Thursday, August 29, 2024

Menentukan Keandalan Biaya Perolehan Aset Tetap

PSAK 16 dalam paragraf 07 mengatur bahwa untuk dapat diakui sebagai aset tetap, suatu pengeluaran yang dilakukan Perusahaan harus memenuhi dua kriteria berikut ini :

  1. kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut; dan
  2. biaya perolehannya dapat diukur secara andal
Definisi Biaya Perolehan menurut PSAK 16 adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar dari imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh suatu aset pada saat perolehan atau konstruksi atau, jika dapat diterapkan, jumlah yang diatribusikan pada aset ketika pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu dalam PSAK lain, contohnya PSAK 53: Pembayaran Berbasis Saham.

Lantas, bagaimana kriterianya dalam menentukan keandalan biaya perolehan aset tetap agar dapat memenuhi persyaratan pengakuan sebagai aset tetap ?

Adapun biaya perolehan mencakup semua pengeluaran yang diperlukan untuk memperoleh aset tetap dan membawa aset tetap tersebut ke kondisi yang diinginkan untuk dapat digunakan sesuai tujuan manajemen. Para.16 PSAK 16 menjelaskan bahwa biaya perolehan aset tetap meliputi :

  1. harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak dapat dikreditkan setelah dikurangi diskon dan potongan lain
  2. setiap biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang diinginkan supaya aset tersebut siap digunakan sesuai dengan intensi manajemen seperti biaya imbalan kerja, biaya penyiapan lahan untuk pabrik, biaya penanganan dan penyerahan awal, biaya instalasi dan perakitan, biaya pengujian aset apakah aset berfungsi dengan baik, fee profesional.
  3. estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset tetap, kewajiban tersebut timbul ketika aset tetap diperoleh atau sebagai konsekuensi penggunaan aset tetap selama periode tertentu untuk tujuan selain untuk memproduksi persediaan selama periode tersebut 
Agar biaya perolehan aset tetap dapat diakui dalam laporan keuangan perusahaan sebagai aset tetap, maka biaya tersebut harus dapat diukur secara andal.

Dapat diukur secara andal, berarti bahwa biaya tersebut harus :
  1. dapat diverifikasi dimana biaya yang diukur harus didasarkan pada bukti-bukti yang dapat diverifikasi seperti faktur pembelian, kontrak, atau dokumen lain yang mendukung pengeluaran yang dilakukan perusahaan
  2. objektif, dimana dalam hal ini pengukuran harus dilakukan dengan metode yang konsisten dan tidak bias, sehingga hasilnya mencerminkan nilai sebenarnya dari biaya yang dikeluarkan
  3. pasti dan tidak spekulatif, dalam hal ini pengukuran biaya harus memberikan hasil yang pasti dan tidak berdasarkan estimasi yang terlalu spekulatif ataupun tidak berdasar. Estimasi yang dipergunakan harus didasarkan pada informasi yang tersedia dan masuk akal
Jika suatu pengeluaran untuk biaya perolehan aset tetap tidak dapat diukur secara andal sesuai ketentuan dalam para.07 PSAK 16, maka pengeluaran tersebut tidak dapat diakui sebagai biaya perolehan aset tetap dalam laporan keuangan. Dalam kasus ini, pengeluaran yang terjadi mungkin harus diakui sebagai beban dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya, bukan dicatat sebagai aset tetap (HRD).  

Monday, August 26, 2024

Menetapkan nilai tertentu sebagai Capital Expenditure dan Revenue Expenditure, apakah boleh ?

 Tidak jarang ditemukan dalam kebijakan akuntansi sebuah Perusahaan, manajemen menetapkan kebijakan dengan penentuan pengeluaran nilai rupiah tertentu sebagai Capital Expenditure (Belanja Modal) dan sebaliknya pengeluaran di bawah nilai tersebut diperlakukan sebagai Revenue Expenditure (Belanja Operasional). Sebagai contoh, manajemen PT A menetapkan dalam kebijakan akuntansi terkait pengakuan aset tetap bahwa untuk pengeluaran pembelian barang minimal Rp 50 juta harus diperlakukan sebagai Capital Expenditure. Dengan demikian, untuk pengeluaran pembelian barang di bawah Rp 50 juta, tanpa memperhatikan sifat dan fungsi dari barang yang dibeli tersebut, bagian akuntansi akan langsung mencatat sebagai biaya operasional. Apakah perlakuan kebijakan akuntansi seperti ini sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia, khususnya PSAK 16 tentang Aset Tetap ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus merujuk ke persyaratan pengakuan sebagai aset tetap menurut ketentuan dalam PSAK 16.

Paragraf 07 PSAK 16 menjelaskan bahwa biaya perolehan aset tetap diakui sebagai aset jika dan hanya jika :

(a) kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut; dan

(b) biaya perolehannya dapat diukur secara andal

Selanjutnya dalam paragraf 08 dijelaskan bahwa suku cadang, peralatan siap pakai dan peralatan pemeliharaan diakui sesuai dengan PSAK 16 ketika memenuhi definisi dari aset tetap. Namun, jika tidak maka suku cadang peralatan siap pakai dan peralatan pemeliharaan diklasifikasikan sebagai persediaan.

PSAK 16 mendefinisikan Aset Tetap sebagai aset berwujud yang :

(a) dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan

(b) diperkirakan untuk digunakan selama lebih dari satu periode

Dengan memperhatikan definisi dan syarat pengakuan Aset Tetap sesuai PSAK 16 seperti yang dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan manajemen Perusahaan dalam penentuan Capital Expenditure dan Revenue Expenditure dengan semata-mata berdasarkan ukuran nilai rupiah dari pengeluaran yang dilakukan, tanpa memperhatikan sifat dan fungsi serta syarat pengakuan aset tetap sesuai para.07 PSAK 16 adalah tidak tepat. Jika kebijakan penentuan Capital Expenditure dan Revenue Expenditure berdasarkan nilai rupiah pengeluaran diterapkan semata-mata untuk kemudahan pencatatan akuntansi secara internal tentu saja tidak menjadi masalah, namun jika pencatatan akuntansi merujuk pada ketentuan dalam PSAK 16 maka kebijakan Capital Expenditure dan Revenue Expenditure mau tidak mau harus mengacu ke persyaratan dalam para.07 PSAK 16 seperti yang dijelaskan sebelumnya (HRD).   

Tuesday, July 9, 2024

Bagaimana teknologi Artificial Intelligence berperan dalam pekerjaan audit ? (Lanjutan)

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian sebelumnya (Bagaimana teknologi Artificial Intelligence berperan dalam pekerjaan audit? )

4. Peningkatan Kualitas dan Kepatuhan

AI dapat membantu memastikan bahwa audit dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku:

  • Pemeriksaan Kepatuhan Otomatis: AI dapat memeriksa apakah transaksi atau prosedur telah sesuai dengan peraturan atau kebijakan yang berlaku, mengurangi risiko kesalahan atau ketidakpatuhan
  • Pengawasan dan Review Otomatis: AI dapat digunakan untuk melakukan review otomatis atas pekerjaan audit, memastikan bahwa semua langkah telah diikuti sesuai dengan prosedur audit dan mengidentifikasi area yang memerlukan perhatian lebih lanjut
5. Peningkatan Akurasi dan Mengurangi Kesalahan

AI membantu meningkatkan akurasi audit dan mengurangi risiko kesalahan manusia:
  • Pengurangan Kesalahan Manual: Dengan mengotomatiskan tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan secara manual, AI mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan manusia
  • Verifikasi dan Validasi Otomatis: AI dapat melakukan verifikasi dan validasi data dengan lebih cepat dan akurat, memastikan bahwa data yang digunakan dalam audit valid dan dapat diandalkan
6. Pengambilan Keputusan Berbasis Data

AI mendukung auditor dalam membuat keputusan yang lebih berbasis data dan informatif:
  • Visualisasi Data : AI dapat menghasilkan visualisasi data yang kompleks, memudahkan auditor untuk memahami pola dan tren dalam data yang besar dan kompleks
  • Insight yang Lebih Dalam: AI dapat memberikan insight yang lebih mendalam mengenai kondisi keuangan dan operasional perusahaan berdasarkan data historis dan analisis tren
7. Efisiensi dan Penghematan Waktu

Dengan AI, banyak tugas yang dapat dilakukan dengan lebih cepat, memungkinkan auditor untuk fokus pada analisis dan pengambilan keputusan strategis:
  • Pengolahan Data Real-Time: AI memungkinkan pengolahan data secara real-time, sehingga auditor dapat segera mendapatkan hasil analisis tanpa perlu menunggu proses manual
  • Pengurangan Beban Kerja: Dengan mengotomatisasi tugas-tugas tertentu, AI mengurangi beban kerja auditor, memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada tugas-tugas yang membutuhkan penilaian profesional
8. AI sebagai Alat Bantuan Auditor

AI bukan pengganti auditor, tetapi lebih sebagai alat yang memperkuat kemampuan auditor:
  • Pembantu dalam Pengambilan Keputusan: AI memberikan rekomendasi berdasarkan analisis data, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan auditor yang menggunakan penilaian profesional mereka
  • Peningkatan Kapabilitas Auditor : Dengan bantuan AI, auditor dapat menangani volume data yang lebih besar dan melakukan audit yang lebih komprehensif.
Kesimpulan

AI berperan penting dalam meningkatkan efisiensi, akurasi dan kualitas dalam pekerjaan assurance audit. Dengan kemampuan AI untuk mengotomatisasi tugas rutin, menganalisis data dalam jumlah besar, dan memberikan insight yang lebih dalam, auditor dapat melakukan audit dengan lebih efektif dan dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi. Namun, penting untuk dicatat bahwa AI berfungsi sebagai alat bantu, dan auditor tetap perlu menggunakan penilaian profesional mereka dalam pengambilan keputusan akhir (HRD).

Tuesday, July 2, 2024

Bagaimana teknologi Artificial Intelligence (AI) berperan dalam pekerjaan audit ?

Saya yakin kita semua pernah menggunakan salah satu aplikasi canggih dari kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) khususnya mahasiswa maupun anak-anak sekolah yang mencari jawaban untuk tugas-tugas kuliah maupun sekolah yaitu ChatGPT. Adapun ChatGPT adalah chatbots dari GPT yang merupakan salah satu aplikasi AI yang dikembangkan oleh OpenAI, sebuah perusahaan non-profit yang bergerak dalam penelitian dan pengembangan kecerdasan buatan (AI).

Sebagai seorang auditor, saya juga merasakan begitu banyak manfaat dan kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi digital saat ini, salah satunya dalam hal pembelajaran dan penggalian informasi-informasi yang berkaitan dengan pemahaman dunia akuntansi dan auditing yang saat ini sudah berkiblat ke standar internasional yang sering mengalami perubahan dan penyesuaian.

Sebagai contohnya, ketika saya bertanya-tanya mengenai peranan dari teknologi AI terhadap pekerjaan auditor khususnya dalam penugasan assurance audit, saya coba mendapatkan penjelasannya dari ChatGPT. Dengan menggunakan prompt yang cukup sederhana, yaitu "Bagaimana teknologi AI berperan dalam pekerjaan assurance audit?", saya mendapatkan penjelasan yang menurut saya cukup akurat dan memuaskan dari aplikasi ChatGPT.

Berikut saya share hasil interaksi dengan ChatGPT tersebut didalam tulisan ini :

Prompt "Bagaimana teknologi AI berperan dalam pekerjaan assurance audit?"

Penjelasan ChatGPT sebagai berikut :

Teknologi AI (Artificial Intelligence) semakin berperan penting dalam pekerjaan assurance audit, membantu auditor untuk meningkatkan efisiensi, akuransi, dan kualitas audit. Berikut adalah beberapa cara bagaimana AI berperan dalam pekerjaan assurance audit :

1. Automasi Tugas Rutin

AI dapat mengotomatisasi banyak tugas rutin dan repetitif yang biasanya memakan waktu seperti :

  • Proses Pencocokan Transaksi: AI dapat secara otomatis mencocokkan transaksi keuangan dengan catatan pendukung seperti faktur, kontrak, atau laporan bank, mengurangi pekerjaan manual dan risiko kesalahan
  • Pengolahan Data: AI dapat membantu mengumpulkan, mengelola, dan menganalisis data dari berbagai sumber, termasuk dokumen kertas yang telah di-scan dan dokumen digital
2. Analisis Data Lebih Cepat dan Mendalam

AI memungkinkan auditor untuk menganalisis data dalam jumlah besar dengan lebih cepat dan mendalam:
  • Analisis Data Besar : Dengan menggunakan teknik machine learning, AI dapat menganalisis ribuan atau jutaan transaksi untuk mengidentifikasi pola yang tidak biasa, anomali, atau potensi risiko yang mungkin tidak terlihat dengan analisis manual
  • Deteksi Anomali: AI dapat mendeteksi transaksi yang tidak sesuai dengan pola yang diharapkan, mengidentifikasi potensi fraud atau error secara lebih efektif.
3. Penilaian Risiko yang Lebih Akurat

AI dapat membantu auditor dalam melakukan penilaian risiko yang lebih tepat:
  • Model Prediktif: AI dapat digunakan untuk membuat model prediktif yang membantu dalam menilai risiko keuangan atau operasional perusahaan. Misalnya, AI dapat menganalisis data keuangan historis dan data pasar untuk memprediksi kemungkinan terjadinya masalah keuangan
  • Prioritisasi Area Audit : Berdasarkan analisis data, AI dapat membantu auditor menentukan area mana yang memiliki risiko lebih tinggi dan memerlukan perhatian lebih dalam audit, sehingga fokus audit dapat lebih tepat sasaran.
(Bersambung) (HRD)




Thursday, April 28, 2022

Apa Saja Elemen Biaya Perolehan Aset Tetap

PSAK 16 tentang Aset Tetap mengatur bahwa pada saat pengakuan awal, aset tetap yang memenuhi kwalifikasi pengakuan sebagai aset diukur pada BIAYA PEROLEHAN,

Definisi Aset Tetap menurut PSAK 16 adalah aset berwujud yang :
  1. dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
  2. diperkirakan untuk digunakan selama lebih dari satu periode
Sedangkan Biaya Perolehan didefinisikan sebagai jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar dari imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh suatu aset pada saat perolehan atau konstruksi atau, jika dapat diterapkan, jumlah yang diatribusikan pada aset ketika pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu dalam PSAK lain, contohnya PSAK 53 : Pembayaran Berbasis Saham

Paragraf 07 PSAK 16 mengatur bahwa biaya perolehan aset tetap diakui sebagai aset jika dan hanya jika :
  1. kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut; dan
  2. biaya perolehannya dapat diukur secara andal
Adapun elemen biaya perolehan aset tetap meliputi : 
  1. harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak dapat dikreditkan setelah dikurangi diskon dan potongan lain
  2. setiap biaya yang dapat diatribuskan secara langsung untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang diperlukan supaya aset siap digunakan sesuai dengan intensi manajemen
  3. estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset tetap, kewajiban tersebut timbul ketika aset tetap diperoleh atau sebagai konsekuensi penggunaan aset tetap selama periode tertentu untuk tujuan selain untuk memproduksi persediaan selama periode tersebut
Paragraf 17 PSAK 16 memberikan contoh biaya yang dapat diatribusikan secara langsung ke dalam biaya perolehan aset tetap yaitu :
  • (a) biaya imbalan kerja (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 24: Imbalan Kerja) yang timbul secara langsung dari konstruksi atau perolehan aset tetap;
  • (b) biaya penyiapan lahan untuk pabrik;
  • (c) biaya penanganan dan penyerahan awal;
  • (d) biaya instalasi dan perakitan;
  • (e) biaya pengujian apakah aset berfungsi dengan baik (yaitu menilai apakah kinerja teknis dan kinerja fisik aset sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif); dan
  • (f) fee profesional
Contoh biaya yang bukan merupakan biaya perolehan aset tetap adalah :
  • (a) biaya pembukaan fasilitas baru;
  • (b) biaya pengenalan produk atau jasa baru (termasuk biaya iklan dan aktivitas promosi);
  • (c) biaya penyelenggaraan bisnis di lokasi baru atau kelas pelanggan baru (termasuk biaya pelatihan staf); dan
  • (d) biaya administrasi dan biaya overhead umum lain
Pengakuan biaya dalam jumlah tercatat aset tetap dihentikan ketika aset tetap tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diperlukan supaya aset siap digunakan sesuai dengan intensi manajamen (HRD) ***

Tuesday, April 19, 2022

Konsep Suatu Audit atas Laporan Keuangan

Standar Audit (SA) 200 (Revisi 2021) tentang Tujuan Keseluruhan Auditor Independen dan Pelaksanaan Audit Berdasarkan Standar Audit dalam bagian Pendahuluan menjelaskan bahwa tujuan suatu audit adalah untuk meningkatkan tingkat keyakinan pengguna laporan keuangan yang dituju. Hal ini dicapai melalui pernyataan suatu opini oleh auditor tentang apakah laporan keuangan disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan suatu kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Dalam hal kebanyakan kerangka bertujuan umum, opini tersebut adalah tentang apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka tersebut. Suatu audit yang dilaksanakan berdasarkan SA dan ketentuan etika yang relevan memungkinkan auditor untuk merumuskan opini.

Paragraf 4 SA 200 menjelaskan bahwa laporan keuangan yang diaudit adalah milik entitas, yang disusun oleh manajemen entitas dengan pengawasan dari pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola. SA tidak mengatur tanggung jawab manajemen atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, serta tidak mengabaikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tanggung jawab mereka. Namun, suat audit berdasarkan SA dilaksanakan dengan premis bahwa manajemen dan, jika relevan, pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, mengakui tanggung jawab tertentu yang fundamental bagi pelaksanaan audit. Audit atas laporan keuangan tidak melepaskan manajemen atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola dari tanggung jawab mereka.

Selanjutnya,  paragraf 5 mengatur bahwa sebagai basis untuk opini auditor, SA mengharuskan auditor untuk memeroleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari kesalahan penyajian material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan. Keyakinan memadai merupakan suatu tingkat keyakinan tinggi. Keyakinan tersebut diperoleh ketika auditor telah memeroleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menurunkan risiko audit (risiko bahwa auditor menyatakan suatu opini yang tidak tepat ketika laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material) ke level rendah yang dapat diterima. Namun, keyakinan memadai bukan merupakan suatu tingkat keyakinan absolut, karena terdapat keterbatasan inheren dalam audit yang menghasilkan kebanyakan bukti audit, yang menjadi basis auditor dalam menarik kesimpulan dan merumuskan opini, bersifat persuasif daripada konklusif.

Seperti yang dijelaskan dalam paragraf 6 SA 200, konsep materialitas diterapkan oleh auditor dalam perencanaan dan pelaksanaan audit, serta dalam pengevaluasian dampak kesalahan penyajian dalam audit dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada, yang teridentifikasi terhadap laporan keuangan. Pada umumnya, kesalahan penyajian, termasuk penghilangan penyajian, dipandang material jika, baik secara individual maupun agregat, dapat diekspektasikan secara wajar akan memengaruhi keputusan ekonomi yang diambil oleh pengguna berdasarkan laporan keuangan tersebut. Pertimbangan tentang materialitas dibuat dengan memperhatikan kondisi yang melingkupinya, dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan informasi keuangan pengguna laporan keuangan, serta oleh ukuran atau sifat suatu kesalahan penyajian, atau kombinasi dari keduanya. Oleh karena opini auditor berhubungan dengan laporan keuangan secara keseluruhan, auditor tidak bertanggung jawab untuk mendeteksi kesalahan penyajian yang tidak material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.

Demikian sekilas gambaran konsep audit atas laporan keuangan perusahaan yang dilakukan auditor independen sesuai dengan pengaturan dalam SA 200 (Revisi 2021) yang perlu untuk dipahami oleh pengguna laporan keuangan maupun pihak manajemen perusahaan yang laporan keuangannya diaudit oleh auditor independen. Semoga bermanfaat (HRD) ***

Wednesday, April 13, 2022

Kriteria Perusahaan UMKM sesuai UU Cipta Kerja

Berdasarkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang dimaksud dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mendefinisikan Usaha Mikro sebagai usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam PP No.7 Tahun 2021.

Sedangkan, Usaha Kecil didefinisikan sebagai usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam PP No.7 Tahun 2021.

Kemudian, yang dimaksud Usaha Menengah menurut PP No.7 Tahun 2021 adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Menengah sebagaimana diatur dalam PP No.7 Tahun 2021.

Pasal 35 PP No.7 Tahun 2021 mengatur mengenai Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMK-M) sebagai berikut :

  • ayat (1) mengatur bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan
  • ayat (2) mengatur bahwa kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pendirian atau pendaftaran kegiatan usaha
  • ayat (3) mengatur bahwa kriteria MODAL USAHA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :
    1. Usaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp 1 Miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
    2. Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp 1 Miliar sampai dengan paling banyak Rp 5 Miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
    3. Usaha Menengah memiliki modal usaha lebih dari Rp 5 Miliar sampai dengan paling banyak Rp 10 Miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
  • ayat (4) mengatur bahwa untuk pemberian kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah selain kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan kriteria hasil penjualan tahunan
  • ayat (5) mengatur kriteria HASIL PENJUALAN TAHUNAN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas :

  1. Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp 2 Miliar
  2. Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2 Miliar sampai dengan paling banyak Rp 15 Miliar
  3. Usaha Menengah memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 15 Miliar sampai dengan paling banyak Rp 50 Miliar

  • ayat (6) mengatur bahwa dalam hal pelaku usaha telah melaksanakan kegiatan usaha sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pemberian kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan diberikan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memenuhi kriteria hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
  • ayat (7) mengatur bahwa nilai nominal kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian.
Selanjutnya, Pasal 36 PP No.7 Tahun 2021 dalam ayat (1) mengatur bahwa untuk kepentingan tertentu, selain kriteria modal usaha dan hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), kementerian/lembaga dapat menggunakan kriteria omzet, kekayaan bersih, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, insentif dan disinsentif, kandungan lokal, dan/atau penerapan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.

Kemudian ayat (2) mengatur bahwa penggunaan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh menteri teknis atau pimpinan lembaga harus mendapatkan pertimbangan dari Menteri.

Demikian sekilas penjelasan kriteria perusahaan yang diklasifikasikan sebagai UMK-M sesuai dengan ketentuan dalam PP No.7 Tahun 2021 yang mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu 2 Februari 2021 (HRD) ***

Sunday, April 10, 2022

PT boleh didirikan oleh Pemegang Saham Tunggal ?

Berdasarkan UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas  (UU No.40/2007) yang mulai berlaku sejak 16 Agustus 2007, sebuah Perseroan Terbatas (PT) harus didirikan oleh minimal 2 orang pemegang saham. Pasal 7 UU No.40 Tahun 2007 mengatur lebih lanjut :

  1. Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia
  2. Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka peleburan
  4. Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan
  5. Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain
  6. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut
  7. Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi :
    • Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
    • Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Pasar Modal.
Kemudian, dengan berlakunya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sejak tanggal  2 November 2020, ketentuan Pasal 7 dalam UU No.40/2007 dirubah dimana untuk ketentuan dalam ayat (7) menjadi sebagai berikut :

Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi :

  1. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara;
  2. Badan Usaha Milik Daerah;
  3. Badan Usaha Milik Desa;
  4. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sesuai dengan Undang-Undang tentang Pasar Modal; atau
  5. Perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.
Dari ketentuan UU Cipta Kerja di atas berarti untuk Perseroan Terbatas (PT) boleh didirikan oleh satu orang pemegang saham saja jika memenuhi persyaratan sebagai perseroan Usaha Mikro dan Kecil (HRD) *** 

Monday, April 4, 2022

Konsep Audit Berbasis Risiko (Risk-based Audit)

Seperti yang telah kita ketahui, sejak tanggal 1 Januari 2013 Indonesia secara resmi mengadopsi standar audit internasional yaitu ISA (International Standards on Auditing), sehingga dengan demikian audit atas laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor independen harus berpedoman kepada standar audit tersebut.

ISA adalah merupakan standar audit yang berbasis risiko. Teknik audit berbasis risiko (risk-based auditing) mendasarkan pelaksanaan prosedur audit sesuai dengan penilaian risiko (risk assessment) yang dilakukan oleh auditor untuk dapat mendeteksi apakah laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen perusahaan yang diaudit mengandung salah saji material atau tidak.

Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya "Audit Berbasis ISA" menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan risiko audit (audit risk) adalah risiko yang dihadapi oleh auditor karena memberikan opini audit yang tidak tepat atas laporan keuangan yang disalahsajikan secara material. Tujuan dilakukannya audit adalah untuk menekan risiko ini ke tingkat rendah yang dapat diterima oleh auditor.

Standar Audit (SA) 200 menjelaskan mengenai risiko audit sebagai risiko bahwa auditor menyatakan suatu opini audit yang tidak tepat ketika laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material. Risiko audit merupakan suatu fungsi risiko kesalahan penyajian material dan risiko deteksi.

Dari penjelasan di atas dapat diperoleh gambaran bahwa ada dua unsur utama dari risiko audit yang dihadapi auditor dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan perusahaan. Yang pertama berupa risiko kesalahan penyajian material yaitu risiko bahwa laporan keuangan mengandung kesalahan penyajian material sebelum dilakukan audit. Risiko ini terdiri dari dua komponen, yaitu :

  1. risiko inheren (risiko bawaan)/ inherent risk
  2. risiko pengendalian/ control risk
SA 200 lebih lanjut menjelaskan bahwa risiko inheren adalah kerentanan suatu asersi tentang suatu golongan transaksi, saldo akun, atau pengungkapan terhadap suatu kesalahan penyajian yang mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya, sebelum mempertimbangkan pengendalian internal yang terkait. Sedangkan risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu kesalahan penyajian yang mungkin terjadi dalam suatu asersi tentang suatu golongan transaksi, saldo akun, atau pengungkapan yang mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya, tidak akan dapat dicegah, atau dideteksi dan dikoreksi, secara tepat waktu oleh pengendalian internal perusahaan.

Jadi, risiko inheren dan risiko pengendalian berkaitan dengan perusahaan dan lingkungannya secara keseluruhan, dimana kedua risiko tersebut merupakan komponen dari risiko kesalahan penyajian yang material seperti yang dijelaskan di atas, yang sudah terkandung dalam laporan keuangan yang dipersiapkan oleh pihak manajemen perusahaan sebelum auditor independen melakukan prosedur auditnya.

Unsur kedua dari risiko audit berbasis ISA adalah berupa risiko deteksi, yaitu risiko bahwa prosedur audit yang dilaksanakan oleh auditor untuk menurunkan risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima tidak akan mendeteksi suatu kesalahan penyajian yang ada dan yang mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya.

Jadi, risiko deteksi yang dihadapi auditor merupakan risiko yang timbul selama berlangsungnya pelaksanaan audit (dengan pelaksanaan prosedur-prosedur audit), dimana ada kemungkinan bahwa prosedur audit yang dirancang oleh auditor sendiri akan gagal untuk mendeteksi kesalahan penyajian material dari laporan keuangan yang diaudit.

Secara garis besar, ada 3 tahapan dalam melakukan audit berbasis risiko (risk-based audit) seperti yang dijabarkan dalam SA 200, sebagai berikut :
  1. mengidentifikasi dan menilai risiko kesalahan penyajian material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan, berdasarkan suatu pemahaman atas entitas dan lingkungannya, termasuk pengendalian internal entitas/ risk assessment
  2. memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat tentang apakah terdapat kesalahan penyajian material, melalui perancangan dan penerapan respons yang tepat terhadap risiko yang dinilai/ risk response
  3. merumuskan suatu opini atas laporan keuangan berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari bukti audit yang diperoleh/ reporting
Opini audit yang diberikan oleh auditor independen adalah berdasarkan hasil evaluasi dari bukti audit yang cukup dan tepat yang diperoleh dari  hasil pelaksanaan risk assessment dan risk response. Demikian gambaran konsep audit berbasis risiko sesuai dengan ISA (HRD) **

Wednesday, November 3, 2021

Standar Akuntansi yang berlaku pada tahun 2021

Berikut ini adalah Standar Akuntansi yang berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2021 dan 1 April 2021 berdasarkan update sampai dengan akhir Oktober 2021 :

  1. PSAK 112, "Akuntansi Wakaf" berlaku efektif 1 Januari 2021
  2. Amandemen PSAK 22, "Kombinasi Bisnis tentang Definisi Bisnis" berlaku efektif 1 Januari 2021
  3. Amandemen PSAK 71, Amandemen PSAK 55, Amandemen PSAK 60, Amandemen PSAK 62 dan Amandemen PSAK 73 tentang Reformasi Acuan Suku Bunga - Tahap 2" berlaku efektif 1 Januari 2021
  4. Penyesuaian Tahunan PSAK 110, "Akuntansi Sukuk" berlaku efektif 1 Januari 2021
  5. Penyesuaian Tahunan PSAK 111, "Akuntansi Wa'd" berlaku efektif 1 Januari 2021
  6. Amandemen PSAK 73, "Sewa tentang Konsesi Sewa Terkait Covid-19 Setelah 30 Juni 2021" berlaku efektif 1 April 2021
  7. PSAK 1 (Penyesuaian Tahunan 2021), "Penyajian Laporan Keuangan" berlaku efektif 1 Januari 2021
  8. PSAK 13 (Penyesuaian Tahunan 2021), "Properti Investasi" berlaku efektif 1 Januari 2021
  9. PSAK 48 (Penyesuaian Tahunan 2021), "Penurunan Nilai Aset" berlaku efektif 1 Januari 2021
  10. PSAK 66 (Penyesuaian Tahunan 2021), "Pengaturan Bersama" berlaku efektif 1 Januari 2021
  11. ISAK 16 (Penyesuaian Tahunan 2021), "Perjanjian Konsesi Jasa" berlaku efektif 1 Januari 2021
Di samping itu, DSAK IAI juga telah mensahkan beberapa standar, amandemen dan penyesuaian tahunan tetapi baru akan berlaku setelah tahun 2021 :
  1. PSAK 74, "Kontrak Asuransi" berlaku efektif 1 Januari 2025
  2. Amandemen PSAK 1, "Penyajian Laporan Keuangan tentang Klasifikasi Liabilitas sebagai Jangka Pendek atau Jangka Panjang" berlaku efektif 1 Januari 2023
  3. Amandemen PSAK 1, "Penyajian Laporan Keuangan tentang Pengungkapan Kebijakan Akuntansi" berlaku efektif 1 Januari 2023
  4. Amandemen PSAK 16, "Aset Tetap tentang Hasil Sebelum Penggunaan yang Diintensikan" berlaku efektif 1 Januari 2023
  5. Amandemen PSAK 22, "Kombinasi Bisnis tentang Referensi ke Kerangka Konseptual" berlaku efektif 1 Januari 2022
  6. Amandemen PSAK 25, "Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan tentang Definisi Estimasi Akuntansi" berlaku efektif 1 Januari 2023
  7. Amandemen PSAK 57, "Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi tentang Kontrak Memberatkan - Biaya Memenuhi Kontrak" berlaku efektif 1 Januari 2022
  8. PSAK 69 (Penyesuaian Tahunan 2020), "Agrikultur" berlaku efektif 1 Januari 2022
  9. PSAK 71 (Penyesuaian Tahunan 2020), "Instrumen Keuangan" berlaku efektif 1 Januari 2022
  10. PSAK 73 (Penyesuaian Tahunan 2020), "Sewa" berlaku efektif 1 Januari 2022
Demikian informasi Standar-Standar Akuntansi yang telah disahkan oleh DSAK IAI dan mulai berlaku efektif 1 Januari 2021 dan sesudahnya yang saya rangkum dari webpage Ikatan Akuntan Indonesia (iaiglobal.or.id) dengan update sampai dengan akhir Oktober 2021. Semoga bermanfaat (HRD) ***

Thursday, September 23, 2021

Akuntansi Hak atas Tanah sesuai PSAK 73

PSAK 73 tentang Sewa yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2020 menggantikan PSAK 30 tentang Sewa dan beberapa interpretasi standar (ISAK) yang berlaku sebelumnya, dimana salah satunya adalah ISAK 25 tentang Hak atas Tanah.

Terkait dengan perlakuan akuntansi Hak atas Tanah, ISAK 25 mengatur bahwa :

  1. biaya perolehan hak atas tanah, termasuk biaya pengurusan legal hak atas tanah ketika tanah diperoleh pertama kali, diakui sebagai aset tetap jika memenuhi definisi aset tetap sesuai dengan PSAK 16 : Aset Tetap
  2. biaya perolehan hak atas tanah tidak didepresiasi dengan alasan umur ekonomik hak atas tanah yang tidak terbatas karena dapat terus diperpanjang dan diperbarui sesuai persyaratan peraturan perundang-undangan, kecuali terdapat bukti yang mengindikasikan umur ekonomik menjadi terbatas, dan
  3. biaya pengurusan perpanjangan atau pembaruan legal hak atas tanah diakui sebagai aset takberwujud dan diamortisasi sesuai PSAK 19 : Aset Takberwujud
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah dengan dicabutnya ISAK 25 bagaimana selanjutnya perlakuan akuntansi untuk biaya perolehan hak atas tanah ketika tanah diperoleh pertama kali serta biaya pengurusan perpanjangan atau pembaruan legal hak atas tanah ?

PSAK 73 dalam bagian Dasar Kesimpulan DK04 menjelaskan bahwa Basis for Conclusions IFRS 16 Leases paragraf BC139(b) mendeskripsikan dasar pemikiran IASB bahwa pencatatan suatu transaksi bergantung pada substansi dari transaksi tersebut, dan bukan pada bentuk legalnya. Konsekuensinya, jika suatu kontrak memberikan hak yang secara substansi merepresentasikan pembelian aset tetap, maka hak tersebut memenuhi definisi aset tetap dan dicatat sesuai dengan IAS 16 Property, Plant and Equipment (yang merupakan rujukan PSAK 16 : Aset Tetap), tanpa memperhatikan apakah hak kepemilikan legal aset tetap tersebut telah beralih. Selanjutnya, Basis for Conclusions IFRS 16 paragraf BC140 menegaskan bahwa IFRS 16 diterapkan untuk kontrak yang memberikan hak untuk menggunakan aset pendasar selama suatu jangka waktu tertentu, dan tidak diterapkan untuk transaksi yang mengalihkan pengendalian atas aset pendasar tersebut kepada entitas. Transaksi yang mengalihkan pengendalian atas aset pendasar tersebut merupakan penjualan atas pembelian aset yang masuk dalam ruang lingkup Pernyataan lain.

DSAK IAI mencermati bahwa beralihnya PENGENDALIAN atas aset pendasar menjadi pertimbangan utama dalam menentukan apakah transaksi tersebut merupakan pembelian aset tetap, atau merupakan transaksi sewa.

Dalam hal pola fakta untuk hak atas tanah yang bersifat sekunder, misalnya pada umumnya skema HGB di Indonesia, DSAK IAI mencermati indikasi yang kuat bahwa risiko dan manfaat secara substansi telah dialihkan kepada entitas yang memiliki hak tersebut. Sebagai contoh, pada umumnya HGB dapat dijual kembali oleh entitas dan entitas dapat menggunakan hak atas tanah tersebut sebagai jaminan atau kolateral. Selain itu, nilai kini dari hak residual tanah diperkirakan kecil karena hanya berupa biaya administrasi dan pajak terkait kepada pemerintah, dan bahwa biaya pengurusan perpanjangan HGB tidak substansial. Jika dianalisis secara menyeluruh menggunakan kriteria pengalihan pengendalian sebagaimana dibahas dalam paragraf DK05 PSAK 73, maka terdapat indikasi yang kuat bahwa dalam pola fakta tersebut pengendalian atas hak atas tanah telah beralih kepada entitas, karena entitas telah memperoleh kemampuan untuk mengarahkan penggunaan aset, dan memperoleh secara substansial seluruh sisa manfaat dari aset tersebut. Dalam pola fakta ini, entitas dapat menyimpulkan bahwa transaksi tersebut secara substansial menyerupai pembelian tanah, meskipun hak kepemilikan legal tidak berpindah kepada entitas, sehingga entitas menerapkan IAS 16 Property, Plant and Equipment.

Contoh pencatatan hak atas tanah sebagai Aset Hak-Guna sesuai PSAK 73 adalah dalam kasus pemberian hak sekunder di atas hak primer, seperti misalnya HGB di atas Hak Pengelolaan (HPL). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa transaksi yang terjadi tidak mengalihkan pengendalian atas aset pendasar (yaitu HPL), melainkan semata mengalihkan hak untuk menggunakan aset pendasar, sehingga entitas menerapkan perlakuan akuntansi atas transaksi sewa yang diatur dalam PSAK 73.

Demikian penjelasan perlakuan akuntansi untuk hak atas tanah sesuai pengaturan dalam PSAK 73 (HRD) ***


Friday, September 3, 2021

Model Akuntansi SEWA sesuai PSAK 73

DSAK IAI mengesahkan berlakunya PSAK 73 mengenai Sewa pada tanggal 18 September 2017. PSAK 73 mengadopsi IFRS 16 Leases yang berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2019. PSAK 73 ditetapkan untuk berlaku efektif tanggal 1 Januari 2020 dengan penerapan dini diperkenankan untuk entitas yang menerapkan PSAK 72 mengenai Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan pada atau sebelum tanggal penerapan awal PSAK 73.

PSAK 73 mengenai Sewa menggantikan :

  1. PSAK 30 mengenai Sewa
  2. ISAK 8 mengenai Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandng Suatu Sewa
  3. ISAK 23 mengenai Sewa Operasi-Insentif
  4. ISAK 24 mengenai Evaluasi Substansi Beberapa Transaksi yang Melibatkan Suatu Bentuk Legal Sewa, dan
  5. ISAK 25 mengenai Hak atas Tanah
Model akuntansi sewa sebelumnya mensyaratkan penyewa dan pesewa untuk mengklasifikasikan sewanya sebagai SEWA PEMBIAYAAN atau SEWA OPERASI dan mencatat kedua jenis sewa tersebut secara berbeda. Model akuntansi sewa ini tidak mensyaratkan penyewa untuk mengakui ASET dan LIABILITAS yang timbul dari SEWA OPERASI.

Jika kita simak kembali pengaturan dalam PSAK 30 yang berlaku sebelumnya, dalam paragraf 08 diatur bahwa sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika sewa tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset.

Selanjutnya, paragraf 20 PSAK 30 tersebut mengatur bahwa pada awal masa sewa, lessee (penyewa) mengakui sewa pembiayaan sebagai aset dan liabilitas dalam laporan posisi keuangan sebesar nilai wajar aset sewaan atau sebesar nilai kini dari pembayaran sewa minimum, jika nilai kini tersebut lebih rendah daripada nilai wajar.

Paragraf 33 PSAK 30 menjelaskan bahwa pembayaran sewa dalam sewa operasi diakui sebagai beban dengan dasar garis lurus selama masa sewa.

PSAK 73 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2020 memperkenalkan MODEL AKUNTANSI TUNGGAL untuk penyewa (lessee) dan mensyaratkan agar penyewa mengakui ASET dan LIABILITAS untuk SELURUH SEWA dengan masa sewa lebih dari 12 bulan, kecuali aset pendasarnya bernilai rendah. Penyewa disyaratkan untuk mengakui ASET HAK-GUNA yang merepresentasikan haknya untuk menggunakan aset pendasar sewaan dan LIABILITAS SEWA yang merepresentasikan kewajibannya untuk membayar sewa.

Sedangkan untuk model akuntansi pesewa (lessor), PSAK 73 secara substansial melanjutkan persyaratan akuntansi pesewa dalam PSAK 30 yang berlaku sebelumnya dimana pesewa tetap mengklasifikasikan sewanya sebagai sewa operasi atau sewa pembiayaan, dan mencatat kedua jenis sewa tersebut secara berbeda. (HRD) ***

Monday, May 31, 2021

Kapan harus mengakui Pendapatan ? Kewajiban Pelaksanaan Dipenuhi Sepanjang Waktu

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya ("Mengidentifikasi Kewajiban Pelaksanaan, penerapan tahap 2 PSAK 72") bahwa sesuai dengan paragraf 31 PSAK 72, perusahaan baru boleh mengakui pendapatan jika perusahaan telah memenuhi KEWAJIBAN PELAKSANAAN (performance obligation) dengan mengalihkan barang atau jasa yang dijanjikan dalam kontrak dimana pengendalian atas barang atau jasa tersebut telah berpindah dari perusahaan ke pelanggan.

Pemenuhan kewajiban pelaksanaan dibedakan menjadi dua jenis yaitu :

  1. pemenuhan kewajiban pelaksanaan SEPANJANG WAKTU
  2. pemenuhan kewajiban pelaksanaan PADA SUATU WAKTU TERTENTU
Penentuan secara tepat apakah kewajiban pelaksanaan terpenuhi "sepanjang waktu" atau "pada suatu waktu tertentu" sangat penting karena faktor ini menentukan kapan pendapatan harus dicatat/diakui dalam laporan keuangan perusahaan.

Dalam posting ini saya akan membahas mengenai pemenuhan kewajiban pelaksanaan SEPANJANG WAKTU seperti yang diatur dalam paragraf 35-37 PSAK 72.

Para.35 PSAK 72 menjelaskan bahwa perusahaan mengalihkan pengendalian atas barang atau jasa sepanjang waktu dan, oleh karena itu memenuhi kewajiban pelaksanaan dan mengakui pendapatan sepanjang waktu, jika satu dari kriteria berikut terpenuhi :
  1. pelanggan secara simultan menerima dan mengonsumsi manfaat yang disediakan dari pelaksanaan perusahaan selama perusahaan melaksanakan kewajiban pelaksanaannya
  2. pelaksanaan perusahaan menimbulkan atau meningkatkan aset (sebagai contoh pekerjaan dalam proses) yang dikendalikan pelanggan selama aset tersebut ditimbulkan atau ditingkatkan
  3. pelaksanaan perusahaan tidak menimbulkan suatu aset dengan penggunaan alternatif bagi perusahaan  dan perusahaan memiliki hak atas pembayaran yang dapat dipaksakan atas pelaksanaan  yang telah diselesaikan sampai saat ini.
Para. PP03 PSAK 72 selanjutnya menjelaskan bahwa contoh manfaat yang diterima dan dikonsumsi secara simultan (kriteria pertama) mencakup jasa rutin atau berulang seperti jasa kebersihan. Jika perusahaan sulit untuk mengidentifikasi dengan segera apakah pelanggan secara simultan menerima dan mengonsumsi manfaat dari pelaksanaan kewajiban pelaksanaannya, maka dalam keadaan tersebut kewajiban pelaksanaan merupakan kewajiban pelaksanaan sepanjang waktu jika perusahaan menentukan bahwa perusahaan lain tidak perlu secara substansial melaksanakan kembali pekerjaan yang telah diselesaikan sampai saat ini jika perusahaan lain tersebut diharuskan untuk memenuhi sisa kewajiban pelaksanaan kepada pelanggan.

Kemudian, para.PP06-PP08 memberikan pedoman untuk menilai apakah suatu aset memiliki penggunaan alternatif bagi perusahaan (kriteria ketiga). Aset yang tidak memiliki penggunaan alternatif merupakan pengerjaan aset yang spesifik sehingga menimbulkan keterbatasan atas kemampuan perusahaan untuk mengarahkan aset dengan segera untuk penggunaan lain, seperti aset yang dikerjakan tersebut tidak dengan mudah dapat dijual atau dialihkan ke pelanggan lain karena aset tersebut bersifat spesifik (pemesanan khusus oleh pelanggan). Selain itu, perusahaan akan mengalami kerugian ekonomik yang signifikan untuk mengarahkan aset untuk penggunaan lain karena perusahaan harus mengerjakan kembali aset tersebut agar dapat sesuai dengan permintaan pelanggan yang berbeda (karena aset yang bersifat spesifik).

Untuk penerapan pengakuan pendapatan berdasarkan pelaksanaan Kewajiban Pelaksanaan yang Dipenuhi Sepanjang Waktu, ada dua metode pengukuran kemajuan pekerjaan yang bisa dipergunakan perusahaan dalam mengukur kemajuan penyelesaian pekerjaan/penyelesaian kewajiban pelaksanaan, yaitu menggunakan :
  1. metode OUTPUT
  2. metode INPUT
Bagaimana mekanisme penggunaan kedua metode tersebut dalam pengakuan pendapatan perusahaan jika transaksi penjualan barang atau jasa yang terjadi memenuhi kondisi pemenuhan kewajiban pelaksanaan sepanjang waktu akan dibahas dalam posting saya selanjutnya. HRD ***

Tuesday, May 25, 2021

Mengidentifikasi KEWAJIBAN PELAKSANAAN, penerapan tahap 2 PSAK 72

Jika kita membaca standar akuntansi terkini yang mengatur mengenai pengakuan PENDAPATAN, yaitu PSAK 72, kita akan menemukan adanya satu istilah baru yang tidak ada dalam PSAK sebelumnya, yaitu istilah "Kewajiban Pelaksanaan". Apa yang dimaksud dengan Kewajiban Pelaksanaan tersebut ?

PSAK 72 mendefinisikan Kewajiban Pelaksanaan (Performance Obligation) sebagai janji dalam kontrak dengan pelanggan untuk mengalihkan kepada pelanggan baik :

  1. barang atau jasa (atau sepaket barang atau jasa) yang bersifat dapat dibedakan; atau
  2. serangkaian barang atau jasa yang bersifat dapat dibedakan yang secara substansial sama dan memiliki pola pengalihan yang sama kepada pelanggan
Pemahaman kita terhadap istilah "Kewajiban Pelaksanaan" ini cukup penting karena di dalam PSAK 72 akan sering kita temukan penggunaan istilah tersebut. Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya sebuah perusahaan dagang PT A menjual barang X kepada pelanggan PT B. Dalam transaksi penjualan yang terjadi, PT A akan mengakui pendapatan atas penjualan barang X kepada PT B pada saat KEWAJIBAN PELAKSANAAN terpenuhi, yaitu pada saat PT A telah mengalihkan atau menyerahkan barang X kepada PT B sesuai dengan syarat penjualan dalam kontrak.

Paragraf 31 PSAK 72 mengatur bahwa entitas mengakui pendapatan ketika (atau selama) entitas memenuhi kewajiban pelaksanaan dengan mengalihkan barang atau jasa yang dijanjikan (yaitu aset) kepada pelanggan. Aset dialihkan ketika (atau selama) pelanggan memperoleh PENGENDALIAN atas aset tersebut.

Identifikasi Kewajiban Pelaksanaan dilakukan pada awal (insepsi) kontrak. Paragraf 22 PSAK 72 menjelaskan bahwa pada insepsi kontrak, entitas menilai barang atau jasa yang dijanjikan dalam kontrak dengan pelanggan dan mengidentifikasi sebagai kewajiban pelaksanaan setiap janji untuk mengalihkan kepada pelanggan baik :
  1. suatu barang atau jasa (atau sepaket barang atau jasa) yang bersifat dapat dibedakan; atau
  2. serangkaian barang atau jasa yang bersifat dapat dibedakan yang secara substansial sama dan memiliki pola pengalihan yang sama kepada pelanggan.
Kemudian, paragraf 23 menjelaskan bahwa serangkaian barang atau jasa yang bersifat dapat dibedakan memiliki pola pengalihan yang sama kepada pelanggan jika kedua kriteria berikut terpenuhi :
  1. setiap barang atau jasa yang bersifat dapat dibedakan dalam suatu rangkaian di mana entitas berjanji untuk mengalihkan kepada pelanggan akan memenuhi kriteria dalam paragraf 35 sebagai kewajiban pelaksanaan yang dipenuhi sepanjang waktu; dan
  2. sesuai dengan paragraf 39-40, metode yang sama akan digunakan untuk mengukur kemajuan entitas terhadap penyelesaian penuh atas kewajiban pelaksanaan untuk mengalihkan setiap barang atau jasa yang bersifat dapat dibedakan dalam suatu rangkaian kepada pelanggan.
Terpenuhinya KEWAJIBAN PELAKSANAAN sebagai dasar PENGAKUAN PENDAPATAN sesuai PSAK 72 dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
  1. Kewajiban Pelaksanaan yang dipenuhi SEPANJANG WAKTU (Over Time)
  2. Kewajiban Pelaksanaan yang dipenuhi PADA WAKTU TERTENTU (At a Point in Time)
Paragraf 35 PSAK 72 menjelaskan bahwa entitas mengalihkan pengendalian barang atau jasa sepanjang waktu dan, oleh karena itu, memenuhi kewajiban pelaksanaan dan mengakui pendapatan sepanjang waktu, jika satu dari kriteria berikut terpenuhi :
  1. pelanggan secara simultan menerima dan mengonsumsi manfaat yang disediakan dari pelaksanaan entitas selama entitas melaksanakan kewajiban pelaksanaannya
  2. pelaksanaan entitas menimbulkan atau meningkatkan aset (sebagai contoh, pekerjaan dalam proses) yang dikendalikan pelanggan selama aset tersebut ditimbulkan atau ditingkatkan; atau
  3. pelaksanaan entitas tidak menimbulkan suatu aset dengan penggunaan alternatif bagi entitas dan entitas memiliki hak atas pembayaran yang dapat dipaksakan atas pelaksanaan yang telah diselesaikan sampai saat ini
Dari penjelasan-penjelasan di atas, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan sehubungan dengan pengakuan Pendapatan sesuai PSAK 72 :
  1. yang pertama, adanya perpindahan PENGENDALIAN, yaitu perusahaan mengakui Pendapatan jika sekiranya Pengendalian atas barang atau jasa yang dijanjikan telah beralih ke pelanggan (lihat paragraf 31 PSAK 72)
  2. yang kedua, perusahaan mengakui Pendapatan ketika (atau selama) perusahaan memenuhi KEWAJIBAN PELAKSANAAN dengan mengalihkan barang atau jasa yang dijanjikan kepada pelanggan. Pemenuhan Kewajiban Pelaksanaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : (1) Kewajiban Pelaksanaan yang Dipenuhi Sepanjang Waktu, (2) Kewajiban Pelaksanaan yang Dipenuhi Pada Waktu Tertentu.
Untuk dapat mencatat dan mengakui Pendapatan dengan tepat sesuai PSAK 72, akuntan perusahaan perlu memahami dengan benar hal-hal yang telah dijelaskan tersebut di atas. Mudah-mudahan tulisan ini sedikit banyak bisa membantu (HRD) ***

Monday, May 24, 2021

Penerapan Tahap 1 PSAK 72, "Mengidentifikasi Kontrak dengan Pelanggan"

Prinsip utama PSAK 72 adalah bahwa perusahaan mengakui pendapatan untuk menggambarkan pengalihan barang atau jasa yang dijanjikan kepada pelanggan dalam jumlah yang mencerminkan imbalan yang diperkirakan menjadi hak perusahaan dalam pertukaran dengan barang atau jasa tersebut.

Seperti yang sudah dijelaskan dalam posting saya sebelumnya ("PSAK 72, Model baru pengakuan Pendapatan"), PSAK 72 memperkenalkan model baru terkait dengan pengakuan Pendapatan dalam laporan keuangan Perusahaan melalui pelaksanaan 5 tahapan berikut :

  1. Mengidentifikasi kontrak dengan pelanggan;
  2. Mengidentifikasi kewajiban pelaksanaan dalam kontrak;
  3. Menentukan harga transaksi;
  4. Mengalokasikan harga transaksi ke kewajiban pelaksanaan dalam kontrak;
  5. Mengakui pendapatan ketika (atau selama) perusahaan menyelesaikan kewajiban pelaksanaan
Dalam pelaksanaan tahap pertama pengakuan pendapatan sesuai PSAK 72, paragraf 09 PSAK 72 mensyaratkan 5 kriteria yang harus terpenuhi sebelum perusahaan mencatat kontrak dengan pelanggan, yaitu :
  1. para pihak dalam kontrak telah menyetujui kontrak (secara tertulis, lisan atau sesuai dengan praktik bisnis pada umumnya) dan berkomitmen untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing;
  2. perusahaan dapat mengidentifikasi hak setiap pihak mengenai barang atau jasa yang akan dialihkan;
  3. perusahaan dapat mengidentifikasi jangka waktu pembayaran barang atau jasa yang akan dialihkan;
  4. kontrak memiliki substansi komersial (yaitu risiko, waktu atau jumlah arus kas masa depan perusahaan diperkirakan berubah sebagai akibat dari kontrak); dan
  5. kemungkinan besar (probable) perusahaan akan menagih imbalan yang akan menjadi haknya dalam pertukaran barang atau jasa yang akan dialihkan ke pelanggan. Dalam mengevaluasi apakah kolektibilitas dari jumlah imbalan kemungkinan besar terjadi, perusahaan hanya mempertimbangkan kemampuan dan intensi pelanggan untuk membayar jumlah imbalan ketika jatuh tempo. Jumlah imbalan yang akan menjadi hak perusahaan  mungkin lebih kecil dari harga yang tercatat dalam kontrak jika imbalan bersifat variabel karena perusahaan dapat menawarkan suatu konsesi harga kepada pelanggan.
PSAK 72 mendefinisikan KONTRAK sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan. Kemampuan memaksakan hak dan kewajiban dalam suatu kontrak adalah permasalahan hukum. Kontrak dapat tertulis, lisan atau tersirat dalam praktik bisnis umum perusahaan. Praktik dan proses untuk menetapkan kontrak dengan pelanggan sangat bervariasi antar yurisdiksi hukum, industri, dan antar perusahaan. Sebagai tambahan, hal tersebut dapat bervariasi dalam suatu perusahaan (sebagai contoh, dapat bergantung pada kelas pelanggan atau sifat dari barang atau jasa yang dijanjikan). Perusahaan mempertimbangkan praktik dan proses tersebut dalam menentukan apakah dan kapan suatu perjanjian dengan pelanggan dapat menimbulkan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan.

Terkait dengan penerapan PSAK 72, kontrak tidak terjadi jika setiap pihak dalam kontrak memiliki hak yang dapat dipaksakan secara sepihak untuk mengakhiri kontrak takterlaksana penuh (wholly unperformed contract) tanpa adanya kompensasi kepada pihak (atau beberapa pihak) lain. Sebuah kontrak merupakan tak terlaksana  penuh jika kedua kriteria berikut ini terpenuhi :
  1. perusahaan belum mengalihkan barang atau jasa yang dijanjikan kepada pelanggan; dan
  2. perusahaan belum menerima, dan belum berhak menerima, imbalan apapun dalam pertukaran dengan barang atau jasa yang dijanjikan.
Jika kontrak dengan pelanggan memenuhi kriteria dalam paragraf 09 pada insepsi kontrak, maka perusahaan tidak menilai kembali kriteria tersebut kecuali terdapat indikasi perubahan yang signifikan dalam fakta dan keadaan. Sebaliknya, jika kontrak dengan pelanggan tidak memenuhi kriteria dalam paragraf 09, maka perusahaan melanjutkan menilai kontrak untuk menentukan apakah kriteria dalam paragraf 09 selanjutnya dapat terpenuhi.

Paragraf 15 PSAK 72 menjelaskan bahw ketika kontrak dengan pelanggan tidak memenuhi kriteria dalam paragraf 09 dan perusahaan menerima imbalan dari pelanggan, maka perusahaan mengakui imbalan yang diterima sebagai pendapatan hanya jika salah satu peristiwa berikut telah terjadi :
  1. perusahaan tidak memiliki sisa kewajiban untuk mengalihkan barang atau jasa kepada pelanggan dan seluruh, atau secara substansial seluruh, imbalan yang dijanjikan pelanggan telah diterima perusahaan dan tidak dapat dikembalikan, atau
  2. kontrak telah diakhiri dan imbalan yang diterima dari pelanggan tidak dapat dikembalikan.
Perusahaan mengakui imbalan yang diterima dari pelanggan sebagai LIABILITAS sampai salah satu dari peristiwa dalam paragraf 15 di atas terjadi atau sampai kriteria dalam paragraf 09 selanjutnya  terpenuhi. Bergantung pada fakta dan keadaan yang terkait dengan kontrak, liabilitas yang diakui mencerminkan kewajiban perusahaan untuk mengalihkan barang atau jasa di masa depan atau mengembalikan imbalan yang diterima. Dalam kedua kasus tersebut, liabilitas diukur pada jumlah imbalan yang diterima dari pelanggan (HRD) *** 

Wednesday, May 19, 2021

PSAK 72, Model baru pengakuan PENDAPATAN

 Pada tanggal 26 Juli 2017, DSAK IAI telah mengesahkan berlakunya standar akuntansi yang mengatur mengenai pengakuan pendapatan yaitu PSAK 72 tentang "Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan". PSAK 72 ini merupakan adopsi dari IFRS 15, Revenue from Contracts with Customers yang berlaku efektif per 1 Januari 2018. Sedangkan PSAK 72 sendiri mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2020. Perusahaan diperkenankan untuk melakukan penerapan dini atas PSAK 72 ini. Jika Perusahaan melakukan penerapan dini maka hal tersebut harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.

PSAK 72 menggantikan beberapa standar akuntansi yang berlaku sebelumnya, yaitu :

  • PSAK 23 : Pendapatan
  • PSAK 34 : Kontrak Konstruksi
  • ISAK 10 : Program Loyalitas Pelanggan
  • ISAK 21 : Perjanjian Konstruksi Real Estate
  • ISAK 27 : Pengalihan Aset dari Pelanggan
  • PSAK 44 : Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat
  • PPSAK 7 : Pencabutan PSAK 44 : Akuntansi Aktivitas Pengembagan Real Estat
PSAK 72 memperkenalkan model baru terkait dengan pengakuan Pendapatan dalam laporan keuangan Perusahaan. Untuk dapat mengakui PENDAPATAN, PSAK 72 mensyaratkan perusahaan untuk melakukan analisa transaksi berdasarkan kontrak terlebih dahulu melalui lima tahapan berikut :
  1. Mengidentifikasi kontrak dengan pelanggan;
  2. Mengidentifikasi kewajiban pelaksanaan dalam kontrak;
  3. Menentukan harga transaksi;
  4. Mengalokasikan harga transaksi ke kewajiban pelaksanaan dalam kontrak;
  5. Mengakui pendapatan ketika (atau selama) perusahaan menyelesaikan kewajiban pelaksanaan
Bandingkan pengaturan syarat pengakuan pendapatan sesuai PSAK 72 di atas dengan pengaturan dalam PSAK 23 tentang Pendapatan yang berlaku sebelumnya.

Berdasarkan PSAK 23, pendapatan dari penjualan barang diakui jika seluruh kondisi berikut terpenuhi :
  1. Entitas telah memindahkan risiko dan manfaat kepemilikan barang secara signifikan kepada pembeli;
  2. Entitas tidak lagi melanjutkan pengelolaan yang biasanya terkait dengan kepemilikan atas barang ataupun melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual;
  3. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;
  4. Kemungkinan besar manfaat ekonomi yang terkait dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas; dan
  5. Biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan tersebut dapat diukur secara andal
Sedangkan pendapatan dari penjualan jasa berdasarkan PSAK 23diakui jika seluruh kondisi berikut terpenuhi :
  1. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;
  2. Kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas;
  3. Tingkat penyelesaian dari suatu transaksi pada akhir periode pelaporan dapat diukur secara andal; dan
  4. Biaya yang timbul untuk transaksi dan biaya untuk menyelesaikan transaksi tersebut dapat diukur secara andal
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya sesuai PSAK 23, pendapatan baru diakui jika sekiranya risiko dan manfaat ekonomi telah berpindah kepada pelanggan. Sedangkan berdasarkan PSAK 72, pendapatan diakui jika sekiranya pelanggan telah memperoleh pengendalian atas barang atau jasa yang dijanjikan (HRD) **

Thursday, April 9, 2020

Pajak Tangguhan atas penurunan tarif Pajak Penghasilan (Perppu No.1/2020), apakah harus disesuaikan ?

Seperti yang saya informasikan dalam tulisan saya sebelumnya, pada tanggal 31 Maret 2020 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2020 dimana dalam Perppu tersebut diatur antara lain mengenai penurunan tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi sebesar 22% yang berlaku pada tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2022. Sebelumnya tarif Pajak Penghasilan badan dalam negeri dan BUT yang berlaku adalah tarif tunggal 25%.

Penurunan tarif Pajak Penghasilan badan sebelumnya juga pernah dilakukan oleh otoritas perpajakan Indonesia yaitu pada tahun 2008 berdasarkan UU Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 yang diterbitkan pada bulan September 2008, dimana tarif Pajak Penghasilan badan yang sebelumnya menggunakan tarif progresif 10%, 15% dan 30% dirubah menjadi tarif tunggal sebesar 28% pada tahun 2009 dan 25% sejak tahun 2010 (Baca juga tulisan terkait : Penerapan tarif tunggal 28% dalam perhitungan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009).

Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia yaitu PSAK 46 mengenai Pajak Penghasilan mengatur secara khusus mengenai perlakuan pencatatan akuntansi jika sekiranya terjadi perubahan tarif pajak yang berlaku.

Seperti yang kita ketahui PSAK 46 mengatur perlakuan akuntansi untuk dua jenis Pajak Penghasilan yaitu Pajak Kini dan Pajak Tangguhan. Perlakuan pencatatan akuntansi Pajak Tangguhan atas perubahan tarif pajak diatur dalam paragraf 47 dan 48.

Paragraf 47 mengatur bahwa aset dan liabilitas pajak tangguhan diukur dengan menggunakan tarif pajak yang diharapkan berlaku ketika aset dipulihkan atau liabilitas diselesaikan, berdasarkan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku atau secara substantif telah berlaku pada akhir periode pelaporan.

Selanjutnya, paragraf 48 mengatur bahwa aset dan liabilitas pajak kini dan tangguhan biasanya diukur dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Akan tetapi, jika tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka dapat dianggap bahwa tarif pajak (dan peraturan pajak) tersebut secara substantif telah berlaku (walaupun tarif dan peraturan pajak tersebut baru berlaku efektif beberapa bulan setelah pengumuman). Dalam hal tersebut aset dan liabilitas pajak diukur dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah diumumkan.

Pertanyaan : Terkait dengan penyajian laporan keuangan tahun 2019 yang saat ini sedang dipersiapkan perusahaan-perusahaan, untuk perubahan tarif pajak penghasilan berdasarkan Perppu No.1 Tahun 2020 tersebut apakah mengakibatkan saldo Aset ataupun Liabilitas Pajak Tangguhan di laporan keuangan tahun 2019 harus disesuaikan dengan tarif pajak yang baru tersebut ?

Dengan mengacu kepada ketentuan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46 seperti yang dijelaskan di atas, untuk kasus perubahan tarif pajak di tahun 2008 sesuai dengan UU No.36 Tahun 2008 mengakibatkan laporan keuangan perusahaan tahun 2008 pada saat itu harus disesuaikan dengan perubahan tarif pajak yang berlaku di tahun 2009. Saldo Pajak Tangguhan di laporan keuangan perusahaan tahun 2008 harus disajikan seolah-olah sudah menggunakan tarif pajak yang baru walaupun tarif pajak yang baru tersebut belum berlaku saat itu.

Bagaimana halnya dengan kasus perubahan tarif pajak sesuai dengan Perppu No.1 Tahun 2020 ini ? Apakah penerapannya sama ? Apakah hal tersebut juga mengakibatkan saldo Pajak Tangguhan di laporan keuangan perusahaan tahun 2019 harus disesuaikan juga ?

Kembali kepada ketentuan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46, menurut saya perubahan tarif pajak sesuai dengan Perppu No.1 Tahun 2020 tidak mengakibatkan penyesuaian terhadap saldo Pajak Tangguhan di Laporan Keuangan tahun 2019. Kenapa ? Hal ini karena Perppu No.1 Tahun 2020 diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2020, sudah lewat dari tanggal akhir periode pelaporan tahun 2019. Sedangkan untuk kasus perubahan tarif pajak di tahun 2008, peraturan pemerintah yaitu UU No.36 Tahun 2008 sudah diterbitkan dalam tahun 2008 (lihat kembali pengaturan dalam Paragraf 47 dan 48 PSAK 46) HRD ***

Saturday, April 4, 2020

Dengan PERPPU NO.1 TAHUN 2020, Tarif Pajak Korporasi Turun 3%

Sebagaimana yang kita ketahui, pandemi COVID-19 bukan hanya berdampak pada masalah kesehatan masyarakat saja, tetapi juga menjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Sebagai respons atas hal tersebut, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu No. 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Beberapa pertimbangan pemerintah sebagai dasar penerbitan Perppu No.1/2020 seperti yang dijelaskan dalam Perppu tersebut di antaranya adalah bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak terhadap memburuknya sistem keuangan (baca penjelasan selengkapnya pertimbangan-pertimbangan Pemerintah tersebut dalam Perppu No.1/2020 yang dapat diunduh di sini).

Berdasarkan berbagai pertimbangan seperti yang dijelaskan dalam Perppu No.1/2020, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan APBN.

Adapun salah satu kebijakan relaksasi yang diambil Pemerintah adalah melalui instrumen perpajakan seperti yang diatur dalam Bagian Ketiga - Kebijakan di Bidang Perpajakan dalam Perppu No.1/2020. Pasal 4 ayat (1) lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi :

  1. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
  2. perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);
  3. perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
  4. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Pasal 5 menetapkan bahwa penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi :
  1. sebesar 22% yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
  2. sebesar 20% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022
Sejalan dengan penurunan tarif Pajak Penghasilan di atas, Ditjen Pajak (DJP) dalam siaran pers tanggal 3 April 2020 (link di sini) menegaskan bahwa sebagai akibat dari penurunan tarif Pajak Penghasilan sesuai Perppu No.1/2020 maka penghitungan dan setoran angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2020 dapat menggunakan tarif sebesar 22% mulai masa pajak SPT Tahunan 2019 disampaikan dan masa pajak setelahnya.

Bagi wajib pajak yang belum menyampaikan SPT Tahunan 2019 sampai dengan akhir Maret 2020 penghitungan dan setoran angsuran PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut :
  • Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Maret 2020 (yang disetorkan paling lambat pada 15 April 2020) adalah sama dengan angsuran pada masa pajak sebelumnya
  • Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak April 2020 (yang disetorkan paling lambat pada 15 Mei 2020) dihitung berdasarkan laba fiskal yang dilaporkan pada SPT Tahunan 2019, namun sudah menggunakan tarif baru yaitu 22 persen.
Demikian informasi terkait penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagai bagian dari kebijakan relaksasi di bidang perpajakan (HRD) ***

Thursday, April 2, 2020

DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN

Sehubungan dengan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) secara global dan di Indonesia khususnya, dimana hal tersebut berdampak pada berbagai aspek kehidupan secara signifikan yaitu aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia, maka pemerintah Indonesia pada tanggal 31 Maret 2020 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Sejalan dengan hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui DSAK IAI selaku badan penyusun standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia menyadari bahwa  akibat dari penyebaran COVID-19 tersebut dapat secara signifikan mempengaruhi pertimbangan (judgement) perusahaan dalam menyusun laporan keuangan. Untuk itu, DSAK IAI kemudian telah menerbitkan "Press Release - Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Penerapan PSAK 8 Peristiwa Setelah Periode Pelaporan dan PSAK 71 Instrumen Keuangan".

Dalam Press Release yang diterbitkan, DSAK IAI menjelaskan bahwa penerbitan Press Release tersebut ditujukan untuk sebagai petunjuk (guidance), khususnya bagi entitas bisnis dalam mengaplikasikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berbasis prinsip untuk penyusunan laporan keuangannya. SAK yang berbasis prinsip tersebut memberikan ruang bagi entitas dalam menggunakan pertimbangannya untuk menyelesaikan permasalahan akuntansi yang timbul akibat pandemi COVID-19.

Ada dua standar akuntansi (PSAK) yang menjadi perhatian DSAK IAI terkait pandemi COVID-19 seperti yang dipaparkan dalam Press Release-nya, yaitu PSAK 8 tentang Peristiwa Setelah Periode Pelaporan serta PSAK 71 tentang Instrumen Keuangan.

Terkait dengan PSAK 8, publikasi DSAK IAI ini bertujuan untuk memberikan petunjuk apakah pandemi COVID-19 merupakan peristiwa setelah tanggal periode pelaporan yang dapat mempengaruhi laporan keuangan tahun 2019.

Dengan memperhatikan fakta-fakta berdasarkan timeline yang telah terjadi, DSAK IAI memandang bahwa penyebaran COVID-19 di Indonesia bukanlah peristiwa penyesuai yang mempengaruhi penyajian jumlah yang diakui di laporan keuangan 2019. Uraian dan penjelasan lebih rinci atas hal ini dapat dibaca dalam Press Release yang diterbitkan oleh DSAK IAI.

Kemudian, terkait dengan PSAK 71, dalam Press Release yang diterbitkan DSAK IAI dijelaskan bahwa publikasi ini juga bertujuan memberikan klarifikasi dan panduan dalam mempertimbangkan apakah pandemi COVID-19 dapat mempengaruhi penghitungan kerugian kredit ekspektasian (KKE) atau expected credit loss (ECL) pada tanggal penerapan awal PSAK 71 pada 1 Januari 2020.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa mempertimbangkan fakta bahwa pengetahuan dan informasi mengenai pandemi COVID-19 di Indonesia tidak tersedia pada tanggal 31 Desember 2019, maka entitas tidak dapat menggunakan informasi ini dalam mengukur KKE, termasuk memasukkan informasi tersebut ke dalam skenario pemodelan sesuai estimasi probabilitas tertimbang pada tanggal penerapan awal PSAK 71 (yaitu 1 Januari 2020). Penjelasan lebih rinci atas hal ini dapat dibaca dalam Press Release yang diterbitkan oleh DSAK IAI.

Demikian informasi terkait Press Release Dampak Pandemi COVID-19 terhadap penerapan PSAK 8 dan PSAK 71 seperti yang telah dipublikasikan dalam official webpage Ikatan Akuntan Indonesia (HRD) **

Friday, February 28, 2020

STANDAR AKUNTANSI YANG DISAHKAN OLEH IAI PADA TAHUN 2019

Sepanjang tahun 2019, Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia telah mengesahkan Standar-Standar Akuntansi yang ditetapkan berlaku pada tahun 2019, 2020 serta 2021. Adapun Standar-Standar Akuntansi tersebut adalah sebagai berikut :

Standar Akuntansi berupa Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) serta Interpretasi Standar Akuntansi (ISAK) yang ditetapkan untuk berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2019 dengan penerapan dini diperkenankan :
  • ISAK 33 : Transaksi Valuta Asing dan Imbalan di Muka
  • ISAK 34 : Ketidakpastian dalam Perlakuan Pajak Penghasilan
  • Amandemen PSAK 24 : Imbalan Kerja tentang Amandemen, Kurtailmen atau Penyelesaian Program
  • PSAK 22 : Kombinasi Bisnis (Penyesuaian 2018)
  • PSAK 26 : Biaya Pinjaman (Penyesuaian 2018)
  • PSAK 46 : Pajak Penghasilan (Penyesuaian 2018)
  • PSAK 66 : Pengaturan Bersama (Penyesuaian 2018)
PSAK dan ISAK yang ditetapkan untuk berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2020 dengan penerapan dini diperkenankan adalah :
  • Amandemen PSAK 62 : Kontrak Asuransi – menerapkan PSAK 71 : Instrumen Keuangan dengan PSAK 62 : Kontrak Asuransi
  • Amandemen PSAK 71 : Instrumen Keuangan tentang Fitur Percepatan Pelunasan dengan Kompensasi Negatif
  • PSAK 71 : Instrumen Keuangan
  • PSAK 72 : Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan
  • PSAK 73 : Sewa
  • Amandemen PSAK 1 : Penyajian Laporan Keuangan tentang Judul Laporan Keuangan
  • Amandemen PSAK 1 : Penyajian Laporan Keuangan dan Amandemen PSAK 25 : Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan tentang Definisi Material
  • PSAK 1 : Penyajian Laporan Keuangan (Penyesuaian Tahunan 2019)
  • Amandemen PSAK 15 : Investasi pada Entitas Asosiasi dan Ventura Bersama tentang Kepentingan Jangka Panjang pada Entitas Asosiasi dan Ventura Bersama
  • ISAK 35 : Penyajian Laporan Keuangan Entitas Berorientasi Nonlaba
  • PSAK 102 : Akuntansi Murabahah (Revisi 2019)
  • ISAK 101 : Pengakuan Pendapatan Murabahah Tangguh Tanpa Risiko Signifikan Terkait Kepemilikan Persediaan
  • ISAK 102 : Penurunan Nilai Piutang Murabahah
PSAK yang ditetapkan untuk berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2021 dengan penerapan dini diperkenankan adalah :
  • Amandemen PSAK 22 : Kombinasi Bisnis tentang Definisi Bisnis
Selain PSAK dan ISAK yang telah disebutkan di atas, pada tahun 2019, tepatnya pada tanggal 11 April 2019, DSAK IAI juga telah mengesahkan PPSAK 13 : Pencabutan PSAK 45 : Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba yang disahkan pada tanggal 11 April 2019 dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2020. Pernyataan ini bertujuan untuk mencabut pemberlakuan PSAK 45 : Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba.

Kemudian, pada tanggal 11 Desember 2019 DSAK IAI mengesahkan revisi Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan (KKPK) yang merupakan adopsi dari Conceptual Framework for Financial Reporting. KKPK ini akan menggantikan KKPK yang telah berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2016. Sebelumnya Draft Eksposure (DE) KKPK tersebut telah diterbitkan pada tanggal 26 Juni 2019 dan public hearing telah dilaksanakan pada tanggal 27 Agustus 2019. Tidak ada perbedaan antara DE KKPK dengan KKPK yang telah disahkan oleh DSAK IAI. KKPK revisi ini ditetapkan untuk berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2020 dengan penerapan dini diperkenankan.

Demikian informasi Standar-Standar Akuntansi yang disahkan oleh DSAK IAI selama tahun 2019 dan ditetapkan untuk berlaku efektif pada tahun 2019, 2020 dan tahun 2021 yang saya rangkum dari webpage Ikatan Akuntan Indonesia (iaiglobal.or.id). Semoga bermanfaat (HRD) **