Sebelumnya saya sudah pernah memposting tulisan mengenai Biaya Pinjaman (Borrowing Cost) (baca lebih lanjut di sini : Masalah Kapitalisasi Biaya Pinjaman (Borrowing Cost)) yang diatur berdasarkan PSAK No. 26 mengenai Biaya Pinjaman. Selanjutnya, pada tanggal 26 Pebruari 2008, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah menyetujui beberapa Exposure Draft (ED) PSAK yang salah satunya adalah PSAK No. 26.
PSAK No. 26 revisi 2008 ini berdasarkan ED-nya, telah mengadopsi keseluruhan IAS 23 (revised March 2007) Borrowing Cost, kecuali untuk beberapa paragraf (lihat tulisan saya sebelumnya di sini : ED PSAK 26 (revisi 2008) vs PSAK 26 (1997) serta ED PSAK No. 26 (revisi 2008) yang dapat didownload di sini : ED PSAK 26 (revisi 2008)).
Kali ini saya ingin membahas lagi mengenai masalah biaya pinjaman (borrowing cost) berhubung beberapa waktu yang lalu, salah satu klien menanyakan “kalau biaya pinjaman yang timbul dari pembelian aktiva tetap melalui pembiayaan sewa guna usaha (leasing) apakah boleh dikapitalisasi ke nilai perolehan aktiva tetap bersangkutan ? Kalau tidak bisa, kenapa ? Sedangkan untuk biaya pinjaman seperti bunga pinjaman yang timbul dari fasilitas pinjaman bank dalam bentuk Kredit Investasi untuk pembiayaan pembangunan pabrik kelapa sawit misalnya boleh dikapitalisasi ke nilai perolehan pabrik kelapa sawit tersebut. Bukankah sama-sama timbul dari fasilitas pinjaman ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat mengacu ke beberapa paragraf dalam PSAK 26 yang menurut saya cukup jelas mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas kapitalisasi biaya pinjaman.
Paragraf 10 menjelaskan bahwa biaya pinjaman yang secara langsung dapat diatribusikan dengan perolehan, konstruksi atau produksi suatu Aset Tertentu harus dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya perolehan Aset Tertentu tersebut.
Sedangkan definisi Aset Tertentu diatur antara lain dalam paragraf 5 yang menjelaskan bahwa aset tertentu yang memenuhi syarat (qualifying assets) selanjutnya disebut Aset Tertentu adalah suatu aset yang membutuhkan waktu yang cukup lama agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya.
Kemudian, paragraf 7 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Aset Tertentu antara lain adalah persediaan barang tertentu, pabrik, dan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan aset yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap untuk digunakan atau dijual bukan merupakan Aset Tertentu.
Selanjutnya dalam paragraf 8 diatur bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang tertentu adalah persediaan yang untuk memproduksi sampai siap untuk dijual membutuhkan waktu yang cukup lama sesuai dengan bidang usahanya. Yang dimaksud dengan waktu yang cukup lama adalah 12 bulan atau lebih. Persediaan yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap dijual bukan merupakan Aset Tertentu.
Dari penjelasan beberapa paragraf PSAK 26 di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya pinjaman yang boleh dikapitalisasi adalah biaya pinjaman yang timbul dari perolehan, konstruksi atau produksi suatu Aset Tertentu (aset yang membutuhkan waktu yang cukup lama (12 bulan atau lebih) agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya). Aset yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap untuk digunakan atau dijual bukan merupakan Aset Tertentu sehingga atas biaya pinjaman yang timbul dari aset tersebut tidak boleh dikapitalisasi.
Jadi, untuk aset tetap yang diperoleh melalui fasilitas leasing bukan berarti bunga pinjaman yang timbul tidak boleh dikapitalisasi. Sepanjang aset bersangkutan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam PSAK 26 yaitu Aset Tertentu yang membutuhkan waktu yang cukup lama (12 bulan atau lebih) agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya (bukan merupakan aset yang pada saat perolehannya sudah siap untuk dipergunakan atau dijual), maka kapitalisasi biaya pinjaman yang timbul tetap harus dilakukan (Hrd) ***
Hmmmm...sepertinya pernyataan diatas tidak sepenuhnya sinkron dengan pernyataan PSAK 30 mengenai Capital Lease, yaitu bunga leasing harus dibebankan oleh lessee.
ReplyDelete