Showing posts with label PSAK. Show all posts
Showing posts with label PSAK. Show all posts

Wednesday, September 10, 2008

Akuntansi Properti Investasi, perbedaan antara PSAK 13 (Revisi 2007) dengan IAS 40 (as revised in 2003)

Seperti yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa terdapat beberapa PSAK revisian tahun 2007 yang mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2008, salah satu diantaranya adalah PSAK No. 13 tentang Properti Investasi (Revisi 2007) yang menggantikan PSAK No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi (1994).

Adapun revisi PSAK No. 13 tahun 2007 dilakukan terutama dalam rangka konvergensi dengan IFRS yang dikeluarkan oleh IASB.

Sesuai dengan tujuan tersebut, isi dari PSAK No. 13 (Revisi 2007) tersebut hampir sepenuhnya mengadopsi seluruh paragraf IAS 40 (2003) Investment Property kecuali untuk beberapa paragraf berikut :

1. IAS 40 paragraf 4 (a) tentang aset biologis yang kemudian menjadi PSAK No. 13 paragraf 4 (a) karena belum mengadopsi IAS 41 Agriculture;

2. IAS 40 paragraf 79 (d) (iii) tentang pengungkapan untuk model biaya yang kemudian menjadi PSAK No. 13 paragraf 82 (d) iii karena belum mengadopsi IFRS 5 Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations;

3. IAS 40 paragraf 80 tentang ketentuan transisi untuk model nilai wajar (fair value model), yang menjadi PSAK No. 13 paragraf 84, dengan menghilangkan ketentuan dalam paragraf 80 huruf (a) dan (b) karena investasi properti dalam PSAK No. 13 yang lalu tidak memungkinkan penggunaan nilai wajar sehingga pengaturan dalam IAS 40 paragraf 80 huruf (a) dan (b) tidak perlu diadopsi;

Adapun isi dari paragraf 84 PSAK No. 13 (Revisi 2007) sebagai berikut :

Entitas yang memilih untuk pertama kali mengklasifikasikan dan mencatat sebagian atau seluruh hak atas properti dalam sewa operasi yang memenuhi persyaratan (eligible) sebagai properti investasi harus mengakui dampak dari pemilihan tersebut sebagai penyesuaian terhadap saldo laba awal untuk periode di mana pemilihan tersebut dilakukan.

Sedangkan IAS 40 paragraf 80 tentang Fair Value Model menjelaskan bahwa :

An entity that has previously applied IAS 40 (2000) and elects for the first time to classify and account for some or all eligible property interests held under operating leases as investment property shall recognize the effect of that election as an adjustment to the opening balance of retained earnings for the period in which the election is first made.

In addition :

(a) If the entity has previously disclosed publicly (in financial statements or otherwise) the fair value of those property interests in earlier periods (determined on a basis that satisfies the definition of fair value in paragraph 5 and the guidance in paragraphs 36-52), the entity is encouraged, but not required : (a) to adjust the opening balance of retained earnings for the earliest period presented for which such fair value was disclosed publicly; and (ii) to restate comparative information for those periods; and

(b) If the entity has not previously disclosed publicly the information described in (a), it shall not restate comparative information and shall disclose that fact.

4. IAS 40 paragraf 85 tentang tanggal efektif yang kemudian menjadi paragraf 90 PSAK No. 13 (Revisi 2007).

Paragraf 90 PSAK No. 13 (Revisi 2007) menjelaskan bahwa Pernyataan ini berlaku efektif untuk laporan keuangan yang mencakup periode yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.

Sedangkan IAS 40 paragraf 85 Effective date menjelaskan bahwa :

An entity shall apply this Standard for annual periods beginning on or after 1 January 2005. Earlier application is encouraged. If an entity applies this Standard for a period beginning before 1 January 2005, it shall disclose that fact.

Selanjutnya, dalam paragraph 85A dijelaskan bahwa :

IAS 1 Presentation of Financial Statements (as revised in 2007) amended the terminology used throughout IFRSs. In addition it amended paragraph 62. An entity shall apply those amendments for annual periods beginning on or after 1 January 2009. If an entity applies IAS 1 (revised 2007) for an earlier period, the amendments shall be applied for that earlier period.

Selain itu, terdapat beberapa tambahan paragraph di PSAK No. 13 (Revisi 2007) yang tidak diatur dalam IAS 40, yaitu :

1. Tambahan paragraf 83 dalam PSAK No. 13 tentang ketentuan transisi untuk selisih revaluasi;

Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini pernah melakukan revaluasi properti investasi dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi, maka pada saat penerapan pertama kali Pernyataan ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.

2. Tambahan paragraf 89 dalam PSAK No. 13 tentang biaya perolehan untuk properti investasi yang pernah direvaluasi.

Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini telah melakukan revaluasi properti investasi dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran properti investasinya, maka nilai revaluasi properti investasi tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost).

Sunday, August 31, 2008

Bunga pembiayaan leasing atas perolehan aset tetap, boleh nggak di kapitalisasi ?

Sebelumnya saya sudah pernah memposting tulisan mengenai Biaya Pinjaman (Borrowing Cost) (baca lebih lanjut di sini : Masalah Kapitalisasi Biaya Pinjaman (Borrowing Cost)) yang diatur berdasarkan PSAK No. 26 mengenai Biaya Pinjaman. Selanjutnya, pada tanggal 26 Pebruari 2008, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah menyetujui beberapa Exposure Draft (ED) PSAK yang salah satunya adalah PSAK No. 26.

PSAK No. 26 revisi 2008 ini berdasarkan ED-nya, telah mengadopsi keseluruhan IAS 23 (revised March 2007) Borrowing Cost, kecuali untuk beberapa paragraf (lihat tulisan saya sebelumnya di sini : ED PSAK 26 (revisi 2008) vs PSAK 26 (1997) serta ED PSAK No. 26 (revisi 2008) yang dapat didownload di sini : ED PSAK 26 (revisi 2008)).

Kali ini saya ingin membahas lagi mengenai masalah biaya pinjaman (borrowing cost) berhubung beberapa waktu yang lalu, salah satu klien menanyakan “kalau biaya pinjaman yang timbul dari pembelian aktiva tetap melalui pembiayaan sewa guna usaha (leasing) apakah boleh dikapitalisasi ke nilai perolehan aktiva tetap bersangkutan ? Kalau tidak bisa, kenapa ? Sedangkan untuk biaya pinjaman seperti bunga pinjaman yang timbul dari fasilitas pinjaman bank dalam bentuk Kredit Investasi untuk pembiayaan pembangunan pabrik kelapa sawit misalnya boleh dikapitalisasi ke nilai perolehan pabrik kelapa sawit tersebut. Bukankah sama-sama timbul dari fasilitas pinjaman ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat mengacu ke beberapa paragraf dalam PSAK 26 yang menurut saya cukup jelas mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas kapitalisasi biaya pinjaman.

Paragraf 10 menjelaskan bahwa biaya pinjaman yang secara langsung dapat diatribusikan dengan perolehan, konstruksi atau produksi suatu Aset Tertentu harus dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya perolehan Aset Tertentu tersebut.

Sedangkan definisi Aset Tertentu diatur antara lain dalam paragraf 5 yang menjelaskan bahwa aset tertentu yang memenuhi syarat (qualifying assets) selanjutnya disebut Aset Tertentu adalah suatu aset yang membutuhkan waktu yang cukup lama agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya.

Kemudian, paragraf 7 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Aset Tertentu antara lain adalah persediaan barang tertentu, pabrik, dan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan aset yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap untuk digunakan atau dijual bukan merupakan Aset Tertentu.

Selanjutnya dalam paragraf 8 diatur bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang tertentu adalah persediaan yang untuk memproduksi sampai siap untuk dijual membutuhkan waktu yang cukup lama sesuai dengan bidang usahanya. Yang dimaksud dengan waktu yang cukup lama adalah 12 bulan atau lebih. Persediaan yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap dijual bukan merupakan Aset Tertentu.

Dari penjelasan beberapa paragraf PSAK 26 di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya pinjaman yang boleh dikapitalisasi adalah biaya pinjaman yang timbul dari perolehan, konstruksi atau produksi suatu Aset Tertentu (aset yang membutuhkan waktu yang cukup lama (12 bulan atau lebih) agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya). Aset yang pada saat diperoleh sudah dalam keadaan siap untuk digunakan atau dijual bukan merupakan Aset Tertentu sehingga atas biaya pinjaman yang timbul dari aset tersebut tidak boleh dikapitalisasi.

Jadi, untuk aset tetap yang diperoleh melalui fasilitas leasing bukan berarti bunga pinjaman yang timbul tidak boleh dikapitalisasi. Sepanjang aset bersangkutan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam PSAK 26 yaitu Aset Tertentu yang membutuhkan waktu yang cukup lama (12 bulan atau lebih) agar siap untuk dipergunakan atau dijual sesuai dengan tujuannya (bukan merupakan aset yang pada saat perolehannya sudah siap untuk dipergunakan atau dijual), maka kapitalisasi biaya pinjaman yang timbul tetap harus dilakukan (Hrd) ***

Tuesday, August 12, 2008

Membukukan penyertaan saham, antara PSAK 4 dan PSAK 15

Berikut ini sedikit pedoman bagi yang masih bingung memilih metode pencatatan akuntansi yang harus diterapkan atas transaksi penyertaan saham perusahaan.

Misalnya PT A memiliki penyertaan dalam bentuk saham di PT B sebesar 45 %. Apakah PT A harus membukukan penyertaan saham tersebut dengan menggunakan metode biaya (cost method) atau metode ekuitas (equity method) ataukah metode konsolidasi ?

Pertama, kita harus melihat terlebih dahulu PT B itu sebagai perusahaan asosiasi (associates) atau anak perusahaan (subsidiary).

Jika merupakan perusahaan asosiasi, maka kita harus menerapkan PSAK No. 15, Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi.

Berdasarkan paragraf 4 PSAK No. 15 diatur bahwa “Jika investor memiliki, baik langsung maupun tidak langsung melalui anak perusahaan, 20 % atau lebih dari hak suara pada perusahaan investee, maka dipandang mempunyai pengaruh signifikan. Sebaliknya, jika investor memiliki, baik langsung maupun tidak langsung melalui anak perusahaan, kurang dari 20 % hak suara, maka dianggap tidak memiliki pengaruh signifikan. Kepemilikan substansial atau mayoritas oleh investor lain tidak perlu menghalangi investor memiliki pengaruh signifikan. Apabila investor mempunyai pengaruh yang signifikan, maka investasi pada investee dicatat dengan menggunakan metode ekuitas. Sebaliknya, apabila investor tidak mempunyai pengaruh yang signifikan, maka investasi dicatat dengan menggunakan metode biaya.”

Jadi, jika penyertaan saham perusahaan pada perusahaan asosiasi kurang dari 20 %, maka penyertaan saham perusahaan dibukukan dengan metode biaya, sedangkan jika perusahaan memiliki penyertaan saham 20 % atau lebih (tetapi tidak lebih dari 50 %), maka perusahaan menggunakan metode ekuitas dalam mencatat penyertaan sahamnya.

Namun, kriteria ini hanya berlaku untuk investee yang merupakan perusahaan asosiasi. Jika investee adalah anak perusahaan (subsidiary) maka untuk membukukan penyertaan saham kita harus mengacu ke PSAK No. 4, Laporan Keuangan Konsolidasi.

Paragraf 5 PSAK No. 4 menjelaskan bahwa apabila induk perusahaan memiliki, baik langsung ataupun tidak langsung (melalui anak perusahaan), lebih dari 50 % hak suara pada suatu perusahaan, maka perusahaan harus menyusun laporan keuangan konsolidasi.

Walaupun suatu perusahaan, misalnya PT A memiliki hak suara 50 % atau kurang pada perusahaan lain, misalnya PT B, dalam penyusunan laporan konsolidasi, laporan keuangan PT B tetap harus diikut sertakan jika dapat dibuktikan adanya pengendalian

Pengendalian dianggap ada apabila dapat dibuktikan adanya salah satu kondisi berikut :

(a) mempunyai hak suara lebih dari 50 % berdasarkan perjanjian dengan investor lain;

(b) mempunyai hak untuk mengatur dan menentukan kebijakan finansial dan operasional perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian;

(c) mampu menunjuk atau memberhentikan mayoritas pengurus perusahaan;

(d) mampu menguasai suara mayoritas dalam rapat pengurus.

Jika, pemilikan saham lebih dari 50 % dengan sendirinya perusahaan dianggap memiliki pengendalian.

Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana membedakan suatu perusahaan sebagai perusahaan asosiasi dimana pencatatan penyertaan saham mengacu ke PSAK 15 atau anak perusahaan yang harus mengacu ke PSAK 4 ?

PSAK No. 15 mendefinisikan perusahaan asosiasi sebagai suatu perusahaan yang investornya mempunyai pengaruh yang signifikan (memiliki wewenang untuk berpartisipasi dalam keputusan yang menyangkut kebijakan keuangan serta operasi investee, tetapi bukan merupakan pengendalian terhadap kebijakan tersebut) dan bukan merupakan anak perusahaan maupun joint venture dari investornya.

Sedangkan anak perusahaan (subsidiary) didefinisikan sebagai perusahaan yang dikendalikan oleh perusahaan lain (yang disebut induk perusahaan).

PSAK No. 4 mendefinisikan pengendalian sebagai kemampuan untuk mengatur kebijakan finansial dan operasional dari suatu perusahaan untuk mendapatkan manfaat dari kegiatan perusahaan tersebut.

Jadi, kesimpulannya, jika PT A memiliki penyertaan saham di PT B sebesar 45 % dan PT B merupakan perusahaan asosiasi maka PT A membukukan penyertaan saham di PT B dengan menggunakan metode ekuitas (PSAK No. 15), sedangkan jika PT B merupakan anak perusahaan dimana PT A memiliki pengendalian atas PT B maka harus disusun laporan keuangan konsolidasi.

Apabila PT A memiliki penyertaan saham di PT B lebih dari 50 % dengan sendirinya PT B merupakan anak perusahaan dari PT A (karena jika penyertaan saham lebih dari 50 % dianggap suatu perusahaan memiliki pengendalian atas perusahaan lain) sehingga laporan keuangan konsolidasi harus disusun (Hrd).

Sunday, August 3, 2008

Peristiwa Setelah Tanggal Neraca, efeknya terhadap penyajian laporan keuangan

Laporan auditor independen umumnya diterbitkan dalam hubungannya dengan laporan keuangan historis yang dimaksudkan untuk menyajikan posisi keuangan pada tanggal tertentu dan hasil usaha, perubahan ekuitas, serta arus kas untuk periode yang berakhir pada tanggal tersebut.

Namun, ada peristiwa atau transaksi yang kadang-kadang terjadi sesudah tanggal tersebut tetapi sebelum diterbitkannya laporan keuangan dan laporan audit, yang mempunyai akibat material terhadap laporan keuangan, sehingga memerlukan penyesuaian atau pengungkapan dalam laporan-laporan tersebut.

Misalnya, auditor mengaudit laporan keuangan per 31 Desember 2007 dan menerbitkan laporan auditor independen (opini auditor) pada tanggal 22 Maret 2008. Selama pelaksanaan audit, auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya peristiwa atau transaksi yang terjadi setelah tanggal 31 Desember 2007 sampai tanggal 22 Maret 2008 yang memerlukan penyesuaian atau pengungkapan dalam laporan keuangan auditan per 31 Desember 2007 tersebut.

Peristiwa atau transaksi tersebut di atas merupakan “Peristiwa Kemudian atau Peristiwa Setelah Tanggal Neraca (Subsequent Events)” yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 560 (PSA No. 46) tentang Peristiwa Kemudian serta Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 8 (Revisi 2003) tentang Peristiwa Setelah Tanggal Neraca.

Ada dua jenis peristiwa setelah tanggal neraca seperti yang diatur dalam PSAK dan SPAP, yaitu :

(1) peristiwa setelah tanggal neraca yang memerlukan penyesuaian

Contoh peristiwa setelah tanggal neraca yang memerlukan penyesuaian atas laporan keuangan adalah :

  1. Kerugian akibat piutang tak tertagih yang disebabkan oleh adanya pelanggan yang mengalami kesulitan keuangan dan menuju kebangkrutan setelah tanggal neraca
  2. Keputusan pengadilan setelah tanggal neraca atau penyelesaian tuntutan hukum yang jumlahnya berbeda dengan jumlah hutang yang sudah dicatat jika peristiwa yang menyebabkan timbulnya tuntutan tersebut telah terjadi atau ada sebelum tanggal neraca
  3. Penemuan kecurangan atau kesalahan yang menunjukkan bahwa laporan keuangan tidak benar

(2) peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian

Untuk peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian atas penyajian laporan keuangan, auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya peristiwa tertentu yang mungkin memerlukan pengungkapan agar laporan keuangan tidak menyesatkan pembacanya.

Apabila peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian adalah penting, dalam arti jika tidak diungkapkan akan mempengaruhi pengambilan keputusan pengguna laporan keuangan, maka perusahaan harus mengungkapkan informasi berikut untuk setiap peristiwa tersebut :

  1. Jenis peristiwa yang terjadi;
  2. Estimasi atas dampak keuangan, atau pernyataan bahwa estimasi semacam itu tidak dapat dibuat.

Contoh peristiwa setelah tanggal neraca yang tidak memerlukan penyesuaian tetapi diperlukan adanya pengungkapan dalam laporan keuangan adalah :

  1. Penjualan obligasi atau penerbitan saham baru
  2. Terjadinya tuntutan hukum yang signifikan yang semata-mata disebabkan oleh peristiwa yang terjadi sesudah tanggal neraca
  3. Pembelian dan pelepasan aset dalam jumlah yang signifikan, atau pengambilalihan aset oleh pemerintah
  4. Perubahan abnormal atas harga aset atau nilai tukar mata uang asing setelah tanggal neraca
  5. Perubahan tarif pajak atau peraturan perpajakan yang diberlakukan atau diumumkan setelah tanggal neraca dan memiliki pengaruh yang signifikan pada aset dan kewajiban pajak kini dan tangguhan
  6. Kerugian aktiva tetap atau persediaan yang diakibatkan oleh kebakaran

Pengidentifikasian peristiwa-peristiwa yang memerlukan penyesuaian laporan keuangan atau tidak ataupun yang memerlukan pengungkapan dalam laporan keuangan auditan membutuhkan penerapan kebijakan dan pengetahuan tentang fakta-fakta dan kondisi yang ada.

Misalnya, kerugian sebagai akibat piutang tidak tertagih yang disebabkan oleh adanya pelanggan yang mengalami kesulitan keuangan dan menuju kebangkrutan sesudah tanggal neraca merupakan indikasi keadaan yang ada pada tanggal neraca, sehingga membutuhkan penyesuaian terhadap laporan keuangan sebelum diterbitkan. Namun, apabila kerugian yang sama terjadi sebagai akibat adanya pelanggan yang mengalami kebangkrutan karena kebakaran atau banjir sesudah tanggal neraca, bukan merupakan indikasi kondisi yang ada pada tanggal neraca, sehingga tidak diperlukan adanya penyesuaian atas laporan keuangan (Hrd).

Friday, August 1, 2008

Masa Transisi PSAK 16 (Revisi 2007), bagaimana penerapannya ?

Sebelumnya saya sudah pernah posting beberapa tulisan berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang mulai berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.

Buat yang belum mengetahui, PSAK No. 16 (Revisi 2007) ini menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan.

Dengan demikian, sejak tanggal 1 Januari 2008, PSAK No. 16 (1994) serta PSAK No. 17 (1994) tersebut tidak berlaku lagi dan digantikan dengan PSAK No. 16 (Revisi 2007).

Berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tersebut, kali ini saya ingin sedikit membahas mengenai ketentuan transisi yang diatur dalam paragraf 83 dan paragraf 84.

Dalam paragraf 83 PSAK No. 16 (Revisi 2007) diatur bahwa “Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat Pernyataan ini diterbitkan.”

Artinya jika sebelumnya (tahun 2007 dan sebelumnya) perusahaan pernah melakukan revaluasi aktiva tetap dan untuk tahun buku 2008, perusahaan memilih menggunakan model biaya dalam pencatatan aset tetapnya, maka nilai aset tetap yang dipergunakan sebagai biaya perolehan mulai tahun 2008 tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya.

Kemudian, dalam paragraf 84 diatur bahwa “Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali Pernyataan ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.”

Paragraf ini menjelaskan bahwa jika misalnya pada Neraca PT A per 31/12/2007 terdapat saldo Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap yang merupakan pencatatan selisih hasil penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap dengan jumlah tercatat (nilai buku) aktiva tetap atas hasil revaluasi aktiva pada tahun 2007 ataupun tahun-tahun sebelumnya, maka saldo tersebut per 1 Januari 2008 harus direklas ke Saldo Laba.

Contoh penyajian dalam Neraca PT A per 30 Juni 2008 dan per 31 Desember 2007 sebagai berikut :

EKUITAS    30/6/08   31/12/07
Modal Saham       2.000       2.000
Selisih penilaian aset tetap             0       1.200
Saldo Laba      55.000      32.500

Sedangkan penyajian Laporan Perubahan Ekuitas per 30 Juni 2008 dan 31 Desember 2007 sebagai akibat dari reklasifikasi Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap sebesar Rp 1.200 sebagai berikut :

    Modal   SPAT    R/E   Jumlah
Saldo per 1/1/2008     2.000    1.200   32.500     35.700
Laba Bersih           0          0   21.300     21.300
Penyesuaian atas
  penerapan PSAK
  16 (revisi 2007)
          0   (1.200)     1.200             0
Saldo per 30/6/2008     2.000          0   55.000     57.000

Modal = Modal Saham; SPAT = Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap; R/E = Saldo Laba

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan masa transisi penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007). Semoga bermanfaat (Hrd)

Thursday, July 3, 2008

Introduction to Business Combination

Penggabungan usaha dalam praktek bisnis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penerbitan saham baru dan pembelian aktiva perusahaan yang akan diakuisisi. Dari kedua cara tersebut lahirlah dua metode pencatatan yang dikenal yaitu, metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest) dan metode pembelian (purchase).

Kedua metode ini merupakan pilihan yang dapat digunakan dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam PSAK 22 tentang “Akuntansi Penggabungan Usaha”.

Namun sering para praktisi mencari celah pada syarat-syarat yang telah ditentukan sehingga dapat memilih metode pencatatan akuntansi yang paling menguntungkan.

PSAK No. 22 merupakan standar akuntansi keuangan yang diadopsi dari IAS No. 22 tentang “Business Combinations”. Namun, kemudian IAS No. 22 tidak berlaku lagi karena telah digantikan dengan IFRS No. 3 yang berlaku efektif sejak 31 Maret 2004.

IFRS No. 3 yang menggantikan IAS No. 22 tidak lagi mengijinkan penerapan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest) sehingga dengan sendirinya semua transaksi penggabungan usaha harus dibukukan dengan menggunakan metode pembelian (purchase). Sedangkan PSAK yang berlaku di Indonesia sampai dengan saat ini masih mengijinkan penggunaan kedua metode penyatuan kepemilikan dan pembelian.

(Kutipan dari buku Akuntansi Penggabungan Usaha karangan Marisi P. Purba)

Introduction to Business Combinations

All business combinations are now, for accounting purpose under IFRS, considered to be acquisitions, whereby one entity (the parent) takes management control of another entity, or of its assets and liabilities. This is independent of the legal form of the business combination. Thus, two entities may consolidate to create a new, third enterprise. Alternatively, one entity may purchase, for cash or for stock, the stock of another enterprise, which may or may not be followed by a formal merging of the acquired entity into the acquirer. In yet other cases, one entity may simply purchase the assets of another, with or without assuming the debts of that enterprise. One enterprise may enter into an agreement for another to manage its assets and liabilities.

Uniting of Interests

The use of pooling of interests (or uniting of interests) accounting had been widespread for about fifty years, particularly in the US. Under this method of accounting of business combinations, the pre-merger book values of each combining entity’s assets and liabilities would simply be added together, with no re-measurement to fair value.

US GAAP eliminated pooling accounting outright (effective mid-2001) and the IASB followed suit, under IFRS 3, from early 2004. With the exceptions of selected types of combinations, such as those involving existing affiliated entities, where there are conceptually sound reasons to not permit fair value adjustments at the time of what may not be arm’s-length acquisition transactions, all business combinations must now be treated as acquisitions of one entity by another, with the acquiree’s assets and liabilities being recorded at fair values.

(Business Combinations and Consolidated Financial Statements - WILEY IFRS 2008 Interpretation and Application)

Jadi, dengan mulai berlakunya IFRS No. 3 sejak 31 Maret 2004, semua transaksi penggabungan usaha harus diperlakukan sebagai akuisisi dan harus dibukukan dengan metode pembelian dimana semua aset dan kewajiban dicatat dengan nilai wajar (fair value) (Hrd).

Monday, June 30, 2008

Sekali lagi mengenai penyusutan aset tetap (PSAK 16)

Pada tulisan saya sebelumnya (baca : Beda syarat penyusutan aktiva tetap menurut pajak dan akuntansi serta Penangguhan beban penyusutan, apakah diperbolehkan ? ), saya sudah memaparkan perbedaan syarat pengakuan penyusutan menurut akuntansi dengan pajak.

Secara akuntansi, syarat dimulainya penyusutan aset tetap adalah pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen (PSAK 16 (revisi 2007) par. 58).

Sedangkan secara perpajakan, syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap adalah pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3)).

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas berkaitan dengan syarat dimulainya penyusutan aktiva tetap menurut pajak, silahkan baca kembali tulisan saya sebelumnya di sini : Beda syarat penyusutan aktiva tetap menurut pajak dan akuntansi.

Jika kita simak kembali pengaturan syarat dimulainya penyusutan aset tetap berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 58 di atas sepertinya tidak mengatur dengan jelas mengenai apakah penyusutan aset tetap dilanjutkan atau harus ditangguhkan jika sekiranya aset tetap bersangkutan dihentikan penggunaannya sementara.

Namun, jika kita membaca International Accounting Standard (IAS) No. 16, Property, Plant and Equipment, dalam paragraf 12 diatur bahwa :

An entity is required to begin depreciating an item of property, plant and equipment when it is available for use and to continue depreciating it until it is derecognised, even if during that period the item is idle. The previous version of IAS 16 did not specify when depreciation of an item began and specified that an entity should cease depreciating an item that it had retired from active use and was holding for disposal.

Jadi, jelas bahwa berdasarkan IAS 16, Property, Plant and Equipment , aset tetap tidak dihentikan pembebanan penyusutannya walaupun terjadi penghentian sementara atas penggunaan aset tetap bersangkutan (idle). (Hrd)

Sunday, June 29, 2008

Bad Debt Expense, bagaimana perlakuan pajak tangguhannya ?

Secara umum akuntansi mengenal dua metode pencatatan penghapusan piutang ragu-ragu yaitu metode penghapusan langsung (direct write-off method) serta metode penghapusan tidak langsung (indirect write-off method).

Dengan metode penghapusan langsung, pembebanan piutang tak tertagih baru dilakukan apabila piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi. Sedangkan, metode penghapusan tidak langsung mengharuskan pembentukan cadangan estimasi piutang tak tertagih pada setiap periode pelaporan keuangan.

Sedangkan dari segi perpajakan hanya mengenal metode penghapusan langsung. Penggunaan metode tidak langsung tidak diperkenankan dalam peraturan perpajakan.

Selain itu, perpajakan dalam UU PPh mensyaratkan bahwa suatu piutang baru dapat diakui sebagai piutang tak tertagih dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto jika secara yuridis piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi.

Adapun persyaratan yuridis yang harus dipenuhi adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, sebagai berikut :

1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;

3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan

4. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Jika secara akuntansi perusahaan menerapkan metode penghapusan tidak langsung (melalui pembentukan cadangan piutang tak tertagih), maka dengan sendirinya akan timbul beda waktu antara pencatatan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur pajak tangguhan menurut PSAK 46.

Namun, dalam kondisi tertentu bad debt expense bisa berpotensi menjadi beda tetap. Jika sekiranya wajib pajak tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tersebut di atas maka bad debt expense secara perpajakan dengan sendirinya tidak dapat dibiayakan sehingga berubah menjadi beda tetap.

Berikut ini ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda waktu bad debt expense :

PT A membukukan cadangan estimasi piutang tak tertagih per 31/12/2007 sebesar Rp 40.000.000 dengan jurnal sebagai berikut :

Bad Debt Expense   40.000.000  
    Cadangan Bad Deb Exp   40.000.000

Sedangkan jurnal pajak tangguhannya sebagai berikut :

Aktiva Pajak Tangguhan   12.000.000  
  Penghasilan Pjk Tangguhan   12.000.000

(perhitungan pajak tangguhan : 30 % x Rp 40.000.000)

KESIMPULAN

Pada prinsipnya perbedaan yang disebabkan oleh adanya bad debt expense merupakan beda waktu (temporary difference), namun jika syarat penghapusan piutang tak tertagih yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tidak terpenuhi, maka bad debt expense yang timbul akan menjadi beda tetap (permanent difference) (Hrd).

Thursday, June 26, 2008

Menggunakan Depreciated Replacement Cost Approach sebagai pendekatan alternatif dalam penentuan nilai wajar aset tetap

Seperti yang sudah pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya bahwa PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap memberikan dua opsi sebagai kebijakan akuntansi dalam pengukuran nilai aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu model biaya (cost model) ataupun model revaluasi (revaluation model) Baca di sini

Jika menggunakan model revaluasi, setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi.

Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi profesional berdasarkan bukti pasar. Nilai wajar pabrik dan peralatan biasanya menggunakan nilai pasar yang ditentukan oleh penilai (PSAK 16 Par. 32).

Jika tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas mungkin perlu mengestimasi nilai wajar menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach) (PSAK 16 Par. 33).

Yang akan saya bahas berikut ini adalah berkaitan dengan penerapan depreciated replacement cost approach dalam penentuan nilai wajar aset tetap.

Dalam buku WILEY – IFRS 2008 Interpretation and Application diberikan contoh penerapan depreciated replacement cost approach yang cukup jelas.

Berikut kutipannya ------------------------------------

IAS 16 suggests that fair value is usually determined by appraisers, using market-based evidence. Market values can also be used for machinery and equipment, but since such items often do not have readily determinable market values, particularly if intended for specialized applications, they may instead be valued at depreciated replacement cost.

Example of depreciated replacement cost (sound value) as a valuation approach :

An asset acquired January 1, 2005 at a cost of € 40,000 was expected to have a useful economic life of 10 years. On January 1, 2008, it is appraised as having a gross replacement cost of € 50,000. The sound value, or depreciated replacement cost, would be 7/10 x € 50,000 or € 35,000. This compares with a book, or carrying value of € 28,000 at the same date. Mechanically, to accomplish a revaluation at January 1, 2008, the asset should be written up by € 10,000 (i.e from € 40,000 to € 50,000 gross cost) and the accumulated depreciation should be proportionally written up by € 3,000 (from € 12,000 to € 15,000). Under IAS 16, the net amount of the revaluation adjustment, € 7,000 would be recognized in other comprehensive income and accumulated in revaluation surplus, an additional equity account.

Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan penggunaan depreciated replacement cost approach sebagai pendekatan alternatif penentuan nilai wajar aset tetap. Semoga bisa membantu untuk lebih memahami PSAK 16 (Revisi 2007) terutama yang berkaitan dengan penerapan model revaluasi. (Hrd)

Wednesday, June 25, 2008

Perubahan Estimasi Umur Manfaat Aset, bagaimana pencatatan akuntansinya ?

PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap mendefinisikan umur manfaat (useful life) sebagai :

1. suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau

2. jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas.

Paragraf 54 PSAK 16 (Revisi 2007) menjelaskan bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus direview minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.

(The residual value and the useful life of an asset shall be reviewed at least at each financial year-end and, if expectations differ from previous estimates, the change(s) shall be accounted for as a change in an accounting estimate in accordance with IAS 8 Accounting Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors – IAS 16 Property, Plant and Equipment Par. 51).

Lantas, bagaimana perlakuan pencatatan akuntansi yang diperlukan jika terjadi perubahan estimasi umur manfaat aset ? Apakah laporan keuangan perlu disajikan kembali (restatement) ?

Untuk menjawabnya, simak penjelasan berikut yang saya kutip dari Wiley – IFRS 2008 Interpretation and Application.

Useful life is affected by such things as the entity’s practices regarding repairs and maintenance of its assets, as well as the pace of technological change and the market demand for goods produced and sold by the entity using the assets as productive inputs. If it is determined, when reviewing the depreciation method, that the estimated life is greater or less than previously believed, the change is handled as a change in accounting estimate, not as a correction of an accounting error. Accordingly, no restatement is to be made to previously reported depreciation; rather, the change is accounted for strictly on a prospective basis, being reflected in the period of change and subsequent periods.

To illustrate this concept, consider an asset costing € 100,000 and originally estimated to have a productive life of 10 years. The straight-line method is used, and there was no residual value anticipated. After 2 years, management revises its estimate of useful life to a total of 6 years. Since the net carrying value of the asset is € 80,000 after 2 years (= € 100,00 x 8/10), and the remaining expected life is 4 years (2 of the 6 revised total years having already elapsed), depreciation in years 3 through 6 will be € 20,000 (= € 80,000/4) each.

Dari penjelasan dan contoh ilustrasi tersebut di atas jelas bahwa jika terjadi perubahan estimasi umur manfaat aset tetap, maka berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) dan IAS 16 harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi dan tidak perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan (restatement). Pengaruh atas perubahan tersebut hanya terhadap laporan keuangan periode berjalan dan periode selanjutnya (Hrd).

Thursday, June 19, 2008

Revaluasi aset, beda pengaturan antara akuntansi dan pajak

Dalam tulisan sebelumnya dengan judul “Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) (baca di sini) saya sudah menjelaskan bahwa PSAK 16 (Revisi 2007) memperbolehkan perusahaan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasian.

Sistimatika dan aturan main pencatatan akuntansi aset tetap jika perusahaan memilih model revaluasian juga diatur dengan cukup jelas dalam PSAK 16 (Revisi 2007) tersebut.

Sedangkan dari segi perpajakan, pengaturan mengenai penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan diatur terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2008 (download di sini : PMK No.79/PMK.03/2008), menggantikan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.

Beberapa perbedaan antara pengaturan menurut KMK No. 486/KMK.03/2002 dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 diantaranya adalah :

1. KMK yang lama mengatur bahwa revaluasi dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan (pasal 3 ayat (2)), sedangkan PMK yang baru mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap (pasal 3 ayat (1)).

2. Revaluasi aktiva tetap menurut KMK yang lama dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama (pasal 3 ayat (3)), sedangkan PMK yang baru mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (pasal 3 ayat (2)).

Pengaturan ini sepertinya agak bertentangan dengan perlakuan akuntansi menurut PSAK 16 (Revisi 2007) yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 dimana dalam paragraf 31 diatur bahwa (apabila perusahaan menerapkan model revaluasian) maka revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara signifikan dari nilai wajar pada tanggal neraca. Selanjutnya dalam par. 34 dijelaskan lagi bahwa jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan.

Jadi, apabila setiap tahun terjadi perubahan nilai wajar secara signifikan terhadap jumlah tercatat aset tetap, maka dengan sendirinya revaluasi harus dilakukan secara tahunan. Sedangkan perpajakan mengatur bahwa aktiva tetap baru boleh dinilai kembali setelah jangka waktu 5 tahun sejak revaluasi yang terakhir dilakukan.

Seandainya perusahaan secara akuntansi menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetapnya dan dalam 2 tahun kemudian nilai wajar aset tetap mengalami peningkatan signifikan sehingga perlu dilakukan revaluasi kembali jelas akan menghadapi masalah karena dengan sendirinya revaluasi yang dilakukan sudah menyimpang dari ketentuan perpajakan. Lantas bagaimana dengan Pajak Penghasilan Final 10 % yang dikenakan atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskalnya (Pasal 5 PMK No. 79) ? Apakah tetap harus dibayar sedangkan jika prosedur revaluasi tidak sesuai ketentuan perpajakan sudah tentu tidak akan diterbitkan keputusan ijin revaluasi dari Dirjen Pajak ?

Sepertinya harus pikir-pikir dulu sebelum menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetap perusahaan sesuai PSAK 16 (Revisi 2007). Setidaknya harus sudah diprediksikan terlebih dahulu bahwa aset tetap yang sudah direvaluasi tersebut tidak akan mengalami peningkatan nilai wajar yang signifikan dalam 5 tahun ke depan (Hrd).

Wednesday, June 18, 2008

Sekilas Revaluasi Aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap saat ini sudah hampir sepenuhnya mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment.

Salah satu perubahan signifikan dari PSAK 16 (Revisi 2007) ini adalah mengenai revaluasi aset tetap. Dalam PSAK sebelumnya yaitu PSAK 16 (1994) mengenai Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain pada dasarnya mengharuskan penyajian aktiva tetap berdasarkan nilai perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah, dan dalam hal ini harus ada catatan ataupun penjelasan dalam laporan keuangan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan (PSAK 16 (1994) Par. 29).

Jadi, sebelum berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007), jika perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap yang pada umumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perpajakan, maka pada opini auditor harus ada catatan dan penjelasan tambahan berkaitan dengan hal tersebut.

Dengan mulai berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007) sejak 1 Januari 2008, maka perusahaan diperbolehkan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasi, dan harus diterapkan terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.

Jika menggunakan model biaya, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 (revisi 2007) par. 30). Model ini adalah seperti yang diterapkan sebagian besar perusahaan selama ini.

Sedangkan jika menggunakan model Revaluasi, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca (PSAK 16 (revisi 2007) par. 31).

Dalam paragraph 34 diatur lebih lanjut bahwa frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Paragraf 36 menjelaskan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.

Paragraf 39 dan 40 mengatur mengenai perlakuan pencatatan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi sebagai berikut :

· Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke Ekuitas pada bagian Surplus Revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi sehingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi (par. 39)

· Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut (par. 40).

PSAK 16 (1994) menggunakan istilah “Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap” untuk membukukan selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap.

Jika perusahaan mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap maka perubahan tersebut berlaku prospektif. Hal ini diatur dalam paragraph 43 PSAK 16 (revisi 2007).

Ketentuan Transisi PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa :

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya, maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat PSAK ini diterbitkan (par. 83).

· Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.

Demikian sekilas penjelasan pengaturan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007)/IAS 16. Selanjutnya, saya akan menulis tentang perbedaan pengaturan revaluasi aset berdasarkan PSAK 16 (Revisi 2007) dibandingkan dengan ketentuan perpajakan yang diatur terakhir berdasarkan PMK No. 79/PMK.03/2008 tanggal 23 Mei 2008 (Hrd).

Monday, June 9, 2008

Kompensasi Rugi Fiskal, bagaimana perhitungan pajak tangguhannya ?

Pada posting-posting sebelumnya, saya sudah beberapa kali membahas mengenai akuntansi pajak tangguhan. Pengertian istilah dalam akuntansi pajak tangguhan seperti misalnya beda temporer juga sudah saya bahas sehingga tidak perlu lagi saya uraikan panjang lebar dalam tulisan ini.

Adapun pembahasan mengenai pajak tangguhan kali ini berkaitan dengan perlakuan akuntansi pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami penghitungan dan pencatatan akuntansi pajak tangguhan atas kompensasi saldo rugi fiskal.

PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi.

Lantas, apakah jika perusahaan memiliki saldo rugi fiskal serta telah memenuhi persyaratan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi, maka langsung bisa membukukan aset pajak tangguhan dalam laporan keuangannya ? Jika tidak, persyaratan apa lagi yang harus diperhatikan ?

Menurut PSAK 46 par. 27 diatur bahwa berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah penghasilan kena pajak akan tersedia dalam jumlah memadai untuk dikompensasikan :

1. apakah perusahaan mempunyai perbedaan temporer kena pajak dalam jumlah yang memadai, yang memungkinkan sisa kompensasi dapat digunakan sebelum masa berlakunya kadaluarsa;

2. apakah perusahaan mungkin memperoleh laba fiskal agar saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi kerugian dapat digunakan sebelum masa berlakunya daluarsa;

3. apakah saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi timbul dari kasus-kasus tertentu yang hampir tidak mungkin berulang.

Apabila laba fiskal tidak mungkin tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dapat dikompensasi dengan saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, maka aset pajak tangguhan tidak diakui.

Paragraf 28 mengatur mengenai penilaian kembali aset pajak tangguhan. Pada setiap tanggal neraca, perusahaan menilai kembali aset pajak tangguhan yang tidak diakui. Perusahaan mengakui aset pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan akan tersedia untuk pemulihannya.

Berdasarkan Undang‑undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang‑undang No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) Pasal 6 ayat (2) diatur bahwa apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Berikut ini ilustrasi sederhana penerapan penghitungan aset pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Berhubung topik pembahasan kali ini terbatas pada kompensasi saldo rugi fiskal maka untuk memudahkan pemahaman diasumsikan bahwa tidak terdapat unsur beda temporer dalam rekonsiliasi perpajakan.

Dari rekonsiliasi laba (rugi) komersial dengan laba (rugi) menurut fiskal PT A selama 5 tahun berturut-turut diperoleh gambaran sebagai berikut :

2006

2005

2004

2003

Laba (Rugi) Komersial

11.000

10.500

(4.000)

(12.000)

Beda Tetap :

Sumbangan

300

500

100

400

Entertainment

100

300

150

800

Laba (Rugi) Fiskal

11.400

11.300

(3.750)

(10.800)

Kompensasi

(3.250)

(14.550)

(10.800)

0

Laba (Akumulasi Rugi) Fiskal

8.150

(3.250)

(14.550)

(10.800)

Ayat jurnal pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 sebagai berikut :

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

3.240

Pajak Penghasilan Tangguhan

3.240

(mencatat DTA tahun 2003)

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

1.125

Pajak Penghasilan Tangguhan

1.125

(mencatat tambahan DTA 2004)

Pajak Penghasilan Tangguhan

3.390

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

3.390

(reverse DTA - laba fiskal 2005)

Pajak Penghasilan Tangguhan

975

Aset Pajak Tangguhan (DTA)

975

(reverse DTA – laba fiskal 2006)

Dari ayat-ayat jurnal di atas, dapat diketahui bahwa saldo Aset Pajak Tangguhan di Neraca PT A per 31/12/2006 sudah menjadi nol seiring dengan habisnya kompensasi saldo rugi fiskal pada tahun 2006.

Demikian sedikit gambaran perhitungan Aset Pajak Tangguhan atas Kompensasi Rugi Fiskal, semoga bermanfaat (Hrd).

Sekilas Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU)

Technorati Tags: ,,

Laporan keuangan adalah suatu asersi yang disusun berdasarkan suatu standar atau kriteria yang diterima secara umum dalam praktek bisnis (generally accepted). Suatu pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) diterima secara umum apabila telah melalui suatu mekanisme yang disebut public hearing untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat.

Draft PSAK harus dapat diterima oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan dikeluarkan oleh suatu lembaga atau institusi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat. Di Indonesia, institusi tersebut adalah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

Komponen-komponen masyarakat yang berkepentingan atas prinsip akuntansi tersebut terdiri dari banyak pihak, yakni kalangan akademis, analis pasar modal, pemerintah, pengusaha, karyawan dan lain-lain. Otoritas atau lembaga pemerintah yang paling berkepentingan adalah pihak BAPEPAM, Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan dan Dirjen Pajak.

Apa-apa saja yang dapat dianggap sebagai bagian dari Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU) ? Banyak praktisi dan akademis memandang sempit prinsip akuntansi dengan menganggap bahwa SAK adalah satu-satunya PABU. Perlu diketahui bahwa SAK adalah bagian kecil dari PABU.

SAK yang ada sekarang dikeluarkan oleh IAI melalui suatu organ yang kita kenal dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK). Dewan ini bertugas untuk menyusun draft standar akuntansi keuangan yang akan diberlakukan. Draft tersebut terlebih dahulu didiskusikan dengan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK) untuk kemudian dikeluarkan draft-nya. Bila telah diperoleh masukan, dilakukan sosialisasi (public hearing) untuk memperoleh masukan lebih banyak lagi dari masyarakat luas (pemakai laporan keuangan). Selanjutnya, bila tidak ada masalah lagi, maka IAI akan mengesahkan standar tersebut dan diberlakukan secara efektif.

Berbeda dengan di Indonesia, Amerika Serikat mendirikan badan penyusun standar akuntansi yang berada di luar asosiasi profesi. Badan ini adalah Financial Accounting Standards Board (FASB) yang tidak berada di bawah AICPA melainkan di bawah Financial Accounting Foundation (FAF). Badan ini berwenang penuh dalam menentukan standar akuntansi yang akan ditetapkan.

Sejak dilakukan pengadopsian IAS/IFRS menjadi SAK terjadi perubahan yang signifikan terhadap praktek pelaporan keuangan di Indonesia. Perubahan itu menuntut para praktisi akuntansi untuk selalu mempelajari perkembangan dan perubahan-perubahan standar akuntansi keuangan yang berkembang sangat cepat.

Sampai dengan saat ini, DSAK-IAI sedang dalam proses konvergensi (full adoption) PSAK dengan IFRS dengan rencana-rencana ke depan sebagai berikut :

· Pada akhir 2010 diharapkan seluruh IFRS sudah diadopsi dalam PSAK;

· Tahun 2011 merupakan tahun penyiapan seluruh infrastruktur pendukung untuk implementasi PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS;

· Tahun 2012 merupakan tahun implementasi dimana PSAK yang berbasis IFRS wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik.

Penyajian Laporan Keuangan berdasarkan PSAK No.1 (Revisi 1998)

Laporan keuangan yang lengkap terdiri atas komponen-komponen berikut ini : Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas serta Catatan Atas Laporan Keuangan.

Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan untuk penyajian wajar atas laporan keuangan adalah :

1. Laporan keuangan harus disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha (going concern)

2. Perusahaan harus menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali laporan arus kas

3. Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar periode harus konsisten kecuali (a) terjadi perubahan yang signifikan terhadap sifat operasi perusahaan atau perubahan penyajian akan menghasilkan penyajian yang lebih tepat atas suatu transaksi atau peristiwa, atau (b) perubahan tersebut diperkenankan oleh PSAK

4. Pos-pos yang material disajikan terpisah dalam laporan keuangan, sedangkan yang tidak material digabungkan dengan jumlah yang memiliki sifat atau fungsi sejenis

5. Aset, kewajiban, pos-pos penghasilan dan beban disajikan secara terpisah kecuali saling hapus diperkenankan dalam PSAK

6. Informasi kuantitatif harus diungkapkan secara komparatif dengan periode sebelumnya, kecuali dinyatakan lain oleh PSAK.

Dalam paragraf 6 PSAK No. 1 dijelaskan bahwa manajemen perusahaan bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian laporan keuangan perusahaan.

Di Indonesia terjadi kerancuan dalam praktek penyusunan laporan keuangan dimana laporan keuangan yang diserahkan kepada auditor eksternal biasanya tidak disajikan secara lengkap. Yang diserahkan kepada auditor eksternal adalah neraca dan laporan laba rugi. Laporan arus kas, perubahan ekuitas dan catatan atas laporan keuangan biasanya disusun oleh auditor eksternal, sehingga orang awam memandang penyusunan laporan keuangan adalah tanggung jawab auditor eksternal.

Hal tersebut dapat dilihat dari keseragaman penyajian laporan keuangan yang diaudit oleh kantor akuntan yang sama. Praktek ini merupakan penyimpangan yang telah lama ditoleransi.

Tulisan ini merupakan kutipan dari artikel berjudul “Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Berdasarkan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum” oleh Marisi P. Purba (Anggota Tim DRM-IAI KAP) serta PSAK No. 1 mengenai Penyajian Laporan Keuangan (Hrd).

Thursday, June 5, 2008

Implementasi PSAK No. 13, 16 dan 30 (berlaku efektif sejak 1 Januari 2008)

Sebelumnya saya sudah pernah posting tulisan berkaitan dengan tiga (3) PSAK revisian DSAK-IAI yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2008 yaitu PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi yang menggantikan PSAK No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi (disahkan 1994), PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang menggantikan PSAK 16 (1994) : Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain dan PSAK 17 (1994) : Akuntansi Penyusutan serta PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa menggantikan PSAK 30 (1994) tentang Sewa Guna Usaha. (link : 3 PSAK revisian DSAK IAI berlaku efektif sejak 1 Januari 2008, sudah siapkah Anda ?)

Untuk membantu pemahaman kita akan ke-tiga PSAK tersebut, berikut saya attached News Letter yang dipublikasikan oleh Deloitte Indonesia beberapa waktu yang lalu (yang saya peroleh melalui email yang dikirim seorang teman). News Letter ini membahas perubahan-perubahan atas PSAK 13, PSAK 16 dan PSAK 30 Revisi 2007. (klik link berikut ini untuk download )

Delloitte - The Standards Update (PSAK 13,16 & 30)

Berkaitan dengan penerapan ke-tiga PSAK revisi 2007 tersebut serta kenyataan bahwa perubahan-perubahan pada PSAK 13/2006, PSAK 16/2006 dan PSAK 30/2006 dapat berpengaruh signifikan terhadap penerapan kebijakan akuntansi dan proses audit laporan keuangan perusahaan sehingga menuntu pemahaman maupun kesiapan yang memadai oleh manajemen perusahaan maupun para akuntan publik, IAPI akan menyelenggarakan PPL dengan topik Implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) - Revisi 2007). Untuk informasi lebih lanjut silahkan baca di posting saya sebelumnya. (link : Implementasi PSAK Revisi 2007).Bagi yang ingin lebih memahami implementasi PSAK 13, PSAK 16 dan PSAK 30 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2008 yang lalu, jangan ketinggalan untuk mengikuti PPL ini (Hrd).

Monday, June 2, 2008

Akuntansi Penggabungan Usaha, beda pengaturan antara PSAK 22 vs IFRS 3

Akuntansi Penggabungan Usaha diatur terutama dalam PSAK No. 22 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1995 hingga sekarang. Adapun PSAK 22 ini adalah merupakan hasil adopsi dari International Accounting Standard (IAS) No. 22 tentang “Business Combinations” yang dikeluarkan oleh International Accounting Standards Committee. Kemudian, pada bulan Maret 2004 International Accounting Standards Board (IASB) mengeluarkan IFRS No. 3 sebagai pengganti IAS No. 22 yang berlaku efektif sejak 31 Maret 2004. Selanjutnya, pada bulan Januari 2008, IASB menerbitkan revisi atas IFRS No. 3.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, PSAK No. 22 sampai dengan saat ini masih merupakan adopsian dari IAS No. 22, sehingga dengan sendirinya terdapat perbedaan perlakuan dengan IFRS No. 3.

Adapun beberapa perbedaan dalam ketentuan akuntansi penggabungan usaha yang ditetapkan dalam PSAK No. 22 dan IAS No. 22 dibandingkan dengan IFRS No. 3 diantaranya adalah :

1. IAS No. 22 dan PSAK No. 22 memberikan ijin atas penggunaan metode pembelian dan penyatuan kepemilikan serta menetapkan syarat-syarat penggunaan metode tersebut. Metode penyatuan kepemilikan digunakan apabila sulit sekali mengidentifikasi perusahaan pengakuisisi dan terjadi pembagian risiko serta manfaat secara seimbang antara pemegang saham perusahaan-perusahaan yang menggabungkan diri; sedangkan IFRS No. 3 tidak lagi mengijinkan penggunaan metode penyatuan kepemilikan dan mensyaratkan bahwa semua penggabungan usaha harus dicatat dengan menggunakan metode pembelian. Ketentuan dalam IFRS No. 3 tersebut ditetapkan karena walaupun terdapat kriteria yang ditetapkan oleh IAS No. 22 dalam menggunakan metode pembelian dan penyatuan kepemilikan, manajemen sering mencari celah agar dapat mengunakan salah satu dari dua metode pencatatan tersebut yang menguntungkan bagi mereka.

2. IAS No. 22 dan PSAK No. 22 mengharuskan amortisasi goodwill selama satu periode yang tidak kurang dari 20 tahun; sedangkan IFRS No. 3 tidak lagi memperkenankan amortisasi atas goodwill yang berasal dari transaksi penggabungan usaha. Goodwill dianggap habis dengan sendirinya seiring dengan terjadinya penurunan nilai aktiva yang dilakukan berdasarkan IAS No. 36 tentang “Impairment of Assets”.

3. Berdasarkan PSAK No. 22 paragraf 82, sisa goodwill negatif setelah dilakukan penurunan nilai aktiva non-moneter, harus diakui sebagai pendapatan ditangguhkan dan diakui sebagai pendapatan secara sistimatis tidak lebih dari 20 tahun; sedangkan IFRS No. 3 mengharuskan pengakuan laba atau rugi yang berasal dari sisa goodwill negatif.

(Sumber : Buku “Akuntansi Penggabungan Usaha” karangan Marisi P.Purba)

Berikut ini beberapa perubahan mendasar IFRS No. 3 (Revisi Januari 2008) dengan sebelumnya :

· The scope was broadened to cover business combinations involving only mutual entities and business combinations achieved by contract alone

· The definitions of a business and a business combination were amended and additional guidance was added for identifying when a group of assets constitutes a business

· For each business combination, the acquirer must measure any non-controlling interest in the acquiree either at fair value or as the non-controlling interest’s proportionate share of the acquiree’s net identifiable assets. Previously, only the latter was permitted

· The requirements for how the acquirer makes any classifications, designations or assessments for the identifiable assets acquired and liabilities assumed in a business combination were clarified

· The period during which changes to deferred tax benefits acquired in a business combination can be adjusted against goodwill has been limited to the measurement period (through a consequential amendment to IAS 12 (Income Taxes)

· An acquirer is no longer permitted to recognise contingencies acquired in a business combination that do not meet the definition of a liability

· Costs the acquirer incurs in connection with the business combination must be accounted for separately from the business combination, which usually means that they are recognised as expenses (rather than included in goodwill)

· Consideration transferred by the acquirer, including contingent consideration, must be measured and recognised at fair value at the acquisition date. Subsequent changes in the fair value of contingent consideration classified as liabilities are recognised in accordance with IAS 39, IAS 37 or other IFRSs, as appropriate (rather than by adjusting goodwill). The disclosures required to be made in relation to contingent consideration were enhanced

· Application guidance was added in relation to when the acquirer is obliged to replace the acquiree’s share-based payment awards; measuring indemnification assets; rights sold previously that are reacquired in a business combination; operating leases; and valuation allowances related to financial assets such as receivables and loans

· For business combinations achieved in stages, having the acquisition date as the single measurement date was extended to include the measurement of goodwill. An acquirer must remeasure any equity interest it hold in the acquiree immediately before achieving control at its acquisition-date fair value and recognise the resulting gain or loss, if any, in profit or loss.

(Source : IFRS Bound Volume 2008) (Hrd)