Wednesday, February 3, 2010

Penerapan tarif tunggal 28% dalam perhitungan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009

Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang baru yaitu UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mulai berlaku sejak 1 Januari 2009. Dengan demikian, untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 yang akan berakhir pada tanggal 30 April 2010 nantinya sudah harus mengacu ke UU No. 36 tahun 2008.

Salah satu perubahan penting dari UU Pajak Penghasilan ini adalah perubahan tarif pajak untuk WP Badan, dimana berdasarkan UU PPh yang berlaku sebelumnya (UU No. 17 tahun 2000), untuk tahun pajak 2008 dan sebelumnya tarif pajak yang berlaku untuk WP Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sesuai Pasal 17 ayat (1b) adalah sebagai berikut :

1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d Rp 50 juta dikenakan tarif 10%

2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 50 juta s.d Rp 100 juta dikenakan tarif 15%

3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 juta dikenakan tarif 30%

Kemudian, berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat (1b) diatur bahwa untuk penghasilan kena pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap dikenakan tarif sebesar 28%.

Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat 2a).

Sedangkan untuk WP Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif lebih rendah 5% (Pasal 17 ayat 2b).

Ketentuan tarif PPh untuk WP Badan Dalam Negeri selain diatur dalam Pasal 17 ayat (1b), juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 31E ayat (1) : Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Implementasi dari ketentuan Pasal 31E ayat (1) ini diatur lebih lanjut dalam bagian penjelasan.

Contoh 1 :

Peredaran Bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4,5 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta. Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif PPh yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4,8 miliar.

Perhitungan PPh yang terutang : (50% x 28%) x Rp 500 juta = Rp 70 Juta.

Contoh 2 :

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 Rp 30 Miliar dengan Penghasilan Kena Pajak Rp 3 Miliar.

Oleh karena jumlah peredaran bruto sudah melebihi Rp 4,8 Miliar, maka dalam menghitung PPh terutang harus dipisahkan antara bagian yang mendapat fasilitas dan bagian yang tidak mendapat fasilitas, dengan cara sebagai berikut :

(1) Jumlah Penghasilan Kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas : (Rp 4,8 miliar : Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480 juta.

(2) Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas : Rp 3 miliar – Rp 480 juta = Rp 2.520.000.000

Setelah itu, dihitung jumlah PPh yang terutang :

(1) (50% x 28%) x Rp 480.000.000  =       67.200.000
(2) 28% x Rp 2.520.000.000           =     705.600.000 +
       ____________
  Jumlah PPh Terutang             =     772.800.000

Sedangkan, jika peredaran bruto sudah melebihi Rp 50 Miliar maka tidak mendapat fasilitas sehingga seluruh Penghasilan Kena Pajak dikenakan tarif 28%.

Sumber : Undang Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008

No comments:

Post a Comment