Tuesday, September 16, 2008

PMK No. 79 tahun 2008 (versus PSAK 16 revisi 2007), apakah memang perlu direvisi ? (bagian 2 dari 2 tulisan)

Perbedaan lainnya yang menjadi permasalahan adalah pengaturan menurut Pasal 9 ayat (1) PMK 79/2008 yang menyatakan bahwa selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal …….. “ (lihat point 7). Sedangkan PSAK 16/2007 mengatur pencatatan selisih revaluasi aset terutama dalam par. 39 dan par. 40.

Dalam par. 39 PSAK 16/2007 diatur bahwa jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun, kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi.

Selanjutnya, par. 40 mengatur bahwa jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut.

Dari pengaturan kedua paragraf PSAK 16/2007 tersebut, jelas akan terjadi perbedaan pengakuan saldo selisih revaluasi aktiva tetap dengan pengaturan menurut PMK 79/2008.

Selain itu, perlu diperhatikan juga pengaturan masa transisi penerapan PSAK 16/2007 dalam par. 84 yang menggariskan bahwa perusahaan yang sebelumnya pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK 16/2007 ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. (lihat tulisan saya sebelumnya : Masa transisi PSAK 16/2007, bagaimana penerapannya ?). Sedangkan PMK 79/2008 tidak mengatur mengenai hal ini.

PMK 79/2008 perlu (atau harus) direvisi ?

Ketidak-sinkronan antara pengaturan menurut PMK 79/2008 dengan PSAK 16/2007 seperti yang saya paparkan sebelumnya merupakan permasalahan yang banyak diprotes habis-habisan oleh para praktisi akuntansi di Indonesia.

Bapak Tarkosunaryo, partner KAP Syarief Basir & Rekan (a member of Russell Bedford International) dalam milis FORKAP beberapa waktu yang lalu mengusulkan agar PMK 79/2008 tersebut direvisi, terutama untuk pasal 9 yang menurut beliau sebaiknya dihapus atau direvisi karena kontradiktif dengan PSAK.

Dalam tulisannya yang dimuat majalah Akuntan Indonesia terbitan IAI Wilayah Jakarta dengan judul “Revaluasi Aset Tetap : Suatu Tinjauan dari Aspek Akuntansi dan Aspek Peraturan Perpajakan”, beliau memaparkan antara lain bahwa revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008 merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.”

Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa “Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.”

Ika Fransisca, dosen luar biasa pada Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandala Surabaya serta Wan Juli, tax manager pada Purwantono, Sarwoko, Sandjaja Consult dalam tulisannya berjudul “PMK No. 79/2008, Tidak Sejalan dengan PSAK ?” yang dimuat dalam Indonesian Tax Review Volume I/Edisi 09/2008 memaparkan antara lain bahwa ketidaksejalanan antara PSAK 16/2007 dengan PMK 79/2008 hampir pasti berujung pada banyaknya kesulitan, terutama yang terkait dengan penerapan dampak pajak tangguhan seperti yang diatur dalam PSAK 46 Akuntansi Pajak Tangguhan.

Dalam rezim yang lama, yaitu PSAK 16 sebelum revisi dan KMK No. 486/KMK.03/2002, hampir pasti kedua ketentuan itu sejalan sehingga koreksi atas aktiva tetap dan penyusutannya (perbedaan penyusutan fiskal dan komersial) umumnya hanya menimbulkan beda waktu saja, dan tentu saja, aktiva dan kewajiban pajak tangguhan. Namun berdasarkan rezim baru ini, PSAK revisi dan PMK No. 79/PMK.03/2008, hampir bisa dipastikan bahwa atas koreksi di aktiva tetap dan penyusutan, sebagai akibat adanya revaluasi itu, akan mengakibatkan beda waktu sekaligus beda tetap. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan komersial melakukan revaluasi, sekalipun fiskal tidak, ataupun sebaliknya (fiskal melakukan revaluasi tetapi komersial tidak).

Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa revaluasi juga mengakibatkan adanya risiko lain yaitu timbulnya salah interpretasi dari pihak fiskus setelah melihat neraca Wajib Pajak. Kesalahan interpretasi ini muncul akibat adanya selisih revaluasi yang tidak didukung dengan pembayaran PPh Final, karena mungkin WP tersebut tidak mengajukan permohonan revaluasi ke DJP.

Jadi, sebagai penutup, menurut saya, sudah saatnya pihak IAI dan Dirjen Pajak duduk bersama membahas kembali masalah ini. Kalau tidak, buntutnya para praktisi akuntansi di Indonesia bakalan pusing tujuh keliling terutama dalam menghitung dan membukukan efek pajak tangguhan atas revaluasi aset tersebut. Cape deh. (Hrd) ***

Catatan kaki : berdasarkan polling yang saya lakukan, 100 % persen responden (walaupun hanya 9 partisipan sampai dengan saat ini) menyatakan bahwa PMK 79/2008 perlu direvisi