Showing posts with label Taxation. Show all posts
Showing posts with label Taxation. Show all posts

Thursday, May 29, 2008

Setiap orang wajib punya NPWP ?

Kewajiban untuk memiliki NPWP sebenarnya sudah diberlakukan semenjak UU Pajak No. 6 tahun 1983. Walaupun kemudian, dalam pelaksanaannya tidak semua Wajib Pajak (WP) diharuskan memiliki NPWP. Bagi WP orang pribadi yang penghasilannya tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan atau WP orang pribadi yang sumber penghasilannya hanya dari satu pemberi kerja dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Pengecualian dari kewajiban melaporkan SPT berarti juga pengecualian kewajiban untuk memiliki NPWP.

Kemudian, sejak berlakunya UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, setiap WP orang pribadi diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat domisili orang pribadi tersebut (KPP Domisili). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 UU No. 16 tahun 2000 sebagai berikut :

Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Meskipun setiap Wajib Pajak wajib memiliki NPWP, tetapi dalam petunjuk pelaksanaannya masih diberikan keringanan bagi WP yang penghasilannya tidak melebihi PTPK. Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-161/PJ./2001.

Sejak tahun 2001, tidak ada lagi pengecualian bagi WP orang pribadi yang penghasilannya hanya dari satu pemberi kerja. Disamping itu, mulai tahun pajak 2001 pihak Ditjen Pajak juga mulai gencar melakukan law enforcement melalui berbagai cara untuk memberikan NPWP kepada WP orang pribadi. Bahkan, melalui KEP-338/PJ./2001, Ditjen Pajak meminta kepada perusahaan sebagai pemberi kerja untuk mendaftarkan karyawannya untuk mendapatkan NPWP.

Berbagai cara ditempuh pihak Ditjen Pajak pada saat itu untuk mengumpulkan data dan informasi apakah penghasilan WP orang pribadi sudah melebihi PTKP sebagai dasar untuk untuk menetapkan NPWP secara jabatan. Misalnya berdasarkan data pelanggan telepon seluler pasca bayar, data pemilik tempat tinggal di kawasan real estate, data pelanggan listrik untuk perumahan dengan daya 6.600 watt atau lebih, data pemilik kartu kredit dan sebagainya.

Pada tahun 2007, berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2007, para pemberi kerja dan atau bendaharawan pemerintah diminta untuk mendaftarkan karyawannya secara massal untuk diberikan NPWP. Untuk itu, Ditjen Pajak memberikan program aplikasi e-NPWP kepada pemberi kerja yang akan digunakan untuk membuat daftar nominatif seluruh karyawan yang dikelompokkan berdasarkan penghasilannya, yaitu yang di atas PTKP dan yang di bawah PTKP, yang sudah ber-NPWP maupun yang belum ber-NPWP.

Terakhir, berdasarkan UU No. 28 tahun 2007, dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4) diatur bahwa :

Ayat 1 – Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Ayat 4 – Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).

Selanjutnya, dalam Pasal 37A ayat (2) diatur bahwa :

Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini*) diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

*) UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008

Berdasarkan pasal ini berarti WP orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dapat memperoleh pengampunan berupa penghapusan sanksi administratif atas pajak yang kurang dibayar bila menyampaikan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak sebelum diperolehnya NPWP. Sementara yang memperoleh NPWP secara jabatan tidak bisa mendapatkannya (Hrd).

Sumber : Indonesian Tax Review Volume VI/Edisi 44/2007

Saturday, May 17, 2008

Penangguhan Beban Penyusutan, apakah diperbolehkan ?

Jika sekiranya terjadinya penurunan produksi ataupun bahkan penghentian produksi mesin pabrik untuk sementara sehingga aktiva mesin pabrik tersebut dengan sendirinya juga tidak dipergunakan, apakah diperbolehkan untuk menangguhkan pembebanan mesin pabrik untuk sementara ? Tentunya hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah terjadi penurunan ataupun penghentian penggunaan mesin pabrik tersebut.

Dari sudut akuntansi, PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap dalam paragraf 58 mengatur bahwa penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal ketika :

1. aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut termasuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan

2. aset tersebut dihentikan pengakuannya seperti yang diatur dalam paragraf 69 (yaitu jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan atau tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya).

Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak dipergunakan atau dihentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namun, apabila metode penyusutan yang digunakan adalah usage method (seperti unit of production method) maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya.

Jadi, kesimpulannya, secara akuntansi pada dasarnya tidak boleh menghentikan ataupun menangguhkan penyusutan sementara walaupun dengan alasan bahwa aktiva tetap seperti mesin pabrik misalnya tidak dipergunakan karena adanya penghentian produksi sementara, kecuali jika metode penyusutan yang dipergunakan adalah usage method yang dengan sendirinya beban penyusutan akan menjadi nol pada saat mesin tidak berproduksi.

Terus, kalau secara perpajakan apakah diperbolehkan ?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengacu ke Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-02/PJ.42/1999 tanggal 26 Januari 1999 perihal Penegasan tentang Penangguhan Penyusutan atas Harta Berwujud.

Melalui SE tersebut, Dirjen Pajak memberikan beberapa penegasan sebagai berikut :

1. Pada prinsipnya semua pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, apabila pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, maka pembebanan atas pengeluaran tersebut sebagai biaya harus dilakukan melalui penyusutan. Dengan demikian, penyusutan adalah merupakan suatu metode pembebanan biaya.

2. Metode penyusutan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya penyusutan yang dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut, atau Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Dalam menghitung besarnya penyusutan atas harta berwujud, Wajib Pajak hanya diperbolehkan menggunakan salah satu dari kedua metode penyusutan tersebut untuk seluruh jenis harta berwujud dan penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.

3. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (3))

4. Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak. Pengertian mulai menghasilkan tersebut dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (4))

5. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud tersebut akan diakhiri dengan penyusutan atau pembebanan sekaligus atas nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan, kecuali apabila sebelum akhir masa manfaat harta berwujud tersebut ditarik dari pemakaian atau dijual, maka penghitungan penyusutan yang terakhir atas harta berwujud tersebut adalah penyusutan untuk tahun terakhir sebelum tahun ditariknya harta berwujud tersebut dari pemakaian.

6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penangguhan penyusutan atas harta berwujud yang telah disusutkan tidak diperkenankan, walaupun dalam tahun pajak tersebut terjadi penurunan atau penghentian produksi. Oleh karena itu, sepanjang harta berwujud tersebut tidak ditarik dari pemakaian atau tidak dijual, maka penyusutan atas harta berwujud tersebut tetap harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan.

Jadi, peraturan perpajakan juga tidak memperbolehkan adanya penangguhan penyusutan atas aktiva tetap yang sebelumnya telah disusutkan, kecuali jika aktiva tetap tersebut ditarik dari pemakaian ataupun dijual.

Catatan - perpajakan hanya mengakui metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (1) dan (2)). Penyusutan secara usage method tidak diperkenankan dalam perpajakan (Hrd).

Thursday, May 15, 2008

Pencatatan Akuntansi atas Pendapatan Dividen dan Implikasi Perpajakannya

Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT) No. 40 tahun 2007 dalam pasal 71 ayat (2) menjelaskan bahwa seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS.

(Yang dimaksud dengan “seluruh laba bersih” adalah seluruh jumlah laba bersih dari tahun buku yang bersangkutan setelah dikurangi akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya – Penjelasan ayat (2))

Kemudian, dalam ayat (3) diatur bahwa dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila perseroan mempunyai saldo laba yang positif.

(Dalam hal laba bersih Perseroan dalam tahun buku berjalan belum seluruhnya menutup akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya, Perseroan tidak dapat membagikan dividen karena Perseroan masih mempunyai saldo laba bersih negatif – Penjelasan ayat (3))

PSAK No. 21 mengenai Akuntansi Ekuitas paragraf 22 menjelaskan bahwa kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen, dan dengan demikian pada saat tersebut saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen termaksud. Kewajiban yang timbul lazimnya disajikan dalam kelompok kewajiban lancar. Bila dividen dibagikan dalam bentuk aset bukan kas, maka saldo laba akan didebit sebesar nilai wajar aset yang diserahkan. Dasar pencatatan untuk pembagian dividen dalam bentuk aset bukan kas dan saham harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

Berkaitan dengan pendapatan dividen, jika PT A menerima pendapatan dividen atas penyertaan saham di PT B, apakah dalam pembukuan PT A dicatat sebagai pendapatan ? Jawabannya adalah tergantung berapa persen pemilikan saham PT A di PT B.

Seperti diatur dalam PSAK No. 15 mengenai Akuntansi untuk Investasi Dalam Perusahaan Asosiasi bahwa penyertaan saham dengan persentase kepemilikan paling sedikit 20 % tetapi tidak lebih dari 50 % dicatat dengan metode Ekuitas sebesar biaya perolehan, ditambah atau dikurangi dengan bagian laba atau rugi bersih serta dikurangi dividen yang diterima setelah tanggal perolehan anak perusahaan sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sedangkan penyertaan saham dengan kepemilikan kurang dari 20 % dicatat berdasarkan biaya perolehan.

Jadi, jika penyertaan saham PT A di PT B sebesar 20 % atau lebih (tetapi tidak lebih dari 50 %) maka PT A menerapkan metode Ekuitas, sehingga pendapatan dividen dari PT B tidak dibukukan sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi melainkan dibukukan mengurangi jumlah tercatat penyertaan saham.

Sebaliknya, jika penyertaan saham PT A di PT B kurang dari 20 %, maka PT A menerapkan metode Biaya Perolehan dalam pembukuannya sehingga atas pendapatan dividen dari PT B dibukukan sebagai pendapatan dividen dalam laporan laba rugi PT A.

Lantas, atas pendapatan dividen yang diterima oleh PT A apakah harus dipotong pajak ?

Untuk menjawabnya, mari kita simak ulasan berikut ini :

Atas penghasilan dividen yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15 %. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20 % atau berdasarkan tarif menurut ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty).

Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) mengatur bahwa dividen yang diterima oleh badan usaha (intercorporate dividen) bukan merupakan objek pajak apabila memenuhi persyaratan berikut :

· Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

· Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

Saat terutangnya PPh Pasal 23/Pasal 26 atas dividen diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 138 tahun 2000 Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur bahwa :

1. Pemotongan PPh oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU PPh terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu;

2. Saat terutangnya penghasilan tersebut lajimnya adalah saat jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti gaji dan dividen), saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalty, imbalan jasa teknik/jasa manajemen lainnya), atau saat tertentu lainnya.

Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-12/PJ.43/1993 tanggal 12 Juli 1993 tentang PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembayaran dividen atau bagian keuntungan dari perseroan dalam negeri, antara lain ditegaskan bahwa saat terutangnya/pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembayaran dividen atau bagian keuntungan dari perseroan dalam negeri adalah sebagai berikut :

1. Bagi perusahaan yang tidak go public, saat terutangnya PPh Pasal 23 atau Pasal 26 adalah pada saat disediakan untuk dibayarkan. Adapun yang dimaksud dengan saat disediakan untuk dibayarkan adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan/ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.

Demikian pula, apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka PPh Pasal 23/Pasal 26 terutang pada saat diumumkan/ditentukan dalam Rapat Direksi/Pemegang Saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.

2. Bagi perseroan yang go public, penentuan saat terutangnya PPh Pasal 23/Pasal 26 atas pembagian dividen berdasarkan tanggal RUPS akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya, mengingat sampai dengan suatu jangka waktu tertentu setelah tanggal RUPS saham yang diperjual belikan di bursa masih mengandung hak memperoleh dividen, sehingga pemegang saham yang berhak atas dividen tersebut masih berubah-ubah.

Pada saat RUPS Tahunan (untuk dividen final) atau Rapat Direksi (untuk dividen interim) pemegang saham yang berhak menerima dividen tersebut belum dapat dipastikan, sehingga pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 terhadap pemegang saham belum dapat dilakukan. Bagi perusahaan yang go public, pemegang saham yang berhak menerima dividen adalah mereka yang terdaftar sebagai pemegang saham pada tanggal tertentu yaitu tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak menerima dividen.

Dengan demikian, kewajiban perusahaan untuk memotong PPh Pasal 23/Pasal 26 baru timbul pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain, pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26 atas dividen yang “dibayarkan atau terutang” sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 26 baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Demikian sekilas pembahasan pencatatan akuntansi atas pendapatan dividen dan implikasi perpajakannya. Semoga bermanfaat (Hrd).

Saturday, May 10, 2008

MenKeu Terbitkan Petunjuk Teknis Sunset Policy Perpajakan

Technorati Tags: ,,

Beberapa waktu yang lalu saya pernah memposting tulisan berkaitan dengan kebijakan sunset policy dengan judul “Sunset Policy (Pengampunan Pajak?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007”.

Adapun peraturan perpajakan yang mengatur mengenai sunset policy selain Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 adalah Peraturan Menteri Keuangan (PerMenKeu) No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 37A tersebut.

Selanjutnya, pada tanggal 29 April 2008, Menteri Keuangan telah menerbitkan PerMenKeu No. 66/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan dan Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Penerapan Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 dan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008.

Dengan berlakunya PerMenKeu No. 66/PMK.03/2008 tersebut, maka PerMenKeu sebelumnya yaitu PerMenKeu No. 18/PMK.03/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 11).

Untuk sekedar menyegarkan ingatan kembali, bahwa pemerintah melalui Menteri Keuangan memberikan fasilitas sunset policy atau semacam pengampunan pajak baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan sebagai berikut :

1. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar

2. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan :

· Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebelum Tahun Pajak 2007; atau

· Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan sebelum Tahun Pajak 2007,

yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Pengaturan lebih lanjut dapat dibaca dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.03/2008 terlampir.

PerMenKeu No.66/PMK03/2008

Friday, May 9, 2008

Bagaimana jika salah mengelompokkan aktiva tetap ?

Dalam praktek sehari-hari, cukup sering pertanyaan yang berkaitan dengan perlakuan perpajakan atas penyusutan aktiva tetap dilontarkan. Salah satunya adalah bagaimana jika terjadi kekeliruan pengelompokkan aktiva tetap misalnya aktiva tetap yang secara fiskal seharusnya dikelompokkan sebagai kelompok I tetapi dalam pembukuan dimasukkan sebagai kelompok II. Jika dilakukan penyesuaian pada tahun berjalan, bagaimana mekanismenya ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kasus berikut ini yang merupakan tanggapan Dirjen Pajak atas pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP) yang bergerak dalam bidang industri teh dalam kemasan.

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-286/PJ.42/2003 tanggal 23 Mei 2003 dipaparkan sebagai berikut :

  1. PT ABC merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri teh dalam kemasan dimana salah satu aktiva tetapnya berupa botol beling, krat dan galon plastik;
  2. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 tentang jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan, botol beling, krat dan galon plastik adalah merupakan barang-barang yang mudah pecah dan rusak serta mempunyai masa manfaat baik secara teknis maupun ekonomis tidak lebih dari 4 (empat) tahun;
  3. PT ABC selama ini telah melakukan kekeliruan dalam mengelompokkan aktiva tetap botol beling, krat dan galon plastic tersebut menggunakan metode Saldo Menurun dengan tarif Kelompok II sebesar 25 % dari nilai buku, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan di atas mupun pengelompokkan yang lazim digunakan pada industry lainnya yang sejenis;
  4. PT ABC bermaksud untuk mengelompokkan kembali aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik tersebut ke dalam Kelompok I sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 tanggal 8 April 2002 mulai tahun buku 2002 dengan menggunakan metode saldo menurun dengan tarif kelompok I sebesar 50 % dari nilai buku akhir tahun 2001 sebagai dasar penyusutan untuk tahun buku 2002;

Bagaimana perhitungan dasar penyusutan sehubungan dengan penggolongan kembali aktiva tetap tersebut ?

Berdasarkan Pasal 11 ayat (6) UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, antara lain diatur bahwa untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud untuk jenis harta Bukan Bangunan, Kelompok I (masa manfaat 4 tahun) tarif penyusutan jika menggunakan metode Garis Lurus 25 %, jika menggunakan metode Saldo Menurun 50 %. Sedangkan untuk Kelompok II (masa manfaat 8 tahun) tarif penyusutan jika menggunakan metode Garis Lurus 12,5 % dan metode Saldo Menurun 25 %.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 diatur bahwa untuk jenis usaha industry makanan dan minuman jenis harta antara lain pallet dan sejenisnya termasuk dalam Kelompok I.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa :

a. Aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik dalam industri makanan dan minuman termasuk dalam Kelompok I dengan jenis harta pallet dan sejenisnya;

b. Apabila PT ABC mulai tahun pajak 2002 akan mengelompokkan kembali aktiva tetap berupa botol beling, krat dan galon plastik yang sebelumnya disusutkan berdasarkan kelompok II ke dalam kelompok I, maka dasar penyusutan yang digunakan adalah nilai sisa buku fiskal pada 1 Januari 2002;

c. Aktiva tetap yang pada tanggal 1 Januari 2002 telah disusutkan selama 4 (empat) tahun atau lebih, nilai sisa bukunya disusutkan sekaligus pada tahun 2002. Sedangkan bagi aktiva tetap yang telah disusutkan kurang dari 4 (empat) tahun per 1 Januari 2002, maka nilai sisa bukunya dijadikan dasar penyusutan kelompok I dengan tarif sebesar 50 % untuk masa manfaat 4 (empat) tahun ke depan.

Demikian isi Surat Dirjen Pajak No. S-286/PJ.42/2003 tanggal 23 Mei 2003 tersebut (Hrd).

Thursday, May 8, 2008

Pinjaman Subordinasi tanpa bunga

Sebuah group perusahaan perkebunan dalam kegiatan operasionalnya, anak perusahaan memperoleh pinjaman dari perusahaan induk (holding company). Pinjaman tersebut terjadi terutama karena adanya kebutuhan mendesak dari perusahaan yang meminjam sambil menunggu proses kredit dari bank. Adakalanya pinjaman tersebut tidak dikenakan bunga dengan pertimbangan bahwa perusahaan anak sedang dalam kesulitan keuangan. Dalam pemeriksaan pajak oleh petugas pajak, hal tersebut menjadi perdebatan antara diperbolehkannya pinjaman tersebut tanpa bunga atau apakah pinjaman tersebut mengandung bunga yang terselubung (deem interest).

Sehubungan dengan adanya KEP-28/PM/1999 tanggal 31 Desember 1999 tentang Pokok-pokok Ketentuan Perjanjian Pinjaman Sub Ordinasi Perusahaan tersebut, kemudian perusahaan tersebut meminta penegasan dari Dirjen Pajak sebagai berikut :

1. Apakah pinjaman Sub Ordinasi seperti yang dimaksud pada keputusan tersebut boleh tanpa bunga, dan jika boleh bagaimana konsekuensi perpajakannya ?

2. Jika pinjaman Sub Ordinasi tersebut dikenakan bunga dan oleh karena satu dan lain hal beban bunga ditangguhkan pembayarannya sampai dengan suatu tanggal tertentu kapan terhutang PPh Pasal 23 ?

3. Jika pinjaman Sub Ordinasi beserta bunganya dikonversi menjadi modal saham, bagaimana konsekuensi perpajakannya ?

Berikut adalah tanggapan Dirjen Pajak berdasarkan Surat Dirjen Pajak No. S-89/PJ.311/2000 tanggal 29 Pebruari 2000 :

Dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992 perihal Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham ditegaskan bahwa pinjaman perusahaan tanpa bunga dari pemegang sahamnya dapat dianggap wajar apabila memenuhi syarat kumulatif sebagai berikut :

1. Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.

2. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya

3. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi

4. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

Apabila salah satu dari ke-empat unsur di atas tidak terpenuhi, maka atas pinjaman tersebut dilakukan koreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :

1. Pinjaman Sub Ordinasi seperti yang dimaksud dalam permasalahan di atas dapat diterima sebagai pinjaman tanpa bunga sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tersebut di atas.

2. Apabila pembayaran bunga pinjaman Sub Ordinasi ditangguhkan, maka Pajak Penghasilan Pasal 23 atas bunga tersebut terhutang pada saat dibayarkan atau terutang (mana yang lebih dahulu). Dalam hal pembukuan perusahaan menganut metode akrual maka penangguhan pembayaran bunga tidak mempengaruhi saat pengakuan biayanya.

3. Jika pinjaman Sub Ordinasi beserta bunganya dikonversikan dalam bentuk saham, maka atas bunga pinjaman Sub Ordinasi terutang Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah brutonya.

Thursday, May 1, 2008

Sunset Policy (Pengampunan Pajak ?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007

Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 menyisipkan 1 (satu) pasal yang tidak diatur dalam UU Perpajakan sebelumnya yakni Pasal 37A. Pasal ini mengatur mengenai kebijakan Sunset Policy (semacam pengampunan pajak) baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Lebih lanjut, isi dari Pasal 37A tersebut adalah sebagai berikut :

1. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini dberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya serta Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007.

Pasal 1

1. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

2. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilunasi sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Pasal 2

1. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.

2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2009.

3. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

4. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali :

· Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut menyatakan lebih bayar; atau

· terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan tersebut tidak benar.

Pasal 3

Terhadap Wajib Pajak yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) atau Pasal 2 ayat (1), tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Secara umum, kebijakan Sunset Policy tersebut adalah berupa penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar (kurang bayar), diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.

Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007, masa kadaluarsa kewajiban perpajakan diubah menjadi 5 tahun dari sebelumnya 10 tahun berdasarkan UU yang lama, apakah berarti SPT Tahunan yang perlu dilakukan pembetulan hanya sebatas 5 tahun ke belakang (tahun 2003 s.d tahun 2007) ?

Jika kita perhatikan lebih jauh, dalam Pasal II angka 1 UU No. 28 tahun 2007 tersebut diatur bahwa “Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000”.

Berarti, menurut saya, mengikuti Pasal II tersebut di atas, seharusnya SPT Tahunan yang perlu dibetulkan adalah untuk 10 tahun ke belakang (tahun 1998 s.d tahun 2007) sesuai dengan masa kadaluarsa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000.

Yang menarik, dalam Pasal II ditambahkan satu paragraf lagi (angka 2) yang menyatakan bahwa “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.” Berarti untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, jika tidak dilakukan penetapan pajak sampai dengan 2013, maka dengan sendirinya kewajiban perpajakan menjadi daluwarsa.

Sedikit informasi tambahan, pada tanggal 24 Maret 2008 kemarin, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak telah mengeluarkan pengumuman (public release) yang menghimbau para wajib pajak untuk memanfaatkan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan tersebut di atas (Hrd).

Sunset Policy (Pengampunan Pajak ?) Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007

Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 menyisipkan 1 (satu) pasal yang tidak diatur dalam UU Perpajakan sebelumnya yakni Pasal 37A. Pasal ini mengatur mengenai kebijakan Sunset Policy (semacam pengampunan pajak) baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Lebih lanjut, isi dari Pasal 37A tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini dberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya serta Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007.

Pasal 1

  1. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
  2. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilunasi sebelum pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

Pasal 2

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.
  2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2009.
  3. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
  4. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali :
  • Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut menyatakan lebih bayar; atau
  • terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan tersebut tidak benar.

Pasal 3

Terhadap Wajib Pajak yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) atau Pasal 2 ayat (1), tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2008.

Secara umum, kebijakan Sunset Policy tersebut adalah berupa penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar (kurang bayar), diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.

Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007, masa kadaluarsa kewajiban perpajakan diubah menjadi 5 tahun dari sebelumnya 10 tahun berdasarkan UU yang lama, apakah berarti SPT Tahunan yang perlu dilakukan pembetulan hanya sebatas 5 tahun ke belakang (tahun 2003 s.d tahun 2007) ?

Jika kita perhatikan lebih jauh, dalam Pasal II angka 1 UU No. 28 tahun 2007 tersebut diatur bahwa "Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000".

Berarti, menurut saya, mengikuti Pasal II tersebut di atas, seharusnya SPT Tahunan yang perlu dibetulkan adalah untuk 10 tahun ke belakang (tahun 1998 s.d tahun 2007) sesuai dengan masa kadaluarsa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000.

Yang menarik, dalam Pasal II ditambahkan satu paragraf lagi (angka 2) yang menyatakan bahwa "Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013." Berarti untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, jika tidak dilakukan penetapan pajak sampai dengan 2013, maka dengan sendirinya kewajiban perpajakan menjadi daluwarsa.

Sedikit informasi tambahan, pada tanggal 24 Maret 2008 kemarin, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak telah mengeluarkan pengumuman (public release) yang menghimbau para wajib pajak untuk memanfaatkan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan tersebut di atas.

Memperkecil Beban Pajak dari Revaluasi Aktiva Tetap

Pada Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003 kolom My Tax Advisor, seorang pembaca menanyakan masalah manfaat revaluasi aktiva tetap, sebagai berikut :

Saya pernah mendengar bahwa revaluasi aktiva tetap mempunyai manfaat bagi perusahaan, khususnya dari sisi perpajakan yang akan mempengaruhi pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Apakah benar demikian ? Bagaimana persyaratannya ?

Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh Tahun 2000), dijelaskan bahwa dalam masa di mana terdapat perkembangan harga yang mencolok (inflasi) atau perubahan kebijakan di bidang moneter (devaluasi mata uang dalam negeri) dapat terjadi kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Hal ini disebabkan karena pengukuran biaya berdasarkan historical cost, sementara pendapatan diukur dengan harga berlaku yaitu current cost.

Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dan faktor penyesuaiannya (indeksasi nilai perolehan aktiva dan biaya penyusutannya), di mana yang masih berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Revaluasi aktiva tetap memang mempunyai manfaat bagi perusahaan, yaitu antara lain :

1. Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat meningkatnya nilai aktiva dan modal;

2. Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai aktiva dapat dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus);

3. Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio keuangan perusahaan, khususnya yang ditunjukkan oleh debt to assets ratio dan debt to equity ratio.

4. Penghematan pajak yang terjadi sebagai akibat bertambah besarnya nilai penyusutan aktiva, yang dapat memberikan penghematan pajak sebesar 30% dari nilai tambah penyusutan. Sementara keuntungan dari revaluasi aktiva hanya dikenakan pajak final sebesar 10%.

Adapun prosedur, persyaratan dan perhitungan pajak atas revaluasi aktiva tetap diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.

Sumber : Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003

Monday, April 28, 2008

Perhitungan Pajak Tangguhan atas Penyusutan Aktiva Tetap

Pada posting sebelumnya, saya sudah memberikan gambaran sekilas tentang pengertian Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK No. 46.

Berikut ini sebuah ilustrasi sederhana penerapan perhitungan Pajak Tangguhan atas perbedaan temporer penyusutan aktiva tetap menurut Akuntansi dan Perpajakan (Fiskal) yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.

Tabel penyusutan menurut akuntansi dan fiskal sebagai berikut :

Aktiva Tetap Beban Penyusutan
menurut Akuntansi
Beban Penyusutan
menurut Fiskal
Bangunan            562.500.000        1.125.000.000
Mesin         3.333.333.333        5.000.000.000
Kendaraan         1.500.000.000        1.875.000.000
Peralatan            500.000.000           625.000.000
Jumlah         5.895.833.333        8.625.000.000

Berdasarkan tabel perhitungan penyusutan dengan metode garis lurus di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi perbedaan temporer antara perlakuan pajak dengan akuntansi. Mengingat bahwa beban penyusutan secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan secara akuntansi, PT XYZ akan melakukan koreksi negatif. Akibatnya, koreksi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengurangan laba fiskal, sehingga beban PPh tahun berjalan menjadi lebih kecil.

Perhitungan koreksi negatif yang dapat memperkecil laba fiskal tersebut adalah sebagai berikut :

Laba akuntansi Rp          9.282.150.000
Koreksi fiskal    
- penyusutan akuntansi (+)          5.895.833.333
- penyusutan fiskal (-)       (8.625.000.000)
Laba Fiskal Rp         6.552.983.333
Pembulatan           6.552.983.000

Perhitungan Pajak Penghasilan

   Keterangan          Akuntansi            Fiskal
Laba        9.282.150.000       6.552.983.333
PPh Terutang    
10 % x 50.000.000               5.000.000              5.000.000
15 % x 50.000.000               7.500.000              7.500.000
30 % x 9.182.150.000        2.754.645.000  
30 % x 6.452.983.000           1.935.894.900
Jumlah PPh       2.767.145.000       1.948.394.900

Taksiran Pajak Penghasilan

Beban Pajak Kini Rp      1.948.394.900
Beban Pajak Tangguhan Rp         818.750.100
   Jumlah Beban Pajak Rp      2.767.145.000

Jurnal akuntansinya sebagai berikut :

Beban Pajak Kini     1.948.394.900  
Beban Pajak Tangguhan        818.750.100  
   Hutang PPh 25/29      1.948.394.900
   Kewajiban Pjk Tangguhan         818.750.100

Demikian ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda temporer penyusutan aktiva tetap menurut akuntansi (komersial) dan pajak (fiskal). Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami PSAK 46 khususnya yang berkaitan dengan Pajak Tangguhan (Hrd).

Sunday, April 27, 2008

Sekilas Akuntansi Pajak Tangguhan

Walaupun akuntansi Pajak Tangguhan yang diatur dalam PSAK No. 46 sudah berlaku efektif sejak 1 Januari 2001 (bagi perusahaan non-public), namun tidak bisa dipungkiri bahwa sampai dengan saat ini masih ada praktisi akuntansi yang belum familiar dengan PSAK tersebut.

Berikut ini sedikit gambaran terkait penerapan Akuntansi Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK No. 46 mengenai Pajak Penghasilan, yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.

Sebelum PSAK No. 46 diperkenalkan, orientasi yang dipergunakan oleh standar akuntansi dalam Akuntansi Pajak Penghasilan lebih bersifat “income statement liability approach”, sementara pendekatan yang dipergunakan dalam PSAK No. 46 bersifat “balance sheet liability approach”. Tentunya, perbedaan orientasi tersebut menjadi kompleksitas baru bagi para akuntan, karena literatur lama dalam Akuntansi Pajak Penghasilan masih banyak yang menggunakan “income statement liability approach”. Akibatnya, perubahan pendekatan tersebut tentunya menuntut perubahan pola berpikir para akuntan dalam memahami esensi utama dari pengimplementasian PSAK No. 46.

Accounting for Future Tax Effect

Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu.

Dampak PPh di masa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih besar di masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang.

Bila dampak pajak di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya.

Kegiatan yang Dilakukan dalam Menentukan Pajak Tangguhan

Sama halnya dengan proses akuntansi lainnya, Akuntansi Pajak Tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan berikut ini :

Pertama, pengakuan (recognition) yaitu standar yang mengatur bahwa dampak PPh atas perbedaan temporer dan tax loss carry forward (TLCF) harus diakui dalam laporan keuangan. Pengakuan ini menyiratkan bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai tercatat deferred tax asset (DTA) dan akan melunasi nilai tercatat deferred tax liability (DTL) tersebut.

DTA atau DTL yang disebabkan oleh perbedaan temporer akan terpulihkan di masa datang karena jumlah yang akan diakui sebagai biaya atau pendapatan akan sama antara akuntansi dan pajak, hanya berbeda alokasi waktunya saja. Sedangkan DTA yang timbul dari TLCF akan terpulihkan bila perusahaan menggunakan TLCF tersebut pada tahun di mana perusahaan memperoleh laba fiskal. Bila TLCF tersebut tidak terpakai dan menjadi hangus, maka DTA yang timbul harus disesuaikan.

Kedua, pengukuran (measurement) yaitu cara menghitung jumlah yang harus dibukukan dalam buku besar perusahaan. Dalam hal ini pajak tangguhan akan dihitung dengan menggunakan tarif yang berlaku atau efektif akan berlaku di masa yang akan datang.

Dalam praktek, biasanya pajak tangguhan dihitung dengan tarif PPh yang tertinggi yaitu sebesar 30%, meskipun tarif yang sebenarnya berlaku bersifat progresif. Lapisan tarif PPh sebesar 10% dan 15% dianggap tidak terlalu material untuk diperhitungkan. Di samping itu, kedua lapisan tarif PPh tersebut biasanya dipergunakan untuk menghitung pajak kini. Meskipun pajak tangguhan berkaitan dengan dampak pajak di masa datang, namun dalam pengukurannya tidak boleh didiskonto (discounted).

Ketiga, penyajian (presentation) yaitu standar yang menentukan cara penyajian di dalam laporan keuangan, baik dalam neraca ataupun laba rugi. DTA atau DTL harus disajikan secara terpisah dari aktiva atau kewajiban pajak kini dan disajikan dalam unsur non current dalam neraca. Sedangkan beban atau penghasilan pajak tangguhan harus disajikan terpisah dengan beban pajak kini dalam laporan keuangan.

Keempat, pengungkapan (disclosure) yaitu berkaitan dengan standar informasi yang perlu diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Misalnya unsur-unsur utama perbedaan temporer yang menimbulkan pajak tangguhan, unsur-unsur yang dibebankan langsung ke laba ditahan, perubahan tarif pajak dan sebagainya.

Perbedaan Temporer

Sesuai namanya, perbedaan temporer merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya.

Perbedaan temporer bisa bersifat koreksi positif atau koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang menyebabkan penambahan laba fiskal yang akhirnya akan menambah PPh terutang. Sedangkan koreksi negatif merupakan koreksi yang menyebabkan pengurangan laba fiskal sehingga PPh terutang menjadi lebih kecil. Mengingat sifatnya yang temporer, maka koreksi positif saat ini akan mengakibatkan perusahaan membayar pajak besar saat ini, tetapi akan dikompensasi (dipulihkan) dengan penghematan PPh terutang karena koreksi negatif di masa datang. Demikian sebaliknya.

Transaksi akuntansi yang mengakibatkan perbedaan temporer antara perlakuan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur Pajak Tangguhan diantaranya adalah perbedaan metode penyusutan antara akuntansi dengan pajak, perbedaan perlakuan penyertaan saham equity method menurut akuntansi dengan cost method menurut pajak, perbedaan pencadangan pesangon menurut PSAK No. 24 dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan pesangon pada saat realisasinya, perbedaan pencadangan piutang ragu-ragu menurut akuntansi dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan piutang tak tertagih pada saat benar-benar tidak tertagih, dan lainnya.

Sedangkan untuk rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi di masa datang (tax loss carry forward) menurut PSAK No. 46 diakui sebagai Aktiva Pajak Tangguhan (DTA) apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Atau dengan kata lain, bahwa akumulasi rugi fiskal yang terjadi baru boleh diakui sebagai aktiva pajak tangguhan jika besar kemungkinan bisa dikompensasi seluruhnya dengan laba fiskal dalam 5 tahun ke depan, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku (Hrd).

Friday, April 18, 2008

Beda Syarat Penyusutan Aktiva Tetap menurut Pajak dan Akuntansi

PSAK No. 16 (Revisi 2007) dalam paragraf 58 menyatakan bahwa Penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen.

Sedangkan pada paragraf 6 mengenai Definisi dinyatakan bahwa Penyusutan adalah alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Umur manfaat (useful life) adalah :

· suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau

· jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas

Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelas bagi kita bahwa menurut PSAK 16, aktiva tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat aset tetap tersebut siap untuk digunakan.

Oh, ya, sedikit informasi tambahan. Mungkin ada yang masih bingung dengan istilah Aset dan Aset Tetap, dimana sebelumnya istilah ini tidak pernah dipakai. Dalam PSAK revisian terakhir per 1 September 2007 terdapat beberapa perubahan diantaranya adalah PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap (merupakan revisian serta pengganti PSAK 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain). Selain itu, dalam penerbitan terakhir ini juga dilakukan penggantian penggunaan kata “aktiva” menjadi “aset” dalam seluruh PSAK.

Jika kita menyimak UU Perpajakan khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3) mengatur bahwa Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.

Berdasarkan pengaturan paragraf 58 PSAK 16 serta Pasal 11 ayat (3) UU PPh No. 17 tersebut, terlihat perbedaan syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap secara akuntansi dan perpajakan dimana :

1. secara akuntansi, aktiva tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat aktiva tersebut siap untuk digunakan

2. secara perpajakan, aktiva tetap mulai disusutkan pada bulan dilakukannya pengeluaran (pada saat diperoleh/dibeli).

Peraturan perpajakan mengijinkan penyusutan aktiva tetap dimulai saat digunakan (bukan saat diperoleh) dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak seperti yang diatur dalam UU PPh No. 17 Pasal 11 ayat (4) berikut ini :

Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan

Terkait dengan perbedaan pengaturan syarat penyusutan aktiva tetap secara akuntansi dan perpajakan seperti yang dipaparkan di atas, ada baiknya kita menyimak kasus berikut ini :

Melalui surat tanggal 19 Desember 2000, PT Gunung Sawit Bina Lestari (PT Gunung Sawit) sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mulai berproduksi secara komersial sejak bulan Juli 1999 menanyakan kepada Dirjen Pajak perihal perlakuan penyusutan terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengembangan lahan dan tanaman kelapa sawit (planting cost) selama masa belum menghasilkan (immature).

Saat itu, perusahaan sedang diperiksa oleh Karikpa Jakarta Khusus Satu menyangkut kewajiban perpajakan tahun pajak 1999. Menurut Tim Pemeriksa, penyusutan atas planting costs harus dilakukan mulai tahun pengeluaran atau dapat juga disusutkan mulai tahun pertama tanaman tersebut menghasilkan dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1985 serta SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.22/1987 dan No. SE-19/PJ.313/1991.

Menurut perusahaan, mekanisme penyusutan planting cost yang diterapkan mulai tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut mulai menghasilkan sudah sesuai, karena planting cost sifatnya belum menjadi harta/aktiva tetap yang dapat langsung dimanfaatkan sehingga tidak perlu mengajukan permohonan persetujuan dari Dirjen Pajak.

Planting costs tersebut terdiri dari biaya-biaya berikut :

· Planting Expenditures

· Land Cost meliputi ganti rugi tanam tumbuh

· Kapitalisasi biaya bunga pinjaman

· Biaya-biaya sehubungan dengan pinjaman bank

· Kapitalisasi atas keuntungan (kerugian) akibat selisih kurs dalam pembukuan.

Planting cost dicatat dalam perkiraan Immature Plantation selama tanaman belum menghasilkan. Pada waktu tanaman sudah mulai menghasilkan, planting costs dipindahkan dari perkiraan Immature Plantation ke perkiraan Mature Plantation dan mulai disusutkan.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perusahaan meminta konfirmasi dari Dirjen Pajak atau penegasan mengenai :

· Penyusutan terhadap planting costs apakah dimulai pada tahun pengeluaran atau pada tahun pertama kelapa sawit tersebut menghasilkan ?

· Apabila disusutkan pada tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut menghasilkan, apakah diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak ?

· Apabila diperlukan persetujuan dari Dirjen Pajak, apakah perusahaan dapat mengajukan permohonan persetujuan secara retroaktif (berlaku surut) untuk tahun-tahun pajak 1995 sampai dengan 1999 ?

Melalui Surat No. S-558/PJ.42/2001 tanggal 24 September 2001, Dirjen Pajak memberikan jawaban dan penegasan sebagai berikut :

Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan No. 10 tahun 1994 (saat itu), penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut. Selanjutnya, pasal 11 ayat (4) mengatur bahwa dengan persetujuan Dirjen Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

Berdasarkan SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.22/1987 tanggal 20 November 1987 yang ditegaskan kemudian dengan SE-19/PJ.313/1991 tanggal 24 Desember 1994, penyusutan pada dasarnya dimulai pada tahun pengeluarannya. Namun, penyusutan dapat dilakukan pada tahun harta tersebut mulai menghasilkan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Dirjen Pajak.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa :

1. Penyusutan terhadap planting cost menurut peraturan perpajakan, sebagaimana halnya penyusutan terhadap harta/aktiva tetap lainnya yang tidak sedang dalam proses pengerjaan, dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran. Dalam hal penyusutan hendak dilakukan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, maka Wajib Pajak wajib mengajukan permohonan dan mendapat persetujuan Dirjen Pajak;

2. Dalam hal dapat dibuktikan bahwa Wajib Pajak sama sekali belum membebankan penyusutan terhadap planting cost sampai dengan saat tanaman keras tersebut menghasilkan, maka atas permohonan Wajib Pajak, persetujuan Dirjen Pajak tersebut dapat berlaku retroaktif (berlaku surut).

Dengan contoh kasus di atas, mudah-mudahan bisa membantu kita untuk lebih memahami perbedaan syarat penyusutan aktiva tetap menurut akuntansi dengan perpajakan (Hrd).

Thursday, April 17, 2008

Pencatatan Akuntansi atas SKP menurut PSAK 46

Dalam praktek sehari-hari, sering ditemukan perusahaan membukukan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterima dari kantor pajak atas hasil pemeriksaan pajak tahun-tahun sebelumnya sebagai koreksi atas saldo laba tahun-tahun lalu. Misalnya, pada bulan Maret 2007, perusahaan menerima SKP hasil pemeriksaan pajak dengan tanggal penerbitan SKP 15 Pebruari 2007 yang merupakan hasil pemeriksaan pajak badan tahun 2005. Karena menurut perusahaan, SKP yang diterima tersebut merupakan hasil pemeriksaan pajak tahun 2005, lalu dibukukan sebagai koreksi saldo laba.

Apakah perlakuan akuntansi seperti itu sudah benar ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengacu ke Standar Akuntansi Keuangan yang berkaitan dengan masalah perpajakan yaitu PSAK No. 46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan. Dalam paragraf 55 PSAK 46 diatur bahwa :

Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain pada Laporan Laba Rugi periode berjalan, kecuali apabila diajukan keberatan dan atau banding. Jumlah tambahan pokok pajak dan denda yang ditetapkan dengan SKP ditangguhkan pembebanannya.

Dari paragraf di atas, jelas bahwa SKP hasil pemeriksaan pajak yang diterima harus dibukukan sesuai dengan periode penerbitan SKP dimaksud. Jadi, untuk contoh di atas, karena tanggal penerbitan SKP 15 Pebruari 2007 maka harus dibukukan sebagai biaya pada tahun 2007, bukan sebagai koreksi saldo laba. Kecuali, kalau perusahaan mengajukan keberatan atau banding, maka tagihan pajak berdasarkan SKP tersebut dibukukan sebagai beban ditangguhkan di Neraca.

Selanjutnya, berhubung pembebanan biaya SKP tersebut secara perpajakan tidak diakui sebagai biaya fiskal, maka dalam rekonsiliasi perpajakan dilakukan koreksi fiskal positif sebagai beda permanen (beda tetap) dan tidak mempengaruhi perhitungan Pajak Tangguhan (Hrd).

Perlakuan PSAK 40 atas Revaluasi Aktiva Tetap Anak Perusahaan serta Implikasi Perpajakannya

PT XYZ mempunyai investasi saham pada PT ABC sebesar 30 % dari total saham beredar. Pada tanggal 12 Maret 2004, PT ABC melakukan penilaian kembali aktiva tetap. Semua aktiva tetap PT ABC memenuhi persyaratan untuk dinilai kembali sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 dan nilai buku aktiva tetap sama dengan nilai buku fiskal. Penilaian kembali dilakukan oleh lembaga penilai yang menetapkan bahwa nilai pasar wajar aktiva tersebut sebesar Rp 900 Juta.

Atas penilaian kembali aktiva tetap tersebut dicatat oleh PT ABC dengan jurnal sebagai berikut :

Aktiva tetap (nilai revaluasi)    900.000.000  
Pajak Penghasilan      50.000.000  
     Aktiva Tetap (nilai buku    
        aktiva lama)      400.000.000
     Kas/PPh Terhutang       50.000.000
     Selisih Penilaian Kembali    
        Aktiva Tetap      500.000.000

Sedangkan dalam pembukuan PT XYZ dijurnal sebagai berikut :

Investasi pada PT ABC    150.000.000  
   Selisih Transaksi Perubahan    
     Ekuitas Perush Asosiasi   150.000.000

(Dari nilai selisih revaluasi aktiva tetap, yang menjadi bagian pemilikan PT XYZ adalah 30 % x Rp 500 Juta = Rp 150 Juta)

Ilustrasi di atas untuk mencatat pengakuan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Perusahaan Asosiasi dalam pembukuan induk perusahaan yang memiliki investasi (penyertaan) saham pada anak perusahaan sebagai akibat adanya revaluasi aktiva tetap anak perusahaan sesuai dengan PSAK No. 40 – Akuntansi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan/Perusahaan Asosiasi.

Lantas, bagaimana perlakuan perpajakan atas pencatatan transaksi di atas ?

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-29/PJ.312/2006 tanggal 19 Januari 2006, Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan seorang Wajib Pajak berkaitan dengan hal tersebut.

PT ABC adalah perusahaan yang bergerak dalam penerbitan surat kabar nasional di Indonesia. Dalam perkembangan usahanya, PT ABC mempunyai penyertaan saham pada 4 anak perusahaan yang bergerak dalam bisnis yang berbeda dengan PT ABC.

Pada tahun pajak 2004, PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap secara fiscal sehingga terdapat kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap pada PT ABC dan anak perusahaannya. Dalam neraca PT ABC, kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap dicatat pada perkiraan “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” dan kenaikan selisih penilaian kembali aktiva tetap pada anak perusahaan (berkaitan dengan investasi PT ABC pada anak perusahaan seperti contoh di atas) dicatat dalam pembukuan PT ABC pada perkiraan “Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan”

Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap selanjutnya akan dikapitalisasi sebagai tambahan Modal Disetor.

Sehubungan dengan hal di atas, bagaimana implikasi perlakuan Pajak Penghasilan atas pencatatan tambahan Modal Disetor atau saham bonus dari kapitalisasi Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap tersebut ?

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan, diatur bahwa :

1. Pasal 9 ayat (1), selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan”

2. Pasal 9 ayat (2), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal tersebut dalam Pasal 5 ayat (1), bukan merupakan Objek Pajak.

3. Pasal 9 ayat (3), dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hanya sampai dengan sebesar selisih penilaian kembali secara komersial.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas :

1. Pencatatan “Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan” yang berasal dari “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhi ketentuan dalam PSAK No. 40

2. Dalam hal PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi aktiva) untuk tujuan perpajakan, jika terdapat selisih lebih karena penilaian kembali aktiva maka selisih tersebut merupakan Objek Pajak. Dalam peraturan perpajakan, anak perusahaan merupakan entitas sendiri yang terpisah dari induk perusahaan sehingga penghasilan/keuntungan anak perusahaan dicatat dalam laporan keuangan masing-masing. Dalam hal selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap anak perusahaan yang dilakukan untuk tujuan perpajakan selanjutnya dikapitalisasi sebagai tambahan modal disetor, maka selisih lebih tersebut merupakan saham bonus kepada pemegang saham sebesar persentase penyetoran pada anak perusahaan. Sepanjang pemberian saham bonus atau tambahan modal tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap tersebut tidak melebihi selisih lebih revaluasi secara fiskal, maka pemberian saham bonus tersebut bukan merupakan Objek Pajak atau pembayaran dividen. Dengan demikian, saham bonus atau tambahan modal yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap anak perusahaan secara fiskal bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan ataupun pembayaran dividen bagi pemegang saham.

Dalam hal di kemudian hari, pemegang saham mengalihkan/menjual sahamnya, maka keuntungan (capital gain) atau penghasilan yang diterima oleh pemegang saham atas penjualan atau pengalihan saham bonus tersebut kepada pihak ketiga merupakan Objek Pajak Penghasilan yang harus diakui pemegang saham pada tahun pajak saham bonus tersebut dialihkan atau dijual (Hrd).

Saturday, April 12, 2008

Penerapan PSAK 15 dan PSAK 46 atas Penyertaan Saham Perusahaan serta efek perpajakannya

Jika sebuah perusahaan memiliki penyertaan saham dalam perusahaan lain, maka menurut PSAK No. 15 mengenai Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi diatur bahwa :

Penyertaan saham Perusahaan dan Anak Perusahaan dengan persentase kepemilikan paling sedikit 20 % tetapi tidak lebih dari 50 %, baik langsung maupun tidak langsung, dicatat dengan metode Ekuitas sebesar biaya perolehan, ditambah atau dikurangi dengan bagian laba atau rugi bersih serta dikurangi dividen yang diterima setelah tanggal perolehan anak perusahaan sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sedangkan penyertaan saham dengan kepemilikan kurang dari 20 % dicatat dengan metode Biaya Perolehan.

Ilustrasi sederhana penerapan metode Ekuitas sebagai berikut :

PT A memiliki penyertaan saham di PT B sebesar 40 % atau Rp 500 juta. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2007, saldo laba di pembukuan PT B sebesar Rp 750 Juta. Maka PT A membukukan dalam Neracanya saldo Investasi (Penyertaan Saham) pada kelompok Aset sebesar Rp 800 Juta yaitu Biaya Perolehan penyertaan Rp 500 Juta + Bagian Laba Bersih PT B yang menjadi kepemilikan PT A sebesar Rp 300 Juta (Rp 750 Juta x 40%). Selain itu, pada laporan laba rugi PT A juga dicatat Laba Penyertaan Saham sebesar Rp 300 Juta.

Jurnal lengkap dalam pembukuan PT A sebagai berikut :

Investasi (Penyertaan Saham) 800.000.000  
   K a s      500.000.000
   Laba Penyertaan  saham     300.000.000

Karena pencatatan investasi menggunakan metode Ekuitas, sesuai dengan PSAK 46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan (Pajak Tangguhan), maka akan menimbulkan perbedaan temporer (dikoreksi fiskal) dan atas perbedaan tersebut akan dihitung pajak tangguhan.

Adapun perbedaan temporer (beda waktu) timbul karena secara perpajakan tidak mengakui metode Ekuitas dalam mencatat investasi (penyertaan saham). UU Pajak menganut azas realisasi berdasarkan metode Biaya Perolehan. Sehingga dengan demikian, secara pajak tidak akan timbul laba (rugi) penyertaan saham sampai dengan saat realisasinya.

Dalam praktek, ada kalanya pencatatan penyertaan saham dengan menggunakan metode Ekuitas sesuai dengan PSAK 15 dipermasalahkan oleh pihak fiskus. Tidak jarang ditemukan, aparat pajak yang ‘ngotot’ menyatakan bahwa laba penyertaan saham yang timbul adalah merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dilakukan koreksi fiskal.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, mungkin Surat Dirjen Pajak yang diterbitkan pada tanggal 7 Maret 2003 dengan nomor S-168/PJ.312/2003 yang merupakan tanggapan atas pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP), dapat menjadi senjata pamungkas.

Dalam surat tersebut, WP menanyakan permasalah berkaitan dengan penerapan PSAK 15 dan PSAK 46 di atas kepada Dirjen Pajak bahwa apabila PSAK 15 dan PSAK 46 tersebut diterapkan pada laporan keuangan komersial sehingga WP perlu melakukan penyesuaian dan koreksi fiskal atas metode pencatatan tersebut dalam rangka menyajikan laporan keuangan fiskal, apakah pihak fiskus dapat menyetujui dilakukannya koreksi fiskal untuk menyesuaikan metode Ekuitas menjadi metode Biaya Perolehan ?

Atas permasalahan tersebut, Dirjen Pajak memberikan penegasan sebagai berikut :

1. Penghasilan dari investasi adalah dividen atau pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, serta keuntungan atau kerugian modal investasi itu sendiri (capital gain/loss).

2. UU PPh menganut azas realisasi dan pada umumnya realisasi penghasilan dividen terjadi setelah keputusan rapat umum pemegang saham mengenai pembagian laba dan/atau pada saat pembayaran dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan realisasi keuntungan atau kerugian modal investasi terjadi pada saat penjualan atau pembelian kembali (share buy back) atau likuidasi perusahaan investee. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa UU PPh juga mengatur/menetapkan penghasilan tertentu sebagai bukan Objek Pajak meskipun secara komersial diakui.

3. Pembukuan investasi berdasarkan metode Ekuitas (PSAK 15) maupun akuntansi pajak tangguhan (PSAK 46) hanya berlaku untuk pembukuan komersial yang tidak berpengaruh terhadap pengakuan penghasilan dan pengakuan biaya/kerugian untuk tujuan perpajakan.

Jadi, jelas bahwa pencatatan Laba (Rugi) Penyertaan Saham berdasarkan metode Ekuitas secara komersial/akuntansi bukanlah merupakan objek pajak dan perlakuan sebagai unsur koreksi fiskal dalam rekonsiliasi perpajakan juga sudah tepat (Hrd).

Thursday, April 10, 2008

Kewajiban penyampaian laporan keuangan konsolidasi dalam pelaporan SPT Tahunan

Dalam Pasal 4 Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada ayat 4 ditambahkan dua aline tambahan yang sebelumnya tidak diatur, yaitu ayat 4a dan 4b. Lebih lengkapnya bunyi ayat 4 sebagai berikut :

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampirkan dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (ayat 4)

Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak (ayat 4a)

(Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak. Contoh : PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi – Penjelasan ayat 4a)

Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan diangggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b. (ayat 4b)

Berdasarkan ketentuan dalam ayat 4a dan 4b tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pelaporan SPT Tahunan, Wajib Pajak yang memiliki penyertaan saham pada perusahaan lain dan memenuhi persyaratan wajib menyusun laporan keuangan konsolidasi (dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam PSAK No. 4 tentang Laporan Keuangan Konsolidasi), harus melampirkan baik laporan keuangan konsolidasi maupun laporan keuangan induk perusahaan tersendiri (sebelum dikonsolidasi).

Sedangkan, jika laporan keuangan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), maka merupakan kewajiban juga untuk melampirkan laporan keuangan yang telah diaudit.

Jika, persyaratan yang diatur dalam ayat 4a dan 4b di atas tidak dipenuhi, dengan sendirinya SPT Tahunan yang disampaikan dianggap tidak lengkap/tidak disampaikan.

Persyaratan perusahaan yang memiliki penyertaan saham pada perusahaan lain yang wajib menyusun laporan keuangan konsolidasi menurut PSAK No. 4 adalah sebagai berikut :

  1. perusahaan memiliki penyertaan saham dengan hak suara (pemilikan) lebih dari 50 % baik langsung maupun tidak langsung (melalui anak perusahaan) dan perusahaan memiliki kemampuan untuk mengendalikan anak perusahaan tersebut
  2. perusahaan memiliki penyertaan saham sebesar 50 % atau kurang tetapi dapat dibuktikan adanya kemampuan untuk mengendalikan anak perusahaan.

Jika persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka perusahaan yang walaupun memiliki penyertaan saham pada perusahaan lain, tidak perlu menyusun laporan keuangan konsolidasi.

Kewajiban untuk melampirkan laporan keuangan konsolidasian dalam pelaporan SPT selain laporan keuangan induk perusahaan tersendiri menurut saya merupakan langkah yang cukup bagus dari Dirjen Pajak atas permasalahan yang sering dihadapi oleh KAP.

Selama ini, untuk perusahaan yang diaudit oleh suatu KAP dan memenuhi persyaratan konsolidasi, maka opini auditor hanya diberikan atas laporan keuangan konsolidasi. Sedangkan untuk laporan keuangan induk perusahaan, auditor tidak boleh memberikan opini tersendiri. Hal ini sesuai dengan pengaturan dalam PSAK No. 4 paragraf 16 yang menyatakan bahwa induk perusahaan yang memenuhi persyaratan konsolidasi tidak boleh menyusun laporan keuangan induk perusahaan tersendiri (tanpa konsolidasi), kecuali jika laporan keuangan induk perusahaan tersendiri tersebut bersifat sebatas sebagai informasi tambahan bagi pengguna laporan keuangan konsolidasi. Berdasarkan PSAK No. 4, hanya ada satu laporan keuangan yang berlaku umum yaitu laporan keuangan konsolidasian. Dengan demikian, auditor tidak diperbolehkan untuk memberikan opini tersendiri atas laporan keuangan induk perusahaan saja.

Opini atas laporan keuangan induk perusahaan saja boleh diberikan auditor sebatas tidak terpisah dari opini atas laporan keuangan konsolidasian dan disajikan dalam paragraf tersendiri (sebagai informasi tambahan) setelah paragraf opini auditor atas laporan konsolidasian. Hal ini diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) - SA Seksi 9551.

Untuk penjelasan lebih lanjut, silahkan baca posting saya berikut ini : Auditor boleh memberikan opini tersendiri untuk laporan keuangan induk perusahaan

Bagi WP yang laporan keuangan konsolidasinya diaudit oleh KAP sering timbul masalah dalam pelaporan SPT Tahunan. Hal ini karena di satu sisi, auditor tidak boleh memberikan opini atas laporan keuangan induk perusahaan tersendiri, sedangkan di sisi lain, perpajakan tidak mengakui laporan keuangan konsolidasian karena menurut ketentuan perpajakan, baik induk perusahaan dan anak perusahaannya masing-masing adalah badan hukum yang berdiri sendiri. Laporan keuangan konsolidasi, dalam hal ini tidak bisa mencerminkan posisi keuangan dan kegiatan usaha dari masing-masing perusahaan tersebut.

Dalam pelaporan SPT Tahunan WP tersebut yang menyatakan diaudit oleh KAP dan dilampirkan laporan keuangan induk perusahaan (tanpa konsolidasi) , dalam praktek sering ditolak oleh pihak fiskus (kantor pelayanan pajak) karena menganggap laporan keuangan tersebut tidak diaudit oleh KAP (karena tidak ada lampiran opini auditor).

Jadi, dengan terbitnya peraturan yang mengharuskan bagi WP untuk melampirkan laporan keuangan konsolidasian dengan sendirinya akan memudahkan bagi WP dalam pelaporan SPT Tahunan nantinya. Semoga (Hrd)

Tuesday, April 8, 2008

Pinjaman Sub Ordinasi Tanpa Bunga

Sebuah group perusahaan perkebunan dalam kegiatan operasionalnya, anak perusahaan memperoleh pinjaman dari perusahaan induk (holding company). Pinjaman tersebut terjadi terutama karena adanya kebutuhan mendesak dari perusahaan yang meminjam sambil menunggu proses kredit dari bank. Adakalanya pinjaman tersebut tidak dikenakan bunga dengan pertimbangan bahwa perusahaan anak sedang dalam kesulitan keuangan. Dalam pemeriksaan pajak oleh petugas pajak, hal tersebut menjadi perdebatan antara diperbolehkannya pinjaman tersebut tanpa bunga atau apakah pinjaman tersebut mengandung bunga yang terselubung (deem interest).

Sehubungan dengan adanya KEP-28/PM/1999 tanggal 31 Desember 1999 tentang Pokok-pokok Ketentuan Perjanjian Pinjaman Sub Ordinasi Perusahaan tersebut, kemudian perusahaan tersebut meminta penegasan dari Dirjen Pajak sebagai berikut :

  1. Apakah pinjaman Sub Ordinasi seperti yang dimaksud pada keputusan tersebut boleh tanpa bunga, dan jika boleh bagaimana konsekuensi perpajakannya ?
  2. Jika pinjaman Sub Ordinasi tersebut dikenakan bunga dan oleh karena satu dan lain hal beban bunga ditangguhkan pembayarannya sampai dengan suatu tanggal tertentu kapan terhutang PPh Pasal 23 ?
  3. Jika pinjaman Sub Ordinasi beserta bunganya dikonversi menjadi modal saham, bagaimana konsekuensi perpajakannya ?

Berikut adalah tanggapan Dirjen Pajak berdasarkan Surat Dirjen Pajak No. S-89/PJ.311/2000 tanggal 29 Pebruari 2000 :

Dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992 perihal Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham ditegaskan bahwa pinjaman perusahaan tanpa bunga dari pemegang sahamnya dapat dianggap wajar apabila memenuhi syarat kumulatif sebagai berikut :

  1. Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.
  2. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya
  3. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi
  4. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

Apabila salah satu dari ke-empat unsur di atas tidak terpenuhi, maka atas pinjaman tersebut dilakukan koreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :

  1. Pinjaman Sub Ordinasi seperti yang dimaksud dalam permasalahan di atas dapat diterima sebagai pinjaman tanpa bunga sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tersebut di atas.
  2. Apabila pembayaran bunga pinjaman Sub Ordinasi ditangguhkan, maka Pajak Penghasilan Pasal 23 atsa bunga tersebut terhutang pada saat dibayarkan atau terutang (mana yang lebih dahulu). Dalam hal pembukuan perusahaan menganut metode akrual maka penangguhan pembayaran bunga tidak mempengaruhi saat pengakuan biayanya.
  3. Jika pinjaman Sub Ordinasi beserta bunganya dikonversikan dalam bentuk saham, maka atas bunga pinjaman Sub Ordinasi terutang Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah brutonya.

Monday, March 24, 2008

Perubahan jumlah penghasilan bruto bagi WP yang wajib mengisi SPT 1770SS

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-161/PJ/2007 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana Tahun 2007, dalam Pasal 2 ditentukan bahwa SPT Pajak Penghasilan Formulir 1770 SS diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak melebihi dari Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi. Lihat posting saya sebelumnya dengan judul  Karyawan punya NPWP wajib lapor SPT Tahunan

Kemudian, berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-8/PJ/2008 tanggal 13 Maret 2008, batas penghasilan WP yang wajib mengisi SPT 1770 SS dirubah menjadi tidak lebih dari Rp 48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah).

Selengkapnya bunyi Pasal 2 Peraturan Dirjen Pajak No. PER-8/PJ/2008 tersebut sebagai berikut :

Pasal 2

“SPT Pajak Penghasilan ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp 48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi”.

Saturday, March 22, 2008

Auditor boleh memberikan opini tersendiri untuk laporan keuangan induk atas audit laporan konsolidasian ?

Melalui milis FORKAP (Forum Kantor Akuntan Publik), saya memperoleh informasi bahwa pada tanggal 10 Maret 2008 yang lalu, Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB) telah menerbitkan surat yang dikirimkan kepada para wajib pajak yang terdaftar pada KPP tersebut. Inti dari isi surat tersebut adalah himbauan kepada WP yang merupakan Perusahaan Terbuka untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh KAP beserta opini auditor yang diperuntukkan khusus untuk perusahaan induk.

Berikut kutipan isi surat tersebut :

Sehubungan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Tahunan PPh Pasal 21 tahun pajak 2007 yang jatuh tempo pada tanggal 31 Maret 2008, maka dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Sesuai dengan Pasal 2 angka (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-214/PJ./2001 tentang Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan disebutkan bahwa Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri (bukan Neraca dan Laporan Laba Rugi Konsolidasi grup) beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal yang harus disampaikan pada SPT Tahunan PPh Badan.

2. Sesuai dengan Ayat (1) huruf c Pasal 68 Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa “Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila perseroan merupakan Perseroan Terbuka”. Dengan demikian :

a. Bagi Wajib Pajak yang merupakan Perseroan Terbuka (Tbk) diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit beserta opini audit sebagai dasar pengisian SPT Tahunan PPh Badan;

b. Bagi perusahaan induk, dihimbau untuk menyampaikan laporan keuangan yang diaudit beserta opini audit yang diperuntukkan khusus untuk perusahaan induk (tidak termasuk anak-anak perusahaan);

c. Apabila audit laporan keuangan belum selesai dilakukan sampai dengan saat tanggal berakhirnya penyampaian SPT Tahunan, maka Saudara dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan dengan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan 1770-Y (Sementara).

Jika kita perhatikan Surat dari KPP PMB tersebut yang mengharuskan WP melampirkan laporan keuangan induk (atas laporan keuangan konsolidasian) dalam SPT Tahunan PPh Badan yang dilengkapi dengan opini auditor (tersendiri/khusus untuk perusahaan induk) atas laporan keuangan induk jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang tidak memperbolehkan adanya opini tersendiri untuk laporan keuangan perusahaan induk saja atas laporan keuangan konsolidasian. PSAK menegaskan bahwa pada dasarnya induk perusahaan yang memenuhi kriteria konsolidasi tidak boleh menyajikan tersendiri laporan keuangannya (tanpa konsolidasi) karena hanya ada satu laporan keuangan yang berlaku umum, yaitu laporan keuangan konsolidasi.

Paragraf 16 PSAK No. 4 mengenai Laporan Keuangan Konsolidasi menyatakan bahwa :

Apabila dipenuhi kriteria konsolidasi, maka laporan keuangan konsolidasi wajib disusun. Untuk tujuan pelaporan keuangan, induk perusahaan yang memenuhi kriteria konsolidasi tidak boleh menyajikan tersendiri laporan keuangannya (tanpa konsolidasi) karena hanya ada satu laporan keuangan yang berlaku umum (general purpose financial statement), yaitu laporan keuangan konsolidasi. Akan tetapi, laporan keuangan tersendiri boleh disajikan apabila bertujuan untuk memberikan informasi tambahan bagi pengguna laporan keuangan konsolidasi. Dalam laporan keuangan induk perusahaan yang disajikan tersendiri tersebut, penyertaan pada anak perusahaan harus dipertanggung jawabkan dengan menggunakan metode ekuitas.

Sedangkan SPAP – SA Seksi 9551 mengenai Pelaporan Auditor Atas Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Induk Perusahaan saja: Interpretasi SA Seksi 551 mengatur bahwa jika suatu kantor akuntan publik melakukan audit atas laporan keuangan konsolidasian dan pemakai laporan audit selain memerlukan pendapat auditor atas laporan keuangan konsolidasian juga membutuhkan pendapat auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja (parent company only) harus mengacu pada PSA No. 36 (SA Seksi 551 Pelaporan atas Informasi yang Menyertai Laporan Keuangan Pokok dalam Dokumen yang Diserahkan oleh Auditor).

Opini auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja boleh diberikan auditor sebatas tidak terpisah dari opini atas laporan keuangan konsolidasian dan disajikan dalam paragraf tersendiri (sebagai informasi tambahan) setelah paragraf opini auditor atas laporan konsolidasian.

Illustrasinya adalah sebagai berikut :

Paragraf ke-3 Opini auditor atas laporan keuangan konsolidasian :

Menurut pendapat kami, laporan keuangan konsolidasian yang kami sebut diatas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan perusahaan KXT dan anak perusahaannya tanggal 31 Desember 20X2, dan 20X1, dan hasil usaha, serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Paragraf ke-4 Opini auditor atas laporan keuangan induk perusahaan saja

Audit kami laksanakan dengan tujuan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan pokok secara keseluruhan. Laporan keuangan induk perusahaan disajikan untuk tujuan analisa tambahan dan bukan merupakan bagian laporan keuangan pokok yang diharuskan menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Laporan keuangan induk perusahaan tersebut telah menjadi objek prosedur audit yang kami terapkan dalam audit atas laporan keuangan pokok, dan, menurut pendapat kami, disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, berkaitan dengan laporan keuangan pokok secara keseluruhan.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia tidak memperbolehkan adanya opini tersendiri khusus untuk laporan keuangan induk perusahaan saja seperti yang dipersyaratkan oleh KPP PMB tersebut. Jadi, bagaimana KAP dan IAPI menanggapi hal tersebut ? (Hrd).