Sebuah group perusahaan perkebunan dalam kegiatan operasionalnya, anak perusahaan memperoleh pinjaman dari perusahaan induk (holding company). Pinjaman tersebut terjadi terutama karena adanya kebutuhan mendesak dari perusahaan yang meminjam sambil menunggu proses kredit dari bank. Adakalanya pinjaman tersebut tidak dikenakan bunga dengan pertimbangan bahwa perusahaan anak sedang dalam kesulitan keuangan. Dalam pemeriksaan pajak oleh petugas pajak, hal tersebut menjadi perdebatan antara diperbolehkannya pinjaman tersebut tanpa bunga atau apakah pinjaman tersebut mengandung bunga yang terselubung (deem interest).
Sehubungan dengan adanya KEP-28/PM/1999 tanggal 31 Desember 1999 tentang Pokok-pokok Ketentuan Perjanjian Pinjaman Sub Ordinasi Perusahaan tersebut, kemudian perusahaan tersebut meminta penegasan dari Dirjen Pajak sebagai berikut :
1. Apakah pinjaman Sub Ordinasi seperti yang dimaksud pada keputusan tersebut boleh tanpa bunga, dan jika boleh bagaimana konsekuensi perpajakannya ?
2. Jika pinjaman Sub Ordinasi tersebut dikenakan bunga dan oleh karena satu dan lain hal beban bunga ditangguhkan pembayarannya sampai dengan suatu tanggal tertentu kapan terhutang PPh Pasal 23 ?
3. Jika pinjaman Sub Ordinasi beserta bunganya dikonversi menjadi modal saham, bagaimana konsekuensi perpajakannya ?
Berikut adalah tanggapan Dirjen Pajak berdasarkan Surat Dirjen Pajak No. S-89/PJ.311/2000 tanggal 29 Pebruari 2000 :
Dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992 perihal Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham ditegaskan bahwa pinjaman perusahaan tanpa bunga dari pemegang sahamnya dapat dianggap wajar apabila memenuhi syarat kumulatif sebagai berikut :
1. Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.
2. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya
3. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi
4. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
Apabila salah satu dari ke-empat unsur di atas tidak terpenuhi, maka atas pinjaman tersebut dilakukan koreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :
1. Pinjaman Sub Ordinasi seperti yang dimaksud dalam permasalahan di atas dapat diterima sebagai pinjaman tanpa bunga sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tersebut di atas.
2. Apabila pembayaran bunga pinjaman Sub Ordinasi ditangguhkan, maka Pajak Penghasilan Pasal 23 atas bunga tersebut terhutang pada saat dibayarkan atau terutang (mana yang lebih dahulu). Dalam hal pembukuan perusahaan menganut metode akrual maka penangguhan pembayaran bunga tidak mempengaruhi saat pengakuan biayanya.
3. Jika pinjaman Sub Ordinasi beserta bunganya dikonversikan dalam bentuk saham, maka atas bunga pinjaman Sub Ordinasi terutang Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah brutonya.
No comments:
Post a Comment