetap atas hasil revaluasi aktiva pada tahun 2007 ataupun tahun-tahun sebelumnya, maka saldo tersebut per 1 Januari 2008 harus direklas ke Saldo Laba.

Contoh penyajian dalam Neraca PT A per 30 Juni 2008 dan per 31 Desember 2007 sebagai berikut :

EKUITAS    30/6/08   31/12/07
Modal Saham       2.000       2.000
Selisih penilaian aset tetap             0       1.200
Saldo Laba      55.000      32.500

Sedangkan penyajian Laporan Perubahan Ekuitas per 30 Juni 2008 dan 31 Desember 2007 sebagai akibat dari reklasifikasi Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap sebesar Rp 1.200 sebagai berikut :

    Modal   SPAT    R/E   Jumlah
Saldo per 1/1/2008     2.000    1.200   32.500     35.700
Laba Bersih           0          0   21.300     21.300
Penyesuaian atas
  penerapan PSAK
  16 (revisi 2007)
          0   (1.200)     1.200             0
Saldo per 30/6/2008     2.000          0   55.000     57.000

Modal = Modal Saham; SPAT = Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap; R/E = Saldo Laba

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan masa transisi penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007). Semoga bermanfaat (Hrd)

Thursday, June 26, 2008

Menggunakan Depreciated Replacement Cost Approach sebagai pendekatan alternatif dalam penentuan nilai wajar aset tetap

Seperti yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya bahwa PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap memberikan dua opsi sebagai kebijakan akuntansi dalam pengukuran nilai aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu model biaya (cost model) ataupun model revaluasi (revaluation model) Baca di sini

Jika menggunakan model revaluasi, setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi.

Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi profesional berdasarkan bukti pasar. Nilai wajar pabrik dan peralatan biasanya menggunakan nilai pasar yang ditentukan oleh penilai (PSAK 16 Par. 32).

Jika tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas mungkin perlu mengestimasi nilai wajar menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach) (PSAK 16 Par. 33).

Yang akan saya bahas berikut ini adalah berkaitan dengan penerapan depreciated replacement cost approach dalam penentuan nilai wajar aset tetap.

Dalam buku WILEY – IFRS 2008 Interpretation and Application diberikan contoh penerapan depreciated replacement cost approach yang cukup jelas.

Berikut kutipannya ------------------------------------

IAS 16 suggests that fair value is usually determined by appraisers, using market-based evidence. Market values can also be used for machinery and equipment, but since such items often do not have readily determinable market values, particularly if intended for specialized applications, they may instead be valued at depreciated replacement cost.

Example of depreciated replacement cost (sound value) as a valuation approach :

An asset acquired January 1, 2005 at a cost of € 40,000 was expected to have a useful economic life of 10 years. On January 1, 2008, it is appraised as having a gross replacement cost of € 50,000. The sound value, or depreciated replacement cost, would be 7/10 x € 50,000 or € 35,000. This compares with a book, or carrying value of € 28,000 at the same date. Mechanically, to accomplish a revaluation at January 1, 2008, the asset should be written up by € 10,000 (i.e from € 40,000 to € 50,000 gross cost) and the accumulated depreciation should be proportionally written up by € 3,000 (from € 12,000 to € 15,000). Under IAS 16, the net amount of the revaluation adjustment, € 7,000 would be recognized in other comprehensive income and accumulated in revaluation surplus, an additional equity account.

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan penggunaan depreciated replacement cost approach sebagai pendekatan alternatif penentuan nilai wajar aset tetap. Semoga bisa membantu untuk lebih memahami PSAK 16 (Revisi 2007) terutama yang berkaitan dengan penerapan model revaluasi. (Hrd)

Thursday, June 19, 2008

Revaluasi aset, beda pengaturan antara akuntansi dan pajak

Dalam tulisan sebelumnya dengan judul “Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) (baca di sini) saya sudah menjelaskan bahwa PSAK 16 (Revisi 2007) memperbolehkan perusahaan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasian.

Sistimatika dan aturan main pencatatan akuntansi aset tetap jika perusahaan memilih model revaluasian juga diatur dengan cukup jelas dalam PSAK 16 (Revisi 2007) tersebut.

Sedangkan dari segi perpajakan, pengaturan mengenai penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan diatur terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2008 (download di sini : PMK No.79/PMK.03/2008), menggantikan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.

Beberapa perbedaan antara pengaturan menurut KMK No. 486/KMK.03/2002 dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 diantaranya adalah :

1. KMK yang lama mengatur bahwa revaluasi dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan (pasal 3 ayat (2)), sedangkan PMK yang baru mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap (pasal 3 ayat (1)).

2. Revaluasi aktiva tetap menurut KMK yang lama dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama (pasal 3 ayat (3)), sedangkan PMK yang baru mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (pasal 3 ayat (2)).

Pengaturan ini sepertinya agak bertentangan dengan perlakuan akuntansi menurut PSAK 16 (Revisi 2007) yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 dimana dalam paragraf 31 diatur bahwa (apabila perusahaan menerapkan model revaluasian) maka revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara signifikan dari nilai wajar pada tanggal neraca. Selanjutnya dalam par. 34 dijelaskan lagi bahwa jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan.

Jadi, apabila setiap tahun terjadi perubahan nilai wajar secara signifikan terhadap jumlah tercatat aset tetap, maka dengan sendirinya revaluasi harus dilakukan secara tahunan. Sedangkan perpajakan mengatur bahwa aktiva tetap baru boleh dinilai kembali setelah jangka waktu 5 tahun sejak revaluasi yang terakhir dilakukan.

Seandainya perusahaan secara akuntansi menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetapnya dan dalam 2 tahun kemudian nilai wajar aset tetap mengalami peningkatan signifikan sehingga perlu dilakukan revaluasi kembali jelas akan menghadapi masalah karena dengan sendirinya revaluasi yang dilakukan sudah menyimpang dari ketentuan perpajakan. Lantas bagaimana dengan Pajak Penghasilan Final 10 % yang dikenakan atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskalnya (Pasal 5 PMK No. 79) ? Apakah tetap harus dibayar sedangkan jika prosedur revaluasi tidak sesuai ketentuan perpajakan sudah tentu tidak akan diterbitkan keputusan ijin revaluasi dari Dirjen Pajak ?

Sepertinya harus pikir-pikir dulu sebelum menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetap perusahaan sesuai PSAK 16 (Revisi 2007). Setidaknya harus sudah diprediksikan terlebih dahulu bahwa aset tetap yang sudah direvaluasi tersebut tidak akan mengalami peningkatan nilai wajar yang signifikan dalam 5 tahun ke depan (Hrd).

Wednesday, June 18, 2008

Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap saat ini sudah hampir sepenuhnya mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Salah satu perubahan signifikan dari PSAK 16 (Revisi 2007) ini adalah mengenai revaluasi aset tetap. Dalam PSAK sebelumnya yaitu PSAK 16 (1994) mengenai Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain pada dasarnya mengharuskan penyajian aktiva tetap berdasarkan nilai perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah, dan dalam hal ini harus ada catatan ataupun penjelasan dalam laporan keuangan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan (PSAK 16 (1994) Par. 29).

Jadi, sebelum berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007), jika perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap yang pada umumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perpajakan, maka pada opini auditor harus ada catatan dan penjelasan tambahan berkaitan dengan hal tersebut.

Dengan mulai berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007) sejak 1 Januari 2008, maka perusahaan diperbolehkan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasi, dan harus diterapkan terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.

Jika menggunakan model biaya, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 (revisi 2007) par. 30). Model ini adalah seperti yang diterapkan sebagian besar perusahaan selama ini.

Sedangkan jika menggunakan model Revaluasi, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca (PSAK 16 (revisi 2007) par. 31).

Dalam paragraph 34 diatur lebih lanjut bahwa frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Paragraf 36 menjelaskan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.

Paragraf 39 dan 40 mengatur mengenai perlakuan pencatatan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi sebagai berikut :

· Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke Ekuitas pada bagian Surplus Revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi sehingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi (par. 39)

· Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut (par. 40).

PSAK 16 (1994) menggunakan istilah “Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” untuk membukukan selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap.

Jika perusahaan mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap maka perubahan tersebut berlaku prospektif. Hal ini diatur dalam paragraph 43 PSAK 16 (revisi 2007).

Ketentuan Transisi PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa :

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya, maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat PSAK ini diterbitkan (par. 83).

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.

Demikian sekilas penjelasan pengaturan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)/IAS 16. Selanjutnya, saya akan menulis tentang perbedaan pengaturan revaluasi aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) dibandingkan dengan ketentuan perpajakan yang diatur terakhir berdasarkan PMK No. 79/PMK.03/2008 tanggal 23 Mei 2008 (Hrd).

Thursday, May 1, 2008

Memperkecil Beban Pajak dari Revaluasi Aktiva Tetap

Pada Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003 kolom My Tax Advisor, seorang pembaca menanyakan masalah manfaat revaluasi aktiva tetap, sebagai berikut :

Saya pernah mendengar bahwa revaluasi aktiva tetap mempunyai manfaat bagi perusahaan, khususnya dari sisi perpajakan yang akan mempengaruhi pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Apakah benar demikian ? Bagaimana persyaratannya ?

Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh Tahun 2000), dijelaskan bahwa dalam masa di mana terdapat perkembangan harga yang mencolok (inflasi) atau perubahan kebijakan di bidang moneter (devaluasi mata uang dalam negeri) dapat terjadi kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Hal ini disebabkan karena pengukuran biaya berdasarkan historical cost, sementara pendapatan diukur dengan harga berlaku yaitu current cost.

Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dan faktor penyesuaiannya (indeksasi nilai perolehan aktiva dan biaya penyusutannya), di mana yang masih berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Revaluasi aktiva tetap memang mempunyai manfaat bagi perusahaan, yaitu antara lain :

1. Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat meningkatnya nilai aktiva dan modal;

2. Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai aktiva dapat dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus);

3. Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio keuangan perusahaan, khususnya yang ditunjukkan oleh debt to assets ratio dan debt to equity ratio.

4. Penghematan pajak yang terjadi sebagai akibat bertambah besarnya nilai penyusutan aktiva, yang dapat memberikan penghematan pajak sebesar 30% dari nilai tambah penyusutan. Sementara keuntungan dari revaluasi aktiva hanya dikenakan pajak final sebesar 10%.

Adapun prosedur, persyaratan dan perhitungan pajak atas revaluasi aktiva tetap diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Sumber : Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003

Thursday, April 17, 2008

Perlakuan PSAK 40 atas Revaluasi Aktiva Tetap Anak Perusahaan serta Implikasi Perpajakannya

PT XYZ mempunyai investasi saham pada PT ABC sebesar 30 % dari total saham beredar. Pada tanggal 12 Maret 2004, PT ABC melakukan penilaian kembali aktiva tetap. Semua aktiva tetap PT ABC memenuhi persyaratan untuk dinilai kembali sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 dan nilai buku aktiva tetap sama dengan nilai buku fiskal. Penilaian kembali dilakukan oleh lembaga penilai yang menetapkan bahwa nilai pasar wajar aktiva tersebut sebesar Rp 900 Juta.

Atas penilaian kembali aktiva tetap tersebut dicatat oleh PT ABC dengan jurnal sebagai berikut :

Aktiva tetap (nilai revaluasi)    900.000.000  
Pajak Penghasilan      50.000.000  
     Aktiva Tetap (nilai buku    
        aktiva lama)      400.000.000
     Kas/PPh Terhutang       50.000.000
     Selisih Penilaian Kembali    
        Aktiva Tetap      500.000.000

Sedangkan dalam pembukuan PT XYZ dijurnal sebagai berikut :

Investasi pada PT ABC    150.000.000  
   Selisih Transaksi Perubahan    
     Ekuitas Perush Asosiasi   150.000.000

(Dari nilai selisih revaluasi aktiva tetap, yang menjadi bagian pemilikan PT XYZ adalah 30 % x Rp 500 Juta = Rp 150 Juta)

Ilustrasi di atas untuk mencatat pengakuan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Perusahaan Asosiasi dalam pembukuan induk perusahaan yang memiliki investasi (penyertaan) saham pada anak perusahaan sebagai akibat adanya revaluasi aktiva tetap anak perusahaan sesuai dengan PSAK No. 40 – Akuntansi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan/Perusahaan Asosiasi.

Lantas, bagaimana perlakuan perpajakan atas pencatatan transaksi di atas ?

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-29/PJ.312/2006 tanggal 19 Januari 2006, Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan seorang Wajib Pajak berkaitan dengan hal tersebut.

PT ABC adalah perusahaan yang bergerak dalam penerbitan surat kabar nasional di Indonesia. Dalam perkembangan usahanya, PT ABC mempunyai penyertaan saham pada 4 anak perusahaan yang bergerak dalam bisnis yang berbeda dengan PT ABC.

Pada tahun pajak 2004, PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap secara fiscal sehingga terdapat kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap pada PT ABC dan anak perusahaannya. Dalam neraca PT ABC, kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap dicatat pada perkiraan “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” dan kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap pada anak perusahaan (berkaitan dengan investasi PT ABC pada anak perusahaan seperti contoh di atas) dicatat dalam pembukuan PT ABC pada perkiraan “Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan”

Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap selanjutnya akan dikapitalisasi sebagai tambahan Modal Disetor.

Sehubungan dengan hal di atas, bagaimana implikasi perlakuan Pajak Penghasilan atas pencatatan tambahan Modal Disetor atau saham bonus dari kapitalisasi Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap tersebut ?

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan, diatur bahwa :

1. Pasal 9 ayat (1), selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan”

2. Pasal 9 ayat (2), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal tersebut dalam Pasal 5 ayat (1), bukan merupakan Objek Pajak.

3. Pasal 9 ayat (3), dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hanya sampai dengan sebesar selisih penilaian kembali secara komersial.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas :

1. Pencatatan “Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan” yang berasal dari “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhi ketentuan dalam PSAK No. 40

2. Dalam hal PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi aktiva) untuk tujuan perpajakan, jika terdapat selisih lebih karena penilaian kembali aktiva maka selisih tersebut merupakan Objek Pajak. Dalam peraturan perpajakan, anak perusahaan merupakan entitas sendiri yang terpisah dari induk perusahaan sehingga penghasilan/keuntungan anak perusahaan dicatat dalam laporan keuangan masing-masing. Dalam hal selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap anak perusahaan yang dilakukan untuk tujuan perpajakan selanjutnya dikapitalisasi sebagai tambahan modal disetor, maka selisih lebih tersebut merupakan saham bonus kepada pemegang saham sebesar persentase penyetoran pada anak perusahaan. Sepanjang pemberian saham bonus atau tambahan modal tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap tersebut tidak melebihi selisih lebih revaluasi secara fiskal, maka pemberian saham bonus tersebut bukan merupakan Objek Pajak atau pembayaran dividen. Dengan demikian, saham bonus atau tambahan modal yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap anak perusahaan secara fiskal bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan ataupun pembayaran dividen bagi pemegang saham.

Dalam hal di kemudian hari, pemegang saham mengalihkan/menjual sahamnya, maka keuntungan (capital gain) atau penghasilan yang diterima oleh pemegang saham atas penjualan atau pengalihan saham bonus tersebut kepada pihak ketiga merupakan Objek Pajak Penghasilan yang harus diakui pemegang saham pada tahun pajak saham bonus tersebut dialihkan atau dijual (Hrd).