Sekitar akhir tahun 2007 kemarin, Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan telah mengambil ancang-ancang untuk memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi menjadi 3% dari omzet dan rencananya akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2008.
Rencana tersebut langsung membuat para pengusaha jasa konstruksi tersenyum lebar. Lho, bukankah tarif pajaknya naik ? Kok malah senang ? Kenapa tidak ? Karena yang membuat para pengusaha lega adalah mereka akan kembali menikmati tarif pajak penghasilan final seperti yang pernah mereka nikmati di tahun 1997. Bagi mereka, pengenaan pajak final selain memudahkan administrasi juga memberikan kepastian lebih tinggi.
Tetapi, apakah benar semua pengusaha jasa konstruksi menyambut baik rencana penerapan PPh final 3% tersebut ? Ternyata tidak.
PT Adhi Karya Tbk, salah satu perusahaan besar jasa konstruksi mengeluhkan wacana penerapan pajak final oleh pemerintah sebesar 3% dari penghasilan kepada perusahaan jasa konstruksi. “Dalam dunia konstruksi, margin laba bersih sangat tipis, hanya 2%-3% dari penghasilan. Praktis bila pajak final diterapkan, tidak ada perusahaan konstruksi yang bisa meraup keuntungan. Kami minta pemerintah tak menerapkan pajak final,” ujar Corporate Secretary Adhi Karya, Kurnadi Gularso.
Selain itu, Ketua Gapeksindo (Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia) Jatim, H.Gatut Prasetya, juga mengeluhkan rencana pengenaan PPh final 3% tersebut. Menurutnya, kenaikan PPh final untuk jasa konstruksi menjadi 3% akan memberatkan. Misalnya untuk daerah Jatim, sekitar 90% dari total 1.485 perusahaan yang menjadi anggota Gapeksindo Jatim adalah pengusaha kecil. PPh final yang langsung dipotong dari nilai proyek akan sangat membebani pengusaha khususnya pengusaha kecil. Jika terpaksa, pajak sebesar itu bisa diberlakukan hanya untuk pengusaha besar. Sementara untuk pengusaha kecil dia mengusulkan dikenakan tarif PPh final 1,5%. Menurut perhitungan Gapeksindo, pengusaha jasa konstruksi dengan pengerjaan proyek Rp 1 miliar tidak akan bisa survive jika menanggung tarif PPh tersebut.
Sebagai gambaran dengan nilai proyek Rp 1 miliar, keuntungan yang bisa diraih pengusaha 10% atau Rp 100 juta per tahun. Maka dengan PPh final sebesar 3% keuntungan yang dipotong mencapai Rp 30 juta. Sisa Rp 70 juta tidak cukup untuk menanggung biaya operasi perusahaan dalam setahun.
Sedangkan bagi Ditjen Pajak sendiri, penerapan pajak final akan berdampak positif bagi peningkatan kinerja dirjen pajak. Karena sistim final akan menghemat tenaga pemeriksa. Namun diatas itu, Ditjen Pajak yakin sistim final akan mampu mendongkrak penerimaan dari segi pajak.
Menurut Dirjen Pajak Darmin Nasution, bahwa “penerapan PPh final dengan pertimbangan, hampir semua pemborong saat ini berbuat curang. Biasanya aparat pajak kesulitan untuk mengaudit Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) mereka. Para kontraktor juga bisa dengan mudah menggunakan faktur bermacam-macam sebagai pemberat ongkos operasional. Maka kami putuskan untuk memfinalkan saja PPh-nya sebesar 3%. Selain itu, untuk mempermudah penghimpunan”.
Darmin sendiri optimis bahwa pengusaha tidak akan menentang perubahan kebijakan ini. Pasalnya, Ditjen Pajak merasa telah melakukan serangkaian sosialisasi kepada para pengusaha. Sehingga sebagian besar bisa memahami kebijakan tersebut. Terlebih, pada tahun 1995 sampai 1998 pemerintah pernah menerapkan kebijakan ini meskipun dengan tarif final 2%.
Tapi karena terjadi krisis pada tahun 1998, pemerintah menghapus kebijakan ini sebagai insentif bagi pengusaha jasa konstruksi. Yang terkena pajak hanya pengusaha yang beromset di bawah Rp 1 miliar. Sedangkan pengusaha menengah besar mengikuti PPh dengan tariff progresif sesuai omset.
Sekarang, Ditjen Pajak yakin kondisi pengusaha sudah pulih. Hal ini terlihat dari maraknya pembangunan gedung di berbagai tempat. Darmin juga meyakini kebijakan baru ini bisa meraup tambahan setoran pajak penghasilan hingga triliunan rupiah.
Sependapat dengan Ditjen Pajak, Ketua Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Malkan Amin menyatakan sangat setuju dengan pengenaan pajak final tersebut. “Justru kami-lah yang mengusulkan pajak final itu”.
Anggota LPJK dari dulu memang berjuang agar dikenakan pajak final saja. Di masa lalu, jasa konstruksi dikenakan pajak progresif. Artinya, pajak hanya dikenakan kepada perusahaan yang untung, sedangkan untuk perusahaan yang rugi tidak bayar pajak. Tapi kenyataannya, sistim itu justru merugikan perusahaan jasa konstruksi. “Dari kajian yang kami lakukan, penetapan pajak progresif ini memberatkan perusahaan jasa konstruksi. Anggota kami banyak yang dipermainkan oleh petugas pajak,” kata Malkan yang juga anggota DPR ini.
“Seringkali laporan keuangan jasa konstruksi tidak dipercaya petugas pajak. Ibaratnya sudah benar pun masih ada saja yang salah. Kami diobok-obok, dicari-cari persoalan,” katanya. Untuk menghindari hal itu, maka kami sepakat lebih baik pajak yang bersifat final. “Langsung dipotong dari kontrak yang kita tandatangani. Beres sudah. Permainana dari oknum petugas pajak tidak memungkinkan lagi,” katanya.
Sejarahnya, usulan PPh final untuk jasa konstruksi mengemuka saat Gapeksi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia) mengadakan kongres di Surabaya. Dirjen Pajak yang menjabat saat itu, Fuad Bawazier, yang hadir pada acara itu langsung ditodong untuk memberlakukan PPh Final bagi pengusaha jasa konstruksi.
Hasilnya, pada akhir Desember 1996 terbit Peraturan Pemerintah No. 73/1996 tentang PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan. Dalam PPh tersebut ditetapkan atas imbalan jasa pelaksana konstruksi dikenakan PPh final sebesar 2% dari nilai bruto, sedangkan untuk jasa perencanaan, pengawasan konstruksi dan konsultan dikenakan tarif 4%.
Pengenaan PPh final sector konstruksi, menurut PP No. 73/1996 tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun, fakta yang sebenarnya, Ditjen Pajak sendiri pusing setiap kali memeriksa pembukuan perusahaan jasa konstruksi yang acap kali kacau balau.
Bagi wajib pajak, PPh final sangat menguntungkan pada saat ekonomi tumbuh bagus. Sebab pada kondisi demikian, mereka umumnya mampu meraup laba besar. Pengenaan PPh final yang sifatnya flat terhadap penghasilan bruto jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan tarif progresif 10%, 15% dan 30% sebagaiman diatur dalam Pasal 17 UU PPh.
Sebaliknya, tarif PPh final akan merugikan wajib pajak pada saat keadaan perekonomian menurun atau pada saat mereka menderita kerugian. Karena pengenaan PPh final dikenakan terhadap penghasilan bruto, bukan penghasilan neto. Sedangkan, jika kondisi perusahaan merugi jika menggunakan tarif progresif dengan sendirinya tidak akan dikenakan pajak. Selain itu, mereka juga akan kehilangan hak untuk melakukan kompensasi kerugian yang dialami.
Alasan ini jugalah yang kemudian mendasari digantinya PP No. 73/11996 yang bersifat final dengan PP No. 140/2000 yang menerapkan tarif umum untuk penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawasan dan perencanaan serta konsultan, kecuali mereka yang omzetnya di bawah Rp 1 miliar (Hrd).